#71

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #71 | 3950 words |

"APA YANG terjadi semalam?"

Alatas menyemburkan air mineral dari mulutnya, dan aku nyaris membunuh diriku sendiri dengan menelan seiris daging bulat-bulat. Sarapan malam kami hampir berubah menjadi ajang muntah besar gara-gara pertanyaan Truck.

"Ap-apanya?" gagap Alatas panik.

"Aku semalam terbangun dan mendengar suara gaduh dari kamar sebelah," ungkap Truck. Matanya melirikku saat melanjutkan, "Saat kulihat, kau sedang melamun di ambang jendela,"—lalu dia menatap Alatas, "dan kau tidak ada."

"Oh, itu," kata Alatas, tampak lega.

"Memang ada apa lagi—"

"Kamar sebelah dihuni para Phantom yang mengganggu kita semalam," jawab Alatas cepat-cepat. "Mereka sepertinya bertengkar sesamanya sampai kena tegur oleh pemilik penginapan."

"Kau keluar semalam?"

"Ya ...." Alatas mencari-cari alasan. "Cari udara segar ...."

Mata Truck memicing. Tangannya melambai ke sepenjuru ruang kamar. "Ada banyak udara di sini."

Begitu kami selesai, kubereskan peralatan makan kembali ke troli dan mendorongnya ke luar. Di depan pintu, Alatas mencegatku. "Sini, kubantu—"

"Aku bisa sendiri," tolakku cepat, tetapi Alatas menahan roda troli dengan kakinya. Mati-matian aku mendorong sambil menghindari tatapan matanya.

"Bagaimana kau membawa ini menuruni tangga sendirian?"

Masih memelototi troli, aku menukas, "Truck bilang ada elevator—"

"Rusak," beri tahu Truck yang tengah menyandar kekenyangan ke kaki kasur. "Erion yang melevitasi troli itu lewat tangga semalam. Dan petugas yang mengantar makanan ini barusan juga seorang Steeler."

Mau tak mau, kubiarkan Alatas mengambil alih troli itu. Kolong bagian bawah troli sudah penuh dengan sampah makanan, jadi mau tak mau juga aku mesti mengekorinya untuk membawakan tumpukan piring dan sendok karena benda-benda itu mustahil diletakkan di atas troli tanpa berjatuhan dan pecah jika Alatas harus melevitasi trolinya menuruni tangga.

Alatas tampaknya sadar aku menjaga jarak karena dia terus melirik ke arahku, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia mencoba memperlambat langkahnya agar kami sejajar, tetapi aku ahlinya melangkah lamban. Aku bisa melakukan ini seharian, tetapi Alatas tahu-tahu berputar dan membawa troli itu ke belakangku.

Sambil menyunggingkan cengiran, dan satu tangan di pegangan troli, dia menepuk-nepuk bagian atas troli yang kosong. "Mau duduk di sini?"

Aku menggeleng, sebisa mungkin tidak mengangkat wajah terlalu tinggi.

Alatas membungkuk hingga wajahnya sejajar denganku, dadanya bersandar pada pegangan troli. Dia membuat jantungku seperti melompat ke hidung dengan bertanya, "Kau marah tentang yang semalam?"

Kepalaku diserang dilema parah antara menggeleng atau mengangguk. Masalahnya, Alatas sudah membuang pandang dariku semalam dan benar-benar tak menggodaku. Aku yang menatapnya duluan.

Dan wajahmu ikut maju, telisik hati kecilku yang kurang ajar.

"Tidak," kataku pada akhirnya, lalu melangkah lebih dulu menuruni tangga. Alatas berusaha menyusul, tetapi dia harus melevitasi troli itu dengan hati-hati tanpa menumpahkan sampah di dalamnya.

Aku tiba di pantri hotel yang sepi lebih dulu, lalu mengembalikan semua peralatan makan cepat-cepat. Ketika aku berbalik, aku tersaruk mundur lagi sampai menabrak wastafel. Hunter—lelaki Phantom yang semalam bersitegang dengan kami—sudah berdiri di hadapanku. Satu tangannya memutar-mutar pisau makan.

"Tahu tidak," ujar lelaki itu dengan seringai girang yang menggelisahkan di wajahnya. Dia mencampakkan pisaunya sampai menancap ke sisi wastafel di belakangku. "Semalam, aku mendengar tentang lima buronan Komandan yang lepas. Terakhir kali, empat di antaranya terlihat di sarang Calor, lalu jejak mereka hilang. Hanya ada dua kemungkinan—mereka lari ke Garis Merah, atau menyusup ke Kompleks 12. Mereka bisa saja berada di depan hidungku tanpa kusadari."

Pikirkan jawaban pintar, Leila! Otakku menjerit.

Ludahi dia, lalu lari! Hati kecilku menggoda.

Diam kalian! Aku menggertak diriku sendiri. Dengan suara yang diatur acuh-tak-acuh, aku berhasil menjawab, "Lalu? Tidak ada hubungannya denganku."

Aku berjalan melewatinya, tetapi Hunter menarik sikuku dan berkata lagi, "Hubungannya adalah kau cocok dengan semua yang tertulis di sayembara pencarian itu; seorang Fervent muda, perempuan, yang tidak menunjukkan cacat fisik mau pun psikis—satu-satunya selain Meredith."

"Aku bukan Fervent—"

"—dan secara kebetulan kau bersama dengan seorang bocah, dan dua remaja laki-laki." Cengkraman Hunter menguat. Kuku jari tangannya terbenam dalam ke kulit lenganku. "Masih kurang satu buronan—pria Relevia bernama Aga Morris itu. Di mana dia? Dia menyamar di dekat kalian atau berpisah jalan?"

"Aku tidak paham satu kata pun—" Aku menarik lenganku terlalu cepat. Kuku jarinya menggores kulit lenganku. Luka itu makin dalam dan menjadi luka robek sampai suaraku hilang saat darahku menetes ke siku. Kurasakan tulang-tulang lenganku seperti ditarik meregang. Sadarlah aku dia menggunakan kekuatannya.

"Mumpung kesabaranku belum habis," desis Hunter lagi dengan suara yang merendah. "Selebaran dicari itu belum sampai kemari—jadi mengakulah sebelum 796 Fervent di Kompleks ini ikut mengejar kalian. Di tanganku, kalian akan langsung kuserahkan tanpa menderita—"

Perkataannya terputus saat sendok aluminium terbang menabrak pelipisnya.

Hunter melepaskan lenganku, perhatiannya teralih pada Alatas yang kini berdiri di depan pintu. Alat makan dari logam yang melayang di sekitar Alatas. Tiap ujung sendok, garpu, pisau mentega, centong, dan sudip logam menghadap ke Hunter, siap membidik seperti sekompi roket mini.

Beberapa pria Phantom yang semalam kulihat bersama Hunter tampak jengkel di belakang Alatas. Salah satunya berteriak pada Hunter, "Sudah cukup kau mengacau! Berhentilah mengejar yang tidak-tidak, atau kau kami tinggal!"

Hunter dengan cepat menggerakkan kedua tangannya hingga pintu ganda pantri terbanting menutup, mengurung kami bertiga di dalam pantri yang sempit dan berantakan. Dia menerbangkan sebuah kabinet sementara Alatas menyerang dengan serombongan utensil mungil yang entah bagaimana tampak menyeramkan.

Aku merangkak ke bawah meja penuh puding dan kue kering saat benda-benda berbahaya melesat di atas kepala. Pisau daging menancap tepat di tempat sebelumnya aku berdiri. Kompor-kompor menyala bersamaan karena reaksi berantai dari Phantom dan Steeler.

Kulirik pintu pantri yang kini terkunci. Aku berharap para Phantom kawanan Hunter akan membukanya untuk mengurus teman mereka, tetapi tampaknya mereka langsung pergi. Di luar, kudengar teriakan dari seorang pria yang barangkali adalah petugas hotel, "Jangan hancurkan dapurku! Siapa saja—bukakan pintu ini!"

Aku menjerit saat Alatas jatuh berdebum ke atas meja puding tempatku bersembunyi. Aku berhasil merangkak keluar tepat sebelum meja itu ambruk di bawah bobot dan momentumnya. Sebagai serangan balasan, Alatas menerbangkan sebuah oven besar ke kepala Hunter sampai pria itu jatuh menyamping.

Sialnya, hantaman itu hanya membuat Hunter berdarah dan bukannya pingsan. Si lelaki Phantom menerbangkan semua jenis pisau ke arah kami, tetapi Alatas mampu menyetop semuanya di tengah udara. Setengah dari pasukan pisau itu berbalik ke arah Hunter, yang buru-buru disetop lelaki itu sebelum pisau pertama menyentuh dahinya.

Tidak ada lagi di antara keduanya yang bergerak. Baik Alatas maupun Hunter sama-sama harus menahan serangan pisau dari satu sama lain, dan menjaga pisau-pisau lainnya tetap mengarah ke wajah satu sama lain pula.

Saat itulah aku masuk ke kepala Hunter. Fokusnya satu arah pada Alatas, membiarkanku masuk pada satu celah di mana dia lupa aku berada di sana. Luka di lenganku berdenyut. Rasa panas membakar bagian belakang mataku. Ketika aku mencoba menelisik ingatannya, yang kudapati hanyalah gambaran dapur yang kacau dan Alatas di hadapannya. Kucoba memberinya perintah langsung untuk menjatuhkan semua benda tajam yang mengarah pada kami, tetapi tidak berhasil.

Aku menarik napas, lalu melepaskannya bersamaan dengan bisikan ke benak Hunter, Kemarilah.

Tatapan mata Hunter mulai goyah. Peluh membasahi wajah dan bajunya. Dengan penuh keyakinan, kuulangi bisikan itu, membubuhi nada manis di ujungnya: Aku buronan yang kau inginkan. Kemarilah ....

Begitu semua benda tajam yang mengarah pada kami berdua berkelontangan ke lantai, Alatas ikut menjauhkan semua senjatanya dari Hunter. Kami memerhatikan sementara si Phantom melangkah lunglai ke arahku.

"Kemari." Kali ini, kata itu kuucapkan keras-keras. Tangan kiriku menangkup lengan kananku yang berdarah, tetapi tangan kananku masih mampu meraup dagu Hunter saat dia tiba di hadapanku. "Ingat-ingat yang semalam—siapa yang memberi tahumu tentang buronan Komandan?"

"Teleporter," jawabnya dengan suara tertahan, seolah-olah lelaki itu berusaha mati-matian untuk menutup mulutnya sendiri. "Dia dari T. Ed Co."

"Siapa?"

"Tidak tahu," jawabnya lagi. Rahangnya menggertak.

"Apa yang diberitahukannya padamu?"

"T. Ed Co mencari lima Fervent berbahaya; tiga remaja yang salah satunya wanita, satu bocah, dan satu pria Relevia. Sayangnya, Komandan juga mencari kelima orang itu dan menawarkan harga tak rasional yang mustahil disaingi T. Ed."

Kurasakan Hunter mulai melawan. Kucengkram rahangnya lebih kuat. "Lalu?"

"T. Ed Co terpaksa turun langsung ke lapangan untuk menangkap kelima Fervent itu lebih dulu daripada Komandan."

Saat aku akan menelisik ingatan itu lebih jauh—wajah si Teleporter, detail yang belum diungkapnya—Hunter mendapatkan kendali lagi atas dirinya sendiri. Spontan, aku memencet hidungnya kuat-kuat, lalu memelintirnya hingga patah. Dia jatuh ke lantai sambil melolong dan tangan yang menangkup wajah.

Alatas dan aku segera lari ke luar pantri. Dengan tangan berdarah, aku tersedu-sedu pada petugas hotel, mengatakan bahwa Hunter memulai semua ini. Tentu saja mereka percaya—Hunter sudah terlihat mengacau sejak tadi malam. Terlebih, teman-temannya sudah tidak ada untuk membelanya.

Sementara Hunter yang masih tidak bisa bicara diamankan, kami terseok-seok menepi dari kekacauan pantri. Kami belum bisa kembali ke kamar karena tangga dipenuhi oleh para pengunjung hotel yang berkerumun melihat keributan.

"Sini tanganmu, Leila—"

"Tidak apa-apa." Aku menepis Alatas. "Ini akan sembuh sendiri."

Namun, Cyone-ku luar biasa leletnya. Seorang petugas hotel memberi kami kotak obat dan air mineral serta handuk basah untuk mengompres luka memar. Kubiarkan Alatas membantu mengikat perban lenganku, sementara aku membersihkan luka sayatan besar di kakinya.

"Kenapa ini?" tanyaku saat menyadari luka kakinya lebih besar dari yang kukira. "Ini yang patah kemarin?"

"Yang patah yang ini, Leila." Dia menepuk kaki satunya yang tampak baik-baik saja. "Gipsnya sudah kulepas saat kita di sarang Calor. Sedangkan luka sayat ini kudapat waktu menghindari serangannya tadi. Tidak apa-apa. Diludahi Truck sekali, luka ini akan langsung menutup."

Aku mengembuskan napas lega (bukan untuk ludah Truck, tentunya), lalu membebat kakinya dalam diam.

Alatas kemudian menunduk mencari wajahku. "Kau benar-benar tidak marah tentang yang semalam, 'kan?"

Aku mendesah jengkel, "Alatas, ini bukan saat yang tepat—"

"Aku merasa kau tidak nyaman di dekatku." Alatas bersikeras mengungkitnya. "Bahkan tadi Truck sampai menyusul keluar—saat kau mendahuluiku ke dapur. Dia curiga kenapa aku keluar semalam. Dan, kau terus menghindariku—"

"Masa kau tidak merasa canggung?" Aku mendebas begitu saja.

"Ya ... sejujurnya aku kepikiran." Jari tangannya mengetuk-ngetuk lutut. "Tapi, Lei, bukankah kau sudah tahu kalau aku memang sejak dulu naksir padamu—"

"Jangan mengatakannya dengan gamblang begitu!" bentakku. Tanpa sengaja, aku menyentakkan perban kakinya sampai Alatas mengelojot sakit. "Maaf!"

"Begini saja," kata Alatas di sela ringisan, "yang semalam itu, aku janji tak bakal melakukannya lagi. Maksudku, aku bakal berusaha agar yang semalam tidak terulang. Jadi ..., kau tidak perlu canggung lagi padaku. Oke?"

Aku mengembuskan napas dengan sedikit gemetar. "Oke."

"Oke ...." Lalu hening. Selang beberapa detik kemudian, Alatas akhirnya mengelu-elukan kakinya, "Ini nggak akan tetanus, 'kan?"

Aku memutar bola mata, setengahnya merasa lega karena setidaknya bisa berpura-pura kejadian semalam tidak ada. "Nggak."

Susah payah aku meluruskan kakinya dan melilitkan perbannya Setelah lima belas menit mengurusinya, Alatas mengacaukan semua kerja kerasku dengan bangkit berdiri mendadak sampai bebatannya melorot ke mata kaki, lalu lepas.

"Ada sesuatu!" serunya dengan tampang polos.

"Sesuatu yang berbahaya?" tanyaku. "Karena mungkin kau tengah mendeteksi tinjuku yang sebentar lagi akan bersarang di tulang keringmu."

"Fervor," gumamnya. "Terasa ... familier. Kita pernah bertemu dengan orang ini. Ini ... Teleporter."

"Apa?" tanyaku ikut berdiri. Kuedarkan pandanganku di sepenjuru lobi hotel yang masih dipadati pengunjung. Terlalu banyak wajah dan tinggi badan yang bervariasi—aku tidak bisa mengenali satu pun, sampai ....

"Op." Refleks, aku berlari membelah kerumunan untuk mencapai seorang pemuda jangkung dengan baju kaus tanpa lengan dan celana loreng cokelat-hijau.

Aku tidak mungkin salah mengenalinya—Teleporter mesum yang menyambut kami di pesisir pantai, yang membawa kami ke sarang Teleporter sampai Harun—cowok yang kami selamatkan di Kompleks 45—membocorkan dirinya adalah orang normal dan membuat kacau situasi. Op dan teman Teleporter-nya—Neil—meneleportasi kami kemudian ke pusat perbelanjaan, di mana kami bertemu Raios.

Saat melihatku, Op menyeringai lebar sampai membuatku bergidik. Dia melambaikan tangan, bibirnya mengatakan tanpa suara, Kita ketemu lagi! seolah kami kawan lama yang semata terpisah oleh libur semester sekolah.

Begitu berhasil mencapainya, aku langsung mencecar, "Kau si perantara itu!"

Senyumnya turun sedikit, tetapi Op berhasil mengatur wajah dungunya. "Ha?"

Memori Embre membanjiri ingatanku—para Calor pernah berurusan dengan T. Ed Company, dan seorang Teleporter-lah yang menjadi perantara mereka. "Kau yang membawakan pesan dari T. Ed Company ke koloni Calor!"

Op masih mempertahankan senyum tololnya. "Aku tidak tahu apa itu T. Ed."

"Kau juga yang membocorkan pada Phantom tadi—" Aku mengerem lidah sebelum meneriakkan kata 'buronan' keras-keras. "Kenapa kau lakukan itu?!"

"Aku tak paham apa yang kau katakan," ujarnya, membuatku tergoda untuk melakukan permak di wajahnya dengan Peledak. "Aku di sini cuma kebetulan ingin pelesiran ... oh, ya, astaga!"—Op memelototi pergelangan tangannya seolah ada arloji di sana, yang padahal tidak ada—"Aku telat, nih! Dadah dulu, untuk saat ini!"

Aku menerjang ke arahnya, tetapi Teleporter laknat itu menghilang tepat waktu. Badanku menabrak dinding yang tadi disandarinya.

Mengabaikan tatapan orang-orang yang masih berkerumun, aku berteriak dan memukuli dinding seperti kesetanan sampai Alatas mesti menyeretku menaiki tangga. Katanya, "Maaf, permisi, cewekku sedang marah karena kami habis diserang Phantom—awas, permisi. Beri jalan—terima kasih. Permisi, ya."

Aku masih berteriak kesal sepanjang lorong sampai kami tiba di depan pintu kamar. Jeritanku putus saat Truck menarik kerah bajuku dan mencampakkanku ke dalam. "Kau mau menarik perhatian orang-orang pada kita, hah?! Tidak cukup keributan di lobi semalam?"

"Truck," sela Alatas seraya menutup pintu. "Sudahlah. Kita, toh, bakal pergi."

"Kita tidak bisa pergi sekarang," gerung Truck dengan tangan mengepal. "Semua orang membicarakan gerbang portal yang sudah mulai ditutup sejak semalam gara-gara isu buronan dan para pemberontak. Keamanan setempat akan menyisir seisi Kompleks ini sampai lima hari ke depan. Artinya, kita masih harus terjebak di tempat ini selama lima hari."

"Tapi, wajah kita belum tersebar ke sini, 'kan?" tanya Alatas lagi.

"Belum. Kuduga, para pemberontak itu sudah menginfiltrasi Kompleks 12. Mereka tidak bisa menawarkan uang sebesar yang Bintara tawarkan, jadi mereka tidak membiarkan potret wajah kita masuk ke sini untuk meminimalkan campur tangan pihak lain agar mereka bisa mendapatkan kita diam-diam."

Dengan napas bergetar, kuberanikan diriku bersuara, "Para pemberontak ini mungkin yang dijalankan oleh Sir Ted—pria yang saat itu bersama Komandan di Kompleks 4 ... tapi dia membantu kalian kabur saat membawa Alatas—"

Pandangan mata Truck langsung membuatku bungkam. "Kau mau membawa kami ke satu lagi tempat di mana kami bakal dimanfaatkan?"

"Itu tidak adil," kataku dengan suara lirih. "Aku juga Fervent, tapi kau selalu bicara seolah aku terpisah dari kalian—"

"Jelas saja kau terpisah dari kami! Pria yang kau bicarakan itu adalah orang yang kau kenal seumur hidupmu! Dia mungkin bakal menerimamu layaknya keluarga—lalu bagaimana dengan kami?! Kau bisa menjamin pria itu tidak bakal memanfaatkan Erion? Atau menjebloskanku dan Alatas ke Herde lainnya?!" Truck mendengkus dan berbalik ke arah pintu. "Tanpa kau mendorong kami menemui para pemberontak saja, kau sudah seperti ancaman—"

Tanganku tahu-tahu melemparkan bantal dari ranjang ke kepala Truck. Alatas dan Erion, yang sejak tadi hanya menonton di pojok ruangan di antara tumpukan tas kami, berdengap melihat tindakanku. Truck berbalik dengan wajah murka, tetapi terkesiap sendiri saat melihatku menangis. Aku sendiri terkejut aku menangis.

"Kaukira aku tidak merasa terancam oleh kalian setiap hari?" isakku. Bantal kedua menabrak wajah Truck. "Kau mungkin takut kalau aku salah satu dari wanita Fervent yang gila, tapi kau bisa membunuhku kapan saja! Kau lebih besar dariku! Lalu, bagaimana denganku?!"

Aku melemparkan guling, tetapi Truck tidak berkelit. Dia terkesiap sendiri saat guling itu menabrak mukanya, padahal dia melihatku melemparkannya.

"Kaukira bagaimana perasaanku saat baru dikeluarkan dari reruntuhan itu?! Kaupikir, aku tidak ketakutan berada di dekat kalian?! Dengan seorang pria yang berniat menguburku hidup-hidup dan—" Kutunjuk hidung Alatas sampai pemuda itu menciut di sisi Erion, "seorang cowok yang terus-terusan menggodaku—belum lagi saat aku melihat isi pikirannya yang kotor, yang padahal sama sekali tak ingin kulihat! Dan kau bilang, aku yang ancaman!"

Di tengah histeriaku dan para anak cowok yang mendadak membatu ... aku merasakannya—sesuatu yang berbulan-bulan ini kutunggu dengan cemas, tetapi terus tak kuacuhkan karena aku tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Dengan panik, kurebut ranselku yang diduduki Erion. Melihatku membawa ransel ke arah pintu, Alatas buru-buru mendahuluiku, lantas memblokir pintu keluar dengan badannya. "Tunggu—Leila! Kita masih bisa bicarakan ini baik-baik—"

Namun, aku berbelok ke pintu kamar mandi.

Sambil berdoa benda itu masih ada, kubongkar ranselku sampai ke dasarnya. Aku ingat betul pernah mengambilnya di reruntuhan mall. Masalahnya, setelah singgah di pangkalan Komandan Binta dan koloni Calor, bawaan kami terus disita dan aku tidak yakin barang-barangku seluruhnya selamat dari penggeledahan—

Ada! Napasku yang tertahan langsung terembus lega setelahnya. Kurasa, benda ini masih utuh semata karena para penggeledah yang mayoritasnya laki-laki itu tak berani menyentuhnya seujung jari pun.

Aku mengecek, dan memang sungguhan terjadi. Setelah sekian lama, akhirnya periode bulananku datang. Lalu, aku mulai gemetaran. Ketakutan.

Sekeluarnya dari toilet, aku mesti mengambil satu langkah mundur lagi ke dalam lantaran para cowok itu menungguiku tepat di depan pintu. Kudekap tasku erat-erat dengan defensif. Wajahku barangkali seperti hendak menangis lagi karena mereka langsung menjaga jarak. Alatas bertanya kenapa wajahku pucat pasi, dan Erion berkata ke dalam kepalaku bahwa aku terlihat seperti akan pingsan.

Selang beberapa detik, Truck mulai tak sabaran dan menghampiriku. Matanya lantas menemui bungkusan pembalut wanita yang berjejalan dalam ranselku. Rengutannya berganti jadi ekspresi syok seolah aku habis mencolok matanya.

Truck langsung mundur dan dengan tampang jengah membisikkan apa yang terjadi pada Alatas. Wajahku panas, dan sepertinya aku akan menangis lagi saking malunya. Alatas yang pertama mendekatiku. Dengan lembut, dia bertanya, "Kau mau duduk dulu? Aku akan keluar dan carikan sesuatu untuk diminum, oke?"

Aku duduk di tepi ranjang masih sambil memeluk ransel sementara Alatas keluar. Truck berdiri di tengah ruangan dengan sikap yang canggung. Erion ikut duduk di sisiku, menarik papan permainan ular tangga untuk mencairkan suasana.

Aku janji tidak bakal curang lagi, kata anak itu seraya menggulir dadunya.

Saat bidakku sudah sampai ke pertengahan papan, Truck akhirnya buka suara, "Pertama kali sejak hibernasi?"

"Hah?" Awalnya aku mengira dia tengah membicarakan ular tangga, lalu aku sadar maksudnya adalah periode bulananku. "Eh ... iya. Aku tidak tahu kenapa ...."

"Mungkin dampak dari hibernasi," kata Truck seraya menyepak bantal-bantal yang bertebaran di lantai. "Karena sistem metabolismemu sempat melambat dan nyaris berhenti, dan entah berapa lama kau di dalam reruntuhan itu tanpa makanan, air, dan sebagainya—kemungkinan itu memengaruhi sistem reproduksimu. Masa subur yang harusnya terjadi tiap bulan, justru hanya terjadi 3 sampai 4 kali setahun."

"Tapi, aku Cyone."

"Seperti halnya rasa sakit, perih, dan ngilu saat terluka—Cyone hanya mempercepat penutupan luka, tapi tidak menghilangkan rasa sakit itu sendiri. Ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki bahkan oleh kekuatan super."

Aku mengerjap, teringat saat Alatas tertembak. Truck terus mendesakku untuk menghentikan pendarahan Alatas sendirian, sementara dia malah menembaki helikopter Komandan yang mencoba mencapai lokasi kami. Saat itu, tindakannya tampak seperti impuls dari kepanikan biasa—di mana dia lebih mengutamakan menghentikan serangan ketimbang menyembuhkan temannya. Baru sekarang aku terpikir .... "Itu sebabnya kau terus menjaga jarak saat Alatas tertembak. Kau tidak boleh menutup luka Alatas sebelum proyektil pelurunya keluar."

"Cyone tidak bisa memelantingkan serpih peluru keluar dari tubuh." Truck mengiyakan. "Dan kau pasti tahu, Cyone bisa bekerja dengan sendirinya—seperti Brainware—di luar kendali Fervent-nya sendiri. Kalau aku terlalu dekat, lukanya akan menutup lebih cepat, Alatas tidak sempat mengeluarkan proyektilnya, dan aliran darahnya akan membawa serpih peluru itu langsung ke jantungnya."

Aku tidak mampu membayangkan Truck masih sempat memikirkan itu semua di saat aku sendiri lupa cara bernapas dengan benar ketika Alatas tertembak.

Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku mengangguk saja dan menggulir dadu lagi. Tiga kotak sebelum aku mencapai finish, dan Erion mulai berpikiran untuk mencurangi daduku, Alatas kembali dengan sekantung plastik penuh air botolan. Salah satunya adalah minuman pereda nyeri untukku.

Aku menatap takjub ke arah Alatas. "Bagaimana kau—"

"Aku punya empat kakak perempuan." Alatas meringis. "Yang keempatnya tahu benar cara memanfaatkan adik mereka dengan baik."

Di satu sisi, aku hampir tersenyum geli; di sisi lain, aku lega dia tidak lagi menghindari topik tentang keluarganya.

Erion, dengan susu cokelat di tangannya, menelaah botol minumanku dengan binar mata tertarik. Kuberi tahu dia, Kau tidak mau minum yang ini, Er.

Anak itu mencondongkan diri ke arahku. Memang rasanya apa?

Aku buru-buru menghabiskan minuman pereda nyeri haid itu demi menyelamatkan Erion dari penyesalan seumur hidup di masa depan.

"Aku ...." Alatas berucap, tetapi kemudian menyetop dirinya dengan kikuk. Dia bersimpuh di depanku, lalu berkata, "Kami tidak tahu kau selama ini merasa seperti itu—terancam oleh kami ... maaf."

Aku menggeleng. "Kalau dipikir lagi, aku juga menyeramkan saat itu. Aku meledak di depan wajahmu."

Alatas menepuk-nepuk lenganku. "Oke, Leila, aku janji tidak akan menggodamu lagi, kalau itu membuatmu tidak nyaman."—Tak berapa lama kemudian wajahnya berubah tidak yakin. "Aku akan ... berusaha menguranginya. Maksudku, kadang saat aku memikirkannya, semua kalimat itu keluar sendiri tanpa bisa kutahan. Dan masalahnya, kau sangat imut saat—"

"Alatas," potongku sampai pemuda itu menarik ritsleting imajiner di bibirnya.

"Kalau kau takut, katakanlah atau tunjukan," kata Truck seraya membuang muka. "Setidaknya, aku mungkin bakal lebih memelankan tinjuku waktu itu."

Aku menggeleng sambil berjengit. "Saat umurku 13, aku salah masuk jalan di Kompleks 7. Aku bertemu preman pertamaku di sana. Mereka mengelilingiku dan mengucapkan hal-hal kotor. Karena tidak tahu harus melakukan apa, aku berteriak." Kurasakan seluruh tulangku dirayapi hawa beku tiap mengingat kejadian itu. "Baru kemudian aku sadar mereka justru menikmatinya saat aku menjerit ketakutan."

Erion membelalak. Kau tidak menghajar mereka pakai Corona?

"Aku tidak tahu saat itu aku punya kekuatan meledakkan benda-benda, Erion. Untungnya, ada seorang petugas NC melewati jalan itu juga. Si petugas tidak melakukan apa-apa untuk menolongku, tetapi para preman itu langsung lari dengan melihat seragamnya saja." Kuremas botol minumanku sampai penyok. "Makanya, aku tidak suka menunjukkan bahwa aku takut. Padahal sebagian besar waktu, aku cuma sok berani."

"Tapi, menurutku kau sungguhan gadis yang berani, Leila. Karena itulah aku jatuh hati." Setelah mengatakan itu, Alatas meringis sendiri karena teringat janjinya yang baru terucap sekitar semenit yang lalu. Dia mengerutkan wajahnya dengan ekspresi minta maaf. "Maaf, keluar sendiri."

Kurasa, Erion menceletuk ke dalam kepalaku, mulai saat ini, menahan gombalan bagi Alatas sama halnya dengan menahan kentut.

Aku buru-buru menangkup wajahku untuk menahan kikikan geli. Alatas langsung mengira aku menangis lagi dan meminta maaf berkali-kali.

Truck mendengkus. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi tadi di lantai bawah?"

Alatas menceritakan tentang Hunter, pantri, lalu Op si Teleporter. Sesekali aku menimpali bagian yang terlewat diceritakannya.

"Jadi, si Phantom itu tahu?" tanya Truck sambil mendesah kesal. "Artinya kita harus pindah penginapan—dia mungkin diciduk, tapi dia pasti melaporkan kita."

"Entahlah," kata Alatas. "Kurasa dia tidak bakal bisa bicara banyak—soalnya, Leila mematahkan hidungnya."

"Mematahkan hidungnya!" Truck menyalak jengkel padaku. "Kau bisa saja langsung meledakkannya atau menusuknya dengan salah satu pisau di sana—" Truck menepis ucapannya sendiri dengan tangannya. "Sudahlah. Bereskan barang—kita tetap harus pindah penginapan sekarang."

"Bagaimana dengan Op?" tanya Alatas.

"Dia Op," kata Truck sembari mengoper ransel-ransel kami. "Dia satu-satunya orang yang pernah mengerjai Raios di Herde. Dia melaporkanku pada Agen Herde karena bolos jadwal harian, dan keesokannya malah membelaku saat aku berkelahi dengan Giok. Siapa yang bisa mengerti tindakannya? Tidak ada! Baginya, ini hanya lelucon! Lagi pula, kalian langsung menemukannya di lobi tadi, itu artinya dia masih menginap di sini. Biarkan saja—dia bukan ancaman terbesar kita saat ini."

"Aku tersinggung, lho," kata sebuah suara di pojok kamar.

Kami menjatuhkan bawaan kami. Alatas mengambil senapan, dan Truck membuat kepalan tangannya berbunyi.

Si cowok Teleporter mengangkat kedua tangannya sejajar kepala. "Jangan begitu. Santai saja, mari duduk dan anggap rumah sendiri. Kalau kalian menghajarku, kalian akan kehilangan informasi yang mahal."

"Bagaimana dan sejak kapan kau masuk?" cecar Truck.

"Kira-kira sejak kau berkata, Kita harus pindah penginapan." Op menirukan Truck dengan begitu sempurna sampai hidung Truck kembang kempis melihatnya. "Aku kebetulan sering kemari. Kamar ini sudah dua kali kupakai—jadi kalian tidur di kamar bekasku. Nah, sekarang, kalian mau informasi menarik atau tidak?"

"Kenapa kami mesti memercayaimu?"

Op melemparkan sebuah kotak hitam seukuran genggaman tangan pada Truck—sebuah Arka. Katanya, "Aktifkan saja dan redam kekuatanku pakai itu. Suruh si cantik masuk ke kepalaku, cari ingatan di mana aku pertama kali diciduk oleh Komandan Binta, dan kita bisa ngopi bersama setelahnya."

Truck dan Alatas mulai sibuk berebut kotak itu dan berdebat bagaimana menyalakannya. Tak satu pun dari mereka tahu caranya.

"Bukan yang itu Truck! Tombol itu pengait di sabuk—ah itu yang satunya!"

"Aku bisa langsung menyalakannya kalau kau tidak ikut campur!"

"Tapi, kau belum mengatur jarak cakupannya!"

"Mana kutahu benda ini punya pengatur daya cakupan!"

Op berkomentar, "Ah, orang-orang udik."

Pada akhirnya, Erion mulai kesal dan merebut benda itu dari tangan Truck. Dia menggulirkan roda kecil di sisi kotak, lalu menekan satu tombol yang seketika menyalakannya. Op sampai bertepuk tangan. "Cuma kau yang otaknya jalan, Dik?"

Alatas menyiagakan senjatanya lagi dan Truck berada dalam posisi siap menyerang saat Op mendekatiku. Kedua tangan si Teleporter terentang seperti menyambut pelukan. "Ayo, Sayang—masuklah ke dalam kepalaku!"

Kuraih senapan Alatas, lalu memukulkan popornya ke kepala Op sampai cowok itu jatuh ke lantai yang penuh bantal. Pelipisnya berdarah, matanya membelalak padaku. "Kenapa kau lakukan itu?!"

"Lebih mudah bagiku membaca pikiran saat subjekku sekarat."

"Oh!" Alatas menepukkan kedua tangannya. "Seperti saat aku tertembak, dan Erion pingsan gara-gara serangan Pemburu di depan bungker Raios!"

Truck mengusap tengkuknya, tampaknya sedang membuat catatan pribadi dalam benaknya untuk tidak semaput di hadapanku.

"Tunggu! Kalau begitu biar aku cerita sendiri saja—" Perkataan Op terputus oleh hantaman popor senjata yang kedua.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Ingat adegan ini? |\・ω・。)

Thanks for reminding us with this epic, funny fanart yoitsnisa xD ❤




Atau yang iniiii ヽ(*゚ー゚*)ノ

Thanks for this sweet sweet sweeeeet fanart shiholilah xD ❤



Yang ini masih segeeer banget, baru beberapa chapter yang lalu  (* ̄∇ ̄*)

Thanks for this cute uwuw fanart Seirin11_04  xD ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro