#68

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #68 | 4980 words |

TIGA REMAJA dan satu bocah tunarungu. Saat aku menemukan mereka, tak terlintas di pikiranku sedikit pun, "Aha! Akan kugunakan mereka dan si bocah ini untuk menggulingkan Pyro dari singgasananya!"

Malah, fokusku lebih dulu tertuju pada laki-laki Steeler yang kukenali dari toko roti milik Marin—dia menghuni permukiman Steeler tak jauh dari sini. Tempat itu dikuasai Tora, yang bertahan hidup melalui perdagangan Fervent, senjata ilegal, dan logam mulia. Sudah sejak lama koloni bersitegang dengan mereka, jadi kurasa Pyro akan senang jika kubawa Steeler ini ke hadapannya untuk dibakar.

Ini pengalih perhatian sekaligus hiburan yang bagus buat Pyro—sudah seminggu belakangan dia senewen karena banyaknya prajurit kami yang hilang di perbatasan Kompleks 12, dan saat di bawah tekanan, Pyro senang menjumput sembarang orang dalam koloni untuk dikirim ke dalam pasukan Komandan Binta sebagai pertukaran untuk permintaan bantuan. Satu kali, dia bahkan mengirim kakak Ash yang masih belia—kami tak pernah melihatnya lagi sejak itu.

Setelah teman-temanku membawa si Steeler yang masih semaput ke hadapan Pyro, Pascal datang dan mendesakku untuk menyelamatkan salah satu tawanan yang tersisa. "Aku kenal dia, Embre! Dia cewek waras yang kuceritakan waktu itu—cewek pertama yang tidak mencoba mencopot kaki dan tanganku."

Pascal baru bergabung bulan lalu. Aku tahu dia punya banyak pengalaman yang kurang mengenakkan dengan Fervent perempuan yang masih muda. Dia juga punya banyak kenangan buruk tentang NC, Garis Merah, Kompleks, Komandan Binta ... nah, kurasa seumur hidup Pascal hanya diisi pengalaman buruk. Dilatih dan seketika diceburkan ke medan perang sejak usia dini membentuk Pascal menjadi sosok yang tampak tangguh di luar, tetapi memiliki banyak kerusakan di dalam. Namun, berkat pengalaman tempurnya pulalah dia menjadi kesayangan Pyro dalam waktu singkat.

"Meredith?" tanyaku.

"Bukan." Pascal menggeleng. Matanya terus memaut sosok si remaja cewek yang masih teler di antara teman-temannya. "Leila—cewek yang dulu kuceritakan kabur bersamaku. Dia bilang, orang tuanya menyembunyikannya selama ini. Jadi, dia tidak pernah masuk Herde atau menyentuh PF13."

Orang tua yang bisa menyembunyikan anak Fervent-nya dari NC bukan orang sembarangan. Anak ini—atau orang tuanya, kalau masih ada—bisa berguna.

"Baik," kataku. "Kita selamatkan yang cewek, dan ...." Kusibak poni si pemuda yang lebih kurus, lalu mendapati matanya berkedut. "Aku tahu kau bangun."

Matanya malah memejam makin rapat sampai membuat kerutan-kerutan kecil di sekitar kelopaknya. Hidungnya berjengit dan pipinya mengerut naik. Aku bisa saja ikut berakting dan berucap sok bodoh, "Wah, ternyata benar-benar pingsan," tetapi rasa kasihanku tidak sebesar itu.

"Aku tahu kau bangun," ulangku dengan lebih menggertak. Kuinjak bahunya sampai pemuda itu meringis. "Hei, cewekmu dan bocah itu sudah dibawa teman-temanku untuk dijadikan barbecue."

Pemuda itu buru-buru bangkit. Matanya memelotot kaget, lalu pandangannya jatuh pada tangannya sendiri yang masih memegangi tangan Leila. Sepasang matanya yang berbeda warna sebelah lantas memindai sekitarnya sampai menemukan si bocah yang menggeletak di atas si pemuda berbadan besar.

Menyadari bahwa kedua temannya masih ada, pemuda itu berkata dramatis, "Kau bohong."

Pascal dan aku bertukar pandang. Walau tak bersuara, aku yakin kami bertanya-tanya akan hal yang sama: bagaimana bisa di bodoh ini masih bertahan hidup sampai sekarang?

Ditilik dari kondisi khususnya—heterochromia, masih sadar meski berada dalam keadaan fisik di mana seharusnya dia sudah pingsan—pemuda ini juga Steeler. Dia pernah masuk Herde, diterapi dan diberi PF13. Karena dia tidak bereaksi saat kami membawa lelaki Steeler lainnya barusan ke hadapan Pyro, jadi kuasumsikan anak ini bukan bagian dari permukiman Tora. Barangkali dia salah satu dari segelintir Fervent yang berhasil kabur dan menyeberang kemari, lalu dengan sialnya tersasar ke permukiman para Steeler—hanya itu penjelasan yang masuk akal kenapa dia dan teman-temannya bisa melompat turun dari sebuah mobil truk milik toko rotinya Marin.

Sementara aku berpikir-pikir mesti kuapakan para tahanan ini, Pascal terlibat adu tarik dan dorong dengan si pemuda Steeler. Pascal tampaknya mencoba mengangkat Leila, tetapi si Steeler kukuh mempertahankan ceweknya.

"Pascal," panggilku sampai dia menoleh.

Jeda itu dimanfaatkan si pemuda Steeler untuk menarik Leila kembali. Karena momentum yang buruk—atau sepertinya cedera kaki karena aku bisa melihat kakinya yang agak timpang sebelah—pemuda itu tersaruk mundur oleh beban tubuh Leila, dan terduduk di atas lengan temannya yang berbadan besar.

Setelah ditimpa dan tangannya digencet seperti itu, sungguh hebat si laki-laki besar tak terbangun. Jika bukan karena dengkurannya, aku pasti mengira dia sudah mati. Sebelum ini, saat aku mengecek cedera mereka, aku hanya menemukan sedikit jejak darah di bajunya, tetapi tidak ada luka, jadi kurasa si besar itu Cyone.

"Hei, sudah," kataku seraya menahannya saat Pascal mencoba menarik Leila lagi. "Biarkan saja. Memang cewek itu mau kau bawa ke mana? Mau kau tenteng-tenteng di jalan sementara kau bertugas jaga gerbang depan? Tinggalkan saja di sini—mereka akan aman selama Pyro tidak tahu kehadiran mereka."

Kusuruh semua rekan patroliku untuk membawa sisa tawanan, lalu kudorong Pascal agar kembali ke pos jaganya sebelum dia kembali tergoda untuk rebutan cewek dengan si pemuda Steeler. Namun, Pascal tampaknya masih enggan melepaskan pandangan dari para tawanan.

"Kau sepertinya sedang sial hari ini," kata Pascal mendadak.

Kuangkat sebelah alisku. "Kenapa?"

"Itu Subjek 377, harga kepalanya 7 triliun di Kompleks 1," beri tahu Pascal dengan suara berbisik. Jarinya menunjuk bocah laki-laki yang tak sadarkan diri dalam lindungan tangan si lelaki Cyone. "9 triliun kalau ada yang bisa mengantarnya utuh-utuh ke Kompleks Sentral. Kalau NC sudah pasang harga seperti itu, kau tahu apa artinya?"

Kutelaah sosok si bocah. Dengan alat bantu dengar di telinga dan tubuh sekecil itu, sulit memercayai betapa berharganya dia buat NC.

"Dari mana kau tahu?" tanyaku, yang mana adalah pertanyaan bodoh. Pascal pernah bekerja untuk NC, berpindah Herde empat kali, sempat bergabung dalam aliansi pemberontakan, bahkan menyusupi Kompleks 1 sebagai seorang Pemburu. Dia memegang banyak informasi yang hanya bisa diketahui orang dalam.

"Semua yang pernah masuk ke Kesatuan Pemburu tahu Subjek 377," bisik Pascal lagi. "Status anak itu tidak disebar sembarangan untuk menghindari pihak lain yang mungkin akan mengejarnya juga, tapi tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga si Komandan Sialan. Baru-baru ini Komandan memasang harga dua kali lipat dari penawaran Kompleks Sentral karena anak itu menghancurkan salah satu pangkalannya. Anak itu terlahir dengan Phantom, X, Peredam, dan Teleporter."

Aku kehilangan kata-kata untuk sesaat. "Dan semua Fervor-nya berkembang?"

Pascal mengangguk. "Andaikata sistem Herde dan Pusat Karantina masih jalan, bocah itu pasti sudah berada di Kompleks Sentral sekarang, bersama Relevia muda terakhir. Para petugas Pusat Karantina yang sempat jadi saksi hidup bilang, anak itu tak bisa ditangani saat kedatangannya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk 'menihilkan' Teleporter-nya—keputusan tolol. Gara-gara itu Markas Pusat marah besar. Tapi tampaknya dengan kehilangan Teleporter-nya, seluruh Fervor si kecil itu terkonsentrasi pada Phantom dengan lebih efektif, menjadikan bocah itu Phantom terbaik untuk saat ini."

Multi-fervent dengan dua jenis kekuatan saja sudah langka, dan kebanyakan Multi-fervent dengan tiga atau lebih jenis kekuatan tidak memiliki akurasi Fervor yang baik—mereka cenderung lebih mudah terdistraksi dan lambat berkembang. Bocah itu seperti tambang emas terakhir di dunia.

Segera saja aku memahami maksud Pascal. Jika Pyro tahu kami menangkap anak macam itu, dia takkan pikir panjang untuk menjualnya, tetapi itu berarti kami akan menjadi musuh si Phantom cilik. Aku lebih suka kalau kami menyimpannya di koloni, tetapi kurasa bocah itu takkan mau—dan kalau dia sampai kabur, Pyro akan memenggalku karena tawanan itu adalah tanggung jawabku.

"Menurutmu ..." kataku memulai, "mungkinkah ada potensi tumpang tindih fungsi Fervor pada Phantom-nya? Seperti Icore yang bisa menyalin Fervor lain?"

Pascal melipat bibirnya ke dalam. "Jujur saja, Em, aku tidak berani berharap apa-apa. Bocah itu bahkan belum puber, yang artinya kematangan Fervor-nya belum sempurna. Tapi ... kudengar dia membantai sekoloni Icore di distrik lama."

"Kau tidak berani berharap—tapi kau mengangkat harapanku."

"Pokoknya, kalau aku jadi kau, aku akan membuang anak itu ke luar dan pura-pura tak pernah menangkapnya," kata Pascal lagi. "Dia bisa jadi lawan yang menyusahkan kalau sudah besar nanti, dengan asumsi dia bisa bertahan hidup selama itu."

Aku menukas, "Tidak bisa. Para remaja tadi melindunginya. Membuang satu bocah itu, artinya aku harus melepaskan yang lain juga."

Pascal mengangkat bahu. Dia lantas berbalik untuk kembali ke pos jaganya. Sebelum pergi, dia menyempatkan diri mewanti-wantiku, "Aku tidak peduli pada yang lain. Pastikan saja yang cewek selamat."

Ketika aku akan pergi juga, ekor mataku menangkap pergerakan si pemuda Steeler. Aku menoleh, dan langsung menyesal karenanya—mendadak aku jadi kasihan saat melihatnya memegangi rusuk dengan satu tangan. Langkahnya agak pincang, dan dia tampak mati-matian mempertahankan teman-temannya yang akan diangkut ke lorong tahanan.

Mati-matian kukesampingkan perasaan simpati itu, tetapi ujung-ujungnya gagal juga. Kuhampiri semua teman patroli yang seumur hidup tak kuketahui namanya, dan aku tak mau repot-repot bertanya. Kataku, "Hei, anggap mereka tamu! Terutama cewek itu—kalau dia sampai lecet, kalian akan berurusan dengan Pascal!"

Sementara mereka mengeluh dan bekerja sama menyeret lelaki paling besar lebih dulu, kudekati si pemuda Steeler yang tersandar ke dinding lorong. "Kau kenapa?"

Pemuda itu tampaknya sudah tidak bisa bicara. Wajahnya basah oleh keringat, dan tangannya mengencang pada bagian bawah rusuknya. Dia tersengal, tetapi napasnya masih cukup normal—kurasa rusuknya tidak patah. Dari cara tangannya yang menekan satu titik seolah mencoba menahan sesuatu di sana, artinya entah itu luka tusukan atau ....

"Luka tembak?" tebakku.

Butuh setengah menit untuk pemuda itu menjawab, "Seharusnya sudah sembuh."

Kusingkap jaket kulitnya, lalu mendesis jijik. "Berapa tahun perban itu tidak diganti?"

Kukeluarkan perban baru dari tas kulit yang selalu kubawa di sabuk seragam. Selama beberapa menit, kubantu pemuda itu membersihkan bekas lukanya dan mengganti perbannya. Sesekali, kudapati matanya mengamati Leila dan si bocah bergantian seolah takut mereka lenyap mendadak.

"Ke mana mereka membawa Truck?" tanya pemuda itu setelah dia sanggup bicara.

"Mobil kalian sudah meledak," jawabku acuh-tak-acuh.

"Bukan," ringisnya. "Truck itu temanku yang tadi—hei!"

Sebelum aku mengetahui kenapa dia berteman dengan sebuah mobil truk, pemuda Steeler itu sudah diseret oleh teman-teman patroliku untuk menyusul si lelaki Cyone yang sudah dibawa lebih dulu. Beberapanya mengangkat Leila seperti membawa barang pecah belah karena takut pada Pascal, dan salah satunya menggendong si bocah Multi-fervent.

Sampai sana, kukira itulah kali terakhir aku melihat mereka semua. Aku sempat memberi petunjuk pada si bocah sakti yang ternyata bernama Erion itu, kalau dia bisa saja menggunakan Phantom-nya untuk mengendalikan api, tetapi tampaknya dia masih terlalu hijau untuk paham.

Aku memperhitungkan bahwa si bocah Multi-fervent akan selamat sendirian di atas arena Pyro. Si Cyone bertubuh besar itu (yang rupanya adalah 'Truck') 50% akan mati terbakar setelah berjam-jam terkurung dalam api Pyro, atau 50% berhasil kabur dengan banyak luka bakar. Cewek itu akan diselundupkan keluar oleh Pascal tanpa diketahui oleh siapa pun. Sedangkan si pemuda Steeler bakal mati terbakar.

Semua perkiraanku benar tak sampai separuhnya.

Si bocah sakti selamat tanpa luka—yang itu benar. Truck bertahan hidup melewati masa kritis setelah cardiac arrest. Leila selamat karena keberuntungan, bukan Pascal. Dan Alatas si pemuda Steeler masih hidup meski memang sempat terbakar di atas arena.

Kuubah perhitunganku setelah Leila dan Erion memenangi pertarungan di arena. Alatas dan Truck bisa saja menyelinap keluar dengan mudah, tetapi keduanya menolak pergi tanpa Leila dan Erion. Jadi, ada dua jalan keluar di sini. Pertama, kami bisa selundupkan keempatnya keluar, tetapi Pyro akan murka dan barangkali membunuh beberapa dari kami karena gagal menjual tahanan berharga pada Komandan. Kedua, kami biarkan Leila dan Erion dijual, lalu kami menghubungi T. Ed Company untuk mengadu domba mereka dengan pasukan Komandan sambil berdoa koloni takkan terlibat. Bukan pertarungan besar, tapi kami mungkin bisa memicu sedikit kericuhan untuk membebaskan tahanan.

"T. Ed Company?" tanya Pascal berbisik sembari melirik sekitar, memastikan tak ada yang mendengar kami di keheningan lorong tawanan. "Kenapa?"

Aku memutar bola mata. Setelah diskusi panjang dengan Leila, kuketahui ayahnya ternyata adalah Aga Morris, yang sialnya sudah tewas. Aku membayangkan betapa beruntungnya kami andaikata Aga Morris masih hidup—beraliansi dengan salah satu Relevia generasi awal akan membuat koloni tak tersentuh oleh Kompleks Sentral sekali pun. Namun, pria itu mati, dan kami harus berpura-pura tak mengetahuinya demi menghindari pecahnya perang besar antara Kompleks Sentral, Bintara, dan T. Ed Company.

Aku tidak bisa bilang pada Pascal bahwa gadis yang ditaksirnya punya hubungan langsung dengan Timothy Edison si pemilik T. Ed Company. Pascal bocah pintar—dia akan segera menemukan benang merahnya dan menyadari kalau Leila adalah anak tunggal Aga Morris, sahabat dari Timothy Edison. Jika sudah demikian, dia akan bertanya-tanya di mana sang legenda berada, padahal aku sudah membuat semacam perjanjian dengan Leila untuk tetap menjaga kerahasiaan tewasnya Aga Morris.

Pascal memiliki kecenderungan aneh ... di mana dia menganggap Aga Morris serupa pahlawan—superhero pujaan—lantaran mereka punya hubungan baik selama bekerja untuk NC. Padahal dia tahu bahwa pria itu juga yang telah menghabisi 80% koloni Calor bertahun silam.

"T. Ed Company juga mengincar Erion," dustaku.

"Oke ...." Pascal bersedekap dan mengangguk, sepertinya tidak membaui kebohonganku. "Bagaimana caranya mengontak mereka nanti?"

"Itulah kendalanya," decakku.

"Bagaimana cara mereka menghubungimu dulu?"

"Mereka punya koneksi—seorang Teleporter." Kupandangi kakiku yang sebulan lalu tertanam ke selokan karena mencoba menangkap si Teleporter. "Teleporter itu yang membawakan pesannya, menyuruh kita berhenti merampok mobil pengangkut T. Ed Company."

Pascal mendengkus. "Kukira koloni sudah berhenti merampok ransum dan senjata dari mobil pengangkut T. Ed Company sebelum aku bergabung?"

"Itu karena mereka terus-terusan mengubah jalur," tukasku. "Kalau kita tahu jalur mereka, Pyro tentu akan kembali menurunkan perintah untuk merampok mobil angkutan T. Ed Company. Tapi, baguslah kita tak tahu—setiap kali kita merampok mereka, setengah dari anggota tim tidak pernah kembali. Anggota Fervent mereka mungkin sedikit, tapi pemimpin mereka lihai. Itu bukan merampok namanya jika kita harus menukarnya dengan nyawa anggota."

"Setengah dari anggota tim?!" Pascal menegakkan punggung dan buru-buru mengecilkan suara saat aku memelototinya. "Kalau begitu, kenapa Pyro tetap menerjunkan tim untuk membajak mobil pengangkut T. Ed Company?!"

"Karena dia Pyro," jawabku. "Selama beberapa anggota tim tetap pulang kemari dengan suplai, Pyro tidak peduli pada sisanya. Sudah enam kali aku menerima pesan dari T. Ed Company bahwa mereka menyandera anggota koloni dan menuntut pengembalian suplai. Kusampaikan pesan-pesan itu pada Pyro, dan dia menampik semuanya."

Pascal menghentak-hentak sebelah kakinya tak sabar. "Tadi, kau bilang kau punya dua rencana?"

"Ya. Membebaskan tawanan lalu menerima murka Pyro, atau membiarkan mereka tertangkap tapi kita harus cari cara menghubungi T. Ed Company."

Pascal mengangkat sebelah alisnya. "Mau dengar rencana ketiga?"

"Tidak."

"Kau lihat bocah Phantom itu punya fungsi menyerupai Icore di atas arena! Dia mengganggu irama listrik jantung orang—"

"Phantom yang fungsinya tumpang tindih dengan Icore? Sudah pernah! Tumpang tindih dengan Steeler? Sudah banyak kasusnya! Phantom yang bisa meniru fungsi pengendalian saraf dan impuls otak milik Brainware? Itu juga sudah pernah terjadi! Phantom yang mampu menyaru jadi Corona dengan membuat ledakan dari efek berantai? Mudah sekali, Pascal!" Kukepalkan tanganku untuk menekankan pada Pascal betapa bodohnya ide tentang rencana ketiga. "Phantom yang fungsinya merambah Calor? Tidak ada. Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah Fervent. Tidak akan pernah terjadi. Bocah itu tidak bisa mengalahkan Pyro dengan Fervor setengah matangnya yang sekarang!"

"Tapi, bagaimana dengan Phantom yang bisa mengendalikan cairan?" ungkit Pascal lagi. "Bocah itu bisa menyiram Pyro—"

"Choker." Aku mengingatkannya seraya menunjuk leherku sendiri. "Kita butuh apinya untuk membuka choker itu. Lagi pula, Pyro bisa membuat sebagian besar volume air itu menguap, sisanya hanya akan memadamkan apinya sesaat."

Pascal mengusap wajahnya frustrasi. "Oke. Rencana kedua kalau begitu. Akan kucari cara menghubungi T. Ed Company."

Begitu Pascal pergi dengan wajah kusut, Ash datang menghampiriku dengan senyum jail yang membuat pipi tembam kemerahannya terangkat sedikit. Dari arahnya datang, kuduga dia habis merecoki para tawanan lagi. Ash masih 8 tahun, dan tampaknya dia menganggap Erion keren karena punya headset di telinga dan kemampuan membuat jantung orang berhenti. Andai Ash tahu kenapa anak itu harus selalu memakai headset tersebut ....

"Kenapa kita tidak punya Phantom di koloni? Kok, kakak-kakak itu mesti dikirim ke tempat lain? Kenapa mereka tidak tinggal di sini saja?" Ash mulai mencecarku dengan pertanyaan seperti yang biasa dia lakukan pada orang-orang.

"Kita punya Phantom, tapi mereka tidak seperti Erion," jawabku. "Dan dari mana kau tahu mereka akan dikirim ke tempat lain?"

"Tadi ayahku cerita—katanya Pyro sudah menghubungi Komandan buat menjemput mereka," celoteh Ash. "Komandan itu pria seram yang mukanya hancur separuh karena luka bakar itu, 'kan? Yang dulu pernah datang ke sini dan marah-marah tanpa alasan jelas, terus menjemput kakakku? Apa itu artinya kita tidak bisa lihat Erion lagi seperti kakakku dulu? Memang sebagus apa tempat Komandan sampai mereka betah sekali untuk tidak pulang-pulang kemari?"

Aku berjongkok agar sejajar dengannya, lalu memberi tahu, "Tidur sana."

Ash mengabaikan perintahku seperti biasa. Tangannya memainkan api obor pada dinding. Aku baru akan menyeretnya paksa dan memberi peringatan pada orang tua Ash, tetapi kemudian bocah itu mengejutkanku dengan menjatuhkan seluruh pegangan obor dari kaitannya ke lantai. Obor itu terbakar dalam api sepenuhnya.

"Ups!" Ash buru-buru memadamkan kobaran di lantai hingga menyisakan tangkai obor yang separuh hangus dan lantai yang menghitam.

Aku mengerjap menatap pengait obor dan Ash bergantian. "Bagaimana kau melakukan itu?"

Ash menirukan ekspresi wajahku yang terpana untuk mengejek. "Embre, kita Calor. Kita membakar benda-benda. Kadang kita membakar diri sendiri dan satu sama lain."

"Bukan! Maksudku obor ini—bagaimana kau bisa menjatuhkannya dari pengaitnya?"

Ash mengambil pegangan obor itu dan memperlihatkan celah gosong di mana posisi pengait sebelumnya berada. "Ini, 'kan, kayu. Bakar saja sampai kayu di ujung ini habis dan pengaitnya lepas."

Simpel sekali, dan aku malah luput memikirkannya. Ada cara macam ini untuk mengaitkan Phantom dengan Calor.

Kuusap kepala Ash sepenuh hati. "Terima kasih."

"Sama-sama. Tapi buat apa?" Tanpa mengacuhkan pertanyaannya, aku berbalik dan berlari ke tempat Erion. Ash tampak bengong di tempatnya berdiri selama beberapa detik sebelum meneriakiku, "Kau mau ke mana?!"

"Kembali ke rutinitas lama!"

"Membakar diri?"

"Bukan!" teriakku. "Mengajar!"

Ash sepertinya sadar aku berlari ke arah lorong tempat para tawanan tidur. Bocah itu mengekoriku dan memekik, "Ikut, dong!"

Para tawanan itu sudah terlelap, kecuali Alatas yang memang melek 24 jam sehari. Saat kami masuk, Alatas sedang mengangkat Leila ke atas kantung tidurnya. Pemuda itu buru-buru menaruh jari telunjuk di depan bibir ketika Ash berderap masuk dengan langkah seheboh anak gajah.

Kulirik Leila, yang matanya bengkak dan wajahnya sembap seperti habis menangis. Truck di sudut lain, tampak seperti gumpalan beruang dewasa karena minimnya cahaya. Erion tak jauh darinya, sudah tertidur juga dengan sebelah kaki menempel di pipi Truck.

Kutunjuk Erion. "Boleh kubangunkan anak itu?"

"Tidak," tolak Alatas begitu saja. "Memangnya ada apa?"

Ketika aku tengah memutar otak untuk mencari alasan, Ash sudah lebih dulu mengendap ke sisi Erion dan mengguncang-guncangkan badan anak itu sembari berkata, "Eh, main yuk!"

Erion terlompat bangun seperti kena setrum. Dia barangkali menjerit juga di dalam kepalanya saat mendapati wajah Ash dalam keremangan. Saat Erion memaksa dirinya untuk berdiri, kepalanya sempat terbentur tembok di belakangnya karena oleng sehabis bangun tidur. Bocah malang itu lantas meloncati badan Truck, memutariku, lalu menyelip ke belakang Alatas.

Kutarik bagian belakang baju Ash dan menahannya dari mengejar Erion. Dalam hati, aku bersyukur mengajaknya kemari.

"Akan kumarahi anak ini nanti," janjiku pada Alatas, "tapi sekarang ada yang lebih mendesak. Aku butuh bicara dengan Erion."

"Bicaralah," kata Alatas sambil masih menyimpan Erion di belakangnya.

Oh, kau ayahnya? Kutahan sindiran itu. Kuputuskan memakai paksaan bukan tindakan bijak karena saat ini aku hanya berdua dengan Ash, dan mereka berempat walau dua lainnya tidur. "Aku mungkin punya jalan keluar agar Leila dan Erion tidak dijual ke Komandan, tapi aku butuh bantuanmu dan Erion."

Kukedikkan kepalaku ke luar sambil menyeret Ash. Karena tak punya pilihan, Alatas mengikutiku sambil menggandeng Erion serta. Sementara kami menyusuri lorong dan menuruni tangga (sambil masih menjaga Ash agar tidak mengusik Erion sepanjang jalan), kuceritakan pada Alatas tentang Pyro dan choker di lehernya.

Tanpa bermaksud membohonginya, aku sedikit mendramatisasi saat mengisahkan ulang kekejaman Pyro—bagaimana pria itu menurunkan sembarang anak ke peperangan hanya agar koloni tampak tangguh, kebijakan kejinya seperti pertarungan hidup-mati di arena, dan keserakahannya tanpa terlalu memedulikan anggota koloni. Semua hal itu memang benar adanya, tetapi aku menuturkannya dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat yang dibuat-buat.

Mendapatkan simpati Alatas terlalu mudah. Aku mungkin saja tampak terkesima dengan mata membelalak dan mulut menganga tanpa kusadari saat pemuda itu tahu-tahu menawarkan diri, "Apa yang bisa kulakukan?"

"Kalau choker itu lepas darinya," kataku, "Pyro tidak akan ada bedanya dengan kami semua—bahkan mungkin lebih lemah dari Pascal. Kita tidak bisa mencuri choker itu diam-diam karena koloni menganggap tindakan macam itu pengecut. Jadi, choker itu harus dirampok terang-terangan dengan adil di atas arena. Kita tantang Pyro dalam permainannya sendiri sampai dia tidak bisa melawan saat diturunkan dari tahtanya—hanya itu satu-satunya cara."

"Kalian para Calor tak pernah mencobanya?" tanya Alatas.

"Hanya tawanan yang bisa berhadapan dengan Pyro. Kami sebagai anggota koloni hanya diadu satu sama lain di atas arena, tetapi kami tidak bisa menantang Pyro. Dia ada di hierarki teratas—jika dia menerima tantangan kami, itu akan dianggap tindakan memalukan karena dia bertarung melawan bawahannya."

"Dan ... kalian oke saja dengan peraturan macam itu?"

"Koloni tidak mengenal pemungutan suara atau musyawarah," tegasku. "Semuanya perintah absolut dari Pyro. Lagi pula, dengan popularitas besarnya api Pyro di kalangan NC, kami terlindungi dari serangan luar—itulah alasan kami mencoba berkompromi dengan kepemimpinan Pyro sampai sekarang."

Aku mengajak mereka ke dekat air terjun, tempat satu-satunya yang ditumbuhi rumput hijau, tanah subur, dan bebatuan lebih terjal. Selain karena tempat ini jarang didatangi Pyro, aku juga berharap Ash pergi tidur bersama teman-temannya dalam paviliun-paviliun kecil di hilir tempat para bocah itu biasanya bermain.

Alih-alih tidur, Ash malah membangunkan semua temannya di atas tempat tidur gantung dan menunjuk-nunjuk Erion, "Itu, tuh—keren, 'kan?!"

Pertama-tama, aku mengajarkan Alatas dan Erion sistem kunci dan rangka logam pada choker Pyro. Tentu saja aku sudah menyiapkan segalanya—jauh-jauh hari, aku dan Cybra membuat tiruan choker itu dan mengajarkan sistem kuncinya pada siapa pun yang berkesempatan menantang Pyro. Sampai hari ini, orang-orang yang kuajari itu mati sambil membawa ilmu tersebut.

Alatas lebih cepat memahaminya karena dia Steeler. Dalam sekejap, dia mampu menemukan temperatur yang tepat dan daya tekan yang sesuai hingga melenturkan penahan pin dalam tabung kunciannya. Alatas mampu membuka duplikasi choker itu dalam satu kali percobaan.

Saat Alatas akan mencobanya sekali lagi, Erion menampar tangan pemuda itu sampai menjatuhkan tiruan choker-nya. Meski bukan Brainware sekali pun, aku bisa membayangkan arti dari rengutannya itu yang barangkali bermakna: Kau tidak boleh lebih pandai dariku, Bung.

Erion merusak empat duplikasi choker-ku sebelum akhirnya berhasil melakukannya.

"Nah, ingat-ingat caramu melakukan yang terakhir tadi—bagaimana kau bisa membuka kunci itu dengan benar."

Kuletakkan duplikasi choker lainnya ke tangan Erion dan Alatas. Keduanya mengulangi ajaranku dengan baik. Saatnya naik level.

Alih-alih duplikasi choker yang terbuat dari logam, kuberikan mereka berdua sepotong kayu dari patahan ranting kering. "Bayangkan serat-serat kayu serta bonggol-bonggolnya itu memiliki pin dan pola tabung yang serupa, hanya saja tanpa pegas dan alurnya berbeda."

Alatas mengamatiku cukup lama sebelum akhirnya mengutarakan, "Aku tidak bisa mengendalikan ini."

"Wah, sayang sekali," ucapku, lalu kembali fokus pada Erion yang mulai memainkan kayunya.

Serat demi seratnya terurai, lantas terbelah menjadi beberapa bagian sebelum terbuyarkan menjadi partikel-partikel kecil. Serbuk kayu meliuk di udara, dan Erion memelototiku dengan kesal.

"Yang kau lakukan tidak salah. Itu sudah mendekati benar." Kulemparkan sepotong kayu lagi ke tangannya. "Ingat saat kita mengunjungi Cybra dan kau mencoba membuka kunci pintu bengkelnya? Lemahkan ikatan-ikatan molekulnya."

Perlu waktu cukup lama bagiku untuk membuat Erion memahami bahwa dia bisa memutuskan ikatan molekul dan mengontrol gas. Lebih sulit lagi untuk memberinya pengertian mengenai oksigen, bahan bakar, dan proses pembakaran. Alih-alih memanaskan udara di sekitar kayu, bocah itu justru membuat air sungai menggelegak selama satu menit penuh sampai Ash dan teman-temannya bersorak kagum.

"Tidak—jangan lihat air itu." Kuposisikan badanku antara Erion dan air terjun agar perhatiannya tak lagi teralih. "Ingat ikatan molekul—lemahkan, putuskan pengaitnya. Kau punya X, 'kan? Fokus—lihat ikatannya dalam skala mikroskopis."

Kami kembali berkutat dengan sepotong kayu, dan sesekali aku harus membakarnya terlebih dahulu untuk memicu reaksi pembakaran agar Erion bisa melanjutkannya. Aku sadar benar Alatas sudah duduk manis menonton dan menyerah mengikuti pelajaran, tetapi aku tak begitu memedulikannya.

Setiap kali aku membakar ujung kayunya, secara spontan Erion akan melevitasi kayu tersebut bersama apinya—kurasa memang begitulah gerakan dasar yang secara refleks akan dilakukan oleh Phantom mana pun. Namun, perlahan-lahan aku mulai menyadari perubahan suhu dari kayu tersebut di udara.

Setelah satu jam lebih, akhirnya Erion mampu membuat letupan kecil seorang diri dan mempertahankan apinya selama tiga menit penuh. Anak itu seolah lupa dia tidak menyukai Ash, dan langsung melompat gembira ke dalam kerumunan bocah Calor yang bersorak untuknya.

"Aku lupa betapa susahnya mengajari anak SD," desahku seraya menjatuhkan pantat di samping Alatas. Meski leherku terasa tegang, entah kenapa senyumku terulas. "Dan aku jelas lupa betapa puasnya melihat siswaku berhasil."

"Kenapa kau melakukan ini?"

Aku menoleh dan mendapati Alatas yang memakukan pandangannya pada Erion. Kedua tangannya terlipat di atas lutut yang tertekuk, dan dari jarak ini aku bisa melihat tonjolan gips pada betis celananya. Sepertinya, selain luka tembak, pemuda ini juga baru mengalami fraktur. Dihitung dengan luka bakar yang baru didapatnya di atas arena, aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa menahan semuanya tanpa keluhan.

"Kau sudah tahu sejak awal aku tidak akan punya kesempatan mempelajarinya dalam semalam," katanya lagi. "Kau sudah memperkirakan Erion yang akan berhasil. Kau memanggil kami berdua ke sini hanya agar kau punya kesempatan melatih Erion. Kau tidak pernah berniat menggunakanku. Kau cuma—"

"Aku cuma mengincar bocah itu." Aku mengonfirmasi. "Katakanlah kau bisa membuka kunci choker itu, kau tetap tidak punya kesempatan melawan Pyro."

"Kenapa—"

"Aku putus asa." Aku mengakui begitu saja. Kukedikkan kepalaku pada Ash dan teman-temannya yang kini berdesakkan dan saling berebut ingin memamerkan isi paviliun mereka pada Erion. "Lihat bocah-bocah itu? Tiga atau lima tahun lagi, Pyro akan menetapkan seenak jidatnya bahwa anak-anak itu siap dikirim kepada Komandan, atau merampok warga Kompleks, atau menjadi jongosnya. Sepuluh tahun yang akan datang, mereka entah akan jadi loyo sepertimu atau brutal seperti Pascal. Para bocah Calor di sini adalah Erion-Erion yang mesti kujaga."

"Jadi, kau ingin Erion menantang Pyro besok?" tanya Alatas. "Kau mengorbankan seorang anak untuk menyelamatkan anak lain?"

"Apa yang bakal kau lakukan jika jadi aku, kalau begitu?"

"Aku akan maju sendiri dan mengambil choker itu dari Pyro."

"Lalu, mati selagi mencoba," sahutku. "Kalau kau mati, apa yang tersisa? Siapa yang akan memikirkan nasib anak-anak itu selanjutnya? Ada perbedaan besar antara menjadi percaya diri dan sembrono, Alatas. Saat kau sudah memiliki semua persiapannya dan mencoba maju, itulah percaya diri. Saat kau maju dengan tangan dan otak kosong, kau sembrono—dan tindakan gegabah tidak hanya akan menghabisimu, tapi juga orang-orang di sekitarmu."

Alatas mengerjap ke kakinya. "Truck pernah mengatakan itu sebelum kami kabur dari Herde—tentang percaya diri dan sembrono."

Aku mengunci mulutku rapat-rapat. Tentu saja aku sudah merasa familier dengan lelaki Cyone itu saat pertama kali menemukannya, tetapi saat itu aku tak ingat di mana pernah melihatnya—baru setelah berhadapan dengannya langsung aku mengenali anak itu di PFD. Aku mengajar di banyak tempat sebelum ini, tetapi Program Fervent Dasar adalah yang paling kuingat, tak peduli seberapa keras aku mencoba melupakannya. Kurasa Truck benar-benar tak mengenaliku, yang mana bagus saja. Aku takkan mampu menghadapinya jika dia mengingat bahwa aku adalah salah satu dari sekian banyak pengajar di PFD—salah satu dari sekian banyak orang yang merusak masa kecilnya dan teman-temannya.

Setelahnya, kukembalikan para tawanan ke tempat mereka untuk beristirahat. Kuberi tahu Pascal bahwa rencana ketiga yang akan berjalan. Kuperingatkan dia untuk tak memberi tahu siapa pun, termasuk Leila dan Truck.

"Bagaimana caranya bocah itu menantang Pyro?" tanya Pascal begitu kami duduk di lorong untuk menjaga pintu tempat para tawanan tidur. Walau bagaimana pun, aku harus pastikan mereka tidak kabur.

"Aku yang akan sampaikan padanya nanti."

"Kau tahu, 'kan, saat Pyro lengser nanti, harus ada yang mengambil tempatnya."

"Hm," jawabku singkat.

"Aku tentu saja mendukungmu kalau kau yang mengambil alih," kata Pascal lagi sampai-sampai aku hampir merasa terharu, "tapi itu artinya kau juga akan berhadapan dengan Komandan dan orang-orang buruk lain yang pernah menjalin kerja sama dengan koloni kita—semua aliansi yang sebelumnya dikumpulkan Pyro."

"Ya."

"Jika kita batal menyerahkan Leila dan Erion, Komandan tidak akan senang. Dia akan menuntut sesuatu—"

"Seperti tunduknya koloni secara penuh pada kubu Komandan?" tanyaku, yang dibalas anggukan kepala Pascal. "Saat sudah mendapatkan choker itu nanti, aku mungkin bisa memainkan gertakan yang biasa."

"Tapi itu hanya bisa mengulur waktu," sanggah Pascal.

"Memang," akuku. "Komandan tidak akan menahan dirinya selamanya. Cepat atau lambat, gertakan itu akan jadi tumpul, dan Komandan akan berderap kemari. Bahkan mungkin juga semua cabang NC yang selama ini tidak puas dengan pertukaran dari Pyro akan menyerang kemari. Mereka akan datang ke sini, tak peduli aku membakar belasan drone mahalnya dan separuh dari pasukannya. Mereka akan melampiaskan kemarahannya pada anggota koloni, dan akan ada salah satu atau mungkin banyak dari anak-anak di sini yang menjadi sasarannya. Sebelum hari itu datang, aku harus menetapkan posisi dan memilih untuk bergabung dengan kubu yang paling menguntungkan."

Kutolehkan kepalaku pada Pascal, yang mendadak tertarik pada kakinya. Aku teringat betapa dia memuja Aga Morris—pria yang membakar ratusan koloni Calor. Belum lagi fakta bahwa Pascal membenci Komandan Binta sampai ke tulang-tulang.

"Saat itu terjadi—saat Komandan berderap kemari, dan aku mesti memilih untuk mengabdi padanya sebelum dia menyentuh anggota koloni—apa yang akan kau pilih, Pascal? Koloni atau cewek itu?"

Pascal mengerjap. Cahaya matanya meredup.

"Tempat ini adalah rumah pertamaku setelah bertahun-tahun aku terus dipaksa menetap di ratusan tempat yang buruk," ujar Pascal. "Dan aku berharap koloni ini juga menjadi rumah terakhirku."

Bukan jawaban dari pertanyaanku, tetapi kubiarkan Pascal menyusun ketetapan hatinya sendiri.

"Kau tidak perlu menaruh semua beban koloni di pundakmu sendiri," kata Pascal tiba-tiba. "Kau tahu itu, 'kan, Embre?"

"Aku hanya merasa kalau kerja sendiri itu lebih efektif. Terlalu terikat atau bergantung pada Fervent lain biasanya hasilnya tidak bagus. Kau lihat saja—mana ada kelompok Fervent yang bisa bertahan tanpa kehilangan salah satu atau lebih anggotanya karena saling bunuh?"

Pascal menatap ke arah pintu kamar para tahanan kami. "Ada satu, kurasa."

Aku ikut melihat ke ambang pintu yang dipandanginya, di mana si bocah Phantom telah mendengkur dalam kantung tidurnya. Kepalanya tersandar di atas lengan Truck yang melintang selayaknya bantal panjang.

Karena kami kekurangan kantung tidur untuk diberikan pada mereka, Alatas dan Truck hanya mendapat masing-masing satu selimut yang cukup untuk dijadikan alas agar punggung mereka tidak ditusuk dinginnya lantai logam. Mereka harus tidur bergelung memeluk kaki masing-masing untuk mengenyahkan dingin karena, meski markas kami menyimpan sekoloni Calor dan menggunakan obor minyak sebagai penerangan, tempat ini berada jauh di dasar lembah dengan suhu di bawah 20 derajat Celsius pada malam hari—yang artinya, 20 derajat Celsius tiap saat. Tempat ini menghangat hanya jika kami aktif.

Lalu, kulihat Alatas memberikan selimutnya pada Truck. Barangkali karena dia tidak tidur, dia merasa tak membutuhkannya. Pemuda itu kemudian melepaskan jaket kulitnya. Saat kupikir dia hendak menggunakannya sebagai alas untuk tiduran, Alatas justru menyampirkannya pada separuh badan Leila yang tidak masuk ke dalam kantung tidur.

Berjam-jam kami bertahan mengawasi mereka, Alatas masih duduk menyandari tembok logam dengan mata yang tetap terbuka. Kurasa, pemuda itu pun balas mengawasi kami dari sana.

Pascal memecahkan keheningan di antara kami, "Kurasa, sekarang kita tahu satu lagi alasan mereka bisa bertahan hidup sampai selama ini di Garis Merah."

Matanya beradu dengan mata Alatas.

"Sekitar 20% akibat kematian Fervent di Garis Merah adalah dirampok Fervent lain atau diserang Pemburu NC saat tidur," gumamku setuju pada Pascal. "Pemuda itu bahkan tidak melepaskan pandangannya dari kita sedetik pun."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Terima kasih sudah sabar menunggu apdet ~~

Saya mencuri waktu, makanya apdet jam segini, takutnya kalo besok enggak sempat lagi :(((

Saking ngantuknya sampai mau ngoceh panjang lebar di author note pun udah nggak sanggup

Pokoknya saya sayang kalian (◍•ᴗ•◍)❤


Visual karakter titipan dari Nuna_SMW


Yang ini titipan Violaedits 

Katanya nama si akang William Franklyn Miller xD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro