#81

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #81 | 4799 words |

Song credit:
Learn to Love Again by Lawson

"KUKIRA INI drone."

"Aku juga dulu mengira begitu," ungkap Ryan. Tangannya sibuk mengencangkan tali sabuk berisi amunisi di pinggangnya. Senjata api menggantung canggung di bahunya. "Tapi, ini namanya Specter. Sedangkan drone adalah pesawat tanpa awak yang biasanya keliaran diam-diam di sekitar tembok Kompleks untuk mengintai, atau Garis Merah saat para Pemburu menjalankan razia."

Aku mengangkat dagu tinggi untuk mengamati keseluruhannya; Specter benar-benar mirip ikan pari tanpa ekor. Hampir seukuran helikopter, tetapi kapasitas angkutnya ternyata lumayan besar. Masih sambil menonton kapal terbang itu disiapkan, aku bertanya, "Benarkah benda ini bisa berkamuflase di langit malam?"

"Iya," jawab Ryan. "Tapi, saat itu terjadi, fungsi Arka-nya harus dimatikan."

Aku berjengit. "Arka, 'kan, untuk meredam kekuatan Fervent—kenapa pesawat ini punya fungsi itu kalau bakal dinaiki Fervent juga?"

"Buat menghalau serangan Fervent liar di Garis Merah. Jadi, tak ada Phantom atau sejenisnya yang bisa menjatuhkan Specter saat kita lewat di atas mereka."

"Berarti kau tahu, 'kan, kalau lewat Garis Merah nanti ada kemungkinan para Steeler di bawah kita mencoba menyabotase entah bagian luar atau bagian dalam kapal?" tanyaku. "Termasuk semua amunisi dan senjata api di bahumu itu."

Ryan meragu sesaat. Tangannya seperti hendak melepaskan selempang senjata dan mencampakkannya ke tanah, tetapi kemudian dia menggeleng dan kembali mengencangkan sabuk. "Tidak. Aku butuh ini."

"Buat apa?"

"Membela diri," jawabnya. "Kalau terjadi apa-apa, para Fervent itu mustahil memikirkan manusia normal sepertiku—" Ucapannya terpotong saat melihatku bersedekap. "Bukan kau, Leila. Aku bicara tentang Fervent lain di T. Ed."

"Karena itu kau tetap mencariku? Kaukira aku tak sama dengan Fervent lain?"

Ryan tampak berpikir. "Bagaimana denganmu sendiri? Setelah kau pindah ke Kompleks 45, dan selama kau tersesat di Garis Merah ... kau tidak memikirkanku sama sekali?"

Wajahku jadi panas. "Tentu saja aku memikirkanmu."

Dia menegakkan punggungnya. "Jadi—"

"Bagaimana pun, kau pacar pertamaku." Aku mencerocos. Tampaknya, karma saat aku mengorek isi hati Alatas masih belum selesai. "Selama ini temanku sedikit. Dan hampir seumur hidupku, ayahku mengontrol segalanya. Kau orang pertama yang menarikku ke dunia luar, teman-temanmu menerimaku, dan tentu aku tak bisa mengacuhkan bahwa ... semua hal berbahaya yang kau ajak aku untuk lakukan selama ini punya andil membentukku sampai aku mampu bertahan di Garis Merah. Tentu saja aku sering memikirkanmu. Kau, teman-teman kita di Kompleks 44, keluargaku—kalian adalah motivasi utamaku buat bertahan dan pulang."

"Sepertinya akan ada kata 'tapi' dalam kalimat panjang itu."

"Tapi," tambahku di tengah ucapannya sampai Ryan mengeluh panjang. "Berbulan-bulan ini aku merasa sesuatu berubah. Bukan hanya perkara aku menjadi Fervent—maksudku, itu juga salah satunya. Saat kau mengucapkan 'para Fervent', kau harus terima kalau aku bagian dari mereka. Aku sama seperti Fervent lainnya."

Wajahnya berubah murung. "Dan?"

"Dan ... ada banyak sekali hal yang masih menahanku. Hal-hal yang tak bisa kukatakan sekarang."—Berbagai hal itu bertumpukkan dalam benakku: jasad ayahku, pertikaian antara T. Ed dan NC, prahara antara Fervent dan manusia normal, seseorang bernama Raven .... Aku bahkan tak tahu mengapa sosok asing itu seakan menjadi salah satu pemberat di kakiku. "Aku ... peduli padamu. Dan aku tahu kau juga peduli padaku. Tapi, kita sudah tak berada di dunia yang sama."

"Hal-hal yang tak bisa kau katakan," ujarnya tanpa emosi, "apakah salah satunya berhubungan dengan cowok Fervent itu?"

Aku langsung tahu dia membicarakan Alatas. "Iya," ungkapku jujur.

"Kenapa kau tidak mau Pak Timothy tahu kalau Detektor-nya berbeda?" tanyanya. "Kau selalu berkata pria itu seperti ayah keduamu."

"Ada banyak hal yang kualami selama di Garis Merah," akuku. "Terlalu banyak hingga aku berada pada titik di mana aku tidak bisa memercayai siapa pun, bahkan orang yang kupikir kukenali seumur hidupku."

"Kalau kau tidak memercayainya, kenapa kau membukakan jalan untuk Pak Timothy menuju koloni Fervent lain?"

"Aku tidak melakukan itu untuknya, tapi untuk Truck." Aku mengangkat bahu. "Lagi pula, koloni Calor yang bersangkutan sudah hampir direkrut oleh Komandan. Sebelah kaki mereka sudah masuk ke perang ini jauh-jauh hari. T. Ed mungkin tidak lebih baik, tetapi kurasa yang terburuk adalah membiarkan Komandan NC menjadi pihak yang menarik para Calor sepenuhnya."

Satu alasan lain yang tak kuungkapkan adalah keegoisanku sendiri: jika Alatas dan Truck ingin mengamankan Erion ke koloni Embre, aku ingin memastikan anak itu masih ada dalam jarak pandangku. Membujuk koloni Embre bergabung dengan T. Ed adalah satu-satunya jalan yang terpikirkan olehku.

"Bagaimana dengan para Teleporter?"

"Tidak ada alasan khusus. Aku cuma suka melihat Op kelimpungan." Aku mengamatinya saat Ryan menyalakan rokok yang terapit di antara bibirnya. "Kau masih merokok?"

"Hanya saat sebelum menjalani misi dari T. Ed, untuk menenangkan diri."

"Hei, mereka hampir sampai!" Seorang pria berseragam kamuflase berseru sambil berlari melewati kami, lalu menunjuk Ryan. "Dan sudah dibilang berapa kali jangan merokok dekat barang-barang yang mudah terbakar atau meledak!"

Ryan menggilas rokok di bawah tumit sepatunya dengan enggan.

"Kau yakin, kita bisa meloloskan Meredith jika waktunya mepet begini?"

"Harus berhasil," jawabnya. "Semua tembok dijaga—tak ada yang bisa keluar-masuk kecuali pasukan Bintara. Bahkan jika pesawat kita lewat dengan mode kamuflase, penjaga gerbang akan mendeteksinya dan menembak kita jatuh."

Karena Specter-specter ini identik, kami berencana menunggu Raios dan Komandan datang agar Specter T. Ed bisa naik dan membaur ke antara Specter-specter Bintara. Tempat ini berada di ujung perbatasan Kompleks 12, maka Op dan Sir Ted akan meneleportasikan Meredith keluar tembok di detik-detik terakhir agar Raios mendeteksi lokasi gadis itu dan memancing pasukannya ke sana—jadi, kami bisa ikut menyusup keluar di antara mereka.

"Kukira, hanya T. Ed yang memiliki Specter," desahku kecewa.

"Ada sekitar dua puluh unit yang masih berada di tangan NC," kata Ryan. "Kurasa karena itu juga T. Ed membelot. NC sudah banyak melanggar perjanjian dan menyebabkan banyak kerugian bagi T. Ed, tapi mereka masih menggunakan aset T. Ed, termasuk mengambil sebagian besar Fervent didikan PFD."

Aku sudah meletakkan semua bawaanku di bagian kargo, jadi kami segera menghampiri ibuku yang menunggu dengan cemas di atas landasan. Kami menjadi yang terakhir masuk ke dalam Specter.

Saat yang lain mengencangkan sabuk, aku masih berdiri. Penumpang pesawat ini lebih sedikit dari perkiraanku. Sebagian besar ruang ditempati barang-barang bawaan—berkotak-kotak sampel yang diawetkan, berpeti-peti hasil hutan, persediaan senjata dan amunisi ....

Kuamati wajah-wajah asing dalam pesawat. Yang kukenali hanya Mo.

"Mana yang lain?" tanyaku.

"Ed mengungsikan Meredith dengan Si Teleporter," kata ibu. "Dan beberapa orang belum bisa pergi karena masih banyak aset yang belum bisa diangkut di sini."

"Yang lain?" desakku lagi.

"Oh, teman-temanmu?" tanya ibu seraya membelalakkan mata. "Mereka tidak bilang padamu? Mereka masih di luar. Sabang akan memimpin mereka kembali ke koloni Calor untuk penawaran gencatan senjata dan ajakan perekrutan."

Perutku seperti ditonjok. Aku bahkan belum berbaikan dengan Erion dan Alatas ....

"Bukankah Sabang dinon-aktifkan karena perlakuannya pada Meredith?" tanyaku. "Barangkali seharusnya Sabang naik kemari, dan aku yang—"

"Hanya Sabang yang punya koneksi untuk meloloskan mereka melewati kota," kata Ryan. "Jangan lupa, kalian masih buronan di tempat ini. Teman-temanmu tidak bisa lewat kalau tidak bersama Sabang."

"Leila ...." Ibu menarik tanganku dengan gelisah. "Duduklah."

Dengan enggan, aku duduk di sampingnya.

Laporan sudah masuk; selusin Specter memenuhi langit, mendekati lokasi kami. Dengan kaki terentak gugup, aku bersandar dan memejamkan mata.

"Aku tak percaya ayahmu mengalami hal-hal macam ini terus," bisik ibu. Aku membuka mata dan mendapatinya yang ikut bersandar di sisiku. Wajahnya dekat sekali sampai-sampai aku harus melirik ke bawah untuk menghindari matanya. "Kau tahu, kita pernah mengalami hal seperti ini saat kau masih kecil—dicurigai, dikejar sampai harus mengungsi ke rumah nenekmu. Selalu Ed dan beberapa orang baik di NC yang membereskannya, membuat kita aman lagi."

"Hmm." Aku mengangguk. Sosok Jovan, seorang pria Cyone yang membantu ibu melahirkanku dan mati karena Raven, berkelebat di memoriku.

"Ibu ingat saat umurmu masih 6 bulan, ayahmu tidak pulang seminggu penuh. Ibu menggendongmu tiap malam karena kau gelisah, menangis terus, seperti pertanda buruk. Pada malam kedelapan, ayahmu pulang dalam keadaan babak belur." Ibu mendesah. Suaranya bergetar.

"Bagaimana ibu akhirnya terbiasa?" tanyaku sembari menggenggam tangannya.

"Oh, tidak. Ibu tidak pernah terbiasa. Bahkan dalam keadaan normal, Ibu tetap merasa khawatir dia bakal kehilangan kancing yang terus dibawa-bawanya itu."

Aku tercenung. "Ibu tahu kehidupanmu dengannya tidak bakal mudah. Kenapa tetap menikahinya?"

Ibu merogoh tas di sisi kursinya dan mengeluarkan dompetnya. Di dalamnya, ada beberapa lembar foto. Paling atas adalah foto kami bertiga saat umurku 15 (bisa kurasakan Ryan mengintip di sisiku, terkikik sambil mengomentari rambutku sampai kemudian aku menyikutnya). Di bawahnya, berturut-turut, adalah fotoku digendong mendiang nenek, foto pernikahannya, dan foto saat mereka wisuda.

"Ini cowok yang katanya pernah naksir Ibu," kataku sambil menunjuk seorang pemuda berwajah kalem yang bersebelahan dengan ayah di foto terakhir. "Sir Ted yang cerita—katanya cowok ini jadi politisi setelah lulus, mencoba melamar Ibu waktu kalian wisuda, tapi ayah menonjoknya sampai giginya tanggal satu."

Ibu merona. "Iya ... ayahmu memang seram. Tapi, bukan itu yang ingin Ibu bahas. Nah, Ibu seharusnya tidak lulus tepat waktu. Itu bertepatan saat kakek buyutmu, satu-satunya keluarga Ibu yang tersisa, jadi sering sakit-sakitan. Ibu benar-benar linglung, hampir memutuskan cuti. Tapi ayahmu membantu Ibu melewati dua semester terakhir. Bahkan sampai kakek buyutmu meninggal, ayahmu selalu bersama Ibu. Nenek Magen—ibunya ayahmu—juga sering datang dan menginap di rumahku karena, katanya, indekos ayahmu seperti kandang ayam."

Aku pernah melihat seberapa parahnya kamar indekos itu dalam memori ayah. Aku harus setuju dengan mendiang nenek.

"Ibu merasa hampir gagal di tugas akhir, tetapi ayahmu mendorongku untuk menjalaninya sampai habis. Akhirnya, kami wisuda bersama. Ayahmu juga yang meyakinkan ibu bekerja dengannya, sampai akhirnya kami jadi dekat dan menikah." Sebelum aku angkat suara, ibu mendahuluiku. "Dan kami tidak pernah bertemu lagi dengan pria yang ditonjok ayahmu saat wisuda itu. Ed benar—dia jadi politisi, kaya raya, terlalu terpandang untuk kami temui."

"Jadi ...?" Aku mengerutkan pipi. "Antara mutan berkancing dan politisi ... aku masih tak mengerti kenapa ibu berpikir kalau mutan berkancing lebih baik."—Maaf, Yah, desisku membatin kemudian.

"Ini bukan tentang siapa yang lebih baik, Sayang." Ibu menyimpan dompetnya kembali. "Ini tentang siapa yang bisa membuatmu menjadi lebih baik. Kalau bukan karena ayahmu, Ibu mungkin akan berhenti kuliah, luntang-lantung, pasrah saja diperistri pria mana pun untuk kehidupan yang lebih baik. Ayahmu mengajariku kalau aku bisa hidup lebih baik dengan tanganku sendiri—pilihanku sendiri."

Setelah ibu bicara begitu, beberapa orang di depan kami mendadak berdiri dari kursi mereka, tampak gelisah. Kucegat Mo yang tampak gemetaran sekeluarnya dia dari kokpit. "Mo, ada apa?"

"Ada yang aneh sama formasi Specter Komandan," kata anak itu. "Mereka terus terbang di atas kita. Mereka juga tidak segera pergi ke perbatasan."

Aku berjengit. "Apa Meredith belum dipindahkan?"

"Sudah kok. Seharusnya, mereka langsung pergi, 'kan, karena mendeteksinya di luar Kompleks? Kak Op bilang, cowok yang namanya Raios itu lebih seram dari anjing pelacak dan Terminator digabung. Tapi, mereka nggak pergi-pergi."

Itu mustahil. Maksudku, aku percaya kalau perihal Terminator berfusi dengan anjing pelacak itu bisa menghasilkan Raios—tetapi, mustahil Raios tidak langsung mengejar Meredith. Jika Specter-specter Komandan tidak pergi, artinya ....

"Raios tidak bersama mereka." Ryan melepaskan sabuk pengaman dan berdiri.

Aku ikut berdiri saat tanganku ditahan. Aku menoleh, melihat ibuku yang hampir menangis dan sorot matanya dipenuhi ketakutan. "Kau mau ke mana?"

Aku pernah direbut dari ibuku, dan aku tidak mau melakukan hal yang sama padamu—suara Alatas membayangiku, menahan bobotku untuk kembali terhempas ke kursi. "Tidak ke mana-mana."

Aku sedang menepuk-nepuk lengan ibu yang gemetaran saat suara statis memenuhi bagian dalam pesawat, menusuk telinga sampai ke otak.

"—Aga Morris." Dengung itu disela oleh suara seseorang yang membuatku mematung. "Kepada Aga Morris—kami perintahkan untuk menyerahkan diri segera sebelum kami mengambil tindakan tegas."

"Ini suara Komandan," kata seorang pria dengan gugup sebelum kemudian menghampiri pilot. "Apa dia sadar kita ada di dalam Specter ini."

"Kurasa belum. Pesan ini melalui transmisi broadcast ... bahkan orang-orang kita yang masih tinggal dalam gudang dan rumah sakit pun mendengarnya."

"Kepada Aga Morris—kami perintahkan untuk menyerahkan diri—"

Aku kehilangan kontrol saat itu juga. Telingaku jadi tuli dan permukaan kulitku terasa kebas. Kalau pun ibu mencengkramku dan berteriak memanggilku, aku takkan mendengarnya. Aku berlari keluar, meloncat ke landasan sebelum Specter menutup dan menjalankan mode kamuflase di belakangku. Aku melewati Ryan, yang tampaknya terlalu kaget untuk menghentikanku.

Di depan bangunan rumah sakit, Op dipapah salah satu pekerja Sir Ted yang berseragam tim medis. Darah berceceran dari kakinya, membentuk jejak panjang di belakang. Noda merah-cokelat yang lebih tipis merebak di bajunya. Laki-laki itu didudukkan di depan pintu kaca, di mana Truck kemudian berlutut memeriksanya.

"—tidak waras!" Op meludah ke samping. Wajahnya bertopeng debu dan jelaga yang menempel ketat karena keringat. "Dia muncul sendirian di belakangku! Terlambat satu detik saja aku berteleportasi, badanku sudah terpisah jadi dua!"

"Mana Meredith?" tanyaku. "Dan Sir Ted?"

Mereka menoleh dengan kaget. Bahkan Truck berjengit. "Kenapa kau di sini?"

Aku menepis pertanyaannya dan terus fokus pada Op. "Meredith dan Sir—"

"Di dalam." Op mengedik ke bangunan tua rumah sakit, yang kusadari beberapa kaca depan di lantai dua telah pecah. "Pak Timothy membaca pikiran Raios: Bintara sengaja tidak membawa Raios bersamanya, entah bagaimana dia tahu rencana tolol ini. Jadi, sementara Raios mengejar Meredith, Specter-specter Bintara akan membumi-hanguskan tempat ini."

Dia meludah lagi. Salivanya tercampur darah.

"Jadi, aku dan Pak Timothy mengubah rencana di detik-detik terakhir. Kami kembali kemari, memancing Raios ke dalam bangunan, agar Bintara tidak langsung membakar tempat ini."

"Tapi, itu berarti kita hanya menunda!" kataku ngeri. "Begitu Raios mendapatkan Meredith, dia akan kembali pada Bintara. Mereka akan membakar tempat ini, kita tidak bisa keluar, dan semuanya akan mati di sini!"

"Terima kasih rangkumannya!" Op meludahkan lebih banyak darah. "Kalau menurutku, bunuh cewek itu! Raios tidak bakal berhenti sampai mendapatkannya."

Truck menggeram rendah. "Kalau terhadap penculiknya saja Raios sampai seperti ini, menurutmu bagaimana sikapnya kalau kita membunuh Meredith?"

"Korbankan satu orang!" erang Op. Pendarahannya masih belum berhenti di bawah tangan Truck. "Kita ambil suara—si Sabang itu, menurutku. Suruh Sabang membunuh Meredith, jadi Raios cuma akan mengejarnya—habis perkara!"

Salah satu Specter Bintara menggantung rendah, begitu dekat dengan atap rumah sakit sampai kaca-kaca teratasnya pecah. Op beringsut-ingsut saat pecahan kaca menghujani kami. "Bawa aku menjauh dari sini, dasar orang-orang goblok!"

Mereka memapah Op. Saat melewatiku, Truck bergumam, "Jaga dirimu."

"Kau cuma baik padaku di detik-detik terakhir," ocehku sebal.

Truck hanya mengangkat bahu sebelum kemudian membawa Op menyingkir.

Aku berlari masuk ke dalam bangunan rumah sakit tua, menaiki anak tangga dua-dua sambil mengingat-ingat lokasi kaca jendela yang pecah. Karena seluruh alat medis dan sampel Fervor sudah dipindahkan, tempat ini nyaris kosong. Semua koridor sepi dan tampak horor dengan pencahayaan yang buruk. Lalu, pekikanku pecah saat Sir Ted muncul dari udara kosong di ujung lorong, diikuti kelebatan sosok lain di sisinya yang kemudian menyingkap Raios. Mereka berkejaran dengan begitu cepat, hilang-muncul begitu saja, berteleportasi di sepenjuru koridor.

Begitu Sir Ted melintas di sisiku, pikiranku berpacu. Tanganku mengepal, gigiku bergemeletuk karena adrenalin. Kuulurkan tanganku saat kelebatan yang mengejarnya muncul. Kunaikkan suhu di sekitar kepalan tanganku sebelum sosok Raios benar-benar terbentuk, lantas kulepaskan energi yang memancarkan sinar merah keunguan yang melontarkan pemuda itu kembali ke ujung lorong.

"Leila?" Sir Ted terperanjat. "Kenapa kau di sini?!"

"Sama-sama," balasku ketus. "Mana Meredith?"

"Pertanyaan bagus," desis Raios, yang sudah bangkit lagi. Pemuda itu kembali bergerak seperti hantu ke arah kami. "Mana Meredith?!"

Aku meloloskan diri ke koridor lain sambil berpikir ... Raios mengejar Sir Ted, artinya dia kesulitan mendeteksi Meredith di sini. Tampaknya kekuatan gadis itu sedang diredam, entah menggunakan Arka atau ....

Erion! Aku menjangkau jauh ke dalam otakku. Pikirannya, ingatannya ... aku bisa merasakannya, termasuk posisinya saat ini. Aku bergerak, menikung dan menaiki tangga menuju lantai tiga, lalu menyelinap ke bawah anak tangga yang menuju lantai empat. Kutemukan pintu rendah di sana, yang dibaliknya adalah ruangan kecil penuh pel buluk, sapu patah, ember kosong, Meredith, dan Erion.

"Fervor yang diredam membuatnya samar dari sensor Detektor," lirihku girang. "Anak pintar!"

Erion merengut ke arahku. Jangan ngomong sama aku. Aku masih marah.

Meredith merintih sambil masih meringkuk, "Raios tidak akan berhenti. Kalian ... harus membiarkannya membawaku."

Betapa bodoh ide itu. Kami takkan ada bedanya dengan Op jika membiarkan Meredith kembali ke kerangkeng Raios. Namun, belum sempat aku berkomentar, terdengar bunyi udara berdesing, debuman, lalu kaca-kaca lantai tiga serentak pecah. Lampu koridor berkedip dan mulai mengalami korsleting. Lantai bergetar. Satu sisi dinding mulai membentuk retakan panjang dari ujung atas ke bawah.

Erion mendongak. Dia memutus Peredam dan mengaktifkan X, memindai atap bangunan untuk melihat apa yang terjadi. Bibirnya terkatup tegang. Kalau ikan pari raksasa itu mengeluarkan moncong meriam mini dari alasnya, apa artinya?

Aku berdengap. "Mereka akan meruntuhkan bangunan ini."

Erion menyelinap keluar dan berlari menyeberangi lorong. Dia berdiri di tepi jendela besar yang tak lagi berkaca. Tangannya bergerak. Apa pun yang dilakukannya membuat tembakan-tembakan berhenti. Guncangan berkurang. Tanpa membuang waktu, aku mencoba menarik Meredith. "Ayo—"

"Tapi, dia akan terus melacakku!" Meredith menepisku. "Tolong, biarkan aku ... aku akan meyakinkan Raios untuk meninggalkan Bintara!"

"Itu artinya kami mengorbankanmu! Mana bisa aku membiarkanmu terkurung bersama Raios lagi hanya demi mengurangi kekuatan Bintara!"

Gadis itu menampikku lagi. Sekilas, aku merasakan sensasi ganjil itu lagi, seperti saat melihat memorinya—perasaan carut-marut, bimbang, dan gelisah.

"Jangan bilang ..." kataku tergugu. Tentu saja aku sudah menduga masalah Meredith, tetapi aku tak menyangka akan separah ini. "Kau tidak mungkin serius—maksudku, dia memang membawamu keluar dari Herde. Tapi, apa yang dia lakukan selanjutnya adalah menyanderamu! Raios tidak berbeda dari orang-orang Herde itu sendiri! Kau ... kau tidak mungkin sungguhan mencintainya!"

Gadis itu mulai sesenggukan—tangisan yang di dalamnya penuh kebingungan dan keyakinan akan perasaannya sendiri, teraduk jadi satu dengan cara yang aneh. "Aku hanya mengenal Raios selama ini ...."

"Kau harus memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk mengenal orang lain!" tukasku, masih berusaha menariknya. "Raios itu pembunuh!"

"Aku juga pembunuh, Leila!" teriak Meredith. "Kaukira, bagaimana caranya aku berakhir di Herde?! Aku membunuh orang tuaku sendiri!"

"Bukan itu maksudku—"

"Aku juga tidak mau terkurung lagi di bungker menyesakkan itu—ketakutan pada teman-temannya yang dia bawa dan menyaksikannya mengakhiri nyawa orang tanpa rasa bersalah! Tapi aku tidak punya pilihan! Aku hanya ...." Tubuhnya yang kurus melesak ke bawah tumpukan sapu. "Aku hanya punya Raios ...."

Aku sempat mempetimbangkan untuk memukulnya di kepala sampai pingsan, lalu membopongnya keluar. Akhirnya, setelah beberapa detik pergumulan batin, aku berbalik untuk meminta bantuan Erion menyeret Meredith paksa. Namun, yang kusaksikan justru membuat kerangka di tubuhku hampir ambruk.

Di ambang jendela besar, Raios berdiri. Satu tangannya mencengkram kerah baju Erion. Dia memegangi anak itu di tepi, siap menjatuhkannya dari lantai tiga.

"Aku memasang Arka di punggung celananya." Pemuda itu mengguncangkan badan Erion, yang kakinya menendang-nendang udara. "Fervor-nya teredam sepenuhnya. Dia takkan bisa menyelamatkan diri jika jatuh dari ketinggian ini."

Darah seolah menyurut dari kepalaku. "Jangan—"

"Kusarankan kau segera turun ke bawah." Raios meregangkan dua jari tangannya. Aku menjerit menyaksikan Erion melorot, hanya tergantung pada tiga jari tangan Raios. "Anak ini butuh seseorang untuk menangkapnya."

Diilustrasikan oleh: sonozakirei


Meredith merangkak keluar dari sampingku. "Raios, jangan!"

"Akan kuberi kau waktu 20 detik untuk menuruni tangga dan pergi keluar," lanjut Raios tanpa mengacuhkan Meredith. "20 detik sebelum aku melepaskannya."

Namun, mataku kini fokus pada dua lempengan baja yang berputar-putar di luar jendela, menyasar ke bawah kaki Erion. Untuk sesaat, Raios berjengit, merasakan sesuatu di belakangnya. Dia menoleh sedikit, memberiku celah untuk menerjang maju dan menyergap lehernya. Pegangannya dari Erion terlepas, tetapi Meredith menangkap anak itu sampai keduanya bergelantungan di tepi jendela.

"Aku tidak bisa menahannya!" jerit Meredith sengsara.

"Tidak apa-apa! Kau bisa melepaskannya!" Itu suara Alatas, jauh di bawah. "Aku sudah mendapatkannya—"

Lalu, suara-suara di belakangku memudar. Lenganku menjepit leher Raios dan lututku menahan punggungnya ke lantai. Kusalurkan seluruh amarahku sambil terus mengingat bagaimana Embre pernah mempraktikan hal yang sama padaku: lengannya membelit leherku, satu tangannya yang lain menahan kepala belakangku.

Ini baru namanya mematahkan leher.

Raios mengeluarkan suara berdeguk tercekik saat aku mendorong kepala belakangnya. Dia sempat meronta, tetapi akhirnya menguasai dirinya dengan cepat dan berteleportasi keluar dari pitinganku.

Aku ambruk sambil mencekik udara kosong saat Raios muncul di depanku. Dia tersengal. Namun, aku tak sudi memberinya waktu untuk mengambil napas. Dengan bertumpu pada satu kaki, aku bangkit dan melompat, menerjangnya lagi.

Ada yang berbeda saat aku menyerangnya untuk yang kedua kali. Rasanya hampir sama seperti saat aku mengeluarkan cahaya merah-ungu itu dari kepalan tanganku, membakar dan meledakkan udara sampai Raios terpelanting sebelum ini—sekarang, sensasi itu menyebar di seluruh tubuhku. Wajah Raios tampak memudar, terdistorsi, seolah koridor berubah menjadi wajan raksasa dengan minyak yang dididihkan di dalamnya. Aku merasa sesak di dalam badanku sendiri, tetapi aku terlalu marah untuk berhenti.

"Berani-beraninya!" Aku menghantamkan kepalan tanganku yang panas bercahaya. Saat tinju itu mengenai Raios, kulit pipinya mengelupas. "Sekarang, kau juga ingin membunuh Erion?!"

Tinju kiriku yang juga terselubung cahaya melesat ke hidungnya, tetapi Raios berhasil menepisnya kali ini. Sementara dia memerhatikan tanganku, wajahku bergerak maju untuk menghantamnya dengan kepala. Raios tersentak ke belakang, tampak hampir semaput, sementara aku tak merasakan apa-apa kecuali sesak.

"Apakah tidak cukup," geramku, "kau dan Bintara membunuh aya—"

Seseorang menarikku, bersamaan dengan Raios yang mendorongku dari atasnya. Saat aku mendarat, lantai lorong pecah dan hancur di bawah bobotku.

"Leila ..." desah Meredith. Dia menjaga jarak di depanku. Sir Ted di sisinya, tangannya terulur ke arahku, menyadarkanku bahwa pria itulah yang barusan menarikku. "Leila, tenanglah. Kau akan meledakkan kita di dalam sini."

Pecahan keramik berputar di sekitarku, tercampur bersama beling. Pandanganku masih terdistorsi, tetapi rasa sesaknya berkurang sedikit demi sedikit. Gelombang kejut yang berasal dari tubuhku membuat dinding retak. Pakaian serta rambut Sir Ted dan Meredith berkibar seperti diterpa badai. Aku pun menarik napas, berusaha memadamkan Peledak-ku sebelum kami terbunuh sia-sia.

Aku hampir pulih ketika bangunan berguncang sekali lagi dengan lebih dahsyat. Lantai ambruk dan tembok di sekeliling kami terbelah. Aku sempat melihat sekilas saat Raios menelungkupi Meredith, sementara Sir Ted melompat ke arahku. Turbulensinya sangat parah sampai rasanya kepalaku terpisah dari badanku.

Lalu, hal buruk itu segera berlalu saat kami muncul di atas atap bundar silo. Kudengar Sir Ted meringis, "Meleset."

Aku terduduk gemetaran, merasa lelah luar biasa dan panas seolah tulang-tulangku terbakar di dalam. Susah payah, aku bersuara, "Apanya?"

"Seharusnya aku langsung membawa kita masuk ke Specter, tapi aku panik." Pria itu menatap kubah silo di bawah kami. "Tadi aku tidak bisa melihat .... A, apa menurutmu Raios dan Meredith berteleportasi juga?"

Kami menoleh dan menyaksikan asap kelabu membumbung, pohon-pohon di sekitar sana tumbang, dan bangunan tinggi rumah sakit tua itu tak lagi tampak puncaknya. Masih tersengal, aku berkata, "Aku tidak tahu. Aku melihat Raios bergerak ke arah Meredith, tapi cuma sampai sana."

Seragam Sir Ted compang-camping. Debu membedaki wajahnya. Matanya nanar menatapku. "Jawab aku, Leila. Apa yang sebenarnya terjadi pada ayahmu?"

Bibirku mengatup rapat. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.

"Aku awalnya berpikir kalau ayahmu bersama orang-orang itu!" Sir Ted menunjuk segerombolan Specter milik Bintara yang kini menjaga jarak dari ledakan. "Tapi, pesan yang mereka sampaikan tadi ... mereka juga mencarinya!"

Ucapannya terputus ketika salah satu Specter mendekat tanpa suara. Saat aku berjengit mundur, Sir Ted mendesah, "Tidak apa-apa, ini milik kita."

Pintunya terbuka, dan ibuku melompat keluar sambil mengabaikannya teriakan seorang pria yang berjaga di ambangnya. Sir Ted menangkap ibuku, lantas berteriak frustrasi, "Tidak anak, tidak ibu—kalian sama saja!"

"Kita bisa pergi sekarang, Pak," kata pria di ambang pintu landasan. "Anak bengal itu berhasil memimpin beberapa Fervent kita untuk membajak salah satu Specter Bintara. Mereka akan mengarahkan kita keluar tembok dengan aman."

Sir Ted mengernyit. "Anak bengal?"

"Si manusia normal—pirang, tinggi, berotot, wajahnya menyebalkan, dan tatapan matanya kurang ajar."

"Ryan," desis Sir Ted. "Dia bergerak tanpa perintah lagi?!"

Pria di ambang pintu itu menegang sesaat, menjaga keseimbangan saat Specter berguncang karena terbang terlalu dekat dengan silo, pepohonan, dan jilatan api. "Tapi dia berhasil," lanjutnya. "Op juga bersamanya dalam Specter itu. Fervent lain yang bersama Sabang juga sudah bersiap menemui para Calor. Tinggal kita yang belum pergi, jadi cepat! Pasukan Bintara kelihatannya masih mencari Raios, tapi tak lama lagi mereka akan menyadari ada satu Specter mereka yang keluar jalur!"

Sir Ted mengukur jarak antara atap silo dan landasan ke pintu Specter. Melompat turun dari pesawat itu lebih mudah dilakukan, tetapi landasannya terlalu curam dan jauh untuk didaki. Pesawat itu juga tidak bisa mendekat lagi karena terhalang pohon-pohon yang masih berdiri. Kami tak bisa naik dengan cara manual. Dan, setelah mendengar teori Truck tentang patah leher gara-gara diangkat Phantom, aku jelas akan menolak cara itu.

"Tutup pintunya dan naik sedikit!" perintah Sir Ted. "Kami akan berteleportasi ke dalam." Specter pun bergerak menjauh. Meski masih tampak kesal segalanya tak berjalan sesuai rencana, Sir Ted terlihat agak lega. "Ayo, bergegas—"

"Ayahmu sudah tidak ada, ya?" tanya ibu dengan suara berdeguk. Seketika itu juga, sekujur tubuhku mati rasa. Bahkan Sir Ted mematung. "Kau tidak pernah menatap mata Ibu saat kita membicarakannya. Dan saat kau berlari keluar pesawat barusan ... saat kau mendengar nama ayahmu disebutkan ... tatapan itu adalah tatapan dendam."

"Benarkah itu?" Sir Ted akhirnya menoleh. Aku terkejut saat mendapati matanya yang memerah seperti hendak menangis. Bukan respons macam itu yang kuharapkan darinya. "Aga sudah—?"

Aku menggigil. Air mataku berjatuhan dengan derasnya, tetapi anehnya aku merasa lega saat akhirnya berucap, "Iya ... dia sudah—ka-kami ... menguburnya."

Aku menelaah ekspresi ibu. Namun, aku tidak bisa menilai sama sekali.

Tatapan mata ibu kosong dan hidungnya memerah, tetapi hanya itu. Air matanya tidak kunjung keluar, satu tangannya terlipat ke belakang, dan satu tangan lagi mencengkram ujung bajunya sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang berbicara lagi. Hanya ada suara beton ambruk dan retih api di bawah sana.

"Ibu ...?"

Ibuku membuka bibirnya, tetapi gagal berkata-kata. Matanya terpejam, dan setetes air mata pun akhirnya jatuh.

"Jadi, ayahmu takkan pulang," lirihnya dengan suara sengau. Bibirnya bergetar. Saat sadar bahwa ibu sedang berusaha menekan perasaannya, aku jatuh berlutut di kakinya. Dia menarik napas cukup lama sampai sanggup bicara kembali, "Sekarang, Ibu hanya punya kau, Leila ... Ibu tidak bisa kehilanganmu lagi."

"Ibu tidak akan kehilanganku lagi," janjiku seraya menyeka air mata dan berdiri buru-buru. "Aku sudah di sini! Sekarang, ayo, kita pulang—"

Ibu menghentikanku. "Itu masalahnya, Leila. Bukan hanya ayahmu ... kau pun tidak pernah pulang pada Ibu. Sejak awal, walau tubuhmu di depan Ibu, pikiran dan hatimu ada di tempat lain. Bagaimana bisa aku kehilanganmu kalau Leila yang kukenal bahkan belum pulang kepadaku?"

Tangannya menyingkap ranselku di balik punggungnya.

"Ibu ...?"

"Aku dan ayahmu pernah mengurungmu satu kali, membiarkanmu dalam keadaan buta tentang kekuatan dan posisimu yang sebenarnya, menyimpanmu dalam rumah dan berpura-pura tak terjadi apa-apa. Akhirnya kau hilang dari kami subuh itu." Ibu mendorong ranselku ke perutku. Tangannya gemetar hebat sampai kukira dia bisa saja pingsan sewaktu-waktu. Namun, ibu menarik napas lagi, dan suaranya justru terdengar kuat. "Ibu tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi."

"Ibu, aku—"

"Karena itu jangan buat aku menyesali keputusan ini sedikit pun!" bentaknya mendadak. Ibu bahkan tidak pernah berteriak. Maka, saat dia melakukannya, air matanya langsung bercucuran. Tangisannya meledak. "Kembalilah pada Ibu setelah semua ini selesai! Pulanglah padaku, Sayang—Ibu mohon, pulanglah kepadaku ...."

"Aku bersumpah ...." Suaraku tercekat sesaat. Kugenggam tali ranselku erat-erat. Kukecup pipi ibu satu kali. "Aku bersumpah bakal membalaskan kematian ayah dan pulang padamu setelah ini semua selesai."

Ibu buru-buru berbalik dan kembali ke sisi Sir Ted. Pria itu sendiri membuang muka dariku, dua jari tangannya mengusap matanya yang memerah. Mereka lenyap, berteleportasi.

Masih sambil berderai air mata, aku menelaah hutan berasap di bawahku. Specter Bintara masih sibuk dengan bangunan tua rumah sakit, dan Specter lainnya mengincar pabrik-pabrik reyot. Tempat ini sejak awal sudah sekarat, tetapi dalam api dan asap, barulah aku tersadar betapa kuatnya bangunan-bangunan tua ini berdiri. Aku teringat catatan Embre tentang sejarah tempat ini yang dulunya mempekerjakan ribuan manusia normal dan Fervent di bawah perusahaan T. Ed ... sampai mereka bangkrut di bawah kaki NC. Sir Ted bahkan masih berusaha melanjutkan Ferventic Nature Preserve yang ditinggalkan pendahulunya.

Kini, seorang Komandan NC membumihanguskan semuanya begitu saja menggunakan pesawat Specter milik T. Ed Company.

"Erion!" teriakku. "Truck!" Retih api dan bunyi bangunan ambruk menulikanku. Asap menghalangi pandanganku. Aku mengumpulkan napas susah payah, lalu berteriak lebih kuat. "Alatas!"

Aku menunggu. "Ala—"

Lalu, di sanalah dia, berlari keluar menerobos asap. Ditilik dari arahnya datang, dia berlari dari titik di mana aku mendengar suaranya terakhir kali saat Erion hampir jatuh ... seolah Alatas terus berdiri di sana. Menunggu ....

Sudut bibirnya bergerak naik, dan aku tak bisa menahan cengiran serupa terbentuk di wajahku.

Di belakangku, Specter lain merendah. Nyaris tersangkut salah satu pohon, pesawat itu akhirnya berada cukup dekat sampai aku bisa melihat siapa yang menunggu di ambangnya saat pintunya terbuka dan landasannya melandai.

"Leila!" Ryan berteriak memanggilku. Matanya membeliak tak percaya. "Apa yang—?! Cepat kemari! Bintara akan sadar jika kau berlama-lama!"

Alatas mendorong sesuatu di bawah sana—aku tak bisa melihat apa persisnya dari atas sini karena keterbatasan sudut pandang, tetapi aku bisa mendengar dentang logamnya saat menabrak sisi silo. Tangan pemuda itu tertadah, dan aku bisa mendengar pikirannya dengan begitu jelas, Aku akan menangkapmu.

Aku menoleh sekali lagi pada Ryan. Dari ketinggian itu, dia pasti melihat sosok Alatas menunggu di bawah, dan dia jelas melihat ranselku tersandang. "Leila—"

Mata kami bertemu—singkat, tetapi begitu intens. Kesadaran mengisi sorot mata pemuda itu. Tatapannya yang keras melembut dalam sekejap, cahaya matanya meredup. Suaranya tak terdengar karena jarak, retih api, deru angin, dan kekacauan, tetapi aku bisa mendengar benaknya saat Ryan berbisik, "Baiklah ...."

Sekali itu, akhirnya aku mampu tersenyum padanya. "Selamat tinggal, Ryan."

Aku melompat.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Dari sonozakirei (*'▽'*)✧


Tribute untuk hubungan Leila-Ryan yang kandas



Mo, Teleporter kecil yang memuja kebahlulan Alatas



Mba-mba Fervent dari Kompleks 4, chapter #35



Leila-Alatas hampir .... #69



Di tangan sonozakirei , semua makhluk kucel ini jadi beautiful semua '-')


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro