#80

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #80 | 2709 words |

"NAMANYA RAIOS, kakak laki-lakiku sekabin dengannya. Katanya, cowok itu langsung mematahkan kaki orang di hari pertamanya masuk ke sini."

Saat para cewek membicarakan pemuda yang barusan berkelahi di koridor, aku mengerut ke bawah bayang-bayang pepohonan. Matahari begitu terik, dan kami diminta memotong rumput serta mengeruk isi got. Kulirik sisi lapangan di mana anak-anak cewek dari kabin sebelah berada dalam naungan kanopi, tetapi mereka tetap tak seberuntung itu karena tugas mereka adalah mengelap sisa darah dari perkelahian di koridor itu.

"Hari pertama," protes seorang perempuan bertindik di belakangku, "kabin baru saja dibagi, diberi makan saja belum, dan kita sudah dijadikan babu!"

"Akan lebih payah lagi minggu depan," kata temannya yang bertubuh pendek dan gemuk. "Kudengar, kabin kita hari ini cuma sementara. Begitu kita menjalani pengobatan, kita bakal dipindah ke sisi lain bangunan. Kabin kita bakal disatukan dengan gedung tua yang kita lewati tadi subuh."

"Apa? Kenapa? Gedung itu mengerikan! Kau lihat penghuninya tidak waktu kita melintas? Mereka mirip binatang! Salah satunya meludahiku dari lantai 2!"

"Kau tahu PF13, 'kan, Bianca," kata temannya lagi. "Iya, gara-gara itu, kurasa. Saat masih di Kompleks, kita hanya mendapatkannya dua atau tiga kali seminggu. Tapi, di sini, kita bakal dipaksa memakainya tiap hari."

"Bukan yang injeksi, 'kan?" tanya si cewek bertindik itu—Bianca—sambil bergidik memeluk lengannya sendiri. "Aku pernah diberi satu kali—aku tak bisa bangun dari kasur dua hari dua malam, gatal-gatal parah sampai bernanah, dan sempat berpikiran aneh kalau ibuku sendiri tampak lebih lezat daripada makanan yang dibawakannya."

"Biasanya suntikan hanya untuk Fervent yang dianggap berbahaya."

Aku menegakkan punggung. Kuberanikan diriku untuk menoleh dan bertanya, "Bagaimana mereka tahu kita ini apa?"

Si perempuan pendek menelaahku sesaat. Dia berjongkok di bawah cabang pohon yang melandai, melindungi diri dari cahaya matahari siang bolong. "Meredith, 'kan?" tanyanya, tampak mengingat-ingat. "Nah, kutebak, kau belum diklasifikasikan waktu masih di Kompleks. Belum pernah dikasih PF13 juga saat masih di rumah?"—Aku menggeleng—"Ya, kebanyakan dari anak baru di sini sudah dikenali gejalanya sejak mereka belum masuk Herde. Tapi ada juga yang sepertimu—baru ketahuan karena terjadi kecelakaan, lalu diambil oleh Herde secara langsung. Nah, kalau teman-temanku benar, kita akan dipindai dan diamati selama seminggu ini—barangkali mulai dari sekarang pun sudah dimulai. Hasilnya beda-beda—ada yang sehari langsung keluar, ada yang butuh tujuh hari."

"Kecelakaan?" tanya Bianca dengan tatapan tertarik. "Kau melakukan apa?"

Aku lega sekali saat para Agen berseragam hitam memanggili kami untuk berkumpul ke tengah. Dengan cepat aku berjalan meninggalkan kedua cewek itu. Walau kurasakan mereka berbisik berdua di belakang—tampaknya perempuan satunya tahu aku masuk Herde karena apa ....

Kucabut kata-kataku ... aku tidak lega dipanggil ke tengah. Para Agen itu menjajarkan kami dan mulai berteriak betapa leletnya kami bekerja. Sekumpulan kata-kata tak pantas diteriakkan di depan muka kami sampai air mataku keluar, dan yang menangis didorong ke pinggir lapangan untuk mendapat hukuman fisik. Aku hampir pingsan setelah dipaksa berlari mengelilingi lapangan besar itu tiga putaran dan squat jump tiga puluh kali—lima puluh, karena aku sempat mengeluh.

Saat kami dibubarkan, teman-teman sekabinku berlarian mencari air—beberapanya terlalu putus asa dan mendekati kamar mandi untuk meminum air keran. Aku seharusnya mengikuti mereka, tetapi mataku sudah berkunang-kunang dan kepalaku terlalu berat. Dengan langkah diseret, aku berbelok di salah satu koridor. Beberapa Agen melewatiku, tampak panik hingga tak menggubrisku.

"—hilang dari ruang hukuman!"

"Mungkin dia mencari anak yang tadi berkelahi dengannya!"

"Buat apa lagi? Jani sudah tak sadarkan diri dihajarnya!"

"Katakan pada Agen yang berjaga di ruang kesehatan untuk mengunci pintu dan mengamankan Jani! Raios lepas!"

Sependengaranku, ada termos lepas; pikiranku langsung tersambung pada air minum. Kuikuti beberapa Agen yang panik, tetapi mereka terlalu cepat dan aku terlalu capek. Aku tersandar ke salah satu pintu yang tak tertutup, celah renggangnya langsung terbuka sampai badanku limbung ke dalam.

Aku berniat pingsan di sana, tetapi mataku membelalak dan kesadaranku full mendadak saat mendapati sosok tinggi dalam bayang-bayang gelapnya ruangan yang berdiri menempel punggungnya pada dinding di sebelah pintu. Sosok itu tampak sama kagetnya karena badanku menerjang masuk.

Tangannya mengangkat sesuatu yang memantulkan cahaya matahari di luar. Saat benda itu tinggal beberapa senti dari wajahku, barulah aku melihat pisau mentega yang digenggamnya.

Seluruh badanku kaku—tidak bisa menghindar ke belakang atau pun ke samping, apalagi ke depan. Maka aku hanya membelalak di sana sementara pemuda itu menempelkan pisaunya di leherku.

"Bukan Agen?" tanyanya memastikan. Suaranya berbisik lirih, menyayat, sedingin pisau mentega di leherku.

"Maaf, bukan," jawabku sambil membiarkan setetes air mataku lolos.

"Tidak ada Agen di koridor depan?" tanyanya lagi.

"Maaf, tidak ada."

"Mau apa kau kemari?"

"Maaf, aku cuma cari air minum."

Dia masih tidak menarik pisaunya. Satu tangannya merogoh sesuatu pada tas selempang yang baru kusadari dibawanya. Dia menyerahkan sebotol air mineral ke tanganku, lalu bergerak mundur perlahan sambil masih mengacungkan pisau. Pemuda itu mengintip koridor sebentar, mata birunya menangkap cahaya di luar, lalu dia kembali menatapku seperti peringatan terakhir.

Dia menyelinap keluar, langkahnya terdengar berlari di koridor kemudian. Tampaknya dia tertangkap mata para Agen karena seketika terjadi keriuhan.

Aku, masih memeluk botol air mineral yang diberikannya, ambruk ke lantai dan akhirnya pingsan sungguhan.

Aku tak sadarkan diri sampai sore karena, saat aku bangun, langit sudah memerah di luar jendela. Brankar berderit di bawahku saat aku mencoba bangun. Ini bukan kabinku, jadi sepertinya aku dibawa ke ruang kesehatan.

Kutatap tirai penyekat di sekitarku. Di tirai kiri, ada lampu yang menyala, menampakkan siluet dua orang wanita yang duduk. Keduanya mengobrol sambil berbisik-bisik.

"—kasus ini bisa membuat kita dipromosikan."

"Aku pun sudah lelah hidup di sini. Anak-anak setan itu tak bisa diatur, bengis, dan tak punya adab. Jika dengan mengangkat kembali penelitian lama ini bisa membuat kita keluar, lebih baik besok anak ini langsung kita bawa."

"Tidak bisa besok. Kita masih butuh beberapa sampel. Dan jurnal. Lagi pula, kita harus mempersiapkan argumen yang kuat. Bagaimana pun, ide bahwa Fervor bermutasi sudah lama ditentang."

"Oke, tapi kita harus lakukan ini sebelum minggu depan. Sebelum anak ini dipindahkan ke bangunan khusus perempuan. Jika dia sudah masuk sana, mustahil kita bisa mengeluarkannya. Coba kulihat—apa yang kau dapatkan tadi? Peledak ... oke, ini bagus. Peledak jarang menarik perhatian kecuali dia tak stabil. Lalu ... Cyone—ah, tidak bagus. Jika ketahuan, anak ini akan langsung dipindahkan."

Jantungku berdegup kencang. Mereka sedang membicarakanku.

"Di mana anomalinya terjadi?"

"Cyone-nya." Salah satu wanita mengangkat tangan dan mengetuk sesuatu yang dipegangi lawan bicaranya. "Lihat. Ini dari sampel yang kuambil. Anak ini tadi kekurangan cairan, tetapi Cyone-nya tidak kunjung bekerja untuk dirinya. Kupikir, Cyone-nya mungkin bekerja untuk orang lain, tetapi ternyata juga tidak. Data ini—"

"Cyone-nya bekerja untuk bentuk kehidupan organik lain." Siluet itu mengangguk. "Menarik ... jadi, ujung jarinya membuat daun kering kuning kembali menghijau?"

"Ya. Nah, jika dicocokkan dengan kecelakaan yang menyebabkannya masuk ke sini, akan jadi masuk akal."

"Bukankah anak ini tertangkap karena rumahnya terbakar?"

"Iya, tapi dengar—beberapa tetangganya sempat menyaksikan ada akar besar yang menjulur keluar, memecahkan kaca jendela rumahnya. Ada suara teriakan juga. Lalu, terdengar ledakan yang menghancurkan bagian loteng, api mulai muncul dan menjalar, dan rumahnya pun terbakar. Beberapa Agen sempat memeriksanya, melakukan olah TKP, dan sepakat bahwa ada satu subjek tumbuhan yang lepas dari penelitian Ferventic Nature Preserve, entah bagaimana. Disimpulkan bahwa, karena terkejut melihat akar raksasa muncul di rumahnya, Meredith menjadi tak stabil dan meledakkan lotengnya, menewaskan kedua orang tuanya. Nah, bagaimana kalau sebenarnya tidak ada subjek Ferventic Nature Preserve yang lepas? Bagaimana kalau akar itu tumbuh dari Cyone-nya?"

"Ah, benar ... lagi pula, orang tuanya sempat bertahan sebelum meninggal di ambulans. Jika anak ini Cyone, mustahil dia tak menyelamatkan orang tuanya."

"Tepat. Satu-satunya jawaban adalah karena dia tak bisa melakukannya. Karena Cyone-nya tidak bekerja untuk manusia, melainkan tumbuhan."

"Tapi, bagaimana kalau kasus ini lagi-lagi dianggap sebagai penemuan variasi Fervor? Seperti ... Icore, yang selain mengontrol daya listrik dan magnetik, juga menjadi copycat Fervor lain. Atau Phantom, yang fungsinya tumpah tindih dengan Fervor lain? Bagaimana kalau ini hanya masuk sebagai kasus variasi Cyone?"

"Maka, kita kutip pernyataan termahsyur yang kontroversial milik Profesor Raven dari salah satu jurnalnya: variasi Fervor berasal dari mutasi Fervor itu sendiri, bukan adaptasi inangnya."

"Tapi, itu akan membuat data kita tidak reliable dengan penelitian terdahulu yang dijadikan basis oleh Kompleks Sentral. Jika kita menampik teori mutasi dan evolusi manusia menjadi Fervent, kita akan kembali ke titik nol, di mana kita memercayai Fervor ada karena ledakan."

Badanku berkeringat dingin. Mereka sudah tahu kekuatanku—dan entah apa yang akan mereka lakukan sekarang. Aku mencoba menyelinap dari tirai kanan, kembali ke kabinku sendiri. Aku bisa mengakhiri hidupku sendiri di sana—cara mati yang lebih baik daripada dibawa ke gedung khusus perempuan, bagian terburuk dari Herde. Namun, saat tirai tersibak, aku membeku lagi karena pemuda yang mengancamku dengan pisau mentega ada di sana.

Dia berdiri membelakangiku, tetapi menoleh karena merasakan tirai bergerak di punggungnya. Tangannya bersarang di leher seorang laki-laki besar yang membelalak dengan lidah terjulur.

Laki-laki yang terbaring di brankar itu tampaknya mengembuskan napas terakhir tepat saat aku menyibak tirai.

Aku berusaha berlari ke tirai kiri lagi, tetapi sebuah lengan menyergap leherku. Kami berguling menabrak tirai sampai robek, membuat kedua wanita itu memekik terkejut. Si pemuda seram memutar tubuhnya dan dengan tangkas menggerakkan kakinya untuk mengait kepala wanita pertama, membenturkan wajah wanita itu ke meja sampai pingsan.

Perawat wanita kedua mencoba lari ke pintu. Si pemuda lantas mencampakkanku dan mengejarnya. Aku merangkak masuk ke kolong brankar, meringkuk sambil menutup telinga, tetapi suara dengkingan tercekik wanita itu tetap terdengar, membuatku membayangkan hal-hal mengerikan yang dilakukan si pemuda seram terhadapnya.

Seseorang menyeretku keluar dari kolong pembaringan, mengempaskanku ke atas brankar. Kulihat wajah pemuda itu yang tak memperlihatkan ekspresi apa-apa sementara tangannya mencengkram leherku kuat-kuat.

Aku mestinya meronta, atau mencoba berteriak. Aku bisa mencakarnya. Namun, mataku masih mengantuk, tubuh dan hatiku masih dirayapi rasa lelah. Tebersit di benakku ... mungkin mati dengan cara ini lebih baik daripada dibawa ke gedung khusus perempuan. Lihat sisi baiknya: aku bisa bertemu orang tuaku lagi.

Itu ... jika aku tak masuk neraka karena membunuh mereka dalam ledakan yang kusebabkan.

Lalu, cekikannya melonggar. Liur, air mata, dan ingusku sudah meleleh; saat dia melepaskan leherku, aku membungkuk ke samping dan muntah. Aku terkejut saat mendapati perutku masih menyimpan sesuatu untuk dikeluarkan.

"Kenapa tidak melawan?" tanyanya, sementara aku terbatuk-batuk. Kuseka wajah dan mulutku dengan seprai brankar. Aku mencoba bangkit, tetapi pemuda itu masih di atasku. Dia mengulang, "Kenapa tidak melawan? Atau berteriak?"

Aku tersengal, mulutku terasa pahit. Sekeras apa pun aku berusaha bicara, yang keluar dari mulutku hanya rasa asam dan suara memualkan.

Pintu terayun terbuka dan tiga orang Agen menyerbu masuk. Salah satunya memegangi seorang anak lelaki yang kedua tangannya terborgol ke belakang.

"Sudah kubilang, dasar bodoh—lupakan saja si Jani dan kita langsung pergi!" bentak si cowok yang kedua tangannya ditahan. Kurasa, Jani yang dia maksud adalah laki-laki di brankar sebelah yang mati dicekik lebih dulu.

"Jadi, benar, 'kan—kalian berencana kabur?!" Si Agen Herde menyentaknya. "Ini peringatan terakhirmu, Giok. Kau dan Raios akan berada di ruang hukuman selama tiga puluh hari ke depan!"

"Itu tidak adil!" Si Giok memberontak. "Bagaimana dengan para Teleporter itu?! Mereka sudah dua kali mencoba kabur, kalian hanya memberi peringatan—"

Ucapannya terpotong saat salah satu Agen mengentakkan tangannya yang diborgol. Agen itu lantas menelaah keadaan sekitar, di mana dua perawat wanita terkapar dengan wajah berdarah dan satu anak laki-laki mati di atas brankar.

"Kenapa kau mesti membunuhnya?" desis si Giok. Nada bicaranya malah terdengar jengkel alih-alih ngeri, seolah temannya membunuh orang adalah perbuatan yang semata menyebalkan dan bukannya sebuah kejahatan.

Pemuda yang dipanggil Raios itu mendengkus. "Matanya membuatku kesal."

"Kalau begitu, sekarang, menjauhlah dari anak itu, Raios," kata satu Agen.

Raios menarik bahuku, memaksaku bangun. "Aku belum selesai dengannya."

"Lepaskan aku," kata si Giok pada Agen yang menahannya. "Aku bisa membujuknya."

Tanpa melepaskan borgol tangannya, Agen itu membiarkan Giok berjalan ke arah kami. Dengan suara berbisik, Giok menggerutu, "Jangan kacaukan rencana kita lebih jauh, bodoh! Kalau kau membunuh anak baru lagi, masa hukuman kita bisa tambah panjang atau makin berat! Aku tidak mau disuruh menyedot WC lagi!"

"Kehadiran cewek ini menggangguku." Raios memicingkan matanya sampai Giok tersaruk sedikit. "Dia memergokiku sampai dua kali."

Giok melirikku sesaat, tampak memutar otak. Dia mengerjap seperti mendapat ide, lalu menatap Raios lagi dan mengoceh, "Kau tidak lihat ya ... cewek ini jatuh cinta padamu?"

Aku ikut mengerjap, lalu berjengit. Giok mendelikku penuh peringatan, memaksaku bekerja sama. Namun, apa juga yang mampu kulakukan? Suaraku masih hilang dan perutku masih bergolak.

Raios sendiri tampak ... entahlah. Aku tidak mengerti sama sekali raut wajahnya. Dia mengernyit, hampir kebingungan, seolah seseorang jatuh cinta padanya adalah konsep asing baginya.

"Lihat cewek ini—tidak berbahaya sama sekali. Dia tak berniat apa-apa. Dia memergokimu karena dia membuntutimu. Soalnya ... dia pasti naksir padamu. Bung, kapan lagi ada anak cewek yang suka pada orang sepertimu, ini sudah seperti keajaiban—" Tatapan mata Raios jadi berbahaya. Giok terbatuk saat menyadari dirinya salah bicara, lantas buru-buru meralat, "Seperti kataku, dia tak berbahaya. Bukan ancaman. Badannya kecil sekali, postur tubuhnya lebih payah dariku, dan Fervor-nya pasti tak seberbahaya itu. Lepaskan saja dia."

Benar-benar seperti keajaiban, Raios melepaskanku, hampir seperti melemparkanku dari atas brankar ke kaki Agen Herde yang menunggu.

Salah satu Agen langsung menyeretku keluar. Di koridor, dia berkata dengan tergesa-gesa, "Kau pindah ke gedung khusus perempuan malam ini. Akan langsung kuurus kepindahan kabinmu."

"Apa?" pekikku, akhirnya mampu berbicara karena terpaksa. "Tidak—"

"Percayalah, kau lebih aman di sana," lanjut Agen itu. "Raios tidak pernah melepaskan incarannya semudah ini. Dia akan datang lagi untuk membunuhmu. Di gedung khusus perempuan, penjagaannya lebih ketat, dan penghuninya sendiri sudah cukup untuk menghalanginya. Setidaknya di sana Raios akan berpikir dua kali untuk mendatangimu."

Aku meronta lebih keras. Lebih baik bunuh saja aku langsung—aku sudah melewati gedung itu subuh tadi saat pertama tiba di tempat ini, dan aku bisa mendengar jeritan banyak anak perempuan di dalamnya. Bahkan dari kejauhan saja, tempat itu tampak jelas berhantu.

Sebelum matahari terbit, aku benar-benar dijebloskan ke sana. Lantai empat, koridor kedua dari tangga, sel paling ujung dengan jendela berterali. Aku bisa melihat rumah kaca yang tampak suram dari jendela itu.

Untuk alasan yang tak kuketahui, aku dimasukkan ke deretan sel khusus Peledak. Hanya ada kamera pengintai, pengatur suhu, dan pemicu alarm di koridor ini, tidak ada penjaga. Padahal, saat aku bercerita keadaanku sambil menangis meraung-raung, anak-anak di kabin lamaku sudah berspekulasi aku bakal dibawa ke sel Cyone atau sel Multi-fervent tingkat tiga di lantai paling atas yang dipenuhi kesengsaraan—penganiayaan, pelecehan, pembunuhan, dan praktik kanibalisme ada di sekitar lantai itu.

Dari sel sebelah, kudengar seorang perempuan bernyanyi, menggumamkan nada yang sama berulang kali sejak aku tiba sampai malam turun. Dia hanya berhenti selama beberapa menit, lalu melanjutkan lagi sampai suaranya nyaris hilang, seperti rekaman rusak.

Kutangkupkan bantal usang di atas kepalaku. Ada bau pesing dan noda darah di sana, tetapi aku tak punya apa-apa untuk menutup telinga. Aku mulai menangis sesenggukan, hampir tak mendengar saat alarm bergaung.

Aku berhenti terisak saat mendengar suara-suara di luar sana—letusan senjata api, ledakan yang cukup besar, dan pekikan. Bau sangit di udara terbawa sampai ke dalam selku melalui ventilasi.

Suara-suara itu membesar dan tambah intens, membuat resah teman-teman satu koridorku. Pencahayaan yang sudah sangat buruk pun mulai bertingkah—hidup-mati, benar-benar seperti di film hantu. Aku bergelung lebih rapat, berbaring miring menghadap dinding kotor, dan mulai berdoa sambil sesenggukan, sesekali memanggil ibu dan ayahku yang dengan culasnya sudah bersama Tuhan lebih dulu.

Lalu, kaca jendela selku pecah. Aku mungkin mengompol saat mendengar suara terali berkeriut, seperti ditarik sampai lepas. Aku tak bisa merasakan tangan dan kakiku lagi. Aku bahkan ragu apakah aku masih sadarkan diri.

Namun, arwah jahat tak kunjung mendekati atau mengangkatku. Karena rasa penasaran yang mulai mendominasi ketimbang rasa takut, aku memberanikan diri untuk berbalik.

Di atas kosen jendela, Raios berjongkok seperti menungguku berbalik menghadapnya. Sebelah kakinya bergerak turun, lalu sebelah lagi. Perutku melilit saat pemuda itu melangkah ke arahku.

Aku menunggunya mencekikku atau menusukku sampai mati pakai pisau mentega, tetapi pemuda itu justru berucap, "Ikutlah denganku."

Aku menganga.

Aku bahkan belum menjawab—dan kalau pun aku akan menjawab, jawaban itu jauh dari kata 'ya'—ketika Raios mengait kedua kakiku dan mengangkatku di pinggang. Dia mengempaskan badanku ke atas bahunya, mengangkutku seperti sekarung kacang.

Jeritanku lenyap ditelan sirene dan letusan senjata api saat Raios membawaku melompat dari lantai empat dan mendarat di atas atap rumah kaca.

Ya Tuhan, Yang Mahatinggi, sebenarnya aku tengah terlibat dengan siapa?

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Fanart cantiks dari isy_eonni ٩(◕‿◕。)۶

Mata siapa inii


Cilukbaa


Saya ._.)


A'a Alatas (*'▽'*)


Dedek Erion  ∑d(°∀°d)


***


Fanart susulan Alatas versi 2.0 dari Alulalyriss ('。• ᵕ •。')


***


Babang Truck yang large dan nge-gas dari yoitsnisa ╰(*'︶'*)╯


***


Thank u for all the talented artists
(ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧


P.S. Udah masuk flashback Meredith
The sh*it is about to get real

Pasang seatbelt, helmet, dan ikat badan ke tiang terdekat

Kita sudah hampir tiba di puncak roller coaster sebelum author unyu ini mendorong kalian jatuh

Timakaci bagi yang masih bertahan support RavAges sampai sekarang
。゚(TヮT)゚。

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro