#69

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #69 | 5145 words |

PASCAL DAN Embre punya koneksi penjaga portal Kompleks 12 yang langsung membiarkan kami lewat begitu saja tanpa acara tembak-tembakan, parade mobil jip penuh alat peredam Fervor, atau Fervent aneh yang menculik kami untuk dijadikan bahan masakan.

Pascal memperingatkan kami bahwa di tempat inilah macam-macam uji coba Fervent berbasis—pabrik pembuatan Arka, Lenx, sampai lab proyek artificial night. Berbeda dengan Kompleks 4 di mana para Fervent hidup di pinggiran perbatasan, 40% penghuni tempat ini adalah Fervent yang bekerja untuk NC.

"Kalian akan aman meski ketahuan memakai kekuatan dan membawa senjata," tambah Pascal. "Tapi, cobalah untuk menghindari petugas patroli. Kadang mereka akan meminta tanda pengenal untuk memastikan kalian legal tinggal di sini."

Aku berdengap. "Dan, kalau kami tak bisa memberikan tanda pengenal itu ...?"

"Kalian bakal ditangkap. Asal-usul kalian akan diselidiki, dan mereka akan tahu kalian sedang dicari oleh Komandan."

"Asal kalian tidak menarik perhatian, semuanya akan aman, soalnya selebaran 'dicari' yang memuat wajah kalian berempat belum menyebar sampai Kompleks 12." Embre memberikan ransel ekstra kepadaku. "Ada cukup uang, obat-obatan, perban, dan botol air mineral di situ. Aku juga mendaftar alamat penginapan yang bisa kalian singgahi. Hanya datangi tempat-tempat yang kucatat itu, oke? Tempat lain punya prosedur yang lebih ketat, dan kalian bisa saja ketahuan."

"Titip raja kecil," kata Pascal dengan nada mengejek seraya mengacak rambut Erion. Pemuda itu kemudian membuka tangan kepadaku. "Pelukan perpisahan?"

"Erion," kataku. "Peluk Pascal."

Dia bisa memeluk dirinya sendiri, komentar anak itu sebelum menyandang tasnya dan berbalik pergi lebih dulu.

Alatas dan Truck mengucapkan terima kasih sebelum menyusul Erion. Ketika aku akan mengekori mereka, Embre menarikku. Dia menjabat tanganku sampai-sampai aku sempat mempertimbangkan untuk mencium punggung tangannya seperti yang dulu kulakukan pada guru sekolahku, tetapi kemudian dia tersenyum dingin dan berkata, "Jangan sembarangan masuk ke kepala orang lagi, oke?"

Wajahku memanas. Selama ini, aku keluar-masuk kepala orang sesukanya dan tidak pernah ada yang menyadariya. Tak kusangka Embre bakal sadar. Aku semestinya bertanya bagaimana dia bisa tahu—mungkin saja ada sesuatu tentang Brainware yang luput kupelajari, tetapi lidahku seperti di lem ke langit-langit mulut. Selayaknya siswa yang ketahuan mencontek, aku bergumam pelan, "Oke."

"Kau tidak akan pernah tahu apa yang menunggumu di dalam kepala orang lain," ucap Embre lagi, kali ini terdengar lebih seperti nasihat semata. Kuberanikan diriku untuk menatapnya, tetapi mataku mentok pada lehernya yang kini dijerat choker milik Pyro. "Otak manusia adalah tempat kelam di mana hal-hal buas bisa bersarang tanpa diketahui oleh pemiliknya sendiri. Hati-hati."

Aku mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, lalu buru-buru pergi. Di belakang, kudengar Pascal bertanya dengan nada iri, "Leila masuk ke kepalamu?"

"Otak disusupi Brainware bukanlah hal yang bisa dibanggakan, Pascal."

Begitu aku berhasil menyejajari Erion, para Calor sudah pergi juga melewati gerbang portal. Para penjaga tidak mengacuhkan mereka dan sama sekali tutup mata terhadap kehadiran kami. Di depanku, Truck dan Alatas tengah berdebat sambil jalan. Apa pun itu yang mereka ributkan, aku tidak mau terlibat, tetapi Alatas menyeretku ke dalamnya dengan bertanya, "Iya, 'kan, Leila?"

"Iya," jawabku asal. "Terserah saja."

"Kau bahkan tidak tahu kami membicarakan apa!" bentak Truck.

"Menurut Truck, kita mesti membongkar bawaan kita dan memeriksa semua perbekalan yang diberikan oleh Embre!" kata Alatas.

"Truck, kau terlalu paranoid," kataku, membuat Alatas mengangguk semangat.

"Kita sudah sering terjebak di sarang Fervent!" Truck menyalak. "Mulai dari Icore, Teleporter, Raios—tidak ada yang berakhir baik! Bahkan di rumah kecil di Kompleks 4, kita sudah akan dimasak jadi kari, dan Alatas akhirnya kena tembak! Di tempat para Steeler, kita nyaris dibawa langsung ke Komandan dengan mobil pengangkut roti! Yang barusan ini sarang Calor—koloni yang paling kita hindari!"

Aku menggigit bibirku, lalu menoleh ke Alatas, "Dia ada benarnya."

Pertengkaran mereka malah makin sengit. Kulirik Erion untuk meminta bantuan. Aku sebenarnya berharap dia menerbangkan lakban dan tali dari suatu tempat, tetapi yang dia lakukan adalah meraih kantung samping ranselku, lalu mengambil sebungkus kue kering pemberian Cybra dan sebotol air. Erion melahap kue itu sekali telan dan mendorongnya dengan air mineral, lantas merentangkan tangan seperti hendak memamerkan diri. Katanya, Lihat? Belum mati keracunan.

Kusampaikan itu pada Truck sampai akhirnya dia mengalah.

Kami menyusuri jalan setapak yang dikepung pepohonan dan semak hampir setinggi lutut di kedua sisi, tetapi kemudian jalan setapak berakhir begitu saja tanpa membawa kami keluar dari hutan. Kembali ke jalan mana pun, kami tak pernah sampai. Sesekali, Alatas memanjati salah satu pohon untuk melihat sejauh mana batas hutan dan sudah sedekat apa kami dengan kota. Saat kami menyadari buruknya navigasi Alatas, Erion mengambil alih dengan melevitas dirinya sendiri.

Sementara Alatas dan aku berbagi roti sambil menunggu Erion memindai jarak, kusadari Truck masih tidak mau menyentuh bekal pemberian para Calor.

"Kalau para Calor itu memang punya niat tertentu pada kita," kataku padanya, "sudah dari kemarin mereka memberikan kita pada Komandan Binta."

"Mesti kuakui, Embre memang sedikit mengambil keuntungan dari kita," tambah Alatas. "Tapi itu berakhir setelah Erion mengalahkan Pyro. Dan lagi, Embre sampai repot-repot mengantar kita ke sini."

"Pria itu terus-terusan mengawasi kita sejak semalam!" hardik Truck seraya menggosok tengkuknya. "Dan pandangan matanya itu mencurigakan!"

Aku langsung menutup mulutku. Tidak mungkin aku bilang pada Truck bahwa Embre sebenarnya hanya pasang mata pada-nya—bukan aku, Erion, atau Alatas secara khusus. Kalau aku kelepasan omong bahwa Embre adalah mantan gurunya di suatu tempat bernama Program Fervent Dasar, urusannya bisa panjang. Truck kemudian akan jadi defensif lagi bahwa aku telah masuk ke kepalanya.

"Erion!" panggilku seraya menatap ke atas. "Dapat sesuatu?!"

Cuma perasaanku atau kita malah makin menjauh dari permukiman, ya?! Erion menyampaikan. Aku malah lebih jelas melihat tembok perbatasan dari sini!

Begitu Erion turun, aku bertanya apakah dia sudah bisa menggunakan X-nya untuk melihat melampaui jarak dan menavigasi kami sambil jalan, mengingat anak itu bisa melihat ikatan molekul saat dilatih oleh Embre. Namun, Erion menggeleng.

Melihat melewati beberapa pohon saja, sih, bisa saja. Tapi ratusan pohon seperti ini? Mataku dari tadi cuma berserobok sama sarang tupai, sarang semut, dan mentok di lapisan kulit pohon ke sekian.

Setelah lewat satu jam dan kami membuat sedikit kemajuan, aku mengambil giliran untuk memanjat pohon. Kompleks 12 lebih sederhana dari Kompleks 4. Tempat ini dikelilingi hutan lindung, dengan empat gedung pencakar langit di tengah, yang kemudian dikepung oleh bangunan-bangunan setinggi dua sampai empat lantai. Perumahan kecil menyebar dalam petak-petak genting merah dan hijau tak beraturan. Cahaya lampu kuning, biru, dan putih mendominasi.

Aku mengingat arah dan rute yang bisa kami ambil, lalu melompat turun untuk disambut oleh mata Alatas yang membulat takjub dan Erion yang bertepuk tangan.

"Biar kuluruskan," kata Truck dengan alis mengernyit padaku. "Kau bisa memanjat pohon, tapi tidak bisa berenang?"

"Memang kenapa?" tanyaku tersinggung. "Kau boleh takut pada ketinggian, tapi aku tidak boleh takut tenggelam?"

"Siapa bilang aku takut ketinggian—"

"Hei, sudahlah." Alatas menengahi. Tangannya mendorong punggung Truck pelan agar jalan lebih dulu dengan Erion. Setelah aku memberi arah, Erion menyorotkan senternya lurus ke depan sementara Alatas dan aku jalan di belakang.

"Memang kenapa kalau aku memanjat pohon," dengkusku pelan.

Kudapati Alatas mengulum senyum geli dalam keremangan hutan. "Kau keren saat memanjat naik tadi. Ayahmu mengajarimu? Atau ibumu?"

Aku tersedak, hampir tergelak. Ibu bahkan tidak berani menaiki kursi untuk mengganti bohlam, dan ayah bakal menjerit marah setiap melihatku memanjati pohon karena dia tahu dari siapa aku belajar.

"Bukan," jawabku pada Alatas. "Ryan yang mengajariku."

"Siapa Ryan?"

Untuk beberapa detik yang singkat, aku merutuki diriku sendiri karena mengatakan nama itu—sekarang aku bingung harus menjawab apa. Lalu, aku merutuki diri dua kali karena telah merasa bingung. Kenapa juga aku merasa bingung? Memang kenapa kalau aku bilang pada Alatas kalau aku punya pacar?

Mantan—hati kecilku mengingatkan dengan dinginnya.

Aku merutuki diriku sampai tiga kali. Kami terjebak di hutan kota Kompleks 12 dengan ancaman petugas NC setiap detik. Aku harusnya memikirkan di mana kami akan bersembunyi dan beristirahat, bukannya memusingkan mantan pacar.

"Ryan itu ...." Aku menyusun-nyusun kalimat. "Cuma seseorang yang kebetulan kuketahui namanya."

Aku tidak menunggu reaksi Alatas dan langsung mempercepat langkah untuk menyusul Erion. Truck terpaksa mundur ke sebelah Alatas saat aku menyeruak.

Setelah rasanya kami berputar-putar dalam hutan tanpa ada jalan keluar sama sekali, terdengar suara dengung mesin di kejauhan. Kami mengikuti bunyi itu, yang makin lama makin nyaring serupa gerung mesin kendaraan.

Ketika kami melompati pagar semak terakhir, kami mencapai jalan raya.

Untuk sesaat, kami bersembunyi di bawah bayang-bayang, terlalu takut pada sosok-sosok berseragam hitam dengan senjata api dan Arka di sabuk mereka. Setelah memastikan beberapa pejalan kaki berpakaian layaknya warga sipil, kami berempat mulai melangkah mengendap di emperan jalan. Alatas terus menunduk di samping Truck, berusaha menyembunyikan warna matanya yang terlalu mencolok.

Ketika kami berpapasan dengan seorang pria yang warna matanya berlainan sebelah—cokelat di kiri, merah di kanan—barulah Alatas mengangkat wajah.

"Tempat ini tidak buruk," desahku seraya menatap lampu-lampu jalan redup, trotoar pecah, dan ruko-ruko kusam berlumut. "Lebih bagus dari Kompleks 4—"

Gaung sirene menyanggah ucapanku. Pejalan kaki mulai mempercepat langkahnya hingga menciptakan satu arus yang membawa kami ke jalanan yang lebih kecil. Semua kendaraan berbalik arah. Di saat seperti ini, kami melakukan hal yang sudah seharusnya dilakukan: melongo terheran-heran.

Seorang petugas dengan tonfa hitam di tangannya menghampiri kami. Erion langsung bersiap untuk menerbangkan tongkat pentungan itu bersama pemiliknya, tetapi si petugas berteriak mengomando, "Apa yang kalian lakukan?! Cepat pergi!"

Kami mengikuti arus pejalan kaki yang tergesa-gesa. Sambil masih berjalan kaki, kuberanikan diriku bertanya tentang apa yang terjadi pada salah seorang wanita paruh baya dengan mantel lusuh dan tas kecil di bahunya.

"Biasalah, ada yang dibekuk," decak wanita itu. "Paling-paling ada orang bodoh yang menggunakan kekuatannya buat merampok atau membunuh petugas yang tidak disukainya. Sudah empat kali hari ini. Bikin malu para Fervent saja."

Kami berempat segera memisahkan diri dari arus pejalan kaki dan memasuki kawasan swalayan. Meski harus berdesakan dengan banyak bahu bertabrakkan, dan Erion sesekali meleng karena aroma jajanan pinggir jalan, kami tetap mendesak maju hingga bisa mencapai belokan gang. Gang itu dikepung dua bangunan berbata merah yang sama tingginya. Tanahnya becek berlumpur, dan sampah kemasan makanan instan terapung-apung di genangan got.

"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Truck.

"Yakin," jawabku ragu. Kukeluarkan gumpalan kertas yang Embre berikan. "Setelah swalayan ... seharusnya—" Kuangkat kepalaku dan menelaah papan nama di atas pintu bangunan berbata merah. Tulisan papan itu sudah tak terbaca dan menggantung sekarat pada sebuah pakunya yang hampir lepas. "Yang ini."

Sambil berdoa bahwa aku menuntun kami ke penginapan dan bukannya pabrik pengekstrak Fervor, aku mendorong pintu dan masuk lebih dulu.

Mataku butuh waktu untuk beradaptasi dengan cahaya lampunya yang putih benderang. Lobi itu untungnya normal, tidak ada meja operasi, lemari senjata, atau mesin dengan roda berputar bergergaji seperti yang kutakutkan. Sofa-sofa butut berderet di satu sisi dan bagian tengah ruangan, meja panjang resepsionis di satu sisi dinding lainnya.

Sekali lihat saja, aku langsung tahu mayoritas pengunjung di sini adalah Fervent. Para Phantom menerbangkan tas-tas mereka tanpa memedulikan kepala orang lain yang dilaluinya, seorang bocah yang lebih tua dari Erion duduk di depan televisi di tengah lobi dan terus mengganti saluran hanya dengan kedipan mata, dan beberapa Teleporter sedang menggoda petugas hotel dengan meneleportasikan troli penuh koper bawaan pelanggan entah ke mana. Ada segerombolan pria yang mengenakan seragam Calor dari koloni Embre, tetapi kami memutuskan untuk menghindari mereka karena tidak mengenali wajah-wajah itu.

Banyak di antara mereka menenteng senjata api, seperti halnya di jalanan tadi, jadi tidak ada yang melirik senapan di punggung Alatas dua kali.

Sementara Truck dan Alatas memesan kamar, aku menemani Erion mencoba mesin minuman di sudut lobi.

Mesin ini menelan recehan terakhir kita, kata Erion jengkel ketika kopi kaleng dan jus kotakan yang kami pesan tidak kunjung jatuh.

Seorang pemuda berambut merah gelap mendekati kami dengan senyum di bibirnya yang mengapit sebatang rokok. Katanya, "Mesin ini penipu, Dik." Pemuda asing itu lantas memukulkan lengannya pada sisi mesin minuman sampai lima kaleng kopi dan tiga kotak jus berjatuhan. "Kau harus balas menipunya."

Erion berbinar. Anak itu baru hendak meraup semuanya saat aku memukul punggung tangannya. Kuambil satu kaleng kopi dan satu kotak jus yang memang kami pesan sebelumnya, lalu meninggalkan sisanya tetap di dalam. Si pemuda berambut merah tentu saja mengambil kelebihan minuman itu dan mengoperkannya pada kawanan lelaki yang duduk di sofa di belakangnya.

"Kau baru di sini?" tanya pemuda itu seraya mencampakkan puntung rokoknya ke lantai. Dia mungkin tiga atau empat tahun lebih tua dariku, atau setidaknya seumur Alatas. "Aku belum pernah melihat orang normal masuk ke hotel ini."

Aku baru akan menyanggah bahwa aku juga Fervent, tetapi kemudian teringat bahwa tidak seharusnya gadis Fervent seumuranku bisa berkeliaran tanpa dirantai atau dijebloskan ke ruangan busa, atau menetap di tempat terpencil sambil menunggu pria bodoh yang masuk ke tempatku untuk dijadikan bahan kari.

"Ya," jawabku berbohong, "mengunjungi saudara."

"Namaku Hunter," ucapnya sambil tersenyum ramah. Dia menyandar pada mesin minuman, menungguku membalas memberikan nama juga, tetapi aku hanya berdiri di sana sambil menyeruput kopi kalengku. Erion sendiri sibuk mengosongkan kotak jus apelnya. Setelah kotak jus Erion penyok, Hunter akhirnya memecah keheningan, "Apa kau tidak takut menetap di sini? Terutama dengan semua berita yang belakangan membuat jelek nama Kompleks ini?"

Wah, aku tidak sempat berlanggangan majalah atau surat kabar Fervent—tetapi kutahan diriku dan ganti bertanya, "Berita yang mana?"

"Tentang para pemberontak," kata Hunter dengan sekelebat raut heran. "Tahu, 'kan—sekelompok besar teroris yang sudah berulang kali mencoba mengambil alih Kompleks Sentral? Mayoritasnya para Fervent? Mereka diisukan bergerak kemari beberapa minggu lalu."

"Oh, yang itu," dustaku lagi, lalu meminum kopiku dengan lebih pelan agar bisa mendengar Hunter mengoceh lebih banyak. "Entahlah, aku tidak mengikuti beritanya. Aku tidak begitu peduli—tidak ada pengaruhnya padaku dan saudaraku."

"Ada pengaruhnya pada kami, para Phantom." Hunter mengedik pada teman-teman prianya yang bermain kartu di sepanjang sofa. Matanya lantas melirik Erion. "Dan, mungkin juga berpengaruh pada anak ini."

"Maksudmu?" Suaraku netral walau jantungku berdentum liar di dalam—apa dia tahu perihal Subjek 377? Erion sendiri berhasil menahan diri dari berekspresi berlebihan—dia semata mengerjap lugu pada kotak jusnya yang kempot.

"Aku melihatnya melevitasi koin-koin itu ke mesin minuman," jawab Hunter. "Adikmu ini Phantom, 'kan? Walau, kurasa kemampuannya belum berkembang."

Akhirnya aku ingat untuk mengembuskan napas. Kelegaan menjalari hatiku. "Ya, Phantom. Tapi sejauh ini dia hanya menerbangkan kerikil dan pensil-pensil."

Kutahan bahu Erion saat mendengar betapa dia merasa harga dirinya diinjak-injak. Pensil?! Aku bisa menerbangkan atap hotel ini hanya dengan satu kali bersin!

"Nah, kalau begitu mungkin para pemberontak mau saja merekrutnya untuk tugas menggambar," canda Hunter, yang membuatku harus mencubit lengan Erion karena anak itu sudah bersiap untuk bersin supernya.

"Jadi, para teroris itu sedang merekrut Phantom?" Aku mengulik lagi.

"Yang kudengar begitu."

"Tidak," sanggah teman Hunter di sofa. Dia tak menyadari temannya yang lain sedang mengintip kartu di tangannya. "Mereka tidak merekrut Phantom. Yang kudengar, para pemberontak itu sedang berlomba dengan pasukan Komandan Binta—mereka mencari seorang Phantom level atas yang sedang buron."

"Yang benar saja," tukas Hunter. "Phantom yang mampu membuat dirinya tidak kasat mata dan menjalankan sebuah kapal pesiar seorang diri? Kakakku yang Phantom-nya paling hebat di pabrik saja ambeiennya langsung kambuh saat mencoba mengangkat mobil boks sendirian. Belum lagi desas-desus bahwa Phantom buronan itu juga menguasai pyrokinesis? Itu hanya cerita yang dibuat koloni Calor dekat sini untuk menakut-nakuti permukiman Steeler yang bermusuhan dengan mereka! Aku tidak percaya Phantom macam itu ada."

Aku bisa membuatnya percaya detik ini juga, pisuh Erion. Buru-buru kukait bahu anak itu dan mengerangkengnya dengan satu tangan.

"Menurutku, para pemberontak hanya sedang mencari tambahan Phantom," lanjut Hunter, kembali fokus padaku. "Uang yang mereka tawarkan tidak main-main. Belum lagi kita berkesempatan bekerja dengan salah satu Relevia di sana."

"Relevia?" tanyaku. Pikiranku terbelah dua, antara Sir Ted atau Raios.

"Ya. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya kekuatan Relevia. Tapi, kabarnya mereka melampaui semua Fervent yang ada—bahkan melebihi Multi-Fervent."

"Benarkah?" tanyaku, pura-pura terkejut.

Hunter terkekeh puas karena dia pikir telah berhasil membuatku terkesan. "Yap! Bahkan kau bisa melihat buktinya langsung di hutan yang mengelilingi kota ini. Apa kau merasa perjalanan dari gerbang ke kota lebih jauh dari seharusnya?"

Aku mengangkat bahu. "Aku baru pertama ke sini, Kak, jadi tidak tahu."

Hunter makin besar kepala mendengar panggilan 'kak' itu. "Menurutku, Relevia itu seperti mutasi dari Phantom. Nah, setelah NC sukses dengan proyek artificial night atau langit malam buatan, ada proyek artificial gravity lagi yang sedang dicanangkan di sini. Jadi, kudengar Relevia dari kawanan teroris ini memberi kontribusi ke proyek tersebut—kalau tidak, mana mungkin dia punya akses masuk kemari, 'kan? Kau tahu, bagaimana gravitasi melengkungkan ruang-waktu? Nah, hutan di sekitar kita telah menjadi persemayamannya si Relevia—"

"Tidak begitu," bantah temannya lagi sampai wajah Hunter berubah masam. "Kurasa kekuatan Relevia lebih seperti mutasi dari Brainware. Tahu, 'kan, bagaimana Brainware bisa masuk ke kepalamu dan mengacaukan memorimu? Nah, Relevia bisa mengacau lebih dari itu—mereka mengacaukan perspektif-mu terhadap ruang dan waktu. Hanya itu. Jadi, di saat kau menyangka jaraknya dekat dan arahnya benar, Relevia sebenarnya sedang menipu otakmu—"

"Lien mengintip kartumu, Don," kata Hunter sampai temannya yang tengah bermain poker itu akhirnya berkelahi dengan lelaki di sebelahnya.

"Yah, cukup membahas para pemberontak itu." Hunter menjentikkan jarinya, dan setangkai mawar dari jejeran pot bunga di atas bordes melesat ke tangannya. "Dari tadi aku belum tahu namamu."

Mawar itu mengambang di udara ke arahku, tetapi aku menepisnya. "Aku alergi mawar," dustaku, lalu menambahkan dengan jujur, "dan cowok norak."

Aku baru saja akan membiarkan Erion bersin sampai menerbangkan Hunter ke seberang ruangan, tetapi Alatas lebih dulu menyeruak ke antara kami dengan wajah terganggu. Tangannya menyodoriku segelas teh yang masih mengepulkan asap hangat, lalu dia mengambil alih kaleng kopi di tanganku.

"Lihat, aku dan Truck dapat teh gratis—resepsionis itu baik sekali," kata Alatas. Pemuda itu tampak sengaja sekali menempatkan dirinya membelakangi Hunter. Dia kemudian menghabiskan kopi kalengku yang tinggal sedikit. "Kau boleh ambil tehku, L—" Alatas menghentikan dirinya dari mengatakan namaku, lalu meralat, "Sayang. Sudah cukup banyak kopi yang kau minum hari ini."

"Ah, maaf," ucap Hunter sambil berdecak-decak. "Aku tidak tahu cewek ini sudah ada yang punya."

"Nah, sekarang kau tahu," tegas Alatas seraya berbalik menghadap Hunter.

Namun, selang beberapa detik kemudian, kaleng kopi yang kosong menggelincir dari tangan Alatas. Dagunya terangkat ganjil, dan suara mencicit tercekik keluar dari celah bibirnya. Lalu, kulihat jari tangan Hunter membuat gestur seperti mencekik. Dengan satu lambaian tangan Hunter, Alatas terhempas ke lantai dan ditertawakan oleh teman-teman si Phantom di sofa.

"Steeler gembel." Hunter terkekeh, tidak menyadari betapa nyawanya tamat setelah ini saat kulihat pandangan mata Erion yang berkilat. Sementara anak itu membantu Alatas bangun, Hunter menghampiriku dan berkata, "Ikut dengan kami saja, oke? Kalau aku dapat pekerjaannya dan uang dari para pemberontak nanti, kau mau apa pun bakal kubelikan."

Kutunjuk cangkir teh di tanganku. "Kau mau tehku? Aku tidak suka teh."

"Apa—" Aku tak membiarkan kalimatnya selesai. Isi cangkir tehku melompat ke wajahnya sampai pemuda itu terlonjak mundur. Sambil menggerung dan megap-megap, Hunter mengusap kasar wajahnya yang memerah. "Dasar cewek jal—"

Begitu Hunter membuka mata, sumpah serapahnya hilang di kerongkongan karena Truck sudah berdiri menjulang di hadapannya.

"Kau ada masalah dengan saudariku?" tanya Truck dengan suara rendah dan mengintimidasi. Teman-teman Hunter segera balik badan dan berpura-pura melanjutkan permainan kartu mereka. Truck bahkan tidak membiarkan Hunter menjawab. Dia langsung meraup leher si lelaki Phantom dengan satu tangan, lalu melemparkannya ke sisi seperti menepis ranting pohon yang menghalangi jalan. Begitulah semuanya berakhir—tidak ada yang berani mendekat untuk melerai atau menolong Hunter berdiri. Bahkan tidak satu pun yang berani menatap mata Truck.

Truck dengan rengutan permanen itu menarik Alatas sampai berdiri, lantas menyeretnya ke lorong menuju tangga. Aku dan Erion buru-buru mengekor tanpa mengacuhkan pandangan mata orang-orang yang menonton.

Kusempatkan diri untuk berucap, "Terima kasih sudah membelaku, Tru—"

"Aku membela Alatas, bukan kau."

"Oh," kataku. "Sejak kapan Alatas jadi saudari-mu?"

"Aku tadi baru mau membalasnya," kata Alatas seraya menepis tangan Truck yang masih menyeretnya di kerah jaket. "Padahal aku baru akan—"

"Dan terima kasih sudah membelaku juga tadi," kataku seraya menepuk-nepuk lengan Alatas. Ekspresi wajahnya melonggar, dan senyumnya terulas. Lalu, buru-buru kutambahkan sambil membalas senyumnya, "Tapi, kalau kau berani memanggilku 'sayang' sekali lagi, aku akan menyiram air mendidih ke wajahmu."

Truck menyuruh kami naik lebih dulu sementara dia mengambil jatah makan malam yang disediakan penginapan di pantri. Erion lebih memilih mengikuti Truck ketimbang membawa semua tas kami menaiki tangga sampai lantai tiga.

"Nomor 392," sengal Alatas dengan semua ransel dan senjata api menggelayut di badannya saat kami sampai. Aku sendiri langsung menjatuhkan ransel dan tas selempang Erion ke depan pintu kamar kami untuk menyeka keringat di hidung.

"Tunggu," kataku saat Alatas membuka kunci. "Apa aku juga tidur di ...."

Alatas melirik segan padaku. "Truck hanya memesan satu kamar."

Begitu Alatas masuk sambil menyeret tas kami, aku malah terpaku di ambang pintu. Erion masih 10 tahun, aku tak mempermasalahkan tidur dengannya. Sekamar dengan Truck pun tidak jadi masalah besar—dia tidak pernah menganggapku sebagai anak perempuan, dan aku jarang menganggap Truck sebagai anak manusia.

Alatas ... lain soal. Saat kami masih di hutan, atau bekas mall, atau bungker, setidaknya aku masih punya ruang gerak untuk menghajarnya, kalau-kalau terjadi suatu hal yang diinginkan Alatas. Namun, kamar penginapan ini tidak seluas bungker. Seluruh perabotnya seolah dijejalkan paksa masuk ke dalam—satu tempat tidur besar yang muat untuk dua orang seukuran Truck; kamar mandi di sampingnya; meja dan lemari besar di seberang ranjang; dan nakas di satu sisi ranjang yang membuat ruangan tampak makin penuh.

Alatas menghampiriku di depan pintu. "Kalau kau mau, aku akan pesankan satu kamar lagi di sebelah—"

"Tidak," desahku. "Uang dari Embre harus diirit. Toh, kita tidur bergiliran."

Lalu, aku teringat Alatas tidak pernah tidur.

Sebelum aku berubah pikiran, Erion dan Truck datang lebih cepat dari dugaan dengan setroli makanan yang dibungkus dalam wadah sekali pakai.

Kami makan di dalam dengan duduk berdesakkan di lantai. Bahkan Truck harus duduk di kosen jendela dengan menyandar ke teralinya. Saat aku baru menghabiskan telurku, Alatas membuka ranselnya dan berkata, "Lihat apa yang kuambil—Nyonya resepsionis itu baik sekali membiarkanku meminjam ini gratis."

Dia memamerkan papan permainan ular tangga dengan dadu dan bidaknya, membuatku tak tahan untuk tidak bicara, "Umurmu berapa, Alatas?"

"Mereka di lobi itu bermain kartu, monopoli, dan video game," geram Truck. "Dan kau memilih untuk menyewa papan ular tangga?!"

Bibir Alatas mengerut. "Cuma pas main ini aku tidak kalah memalukan."

"Kau main ini saja sudah memalukan!"

Setelah makan, kami meladeni Alatas dan permainannya sebentar. Pada akhirnya, Erion melibas kami semua—anak itu sampai ke petak seratus lebih dulu. Aku curiga dengan guliran dadu-dadunya yang terus mengeluarkan angka enam dan angka-angka tertentu yang membuat anak itu selalu terhindar dari buntut ular, tetapi tidak ada yang mengatakan apa-apa karena menuduh anak 10 tahun curang setelah kalah bermain dengannya malah lebih memalukan.

Kasur! Erion langsung melompat ke atas tempat tidur, membuat kusut seprai serta selimutnya. Tangan dan kakinya terentang, memonopoli ranjang seorang diri.

"Kau mesti berbagi tempat tidur," kataku.

Truck boleh tidur di bingkai jendela, ucapnya seraya menyengir. Kau dipangku Alatas saja.

"Saat kau sudah lelap nanti, aku akan memindahkanmu diam-diam ke WC dan membuatmu tidur di atas kloset duduk," ancamku sampai Erion bergeser.

Empat jam pertama, aku dan Erion dibiarkan tidur lebih dulu. Truck dan Alatas bemain ular tangga di dekat jendela—satu-satunya petak lantai yang cukup lengang untuk diduduki.

Aku beberapa kali terbangun karena Alatas dan Truck bertengkar dengan berbisik-bisik, mengatai satu sama lain curang dan melemparkan panggilan yang terdengar kekanak-kanakan—semua kosakata yang bahkan Erion sekali pun merasa sudah terlalu besar untuk mengucapkannya. Karena mengantuk, kuputuskan untuk tidak melerai. Mereka 17 dan 19 tahun—boleh jadi Alatas sudah 20 tanpa kami sadari—umur yang cukup untuk memahami bahwa saling bunuh dengan kekuatan super hanya karena ular tangga adalah perbuatan idiot.

Sesekali, Erion berusaha memasukkan kakinya ke mulutku, mengigau mendapatkan sepasang sepatu baru. Posisi kepalanya tahu-tahu sudah berada di sudut ranjang, badannya melintang dari ujung ke ujung dengan kaki yang menendang mukaku. Saat aku mencoba membenarkan posisinya, dia berputar sendiri sampai kakinya membentur kepala ranjang. Sensasi kelelahan menghajar raja Calor membuat tidurnya tidak tenang belakangan ini. Mimpi mendapat sepatu baru itu tercampur dengan mimpi aneh di mana dia mengguyur Pyro dengan air teh.

Empat jam selanjutnya, Truck yang tidur di samping Erion. Dia mengantisipasi penganiayaan yang akan dilakukan anak itu dalam tidur dengan menaruh guling sebagai pembatas di antara mereka berdua. Aku ingin memberitahunya bahwa guling saja tidak akan cukup untuk menghentikan Erion, tetapi Truck langsung mengorok begitu kepalanya menyentuh bantal.

Alatas menawariku bermain ular tangga untuk menghabiskan waktu, tetapi aku menolak dengan pandangan malas. Aku memanfaatkan mesin pembuat kopi di atas nakas dan membuatkan minuman hangat untuk kami berdua. Alatas sedang duduk di balkon dan membiarkan jendela terbuka saat aku memberikan gelas kopinya. Satu tangannya memainkan dadu, tangan lainnya mencengkram terali jendela.

"Terima kasih." Dia memasang cengiran dan mencampakkan dadu untuk menerima gelasnya. Alatas menyeruput kopinya dengan hati-hati, lalu menarik napas dengan dramatis. "Rasanya seperti cinta."

Tanpa mengacuhkannya, aku mengambil tempat di depannya, ikut mengamati pemandangan Kompleks 12 yang sebenarnya tidak banyak untuk dilihat.

"Rasanya pahit dan manis," lanjut Alatas, sepertinya tidak peduli pada delikan tajamku. Pemuda itu mengangkat sedikit gelasnya—"Pahit." Lalu, kepalanya mengedik ke arahku dengan mata mengerling. "Dan manis."

"Alatas." Aku memperingatkannya sampai pemuda itu tutup mulut.

Selama beberapa menit, aku berhasil bertahan dengan pemikiranku sendiri, mengabaikan mata Alatas yang terus memerhatikanku. Namun, aku tidak mungkin bertahan selama empat jam ke depan tanpa merasa wajahku dibakar oleh tatapannya. Aku mendelik ke arahnya, dan dia tersenyum bodoh kepadaku.

"Sejak kapan kau tahu Erion itu Peredam, persisnya?" ungkitku sambil melirik Erion yang mulai merayap dalam lelap, mencoba menginvasi bagian ranjang Truck.

Akhirnya, mata Alatas menghindari tatapanku. "Sejak kau memberi tahu."

"Ha?"

"Sejujurnya, Truck dan aku sama sekali tidak tahu Erion adalah Peredam. Kami juga kaget saat kau memberi tahu kami di pesisir pantai waku itu. Jadi, kami cuma ... berimprovisasi agar Erion jadi lebih tenang. Tapi, kami memang sungguhan tidak mempermasalahkan kalau dia Peredam atau apa."

Tangannya mencuili terali jendela sampai ruas-ruas itu berubah bentuk jadi huruf S peyot. Sesekali, matanya mencuri lihat ke arah Erion.

"Tapi—" Aku mengingat-ingat. "Dulu, saat kau menjelaskan Fervor kepadaku, kau pernah bilang bahwa kau menggaliku keluar dari reruntuhan karena menyangka ada Peredam di bawah sana—kau menyangka aku ini Peredam."

"Detektor-ku hanya berfungsi dengan benar kalau yang bersangkutan sedang menggunakannya, Leila. Erion nyaris tak pernah menggunakan Peredam-nya. Dan lagi, saat itu kita di hutan—ada banyak sekali Fervor yang terasa, bahkan dari Fervent yang sudah mati sekali pun."

Kusandarkan kepalaku ke kosen jendela, berusaha menahan kantuk. Seberapa banyak pun kopi yang kutelan, rasa lelah tetap mengambil alih. Aku harus sering mengerjap dan meminta Alatas agar terus mengajakku bicara. Dari sekian banyak hal untuk diobrolkan, dia malah bertanya, "Bagaimana rasanya tidur?"

"Em, seperti ... tidur." Karena aku sadar benar bahwa jawaban itu terdengar bodoh, aku menambahkan, "Tidak terlalu terasa, sebenarnya. Satu detik kau terlelap, detik berikutnya tahu-tahu saja kau terbangun."

Alatas gagal menyembunyikan tatapan irinya saat dia mengamati Truck dan Erion. "Aku cuma ... kangen bermimpi lagi."

"Walau pun itu mimpi buruk tentang adikmu?"

Aku langsung menyesali pertanyaan itu. Alatas menegakkan punggungnya waspada, matanya fokus kepadaku sampai-sampai aku tertunduk.

"Maaf," kataku pelan, tetapi tempat ini begitu sunyi. Bahkan di antara suara Truck yang mengorok, aku yakin Alatas mendengarku. "Aku ... tidak sengaja melihatnya—masa lalumu. Dan mimpi buruk itu. Benar-benar tidak sengaja."

"Kapan?"

Aku tidak bisa memutuskan apakah dia marah—suaranya tidak menunjukkan apa pun. Aku juga tidak berani mendongak untuk memastikan raut mukanya. Alatas pernah memaafkanku satu kali karena aku masuk ke kepalanya saat di Garis Merah sampai aku tahu perasaannya padaku waktu itu, tetapi ini urusan lain. Ini masa lalunya, yang tidak pernah dibicarakannya pada siapa pun, bahkan pada Truck.

"Saat kau tertembak."

"Kau melihat semuanya?" tanyanya. Nada suaranya masih monoton. "Termasuk saat aku menemui Kea—gadis Brainware itu?"

Aku bisa saja berbohong, tetapi kudapati diriku menjawab, "Ya."

"Dan permintaanku padanya?"

"Ya."

Kudengar Alatas menghela napas. Begitu kuberanikan diri untuk mengangkat wajah, Alatas tengah bersandar dengan pipi menempel ke terali. "Ya, sudah."

Aku menelan ludah. "Kau marah?"

"Marah karena kau melihat ingatanku?" kata Alatas. "Itu sama saja dengan marah ke Erion karena meredam kekuatanku." Dia menggeleng. "Konyol kalau aku marah karena hal-hal itu. Kekuatan kita bisa jadi kelemahan kita semua, 'kan."

Aku menekuri kopiku yang mulai dingin dengan rasa bersalah. "Kau tidak perlu memendamnya sendirian kalau kau merasa kangen pada keluargamu."

"Tapi aku merasa aneh—tidak wajar—karena aku merindukan orang-orang yang bahkan sudah tidak tahu bahwa aku ada." Alatas menunduk menekuri kakinya. "Tapi itu memang salahku."

Wajahnya terangkat, dan pandangannya terlontar ke kaki langit yang pekat. Matanya seakan menyerap kegelapan malam. "Kadang aku berharap ... ada suatu tempat di luar sana—semacam tempat aman untuk Fervent dan orang normal, di mana kita bisa bercampur tanpa saling buru atau dimanfaatkan. Truck bilang, itu bodoh—tapi, tetap saja ... seandainya tempat macam itu ada, orang tuaku tidak perlu menyembunyikan kekuatanku, dan aku tidak perlu khawatir pada tanggapan orang-orang normal di sekitar keluargaku."

Alatas membenarkan posisi duduknya. Wajahnya berjengit sedikit, tetapi dia buru-buru menghapusnya dan kembali menatap ke luar jendela. Kulirik dada kemeja pemuda itu, entah kenapa teringat pada memori Embre sebelum ini—luka jahitnya masih ada dan dia terus mengangkat barang-barang berat, belum lagi bekas luka bakar dari arena para Calor. Perban Alatas harus diganti, dan tidak satu pun dari kami ingat untuk melakukan itu. Jadi, kubongkar bawaanku untuk mengambil perban dan krim antibiotik yang Embre berikan.

"Buka bajumu," perintahku dingin untuk mengantisipasi reaksinya. Alatas mengerjap, matanya bergantian mengamati wajahku dan perban. Senyum jailnya mengembang, dan sebelum candaan kotornya keluar, aku mendahuluinya, "Kalau kau berani berkomentar yang tidak-tidak, aku tidak akan bicara lagi padamu."

"Baik, Bu," sahutnya seraya menunduk cepat. Dia membuka jaket kulit dan kemejanya dengan patuh, lalu melemparkan pandangan ke luar jendela. Aku benar-benar mengapresiasi tindakannya yang menghindari tatapanku sementara aku melepaskan perban lama dan membersihkan bekas lukanya.

"Kalau kau merasa perban ini sudah harus diganti, seharusnya kau bilang," kataku untuk mengisi keheningan.

"Truck pernah mengganti perbannya sebelum kami menemukanmu di ... pangkalan Bintara waktu itu," beri tahu Alatas. Dia tampaknya menghindari frasa lokasi-tewasnya-ayahmu. "Tapi Truck buas sekali—dia seperti ingin menjadikanku mumi dan ikatannya terlalu kencang. Jadi ... aku bohong padanya bahwa lukaku sudah benar-benar membaik setelahnya."

Alatas secara spontan menunduk saat aku memasangkan kemejanya kembali. Mata kami bertemu selama dua detik penuh sampai wajahku seperti terbakar sebelum kemudian pemuda itu kembali membuang muka. Kurasakan debar jantungnya di bawah tanganku persis seperti saat dulu dia menggendongku menuju bungker Raios. Kegugupan merasukiku saat aku mengancingkan kemejanya, dan aku bertanya dengan bodohnya, "Bisa kau pelankan detak jantungmu?"

"Aku tidak bisa mengontrolnya," jawabnya begitu saja.

Aku baru tahu bahwa berada sedekat ini dengan seseorang bisa membawaku seketika menyusup masuk ke dalam otaknya. Karena itulah yang terjadi walau aku tidak berniat melakukannya sama sekali. Detak jantungku seolah menggandakan dirinya sampai ke batok kepala saat aku melihat bayangan yang tengah Alatas coba tahan di dalam otaknya. Sebelum wajahku meledak oleh rasa panas, aku mencoba beralih ke sisi lain dari perasaannya—caranya menyayangi saudara dan saudarinya ... aku anak tunggal, jadi perasaan macam itu cukup asing bagiku.

Jantungku malah berdetak dengan aneh. Napasku terasa berat.

Aku mencoba untuk menjauh dari isi kepala Alatas—sulit sekali. Ia berpengaruh kelewat besar terhadapku, lebih daripada pikiran Erion. Pikirannya serupa permukaan danau jernih, begitu mudah dilihat dasarnya, terus menggodaku untuk menceburkan diri ke dalamnya. Sementara kebanyakan orang menyimpan dendam dan kebencian, Alatas masih bersikeras memegangi harapan seperti tangan anak kecil mempertahankan balon. Benaknya begitu mengundang. Dan, saat aku melihat matanya, pikirannya seolah mencengkramku lebih kuat, menarikku lebih dekat. Hijau ... biru ... Aku seperti melihat laut di tengah langit. Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku butuh berkedip, tetapi mataku tidak menurut.

Satu detik yang mematikan, Alatas menyadariku tengah memerhatikannya, dan dia balas menatapku. Matanya bergulir di seputar wajahku, tetapi selalu kembali memaut mataku.

Suasana yang mendadak hening seolah mendorong kami berdua. Alatas mendekatkan wajahnya, kelopak matanya turun, dan aku menirunya. Tangannya di bawah daguku, menarik wajahku ke arahnya dengan gerak lambat yang intens.

Tepat saat aku merasakan Alatas yang bernapas lembut di hidungku, Truck menggerung tercekik, "Hek—Binta sialan!"

Kami tersentak sampai jidat kami berbenturan, lalu menoleh bersamaan. Di atas tempat tidur, Erion berulah dengan berguling ke atas perut Truck. Anak itu mengigau memanjat pohon mangga, kedua kakinya menjepit leher Truck.

"Sialan—" Truck juga mengigau. Hanya masalah waktu sampai keduanya saling cekik dengan Truck yang mengira Erion adalah Binta, dan Erion yang menyangka Truck adalah pohon mangga.

"A, aku akan pisahkan mereka." Aku buru-buru bangkit dan pura-pura tidak memerhatikan wajah Alatas yang memerah saat pemuda itu buru-buru menunduk.

Suaranya agak goyah saat menjawab terbata, "Eh, i, iya. Ide bagus."

Erion merekat kuat ke badan Truck. Matanya berkedut sedikit saat aku berhasil mengangkatnya, tetapi dia tidak terbangun. Setelah aku mengembalikan posisinya, Erion kembali pulas, dan Truck bernapas dengan lebih tenang sebelum nada suara mengorok yang konstan itu kembali.

Aku melirik Alatas, menimbang apakah aku mesti kembali duduk di depannya. Namun, pemuda itu keburu berdiri dan menyeret langkah ke pintu. Wajahnya masih merah sampai ke leher, seolah-olah dia bakal meletus sebentar lagi. Matanya menghindari kontak pandang denganku.

"A, aku akan keliling sebentar. Memeriksa keadaan kalau-kalau—yah ... anu, misal ada Fervent gila kesasar sekitar sini."

Dia setengah berlari, tersandung-sandung keluar dari kamar.

Aku yang tertinggal seorang diri, terjaga di kamar hotel, menangkup wajah dengan panik. Sekujur tubuhku seperti dilanda demam. Perutku seperti terlipat. Kakiku kepengin menghentak-hentak lantai sampai ambruk.

Aku mencoba mengalihkan pikiran pada pohon mangga yang tengah dipanjat Erion dalam mimpinya, atau suara mengorok Truck. Aku berusaha memikirkan hutan, dan cerita tentang kaum pemberontak, tetapi ingatan akan sosok dan suara Alatas mendesak semua bayangan itu sampai lenyap. Sampai hanya ada dia yang memenuhi pikiranku.

Aku ini kenapa?!

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Well, saya merinding, nda jago bikin adegan romans-romans-an, saya cuma jago nge-prank pembaca

Eniwei, terima kasih, Truck dan Erion, yang menjaga cerita ini tetap scifi-comedy-action dan menjauhkan RavAges dari romansa Alatas-Leila.


O iya, ada sesuanu nih '-')/ yang bisa mengingatkan kita pada pertemuan pertama mereka di chapter awal-awal.

Hmm '-'


Apa-apaan itu? Kenapa dia pakai panel?


Kenapa ada dialog?


Kenapa saya mempertanyakan ini pada kalian?


Apakah


RavAges


bakal


jadi


komik


di


sebuah


web???

???????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????


Apakah


RavAges


Tersedia


di


Webtun celeng??????????????

??????????????????????????????????????????????????????






Ataukah


Konspirasi \( '-' )/

/insert backsound konspirasi wahyudi di sini/


Iya

Kami memang cuma lagi nyari dosa tambahan (seolah masih kurang)

dengan ngerjain orang

Bo'ong kok, belom ada komiknya


Iya

ini cuma prank

Sudah saya bilang kan, saya cuma pinter nge-prank pembaca


Tapi doain aja suatu hari bisa beneran, saya bisa kasih pengumuman ini suatu hari tanpa embel-embel prank


Prank ini di-sponsori oleh:

✧ \( °∀° )/  sonozakirei  \( °∀° )/ ✧


Prank ini digagas oleh:

✧ \( °∀° )/  sonozakirei  \( °∀° )/ ✧


Prank ini diproduseri oleh:

✧ \( °∀° )/ sonozakirei \( °∀° )/ ✧



Follow ig doi ya guys, Lentera_4

Bisa pesen gambar kece,

atau kalau mau menyalurkan makiannya karena udah di-prank, mari dilimpahkan ke sana

Uhueheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheheh


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro