#67

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aaakkk feels good to be back

//peluk satu-satu

Maapkan update yang lama dan komen yang belum terbalaskan karena ada banyak hal yang mesti saya urus belakangan ini

Chapter ini panjang banget, take your time, irit-irit untuk beberapa hari ke depan '-')/

//sungkem

__________________________

| RavAges, #67 | 5210 words |

BEGITU TERBANGUN, aku sudah berada dalam kantung tidur dan berselimut sehelai jaket kulit lusuh yang terasa familier. Ketika tanganku meraba lantai yang dingin, hal pertama yang kucari dan terucap dariku adalah, "Alatas?"

Tidak ada siapa-siapa di sampingku. Di ruangan ini, hanya ada aku dan Truck yang masih mengorok dalam kantung tidur ukuran raksasanya. Kulirik lilin yang tersisa. Dari tingginya, kuperkirakan aku sudah tidur paling tidak selama enam jam.

Pintu setengah terbuka di dekat kakiku, menampakkan siluet cahaya obor dari lorong. Karena merasa ngeri jika harus keluar sendiri, aku terpaksa membangunkan Truck. Guncangan lembut di bahu tidak mempan untuknya yang sebebal batu kali, jadi aku mesti menggulingkan kantung tidurnya dengan segenap dorongan tangan.

Dia menguap satu kali, mengerjap-ngerjap ke sepenjuru ruangan, lalu terperanjat saat mendapatiku di sampingnya. "Haruskah aku disambut oleh wajah bengkakmu yang seram saat baru bangun tidur?"

"Kau, 'kan, tahu aku menangis semalaman!" tukasku sengit selagi dia merangkak keluar dari kantung tidur. "Soalnya kau menguping tadi malam!"

"Aku tidak—"

"Alatas dan Erion tidak ada," potongku sebelum kami mulai berkelahi lagi.

Sebelum Truck bangkit, aku mendahuluinya dan menyambar sepatu bot miliknya—sepatu botku masih hilang karena semalam aku melemparkannya ke salah satu teman Pascal.

Bisa kudengar Truck mengejarku. "Itu sepatuku—Leila!"

Terseok-seok di lorong dalam sepatu kebesaran, aku menyelonong ke salah satu pintu yang kuketahui adalah kamar mandi. Dilihat dari jajaran toilet jongkok tidak higienisnya, kurasa para tahanan di sini tidak mendapatkan privasi yang pantas. Syukurlah saat ini tidak ada tahanan lain yang terlihat selain kami berempat.

Kubarikade pintu dengan gagang pel dan menahannya dengan menggeser sebuah loker kecil berlaci tiga, lalu menggunakan toilet dan membasuh wajah di bawah pancuran. Sambil mendengarkan Truck menggedor-gedor, aku berganti dengan seragam Calor dan sepatu baru yang disediakan dalam loker.

Sekeluarnya aku dari dalam toilet, kukembalikan sepatu bot Truck.

"Aku tidak mau memakai bekasmu." Dia menepis sepatunya dari tanganku, lantas masuk ke toilet dengan membanting pintu di depan wajahku.

Setelah dia keluar dengan jaket dan bot baru, akhirnya aku bisa membalas gerutuannya yang dulu pernah dia lontarkan ketika aku terlalu lama di toilet mall. "Kenapa lama sekali? Kau mengadakan konser tunggal di dalam?"

"Buat apa kau menungguku di sini?" balasnya tajam.

Sambil bersedekap, aku menjawab asal, "Karena aku setia kawan."

"Kau cuma takut tersesat."

Kuabaikan terkaannya yang akurat itu, lantas berjalan mendahuluinya. Dengan Truck mengekor, aku menelusuri lorong. Tempat ini teramat sepi, hanya ada retih api dari obor yang tergantung tiap 10 meter di sepanjang dinding lorong.

"Jika lorong ini sunyi," kata Truck, "cuma ada satu kemungkinan."

"Mereka sedang sarapan di aula dengan makanan prasmanan?" tebakku dengan nada berharap, walau aku tahu harapan itu kosong.

Dengan kejinya, Truck menebas harapan kosongku, "Artinya ada pertarungan lagi di arena. Mungkin para Calor itu mendapat tahanan baru."

Begitu kami melihat cahaya di ujung lorong, Pascal sudah berdiri di ambang jalan keluar seolah menunggu kami berdua. Ekspresi wajahnya penuh antisipasi.

"Oke ..." kata Pascal memulai, bahkan sebelum aku dan Truck mengatakan apa pun. "Tolong tenang. Pacarmu itu barusan berlari ke arah sana dengan panik,"—dia menunjuk ke luar—"karena berita buruk yang kuberi tahu padanya."

Truck menggeram di belakangku. "Berhenti mengulur-ulur!"

"Si bocah Phantom menantang Pyro bertarung di arena."

"Apa?!" jeritku. "Erion?!"

"Aku juga tidak paham bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan anak itu. Ini semua rencana Embre. Intinya bocah itu ingin agar kalian berdua tidak dijual ke Komandan. Pyro menolak, kecuali salah satu dari kalian bisa mengalahkannya di arena, dan Embre pun bilang, bocah Phantom itu menantang Pyro."

Tanpa buang waktu lagi, aku langsung mendorong Pascal ke sisi. Setengah berlari, aku menuruni anak tangga dua-dua sekaligus sambil mengamati arena di kejauhan. Belum ada kobaran api atau asap—kuharap kami belum terlambat.

"Aku bakal menggantung anak itu dengan kepala di bawah," geram Truck.

"Aku bakal mencopot kepalamu kalau kau berani melakukan itu pada Erion!" ancamku. "Dan pakai tudung kepalamu! Para Calor itu bakal mengenalimu—kau seharusnya sudah mati!"

"Dan kau seharusnya cerita lebih awal tentang masalahmu dengan Binta! Erion jelas-jelas bertindak impulsif sekarang karena mendengar rengekanmu semalam!"

"Dia tidur pulas tadi malam—tidak menguping sepertimu! Lagi pula, kau tidur paling dekat dengannya, tapi tidak menyadarinya menyelinap keluar!"

Aku melompati tiga anak tangga terakhir sekaligus saking marahnya.

Truck menyusulku. "Kau sendiri paling dekat dengan pintu, tapi kau—"

"Aku heran," sela Pascal yang terus mencoba menyejajari kami, "kenapa kalian bisa bertahan tanpa saling bunuh sampai sejauh ini? Kebanyakan Fervent nomaden yang bertahan hidup dalam grup biasanya rentan saling menghabisi satu sama lain."

Aku melirik Truck, dan kami malah bertukar senyum kecut nan sinis. Cuma kami yang tahu seberapa sering kami berdua menumbuhkan niat dan rencana untuk mengakhiri hidup satu sama lain.

"Apa Embre punya rencana lagi?" tanyaku pada Pascal, yang semata ditanggapinya dengan kedikan bahu. Karena tidak mendapatkan penghiburan apa-apa dari Pascal, aku menoleh pada Truck. "Erion bisa mengatasi Pyro, 'kan? Maksudku, dia bisa meredam Calor mana pun tanpa terkecuali, 'kan?"

"Kecuali jarak targetnya berada di luar cakupan Peredam," dengkus Truck. "Kalau tebakanku benar, satu-satunya alasan kenapa tidak ada Peredam yang bisa menang melawan Pyro sejauh ini adalah karena tidak ada yang bisa mendekatinya."

"Benar." Pascal menanggapi. "Tapi, barangkali anak itu punya kesempatan. Maksudku ... Pyro memang tidak pandang bulu waktu membantai, entah itu anak-anak atau orang tua. Tapi, dia kadang pilih kasih ke Fervent tertentu yang menarik perhatiannya. Saat dia melihat potensi seorang Fervent di atas arena, dia akan berhenti sebelum Fervent itu gosong, lalu menawarinya bergabung dengan koloni."

"Enak saja!" tukasku cepat. Aku menoleh lagi pada Truck untuk meminta dukungan—bahwa Erion bukan barang yang bisa ditinggal-tinggal di tempat titipan. Namun, aku malah terbayang ingatan lawasnya yang kulihat baru-baru ini.

Dia dan Alatas memang sempat akan meninggalkan Erion—bahkan di tangan Giok dan Raios. Alatas memiliki niat itu semata agar Erion punya tempat bernaung yang lebih baik, tetapi alasan Truck lain; pria itu menganggap Erion dan aku lebih seperti tanggungan; seorang bocah dan anak cewek yang memberatkan langkahnya karena dia mesti menoleh setiap menit untuk memastikan kami masih ada.

Tepat ketika Truck mendapatiku memelototinya, aku mencetuskan, "Kalau kau berani meninggalkan Erion di tempat panas seperti ini, seperti saat kau berencana meninggalkannya di tangan Giok, aku akan meledakkan jeroanmu. Kau tidak pantas menganggapnya tanggungan di saat kau sendiri sering bergantung pada anak itu."

Rahangnya mengeras. "Kau lagi-lagi masuk ke kepalaku?!"

Aku mengabaikan responsnya, lalu mempercepat langkah. Arena dan tribun telah terlihat, dan dari kejauhan saja keriuhannya sudah terdengar. Ketika melewati tribun pertama, tudung jaketku ditarik ke belakang oleh seseorang.

Pertarungannya akan dimulai, ujar sebentuk suara, yang kemudian kukenali adalah Cybra—pria Calor tunawicara yang memperbarui alat bantu dengar Erion kemarin. Rambut gondrongnya menyembunyikan sebagian besar wajahnya, tetapi aku bisa melihat bibirnya berkerut cemas. Embre sedang mengawasi anak itu. Jadi, aku harus jaga kalian biar tidak sembarangan masuk.

Lalu, kusadari pemuda dengan tudung kepala terpasang di sisinya adalah Alatas. Aku melongok ke balik tudung kepalanya dan melihat wajah Alatas tertekuk menggemaskan, sorot matanya tampak mendung. Ekspresi merajuk Erion bahkan lebih dewasa daripada pemuda itu. Ketika Alatas mengangkat satu tangannya, aku pun melihat borgol yang membelenggunya. Ujung rantainya yang terkait di sana dipegang oleh Cybra, yang seperti menjaga tali kekang hewan peliharaan.

"Kau, 'kan, Steeler?" tukasku. Sebagai jawaban, Alatas mengedik ke sabuk di bawah keliman jaket Cybra—Arka, gawai yang bekerja layaknya Peredam, tergantung di sana.

"Kalau saja aku bisa menjauh sedikit dari cakupan alat itu." Alatas menggerung seraya menarik-narik tangannya dari rantai.

"Apa yang kau lakukan sampai diborgol seperti ini?"

"Tidak ada," jawabnya.

Dia naik ke atas arena dan mencoba menimpuk Pyro dengan cuilan logam berat. Cybra memutar bola mata. Dan tudung kepalanya tidak terpasang sampai Pyro nyaris mengenalinya. Untung Embre sempat menariknya. Cybra kemudian mengangkat sepasang borgol baru dan menawariku, Kau juga mau?

"Tidak usah, terima kasih," tolakku sesopan mungkin, tetapi lelaki itu menangkap tangan kananku dan tetap memasang borgolnya.

Yang terakhir buat teman kalian. Cybra mengeluarkan borgol ketiga.

Tepat saat itulah, mataku menangkap sosok Pascal yang tengah mengobrol dengan teman Calor-nya. Truck mengekor dengan tudung kepala terpasang. Ketika Truck bersitatap dengan kami, aku dan Alatas menggeleng ngeri. Dengan pelototan dan gerak bibir yang panik, kami melarangnya mendekat. Alatas mengangkat sebelah tangannya yang diborgol, dan Truck langsung paham. Dengan luwes, dia berkelit ke samping, membaur di antara kerumunan tanpa disadari oleh Pascal.

Jangan heboh! Cybra menyentakkan tali kekang kami selayaknya pawang yang murah hati. Tepat saat itu, Pascal menghampiri kami. Dia menunjuk ke balik bahunya. "Ini teman mereka yang satunya—"

Namun, Truck tidak ada di tempat yang Pascal tunjuk.

"Aku bersumpah tadi dia di sini!" Pascal berjinjit panik di antara kerumunan, barangkali bertanya-tanya bagaimana bisa pria sebesar Truck lepas dari pengawasannya. Aku dan Alatas membuang pandang saat Cybra menyoroti kami dengan curiga. Pascal lantas beranjak untuk mencari Truck, sementara Cybra menarik tali kekang kami menuju kursi terdekat untuk menonton.

Kuamati simbol api putih dan logo NC pada bagian dalam tudung jaket Cybra, lalu teringat betapa Truck terus memelototi simbol itu semalam. Dan sebelum ini, dia bilang tidak ada lawan yang bisa mendekati Pyro.

"Cybra," kataku, "sebesar apa api yang Pyro hasilkan?"

Alih-alih menjawab, Cybra malah menjentikkan jari seolah baru teringat akan sesuatu. Dia merogoh tas kulit yang tergantung di sabuknya, lalu mengeluarkan dua pasang kacamata hitam, lalu memakaikannya padaku dan Alatas.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Cybra mendorong kami duduk ke kursi kosong sementara dia sendiri berdiri sambil menyandari pagar tribun.

"Buat apa kacamata ini?" Alatas bertanya sembari menarik kacamatanya dengan tangan yang tidak diborgol, tetapi dia terpaksa memakainya kembali ketika pijar putih menyilaukan bersinar dari arena.

Hampir semenit penuh yang mencekam, aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali meringkuk di balik lengan Alatas (aku bahkan tak mengerti bagaimana bisa kepalaku sampai ke tempat macam itu). Jika bukan karena seragam Calor, kami bisa saja menjadi Leila dan Alatas panggang dengan tingkat kematangan sempurna.

Begitu cahaya membutakan itu surut dan mataku berhasil beradaptasi kembali, keadaan yang awalnya riuh menjadi sunyi. Lalu, aku melihat apa yang membuat para Calor terperangah membisu: Erion, berdiri goyah di sudut arena, dengan kedua tangannya yang berasap terentang ke depan.

Api berkobar di sepenjuru arena, dan rasanya jantungku seperti terjun bebas ke lantai tribun saat menyaksikan Erion yang tersengal dan banjir keringat. Rambutnya berasap lantaran tudung jaketnya tak terpasang. Sementara aku mencoba meredam suara mengisak, para Calor yang menonton justru mulai bersorak untuk Erion.

"Anak itu lebih bagus dari yang kuperkirakan," kata suara di belakangku. "Phantom paling kuat di sini yang pernah mencoba menamengi diri dari api Pyro langsung terdorong ke luar arena. Erion bahkan hanya mundur dua puluh meter. Dan anak itu langsung bisa menstabilkan medan energinya hanya dengan satu kali percobaan setelah kuajari—kalau tidak, tempat ini sudah jadi pusaran badai api."

Aku berbalik dan mencoba menarik Embre, tetapi pria itu hanya perlu mundur sedikit. Rantai di tanganku mengencang dan menghentikanku.

Aku menyalak padanya, "Kenapa kau biarkan Erion turun ke arena?!"

"Karena aku ingin Pyro lengser," jawab Embre. Beberapa Calor yang duduk di sekitar kami berjengit mendengarnya. "Itu peraturan dasar di sini. Siapa saja yang bisa selamat dari Pyro, boleh hidup. Tapi, jika ada yang bisa mengalahkannya dalam pertarungannya sendiri, posisi Pyro sebagai raja di sini digantikan."

"Kalau begitu, kenapa tidak kau saja yang ada di sana?!"

"Jangan bercanda, Non. Rekor Pyro terbakar hidup-hidup adalah 7.000 derajat Fahrenheit selama satu jam penuh sampai meledakkan sebuah laboratorium NC yang mereka gadang-gadang bisa menampung bola api setara matahari."—Embre menjentikkan jari dan memunculkan bola api kecil sebelum memadamkannya—"Aku bahkan tidak sampai setengahnya."

Alatas ikut menoleh. "Apa yang terjadi kalau sesama Calor bertempur."

"Kami hanya bertarung fisik karena tidak bisa membakar satu sama lain. Dua api yang bertabrakan bakal memfusi atau saling blok. Tapi, Pyro diakui di sini karena—" Embre menunjuk lehernya, "—kalung choker itu, yang memproduksi dan menyimpan semua elemen paling baik sebagai bahan bakar, bahkan carbon subnitride sampai menghasilkan api benderang tadi. Itu alasan Pyro ditakuti."

Aku kembali menatap arena, di mana Pyro masih berdiri di tengah-tengah. Di sekitar kakinya, api tampak menyala kehijauan dengan logam arena yang telah membentuk kawah leleh. Dari lutut ke atas, api kebiruan meliuk hingga aku bisa melihat jelas belenggu perak di lehernya.

"Produksi NC dari alat itu hanya tersisa satu-satunya. Begitu mereka mengujicobanya ke Pyro dan mematenkannya, dia membumihanguskan tempat penelitian mereka dan merusak semua choker itu kecuali yang ada di lehernya. Itulah awal dari kebebasan kami dari NC, sekaligus keterikatan kami pada Pyro."

"Dan apa yang membuatmu yakin Erion bisa melepaskan choker-nya?"

"Mekanisme kunci choker itu rumit karena NC mengantisipasi Phantom yang bisa saja membukanya dari jarak jauh. Satu-satunya cara untuk membukanya hanya dengan kontak langsung. Aku sudah ajari bocah itu mekanisme kuncinya, sekarang masalahnya cuma bagaimana dia bisa mendekati Pyro tanpa jadi gosong."

"Jika dia bisa mendekati monster itu, sudah sejak tadi Erion meredamnya!"

"Anak itu cakupan Peredam-nya luas—paling menakjubkan dari semua Peredam yang kutemui selama ini. Gampang saja buatnya meredam Pyro sejak tadi kalau dia mau," tukas Embre. "Masalahnya, mekanisme kunci choker itu seperti semua pintu logam di sepenjuru tempat ini—ia harus dipanaskan agar terbuka. Artinya, api Pyro tidak boleh mati."

"Kenapa kau menjebak Erion dalam situasi ini?!" Aku mencakar udara kosong lantaran Embre kembali bergerak mundur di kursinya.

"Barusan itu ..." kata Alatas tersengal. "Pyro sudah jadi Corona?"

"Menyerupai Corona," ralat Embre. "Itu hanya karena tingginya temperatur yang Pyro hasilkan. Calor semata menghasilkan gelombang panas, sedangkan Corona praktis sudah membuat seisi arena menggelimpang oleh gelombang kejut."

Alatas menurunkan kacamata hitamnya dan memicingkan mata. "Sekarang apinya biru. Kuharap dia kehabisan bahan bakar atau apalah ...."

"Alatas," kataku gemas. "Biru itu warna api yang paling panas."

"Bukan merah?" tanyanya terkejut. "Kukira biru itu lebih dingin ... makanya dipakai untuk ibu-ibu memasak. Tahu, 'kan, biasanya di kompor gas—"

"Merah itu justru yang paling tidak panas," ujarku lagi.

"Tergantung apa yang menjadi bahan bakarnya," sahut Embre lagi. "Kompor gas ibu kalian punya api biru karena gas menghasilkan pembakaran sempurna. Sedangkan api hijau di bawah kaki Pyro itu bukan karena dia lebih panas atau tidak sepanas api biru, melainkan karena ada tungsten yang ikut terbakar di sana. Kalau kau membakar lithium, apinya jadi merah jambu."

Kadang mudah sekali buatku melupakan fakta bahwa Embre dulunya adalah seorang guru yang dipekerjakan NC.

"Hei, jangan menatapku begitu," tukas Embre seraya melambaikan tangan seperti hendak melibas pelototanku yang menghakiminya. "Anak itu sendiri yang mau naik ke arena. Lagi pula aku sudah ajarkan dia teori Phantom tingkat lanjut. Kalau kau anak Herde, kau pasti pernah diajari bagaimana secara teori Phantom bisa meliputi hydrokinesis dan pyrokinesis."

"Apa?" tanyaku.

"Phantom yang mengontrol benda likuid dan api," jawab Alatas. "Phantom yang bisa mengontrol air hanya pernah muncul satu kali di balai pelatihan NC sebelum dia mati tenggelam dalam arus pasang yang dibuatnya sendiri—itulah yang kudengar. Kalau Phantom dengan pyrokinesis ... kata Truck, itu mustahil."

"Tidak mustahil secara teori," sahut Embre.

Aku menggeram. "Kau mengajari Erion melakukan sesuatu yang hanya eksis secara teori?"

Api Pyro menyambar lagi ke sepenjuru arena, memaksa Erion kembali mengaktifkan Phantomnya. Bisa kurasakan anak itu mulai kelelahan, dan dia belum makan apa pun dari kemarin. Pyro sendiri tampaknya cuma bermain-main. Cepat atau lambat, Erion akan mencapai batas energinya dan Pyro akan serius.

Satu-satunya yang mengulur waktu Erion hanya ketidakmampuan Pyro untuk bergerak dari tempatnya berdiri. Api Pyro terlalu besar hingga melelehkan tungsten di kakinya. Si raja Calor tidak mungkin bergerak dari posisinya kecuali dia ingin merusak arena kesayangannya lebih jauh.

Sementara tangan kanan Erion menciptakan medan energi untuk menghalau jilatan api, aku menangkap sekilas tangan kirinya yang bergerak di belakang punggungnya. Entah apa yang anak itu incar. Sedikit demi sedikit, Erion bergerak maju. Padahal wajahnya sudah memerah dalam jarak sejauh itu dari Pyro.

"Mana teman kalian yang satunya?" tanya Embre, yang membuat Cybra menoleh dan membuat isyarat untuk memberi tahunya bahwa Truck kabur.

Embre berdecak, lantas beranjak untuk mencari Truck.

Ketika Erion berhasil menamengi dirinya dua kali berturut-turut dari api Pyro, seisi tribun kembali riuh. Anak itu jelas telah bertahan hidup lebih lama daripada yang sebagian besar orang sangka, barangkali karena campur tangan Truck di suatu tempat di sekitar arena yang membaur bersama Calor lainnya.

Di sisiku, Alatas mulai memanjati sandaran kursinya. Dia mencoba menjangkau sesuatu ke kursi Embre yang kosong.

"Apa yang kau lakukan?"

"Tadi Embre sempat membuat api, 'kan?" bisik Alatas. "Artinya, tepat di sini batas jangkauan Arka-nya Cybra."

Aku membantunya menarik rantai agar Alatas bisa bergerak lebih jauh. Ketika Cybra menoleh karena curiga, aku berkilah, "Jepit rambutku jatuh ke belakang."

Cybra mememutar bola matanya dan kembali menonton Erion.

Di tribun di atas kami, kuperhatikan ada kehebohan kecil. Para Calor yang tidak dapat tempat duduk dan mesti berdiri mendadak terlompat kaget seolah ada ular yang melewati kaki mereka.

"Sedikit lagi," erang Alatas. Dia bahkan tak memedulikan pergelangan tangannya yang teriris dalam borgol. "Steeler-ku hanya muncul di ujung jari, tapi aku tahu ada sesuatu yang berguna di—argh, ini dia!"

Baru kusadari ujung jari Alatas bekerja serupa magnet. Bukan ular yang mengusik para Calor di atas, melainkan senjata logam yang dipanggil Alatas, terseret-seret sepanjang tribun. Kupikir, dia memanggil kapak yang semalam sempat kugunakan atau apalah, tetapi yang kulihat justru sesuatu yang menyerupai busur dengan satu sisinya yang tajam bergerigi kecil .... "Copping saw?"

"Kau boleh jadi mengenali panasnya api dari warna, Lei, atau mengetahui cara membakar hatiku utuh-utuh." Alatas menyempatkan diri untuk mengedip padaku. "Tapi, aku yang mengerti logam-logam."

Dia mulai menggergaji rantainya pada bagian link, tepat di garis penghubung logam rantainya. Kupertahankan rantai itu tetap mengencang sambil berdoa para Calor tetap bersorak tanpa henti agar Cybra tak menyadari Alatas yang mengikir.

Ketika Alatas berhasil mematahkan rantainya, pemuda itu buru-buru menarikku mundur dari cakupan Arka. Dia kemudian membebaskan tangan kami dari belenggu borgol tepat saat Cybra memergoki kami berdua kabur.

Sementara Alatas dan aku bermain kucing-kucingan dengan Cybra di tribun, kusadari ada tetesan air yang jatuh dari atas. Aku hampir berpikir apakah mendadak ada hujan di bawah ngarai seperti ini, lalu kusadari bahwa tidak ada awan mendung sama sekali di atas kami. Airlah yang datang menyelimuti langit-langit.

Sekarang aku tahu apa yang Erion coba kendalikan dengan tangan kiri di balik punggungnya. Pikiranku melayang pada air terjun yang kukunjungi semalam, dan napasku langsung tercekat. Bahkan Alatas terpana sambil terus mendongak.

Para Calor mulai menyadari fenomena horor di atas kepala mereka, lalu mulai berduyun-duyun mencari tempat berteduh ke bagian tribun yang memiliki atap.

Apa yang Erion rencanakan? Kunci choker itu hanya bisa dibuka dalam proses pembakaran. Tidak mungkin dia berencana menyiram Pyro. Kucoba mengingat semua ucapan Embre sebelum ini. Sesuatu mengenai Phantom yang mampu mengendalikan materi, hingga ke tingkat molekuler. Bahkan, Truck pernah mengatakan kalau Erion punya kesempatan mengendalikan plasma.

Jika Erion bisa membuat medan energi, mengendalikan materi dan bentuknya, bisakah dia membentuk ruang hampa di sekitarnya? Api tidak akan membakarnya jika di sekitarnya tidak ada oksigen, tetapi itu artinya Erion tidak bisa bernapas ....

"Itu Truck." Alatas langsung menarikku menuruni tangga tribun.

Ketika kami menghampirinya, Truck tidak menyadari tudung kepalanya sudah merosot terbuka. Namun, tidak ada yang menyadari Truck. Apa yang terjadi di atas arena telah merenggut perhatian semua orang. Erion telah membuat kanopi air tepat di atas Pyro. Jika sang raja Calor merasa gugup, dia tidak menunjukkannya. Malah, api Pyro yang menjilat-jilat ke atas tampaknya memanaskan atap air Erion. Dalam beberapa jam, kanopi cair itu akan menguap karenanya.

"Lupakan choker-nya—" Alatas tersengal ketakutan di sampingku. Matanya membelalak ketika Pyro kembali bersiap menyemburkan apinya. "Erion—lari!"

Alih-alih melompat turun dari arena, Erion justru berdiri diam. Anak itu tidak menggunakan alat bantu dengarnya lagi dan tampak telah siap menerima serangan. Erion seperti menunggu .... Sebenarnya, apa yang Erion tunggu?!

Api bukan materi, kata Embre saat kami pertama kali bertemu dengannya. Saat Phantom menggunakan kekuatannya dalam skala besar, akan ada reaksi berantai di luar kontrolnya. Pada tahap ini, Phantom nyaris menyentuh garis kekuatan Calor, Corona, dan Icore.

Udara lembap sama sekali tidak mengecilkan api Pyro—atau saking besarnya kobaran yang dia hasilkan, aku tak bisa menyadari perbedaannya. Api Pyro membesar dan terus membesar, lantas menyambar Erion.

Selama beberapa detik yang menyiksa, suaraku bahkan tidak bisa keluar untuk sekadar meneriakkan namanya. Seluruh tribun senyap, hanya ada suara desing api dan udara yang memanas. Ketika aku, Alatas, dan Truck akhirnya memutuskan bergerak ke depan, api bertingkah layaknya pusaran yang berputar. Kobarannya menyebar, lantas menyibak sosok Erion yang masih berdiri di pusatnya.

"YES!" Embre berseru kencang di sebelahku, seolah telingaku tidak bisa dibuat lebih pekak lagi. Kedua tangannya mengepal dan terangkat di atas kepala seolah dia baru saja memenangi lotre satu miliar.

Kacamataku hilang entah di mana, tetapi rasanya aku sudah tidak peduli jika mataku perih atau adanya kemungkinan buta sementara. Yang kulakukan hanyalah memelototi apa yang ada di arena, menyakinkan diri sendiri bahwa sosok itu memang Erion.

Anak itu berselubung cahaya selayaknya api lilin yang berlapis. Satu tangannya terangkat, dan tiap tarian molekul seolah mematuhi perintahnya. Api berganti warna dari biru, menjadi putih, lalu kuning. Matanya memantulkan semua warna benderang lebih daripada warna mata Pyro yang oranye.

Aku melihat Erion tersenyum mematikan. Kakinya bergerak. Detik berikutnya, anak itu belari ke arah Pyro dengan kobaran api di tubuhnya yang masih menyala.

Sang Raja Calor tampaknya tidak pernah diterjang lawannya secara langsung. Dan dia jelas belum pernah diterjang bocah 10 tahun berselubung api. Selama ini dia menyepelekan lawannya yang non-Calor. Maka, Pyro membeku di tempatnya ketika Erion menerkam.

Cahaya api pun berubah putih membutakan. Bersamaan dengan itu, kanopi air di atas kehilangan bendungan tak kasat matanya, seketika menumpahkan jutaan galon air dan menghadiahi arena dengan air bah. Wajah kami tidak jadi terbakar, tetapi sebagai gantinya kami diseret banjir bandang.

Baru kemudian kesadaran akan kenyataan pahit menamparku bersama gempuran air—aku tidak bisa berenang!

Alatas menyambar tanganku. Dia sendiri berpegangan pada Truck yang memeluk pilar. Dalam gempuran gelombang ganas dan panasnya suhu air, aku mati-matian menjaga wajahku tetap di permukaan, megap-megap mencari udara, sementara Truck menahan kami agar tidak terseret arus.

Ketika gelombang api dan air itu menyurut sedada, Alatas menarikku ke arahnya, lalu memposisikanku di antara dirinya dan Truck.

Dalam keadaan hidup dan mati kami saat ini, Truck malah membentakku, "Cepat atau lambat kau mesti belajar berenang!"

"Gampang bagimu yang bisa mengapung untuk bicara begitu!"

Alatas menceletuk, "Aku tidak masalah jadi pelampung pribadi Leila."

Sambil masih sesenggukan, kupercikkan air ke wajah Alatas dengan kesal.

Para Calor yang bertugas di sekitar arena dan bagian depan tribun pun terjun ke acara renang dadakan dan membuka tiap gerbang agar air keluar. Begitu air surut beberapa menit kemudian, masih tidak ada seorang pun yang bisa mencerna keadaan dengan baik. Para Calor tampak terguncang dan kebasahan.

Di atas arena yang lebur separuh, Pyro terduduk dengan rambut lepek basah dan pakaian bolong-bolong, dan ....

Dan Erion, yang berdiri dengan rambut gosong, sekujur tubuh yang basah kuyup, tetapi menyengir lebar, kedua tangannya mengangkat tinggi-tinggi belenggu leher Pyro yang patah jadi dua. Seisi tribun jadi senyap. Semua orang menahan napas. Kemudian, keheningan dipecahkan oleh Embre yang bertepuk tangan.

"Raja baru!" Embre berseru. Pascal dan Calor lainnya mulai berlutut sambil mengelu-elukan Erion. Suara mereka menggema, menggetarkan arena. Terbebas dari tirani Pyro, para Calor tampak lupa (atau memang tidak mempermasalahkan) bahwa yang menjadi objek sembah mereka adalah bocah 10 tahun.

Kedua tangan Erion melakukan gestur seperti menyetop, seolah meminta para Calor berhenti bersujud kepadanya, tetapi cengiran dan pikirannya menyerukan, Ya, terus! Lanjutkan! Terus membungkuk begitu!

Saat Erion meloncat turun dari arena, dia mencampakkan choker Pyro yang tinggal satu-satunya di dunia ke kaki Embre. Pria itu sendiri tampaknya tidak peduli dengan choker—dia menendang dua patahan logam itu ke pangkuanku, lalu memasangkan alat bantu dengar Erion ke telinganya.

Embre dan Pascal menawarinya sebuah arak-arakan kehormatan di atas bahu mereka, tetapi Erion berkelit dan malah berlari menghampiriku. Entah sejak kapan, aku jatuh terduduk. Lututku lemas, napasku menderu, dan pandanganku berkabut.

Alatas meludahkan air ke samping, lalu menceletuk, "Kau bikin nyawa kami berkurang satu, Er!"—Lalu, dia melirik Truck. "Astaga, aku terdengar seperti kau."

Truck membentak, "Itu tadi berbahaya, Er! Kau bisa terpanggang di atas sana!"

Erion memutar bola matanya kesal, Sama-sama, lho.

Aku sudah kehilangan kata-kata, jadi yang bisa kulakukan hanya mengulurkan kedua tanganku ke arahnya. Tanpa membiarkan tanganku menggantung lama-lama, Erion masuk ke dalam pelukanku. Dia menepuk-nepuk punggungku seolah akulah yang barusan lolos dari maut.

"Kau masih hidup!" Pyro berteriak dari atas arena, terpincang-pincang di tengah euforia rakyatnya yang merayakan kejatuhannya. Lelaki itu menunjuk Truck, lalu matanya menyapu Alatas. "KALIAN MASIH HIDUP?!"

"Hei, Bung!" seru Embre. Ibu jarinya kemudian menodong Erion. "Anak ini raja barunya. Dia yang memutuskan siapa yang boleh hidup, dan siapa yang tidak."

Pyro menggertakkan rahangnya. "Hei, perempuan! Kemarikan choker-ku!"

Tampaknya, choker itu tidak patah, tetapi ia memang merupakan dua bagian terpisah yang harus disatukan di leher pemasangnya. Jadi, kuberikan choker itu ke Erion sampai Pyro berteriak murka, "Hanya Calor yang bisa menggunakannya! Kemenangan anak itu tidak berarti apa-apa!"

Maka, Erion mengoperkan alat itu ke Embre.

"Embre ...." Suara Pyro serupa guruh, tatapannya nyalang. Namun, tanpa cahaya oranye di matanya, dia tidak lagi terkesan menakutkan seperti sebelumnya.

"Oh, ya ampun." Embre mengatupkan choker itu di lehernya sendiri. Ekspresi wajahnya terkejut dibuat-buat. "Terpasang, deh."

"Ini pemberontakan!"

"Ini pimpinan baru koloni," tukas Embre sambil menunjuk Erion. Cengiran pria itu terlampau lebar. "Anak ini yang menetapkan semuanya sekarang."

Pyro mendesis, "Kau gila?! Dia bocah ingusan—"

"Yang menghajarmu di atas arena." Embre tak lagi repot-repot membendung tawanya. "Terima kasih sudah mengingatkan. Nah, Nak,"—dia berlutut di sisi Erion—"perintah pertamamu; mantan sultan ini mau diapakan?"

Erion menarik garis melintang di lehernya dengan ibu jari, meniru gestur Mampus yang diberikan para Calor pengawas arena. Ketika beberapa Calor sungguhan mengepung Pyro di tempat, Erion buru-buru menyetop mereka dengan gestur tangannya. Tunggu, tunggu! Aku cuma bercanda!

Setelah pengambilan suara antara Embre dan beberapa Calor dewasa lainnya, yang kemudian disetujui oleh anggukan kepala Erion, Pyro dibawa ke sel tahanan.

Pyro sempat melayangkan ancaman khas seperti "Akan kucari dan kubunuh kalian," dan sebagainya, tetapi Erion tidak tampak takut sama sekali. Malah, anak itu mulai belajar untuk menyuruh-nyuruh rakyat barunya untuk membawakan baju ganti dan makanan.

"Kau belajar bahasa isyarat?" tanyaku pada Erion saat kami semua digiring kembali ke lorong, menjauhi arena yang butuh renovasi total oleh para Steeler.

Erion menunjuk Cybra. Belajar sama dia. Cuma sedikit. Yang kuhafal cuma 'Aku lapar' dan 'tolong'.

Cybra yang berjalan di depan kami tampaknya masih kesal karena kami tidak bisa dikekang seperti hewan yang penurut. Pria itu terus bersungut-sungut tiap kali bertemu pandang denganku, Alatas, atau Truck.

"Apa Erion harus tetap di sini?" tanya Alatas yang gagal menyembunyikan ekspresi pedihnya. "Erion, 'kan, bukan Calor."

"Itu terserah dia." Pascal menunjuk Erion. "Toh, Embre tadi hanya cari alasan untuk segera menurunkan Pyro sebelum pengikut fanatiknya mengintervensi. Dan lagi, kami mana mau diatur-atur anak 10 tahun—jangan tersinggung, Dik."

Erion memutar bola matanya sambil mengeratkan genggaman pada tanganku. Mana mau aku tinggal di sini.

"Ujung-ujungnya, orang-orang bakal menyuruh Embre yang naik. Bahkan pengikut setia Pyro tidak bakal bisa menampiknya." Pascal mengalungkan sebelah lengannya di sekeliling bahuku dan menawarkan, "Bagaimana kalau kau saja yang tinggal di sini, Sayang? Berbagi kamar denganku—"

Erion menjentikkan jarinya, dan tubuh Pascal tersentak mundur dariku.

"Makasih," ucapku lemas seraya mengusap rambut Erion yang lepek, berpotongan tidak rata, dan bau asap. "Kapan terakhir kali kau mandi, Er?"

Barusan. Di arena.

Kami semestinya berjalan terus mengikuti Embre yang memimpin kami ke aula besar. Pascal bilang, sungguh ada makanan prasmanan di sana. Namun, ketika kami menjumpai Iris, aku memintanya menunjukkan kamar mandi terdekat.

Di depan pintu kamar mandi, Iris dan aku mati-matian memaksa Erion masuk ke dalam.

"Sini!"

Aku sudah mandi di tengah arena!

"Mandi api dan air bah bukan mandi namanya, Erion!"

Tetap ada kata 'mandi'nya!

Alatas menyusul kami. Sambil menyengir penuh makna, dia menahan pintu kamar mandi untukku. "Sini, biar kubantu menyeretnya—"

"Minggir, atau kumasukkan kepalamu ke lubang toilet!" ancamku sampai pemuda itu buru-buru balik arah untuk menyusul Truck.

Berhubung derajat kami telah naik, dari tahanan menjadi tamu, Iris mengambilkan peralatan mandi dan baju ganti yang masih baru. Walau diselingi kejar-kejaran dengan Erion yang menganggap keramas sebagai bentuk lain dari penganiayaan, aku tetap berhasil membersihkan jejak asap dan air sungai dari kami berdua. Iris bahkan membantuku merapikan potongan rambut kami.

"Kukira, wajahmu awet muda." Iris terkikik saat dia mengepang rambutku. "Ternyata kau masih 17 tahun! Kenapa kau belum gila? Kau dari Herde, 'kan?"

Tampaknya Embre dan Pascal tidak mengatakan latar belakangku pada siapa pun. Jadi, aku mengarang cerita saja bahwa PF13 belum terlalu berdampak padaku saat aku kabur dari Herde.

Ketika kami menyusul ke aula, harumnya aroma rempah-rempah dan daging bakar membuatku nyaris menangis. Ikan-ikan yang dimasak matang, sayuran segar, dan buah-buahan ranum adalah pemandangan paling sempurna yang kulihat seharian ini. Erion bahkan seperti hendak melompat dan berenang di atas nampan-nampan andai aku tidak memeganginya.

"Makan apa pun yang kalian inginkan." Iris melambai ke sekeliling meja prasmanan. "Aku harus mencari Amos—saudaraku itu tampaknya masih tidak terima Pyro dilengserkan."

Ya Tuhan! Erion menggoyang-goyangkan tanganku bersemangat, lalu menyeretku mendekati salah satu meja. Mereka punya ayam goreng, Leila!

Pascal, yang tengah berusaha menjejalkan semua potongan sayap di nampan ke piringnya, terpaku sesaat ketika bertemu mata denganku. Dia meletakkan piringnya di atas meja, tidak menyadari Erion mencuri semua sayap ayam itu, lantas menunjukku, "Siapa kau—malaikatkah?"

Kutepis perkataannya. "Mana Alatas dan Truck?"

Pascal berdecak. "Kapan kau putus dengannya?"

"Mana Alatas dan Truck?" ulangku sedikit lebih keras.

Pascal menunjuk sudut aula, tetapi yang kulihat hanya kerumunan Calor yang lalu lalang atau duduk-duduk di meja-meja yang tersedia.

"Mereka dan Embre menyiapkan perbekalan untuk kalian pergi besok pagi." Pascal menatapku dengan pandangan kosong. "Kau benar-benar tidak mau tinggal di sini? Aku cuma bercanda masalah berbagi kamar, kau tahu, 'kan? Kami bakal menerima siapa saja walau kau bukan Calor."

Aku menepuk-nepuk pipinya sambil tersenyum tulus. "Aku bakal kangen pada wajah menyebalkanmu."

"Kalau begitu, tinggallah," erangnya, tetapi aku hanya menggeleng dan menarik Erion yang sudah membawa sebuah nampan utuh penuh sayap ayam, potongan daging panggang, empat roti isi, dan kue bolu acak-acakan.

Karena tidak ada tempat duduk yang kosong, kami pergi ke pojok aula yang ditunjuk oleh Pascal. Di sana, Truck duduk pada sebuah kursi panjang yang mendempet ke dinding. Secangkir kopi hitam di tangannya, dan pria itu sungguh membaur di antara para Calor berumur kisaran setengah abad di sekitarnya.

Ketika melihat rambutku yang dikepang, Truck berjengit. "Kau tambah mirip cewek," seolah itu adalah hal buruk.

"Dan kau tampak menua 40 tahun lagi hari ini," balasku.

Kujejalkan Erion di antara Truck dan seorang pria Calor yang sudah beruban di sebelahnya. Kuambil roti isi dari nampan Erion, lalu pergi mencari Alatas.

Kutemukan Alatas tak jauh dari tempat Truck duduk. Dia tengah membantu Embre mengangkat beberapa kerdus yang entah apa isinya. Saat matanya tanpa sengaja mendapatiku, langkah Alatas terhenti. Tangannya menjatuhkan kotak bawaannya mendadak tepat di atas kaki Embre. Mengabaikan Embre yang menyanyi sopran di sebelahnya, Alatas terus mengamatiku dan bergumam, "Leila?"

Kuamati kardus-kardus yang dijatuhkannya. "Untuk apa ini?"

Alatas mengerjap seperti baru sadarkan diri. Dia memandangi kotak-kotak dan ransum yang berhamburan, lalu menoleh pada Embre. Masih tampak linglung, Alatas bertanya, "Kenapa kau menjatuhkannya?"

"KAU YANG MENJATUHKANNYA!" teriak Embre sambil masih melompat-lompat di atas satu kakinya.

Alatas mengerjap lagi, lalu buru-buru merapikan semua ransum itu kembali ke kotak. Dengan wajah merona, dia menjawab pertanyaanku, "Ini perbekalan buat kita. Kita harus pergi besok, soalnya Pyro keburu menghubungi Binta, dan kemungkinan pasukannya akan datang dua hari lagi."

"Atur sendiri," kata Embre seraya menumpuk semua kotak ke tangan Alatas. Pria itu lantas mengedik ke arahku. "Aku harus bicara denganmu empat mata."

Sementara Embre masuk melewati salah satu pintu logam, kusempatkan diriku untuk menjejalkan roti isi di tanganku ke mulut Alatas. "Kalau sudah selesai, makanlah—Erion membawa banyak sekali makanan buat kita. Dia dengan Truck."

Hanya dalam beberapa kali kunyahan, Alatas berhasil menelan bulat-bulat rotinya, lantas berucap sambil menyengir, "Makasih perhatiannya, Manisku."

"Urus saja ransumnya," kataku sambil mengabaikan rasa hangat ganjil di perutku. Kususul Embre sebelum Alatas sempat membuatku lebih mulas lagi.

Di depan rak penuh kotak dan makanan kalengan, Embre berdiri menungguku. Tanpa basa-basi, dia menunjuk choker di lehernya dan bertanya, "Agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita—kau oke saja aku mengambil alih?"

"Ini kolonimu. Silakan saja. Selama Erion oke, aku juga."

Embre menepuk-nepuk kotak di belakangnya. "Kau tahu semua ransum, makanan di meja, baju, dan semua kebutuhan ini dari mana asalnya?"

Aku menggeleng.

"NC," kata Embre. "Kompleks Sentral, atau sekadar mobil pengangkut yang kebetulan lewat dan harus jadi korban perampokan kami. Beberapanya bahkan dari Bintara—Komandan buangan itu. Setiap kali Pyro menjual tahanan yang berharga, inilah yang kami dapat."

"Apa yang sebenarnya mau kau katakan?"

"Sudah lama sekali koloni kami mendapat tawaran untuk menjadi pasukan gabungan. Salah satu tawaran itu datang dari Komandan sendiri. Sudah rahasia umum dia mencoba menguasai Kompleks Sentral dan T. Ed Company."

Kugertakkan rahangku. "Dan?"

"Pyro sudah menerima tawaran itu beberapa bulan lalu, tapi dia hanya mengirimkan orang-orang lemah di koloni kepada Komandan. Tentu saja Komandan tahu akal-akalan Pyro, tapi dia tidak berani menyentuh tempat ini karena Pyro terus memberikannya tahanan yang berharga. Masalahnya, dua hari lagi Komandan dan timnya akan datang untuk mengambil tahanan baru, yaitu kau dan Erion. Tapi, mereka akan pergi dengan tangan kosong karena aku membiarkan kalian pergi besok."

Aku melipat kedua lengan di depan dada, mencoba menyembunyikan rasa gusar bercampur ketakutan.

"Tenang saja, aku tidak akan menyerahkan kalian," tambah Embre lagi. "Tapi, aku hanya ingin menekankan bahwa ada kemungkinan yang tidak mengenakkan. Kau dan bocah itu adalah buronan yang paling diinginkan Bintara saat ini—bayangkan kemarahan dan kecurigaannya pada kami jika dia harus pulang dengan tangan kosong. Aku mungkin bisa menggertaknya dengan choker ini, tapi efeknya tidak akan bertahan lama. Satu-satunya jalan untuk menghindari agresi adalah menyetujui penyerahan diri koloni sepenuhnya, bergabung dengan Bintara."

"Kau ..." kataku geram. "Sebenarnya kau kawan atau lawan?"

"Jangan salah sangka," jawab Embre acuh-tak-acuh. "Aku tidak pernah punya dendam pribadi atau masalah personal dengan Komandan. Jika berada di kubunya bisa mempertahankan tempat ini, demi koloni, aku akan melakukannya."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Saatnya fanart ╰(▔∀▔)╯

Tapi, hari ini agak lain karena kita dapat kiriman martabak spesial dari qaqa shiholilah

Maacih qaqa kholilah~

Yang belum 17 tahun, mari tutup matanya  ∑d(°∀°d)

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ciye yang gigih sekrol (* ̄▽ ̄)b

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ciye yang sekrol mati-matian karena warning di atas 

(¬‿¬ )

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Yang ingin kirim-kirim fanart bisa ke email atau ig di bio yah :D Sebutkan nama akun wattpadnya juga supaya bisa di mention :D

Atau boleh juga kalau mau annonym/tidak di repost :D Just tell me :D

Antrean fanart masih panjang, jadi yang belum ke-repost, tunggu yah :D

Thank u and happy holidays
❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro