#79

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #79 | 4843 words |

AKU MELIHAT ledakan dan merasakan getaran di bawah kaki, lalu menyaksikan ayahku mati sekali lagi. Pandangan mataku dibutakan asap. Kudengar seseorang tertembak, lalu wajah Bintara membayang dalam kegelapan. Dia berderap ke arahku. Di belakangnya, Raios mengangkat senjata dan membidik.

"Lei—" Ibu memanggilku dengan darah menutupi wajahnya. "Leila!"

Aku membuka mata dan mendapati ibu yang mengguncang bahuku. Wajahnya tampak cemas. "Mimpi buruk?" tanyanya, yang kubalas anggukan lemah.

Aku tetap berbaring selama beberapa saat sampai jantungku berhenti menggedor rongga dada. Meski berada di kamar ibu dan hanya ada kami berdua di sana, rasanya aku melihat bayang-bayang menjulang di sudut mataku dan mendengar suara jeritan yang barangkali hanya ada dalam kepalaku sendiri.

Kubiarkan ibu merapikan rambutku saat aku duduk. "Sementara aku tidur," kataku sambil menggigiti kuku ibu jari tanganku, "apakah ada kabar—"

"Masih dirawat," beri tahu ibu yang langsung menyadari kalau aku tengah membicarakan seorang gadis yang kutemukan terkurung dalam ruangan bekas kamar mayat dua malam lalu. "Tampaknya masih belum bisa bicara."

"Dan pria itu?" desakku. "Om Teluk—Sabang. Atau siapalah dia."

"Dalam masalah besar. Tidak pernah Ibu melihat Ed semarah itu."

Setelah aku menemukan Meredith dua malam lalu, segalanya terasa samar. Aku terlalu marah saat itu. Yang kuingat, aku langsung menggendong Meredith di punggung dan berlari mencari Sir Ted malam itu juga. Aku membuat kehebohan sampai tempat persembunyian kami yang seharusnya sepi jadi ramai. Para Fervent, tim medis, pilot, dan semua pekerja yang Sir Ted bawa pun keluar dari sarangnya: pabrik tua, gudang, sampai silo dan basement yang tak kuketahui ada sebelumnya.

Aku turun dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Kurasakan tatapan ibu membuntutiku. Sampai aku keluar, ibu masih tak mengalihkan pandangannya. Dia bertanya entah untuk yang keberapa kali, "Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa." Aku menjawab tanpa mengangkat wajah. Tiap kali melihat matanya, ulu hatiku ditumbuk kenyataan pahit bahwa aku masih menyembunyikan kematian ayah darinya. "Ibu sudah makan?"

Ibu tampak bersemangat lagi. Tangannya menyasar nampan di atas nakas.

"Ibu saja yang habiskan," kataku cepat sembari mengamati nampan dan panganan yang masih bersisa banyak di atasnya. "Aku ... mau keluar sebentar."

Aku berpura-pura tak melihat kekecewaan di wajahnya. Sebelum ibu sempat berucap lagi, aku lari keluar; kabur darinya.

Di luar penginapan tua itu, jalan aspal retak-retak hampir sesunyi Garis Merah. Hutan yang mengepung hanya menampakkan kegelapan. Cerobong pabrik-pabrik tua tampak aktif, menyembulkan asap sesekali ke langit hitam tak bercela.

Siapa pun yang tersesat ke sini, entah itu petugas NC atau Fervent pekerja di Kompleks 12, akan segera angkat kaki tanpa pikir dua kali. Namun, jika berjalan terus, berbelok ke belakang rumah sakit dan memasuki gudang yang sudah nyaris kosong, tampaklah aktivitas para pemberontak yang dinaungi T. Ed. Mesin generator mendengung, lampu-lampu redup dinyalakan.

Totalnya, ada 23 manusia normal yang dibawa kemari, termasuk Ryan serta ibuku; dan 27 Fervent, termasuk Op, Sabang, dan Sir Ted sendiri—karena kabarnya, Erion sakti sekali dan selusin Fervent tak cukup untuk menanganinya;. Semua pasukan ini dibawa kemari hanya untuk menghadangku, Erion, Alatas, dan Truck sebelum pasukan Bintara membekuk kami duluan. Semuanya berjalan mulus karena kami semaput berempat di dalam hutan sampai Ryan dan teman-temannya menemukan kami dengan mudah. Lalu, tindakan Sabang membawa Meredith ketahuan, dan suasana mendadak jadi tegang.

"—membahayakan nyawa kita, si Sabang itu." Kudengar salah seorang remaja berbicara dengan temannya. "Sesama Fervent saja diperlakukan begitu, apalagi cacing pesuruh macam kita."

Yang berbicara itu manusia normal. Meski mereka semua mengenakan seragam yang serupa, mudah sekali membedakan antara Fervent dan manusia normal. Mereka cenderung bergerak dalam kelompok yang terpisah dan tampak berusaha untuk tidak terlibat dengan satu sama lain.

Para Fervent yang bekerja untuk T. Ed tidak menyembunyikan kekuatan sama sekali di sini. Mereka berjalan dengan postur tegap dan berderap dengan lagak pasukan elit di tengah upacara kenegaraan karena, kalau ditilik dari ingatan Ryan yang sempat kukorek, mereka semua adalah lulusan Program Fervent Dasar. Jadi ... bayangkan saja dua lusin Truck—dengan ukuran tubuh dan gender yang berbeda-beda—berjalan-jalan memenuhi area tersembunyi ini.

Para manusia normal kebalikannya. Mereka tampak berusaha keras untuk tidak bergerak ke tengah. Mereka terus menepi, atau mengalah saat berpapasan dengan Fervent—semua manusia normal begitu, kecuali Ryan.

"Kenapa ke sini lagi?" tanya pemuda itu saat menghampiriku. Bahunya bersenggolan dengan para Fervent dua kali, tetapi tak sedikit pun dia memedulikan tatapan sengit orang yang dilaluinya. Atasan seragamnya ditanggalkan dan diikat ke sekeliling pinggang. Singletnya basah oleh keringat dan rambutnya penuh serbuk kayu. Peti-peti yang baru diangkatnya tertumpuk tinggi menghadap landasan di belakangnya. "Kau tidak meninggalkan ibumu makan sendirian lagi, 'kan?"

"Aku tidak lapar." Aku bicara begitu dengan perutku yang berbunyi nyaring, menjeritkan kekosongan. "Bagaimana Meredith?"

"Masih tidak bisa ditanyai." Ryan mengangkat bahu. "Benar-benar tidak stabil. Entah apa yang Sabang lakukan selama memaksa cewek itu bicara."

"Jadi, kalian selama ini tahu pergerakan kami dari Sabang, tapi tak tahu dia menginterogasi Meredith?" tanyaku tanpa ekspresi. "Bagaimana bisa tidak ada yang mempertanyakan dia dapat informasi itu dari mana?"

Ryan berdecak. "Perlu kuakui, T. Ed memang agak kacau."

"Tapi, kau tetap bergabung dengan mereka."

"Demi menemukanmu," ungkitnya lagi. "Tapi, sekarang kau sudah pulang ... yah, kita bakal ke Kompleks 6 sebentar lagi dan jauh-jauh dari perkara T. Ed dan NC. Sudah mengepak barangmu?"

"Barangku tidak banyak." Kuedarkan pandanganku ke antara peti kemas. "Sebenarnya, apa lagi yang kalian lakukan di sini? Peti-peti itu apa? Senjata?"

"Iya, buat menyokong tim Fervent yang bakal dikirim ke Kompleks 1. Setelah kita ke Kompleks 6, para Fervent itu juga berangkat ke sana."

Aku mulai menggigiti kuku ibu jari tanganku lagi. Jantungku kembali bertingkah. Suara langkah kaki dan obrolan di sekitarku memudar karena detak jantungku sendiri. "Di mana mereka?"

Ekspresi wajah Ryan mengeras. "Mereka siapa?"

"Kau tahu yang kumaksudkan siapa."

Ryan mengedik ke salah satu pintu logam yang seingatku menuju lorong yang terhubung ke silo dan undakan yang mengarah langsung ke ruangan bawah tanah. Aku pernah masuk ke sana satu kali, sambil menggendong Meredith yang lemas. Aku membentak orang-orang dan bertanya di mana Sir Ted berada. Saat itu aku menyerbu masuk seperti rudal, menginterupsi pembicaraan Sir Ted dengan Sabang. Intinya aku mengamuk dan membalikkan meja sampai Alatas dan Ryan menyusul, lalu Sir Ted kembali memegang kendali. Dia menggiring Sabang entah ke mana, dan Meredith dipindahkan ke kamar inap di rumah sakit tua itu untuk ditangani.

Kali ini, aku masuk dengan tenang, menuruni undakan ke bawah.

Saat sampai di ruangan berdinding bata, aku sempat kebingungan. Sebagian besar orang tampak sibuk dan mengabaikanku. Aku berbelok dan mengintip dari satu ruang ke ruangan lain. Saking sibuknya menoleh, aku menabrak seorang anak yang hanya sedikit lebih tua dari Erion. Anak itu mengenakan seragam kamuflase kebesaran dan memelanting ke tembok di belakangnya setelah berbenturan denganku. Untuk sesaat, aku mengira itu anak laki-laki karena rambutnya berpotongan begitu pendek, lalu aku sadar dia perempuan.

Matanya membelalak melihatku. Bulu matanya lentik dan tebal sekali, pipinya tirus, hidungnya mancung mungil, dan perawakannya agak kerempeng. Tubuhnya memudar sedikit, lalu menghilang, menunjukkan bahwa dirinya adalah Teleporter, tetapi anak itu muncul kembali hanya tiga inci dari tempatnya semula berada.

"Ampuni aku, Yang Mulia Nyonya Peledak!" pekiknya seraya mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah. "Jangan makan otak dan isi perutku!"

Aku mencoba menggapainya. "Tunggu, aku tidak—"

"Pencernaanku kurang sehat, jadi rasanya pasti tidak enak!"

"Aku tidak makan isi perut orang!" bentakku jijik.

"Oh," desahnya, menurunkan tangan. "Jadi, kau cuma akan makan otakku? Habis ... Kak Op bilang—"

"Kak Op?!" Aku melolong sampai anak perempuan itu kembali menggunakan Teleporter-nya, menghilang selama dua detik penuh, lalu muncul kembali tak jauh di sampingku. Kucengkram lengannya. "Apa pun yang pria badut itu bilang—itu tidak benar! Dan berhentilah! Teleporter-mu cuma membawamu beberapa inci."

"Aku masih payah ...." Anak itu merengek. "Makanya Kak Op tidak pernah mau membawaku ke koloninya ...."

Aku berjengit. Kurasa, malah beruntung dia tak pernah menginjakkan kaki ke sarang Teleporter tempat Op berasal.

"Jadi, kau tidak berasal dari koloninya Op?"

"Tidak. Pak Timothy memungutku." Anak itu menjawab. Sorot ketakutan di matanya digantikan kekaguman. "Benarkah kau pernah meledakkan sebuah pelabuhan NC dan mencamil semua mayat di sana?"

"Sudah kubilang, jangan percaya satu kata pun yang Op pernah—"

"Dia juga bilang kau cantik sekali."

"Untuk satu atau dua hal, kadang dia jujur." Kulepaskan tangannya setelah yakin dia takkan menggunakan Teleporter-nya dengan sia-sia lagi. "Kau tahu di mana teman-temanku? Satu anak cowok dengan alat bantu dengar di telinganya, laki-laki ekstra besar yang wajahnya seram, dan—"

"Dan kakak yang warna matanya beda sebelah, cakep, lucu, ramah, tapi agak bahlul itu?" terkanya sambil cekikikan. Jarinya menunjuk ke atas kepalaku.

Aku menoleh, mendapati Alatas sudah berdiri di belakangku. Dia mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku dan celana hijau-cokelat yang kepanjangan sampai harus dilipat ujungnya. Wajahnya merah, napasnya tersengal, alisnya mengerut kelelahan, tetapi dia menyunggingkan senyum khas di mana satu sudut bibirnya lebih tinggi dari yang lain. Matanya mengerling si anak Teleporter.

"Aku akan pura-pura tidak dengar deskripsi yang terakhir itu, Mo," katanya sampai si anak Teleporter tersipu. Matanya beralih padaku. "Kau sudah makan?"

"Belum," jawabku jujur. "Aku tadi mau mengecek Meredith, tapi—"

"Buah-buahan yang baru mereka ambil dari hutan tadi masih banyak." Mo berbisik sambil menyengir. Matanya dan mata Alatas bertemu dengan binar persekongkolan. "Nggak akan ketahuan kalau kita ambil sedikit lagi."

Mo mendorongku mengekori Alatas memasuki salah satu ruang penyimpanan. Hanya ada dua dari enam lampu menyala di langit-langit yang rendah. Beberapa peti buah-buahan belum disusun di tengah-tengah ruangan seolah pengangkutnya terburu-buru dan meletakkannya begitu saja.

Mo menyelundupkan sebuah semangka utuh ke dalam perut bajunya, dan Alatas mengikuti permainan anak itu dengan dua buah pepaya yang masih muda tersangkut di dada kemejanya. Orang katarak sekali pun aku akan melihat buah selundupan itu dalam baju mereka, tetapi kami tetap diabaikan saja saat menyeberangi ruangan dan duduk lesehan di depan pintu ganda yang tertutup.

Aku mengamatinya semantara Alatas memanggil sebilah pisau entah dari mana. Tangannya bergerak lihai dan pisau itu bergerak sendiri, menguliti pepaya, dan memotong-motongnya. "Aku tidak tahu kau bisa melakukan itu."

Alatas mengoper potongan pepaya paling besar padaku. "Aku juga tidak."

Mo duduk disampingku, memeluk perut hamil semangkanya. Katanya, "Kak Alatas hampir memotong orang-orang waktu pertama kali mencoba."

Kunyahanku berhenti. Aku mengernyit tidak mengerti.

"Aku dilatih." Alatas mengaku. "Supaya siap di Kompleks 1 nanti."

"Pelatihan?" tanyaku. "Apa Truck setuju dengan ini?"

Alatas mengoper satu lagi potongan pepaya pada Mo, dan dia sendiri memakan potongan terakhir yang paling kecil. "Kami sudah setuju akan jadi bagian dari ini. Lagi pula, mereka awalnya mau mengambil Erion, jadi Truck dan aku yang maju dengan syarat mereka tidak boleh mengatur-atur anak itu. Omong-omong ...."

Dia mengelap tangan ke kain celana. Tumit kakinya mengetuk lantai ubin yang retak-retak sampai biji-biji logam bermunculan ke permukaan. Alatas menyerahkan pisaunya ke tanganku, lalu mundur dan menantang, "Lempar pisau itu ke arahku."

Aku nyaris tersedak potongan terakhir pepayaku. "Apa?"

"Lempar," ulangnya. Kedua tangannya terangkat penuh semangat. "Aku mau pamer hasil latihanku semalaman."

"Kak Alatas bahkan nggak tidur, lho," beri tahu Mo.

"Ayo, Lei," desak pemuda itu lagi. "Kalau aku mati, tidak akan ada yang menyalahkanmu."

"Aku juga bukan tukang adu," janji Mo. "Ini akan jadi rahasia kotor kita. Kita bisa sembunyikan mayatnya di hutan, kucing-kucing liar akan memakan sisanya."

"Ada apa dengan kalian?!" protesku.

"Lama, ih!" Mo merebut pisau dari tanganku dan melemparnya ke arah Alatas.

Alatas, tampak tak siap, memekik sedikit. Tangannya terangkat, dan biji-biji logam yang tadinya berserakan kini melayang di depan wajahnya, membentuk formasi yang berpusat ke satu titik dan menyebar keluar menjadi lingkaran tameng. Di antara jarak renggang biji-biji logam, udara berdenyar, dan pisau itu berdenting di sana seperti menabrak dinding besi, lalu memelanting ke lantai dekat kakiku.

"Tiruan medan gayanya Erion!" sorak Alatas gembira. "Ternyata aku cuma perlu konsentrasi untuk melakukan itu!"

Aku tambah melongo. "Semua Fervent juga butuh konsentrasi untuk mengendalikan Fervor-nya, Alatas."

"Aku konsentrasi penuh sampai rasanya seluruh badanku dimutilasi," celetuk Mo, "dan rekorku pindah tempat cuma setengah meter."

"Maksudku ... aku memang payah dalam konsentrasi selama ini," tukas Alatas. "Kalau aku mencoba, benar-benar berusaha keras, ternyata aku bisa! Ya ... walau, kurang praktis juga karena aku butuh tempat sepi tanpa gangguan. Kadang fokusku buyar, dan medan magnetnya bubar. Yang kulakukan tadi pun masih tidak bisa dibandingkan dengan medan energi Erion. Erion bisa membuat dinding tak kasat matanya tertembus begitu saja oleh kita saat dia ingin—seperti tirai. Tapi, saat medan magnetku aktif, tidak ada yang bisa lewat sama sekali."

"Oh, perlihatkan yang untuk jatuh itu!" seru Mo antusias.

"Itu hanya untuk keadaan darurat, Mo," tolak Alatas. "Terlalu berbahaya, dan kita tidak sedang di tempat tinggi."

"Apa maksudnya?" tanyaku.

"Ingat waktu kita jatuh ke lahan parkir bawah tanah mall? Waktu dikejar-kejar cewek Icore?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kita harusnya mati karena Erion tidak sempat membuat medan energinya, 'kan? Tapi kita selamat."

"Berkat kau?" tanyaku terkejut.

"Bukan. Tapi, berkat mendarat di atas atap mobil." Alatas mengakui malu-malu. "Maksudku, aku ternyata bisa melakukan hal yang sama. Aku bisa membuat logam jadi ... apa? Elastis?"

"Deformasi elastis pada logam, Bung," bantu Mo seraya mengguling-gulingkan semangka yang sudah lahir dari bawah bajunya. "Jadi, asal jatuhnya tidak tinggi-tinggi amat, Kak Alatas bisa menangkap orang pakai logam. Tidak seaman jatuh ke trampolin atau tandu, tapi lebih baik daripada jatuh ke aspal."

Aku menyengir, ikut bersemangat. "Apa lagi yang bisa kau lakukan?"

"Dia bisa membuat biji logam melesat ke kepala orang kayak peluru—"

"Tidak," tukas Alatas cepat. "Aku tidak bisa melakukannya."

"Soalnya kau menolak diajari!" protes Mo. "Aku pernah melihatnya sekali. Pamanku dulu, sebelum dia menjualku buat beberapa botol bir, pernah memperlihatkannya padaku. Dia Steeler. Dia menagih utang orang-orang dengan menembakkan biji logam ke kepala—"

"Ya, tapi aku tidak bisa melakukan itu," potong Alatas gelisah.

Aku melipat bibir ke dalam, melamun. Alatas pernah menembak seorang Pemburu tepat di tengah dahi, dan dia tidak bisa berhenti gemetaran setelahnya. Kalau aku jadi dia, aku takkan menyesalinya—Pemburu itu adalah pria jahat yang mencoba membunuh kami duluan. Namun, Alatas terlalu lembut untuk itu.

"Mo!" teriak seseorang dari ruang penyimpanan tempat kami mencuri buah-buahan. "Lagi-lagi ada yang hilang—mana anak itu?!"

"Kalian tak pernah melihatku!" Mo mengancam, lalu terbirit-birit sambil menggendong semangka utuh. Dia menghilang di tikungan tembok bata.

Sementara Alatas menyembunyikan bekas kulit pepaya ke balik dinding bata yang berongga dan keropos, aku bertanya, "Anak itu bukan dari Herde?"

"Umurnya masih 11, Leila. Dia dari Pusat Karantina, seperti Erion."

"Kukira, hanya ada dua anak yang selamat saat Pusat Karantina runtuh."

"Mo pengecualian. Fervor-nya benar-benar kecil. Dia dikeluarkan dari Pusat Karantina dan dikembalikan ke pamannya karena lebih menyerupai manusia normal ketimbang Fervent. Jadi, dia tidak berada di sana saat tempat itu runtuh."

"Omong-omong, mana Erion? Dan Truck?"

"Truck sibuk dengan Pak Timothy, tawar-menawar perihal posisi kami di sini. Aku tidak pandai melakukannya. Kalau Erion—" Alatas menunjuk pintu ganda yang kusandari sejak tadi. "Ada yang mengajarinya bahasa isyarat di dalam. Yah ... lebih baik daripada diajari meremas manusia sampai darahnya keluar dari semua lubang di badan."—Aku melongo lagi. Alatas mengangkat bahu dan dengan murung memberi tahu, "Serius. Mereka berencana mengajarkan itu pada Erion. Makanya, aku langsung bilang kalau Erion akan kami kirimkan ke tempat lain."

"Jadi, Erion sudah setuju diantar kembali ke sarang Calor?" tanyaku seraya berdiri dan berjinjit untuk mengintip dari jendela buram di pintu ganda.

"Tidak," decak Alatas, ikut berdiri. "Dia langsung ngambek."

Di dalam, Erion duduk di atas kotak kayu, menghadap seorang wanita yang tengah berbicara. Ada gambar-gambar yang tertempel pada tembok di belakang wanita itu. Aku perlu memicingkan mata untuk melihat huruf abjad dan gambar isyarat tangan yang mewakilinya pada tiap-tiap tabel. Saat wanita itu berbalik dan tidak memperhatikan, Erion menguap lebar-lebar.

Lalu, Erion menoleh dan mendapatiku. Aku mencoba melambai padanya, tetapi anak itu hanya memicingkan mata dengan sengit sebelum membuang muka.

"Dia membenciku ...." Aku mendesah pedih.

"Dia cuma marah sebentar," kata Alatas. "Nanti dia akan mengerti."

"Kapan?" tanyaku. "Aku berangkat sebentar lagi. Kira-kira 10 jam—"

"Sebenarnya ... 5 jam lagi," kata Alatas lirih. "Pak Timothy mempercepatnya karena pasukan Bintara mulai mendekati tempat ini. Tumpangan kalian malah sudah datang sejak dua jam yang lalu."

"Jadi, dalam 5 jam lagi aku bakal pergi dalam keadaan dia masih marah padaku ...? Bagaimana kalau aku tidak pernah bertemu Erion lagi setelah ini?" Suaraku mulai bergetar. "Bagaimana kalau aku tidak pernah melihat kalian lagi?"

Alatas memainkan biji-biji logam di lantai dengan kakinya. Bibirnya terkunci.

"Kenapa Truck tidak melupakan saja anak yang dicarinya itu? Mereka sudah bertahun-tahun terpisah. Perempuan itu bisa saja sudah menemukan orang lain—maksudku, bagaimana kalau pencariannya sia-sia? Padahal, kalian bisa mencoba pergi denganku ke Kompleks 6, bukannya terlibat di tengah T. Ed dan NC."

Wajah Alatas menggelap. "Kalau Aria itu adalah kau, Leila, dan aku ada di posisi Truck—masuk kongsi Bintara pun bakal kulakukan demi menemukanmu."

"Jangan berkata begitu—"

"Kenapa kau tidak bersiap-siap?" potongnya tiba-tiba. Aku mendongak, mendapati wajah Alatas yang untuk pertama kalinya tidak menampakkan ekspresi apa pun. "Kau harus mengepak barangmu, 'kan?"

"Tapi—"

"Aku .... Masih banyak yang harus kulakukan." Dia berdecak seraya menginjak biji-biji logam itu sampai mereka terbenam kembali ke bawah tanah. "Pergilah. Aku akan mencoba membujuk Erion sendiri nanti."

Alatas berbalik dan dengan langkah lebar-lebar meninggalkanku.

Jantungku menggedor lebih keras dari sebelumnya. Tanganku saling remas, rahangku mengatup kencang, dan mati-matian aku menahan diri agar tidak berteriak pada Alatas. Satu bagian dalam diriku ingin berbalik dan kembali pada ibu, membuat ini semua jadi lebih mudah. Namun, bagian lainnya—dan sialnya paling dominan—ingin tetap mematung di sana, menunggu sampai Alatas berhenti menyembunyikan apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan.

Alatas sudah hampir menghilang di balik tangga, tetapi kemudian langkahnya berhenti seolah ada tali yang mengencang di kakinya. Dengan gerakan tiba-tiba, terlihat begitu impulsif, pemuda itu berbalik dan kembali padaku.

"Aku tidak mau kau pergi." Kata-kata mulai berhamburan dari mulutnya. Wajahnya memerah. "Aku tidak mau kau kembali pada pacarmu. Aku tidak mau melepaskanmu ke Kompleks 6. Demi Tuhan—sejak kita tiba di sini, yang kupikirkan hanya bagaimana jadinya jika kau memutuskan pergi dari kami. Aku ingin kau tetap bersama kami karena, bagaimana pun, Truck benar-benar membutuhkan kita. Aku tidak bisa membiarkannya pergi ke Kompleks 1 sendirian, dan aku takut kami gagal menjaga Erion. Kami sungguh membutuhkanmu. Aku, terutama, membutuhkanmu. Tapi aku tidak bisa—aku tidak boleh—a, aku ... aku pernah direbut dari ibuku, dan aku tidak mau melakukan hal yang sama padamu."

Alatas tersengal setelah mengatakannya. Selama beberapa saat, kami tidak saling bicara lagi dan hanya mendengarkan suara napas masing-masing.

"Aku ... tidak seharusnya mengatakan itu." Alatas berjengit. Sesuatu di lehernya turun-naik seolah dia masih memiliki hal lain untuk dikeluarkan, tetapi menahannya mati-matian. "Maaf, aku tidak tahu kenapa aku mengatakan itu—"

Lalu, kesadaran menyaput wajahnya.

"Kau mendorong-ku?" tanyanya. Jantungku mencelus. Dari wajah sampai telinga, aku merasa kebas. Aku menunduk menatap kakiku, sementara pemuda itu melanjutkan, "Kau menggunakan Brainware agar aku mengakui yang barusan? Kau memaksaku ... mengatakan semua yang sudah mati-matian kutahan beberapa hari belakangan?" Suaranya merendah, dan aku bisa merasakan kekecewaannya yang dingin. "Kenapa kau lakukan, Leila? Kau pasti tahu, walau aku mengatakannya pun ... itu tidak akan mengubah apa-apa kecuali mempersulit posisi kita berdua."

"Maaf ..." adalah satu-satunya yang meluncur dari mulutku kemudian.

Aku menunggu sampai Alatas berbalik, melangkah menjauhiku, dan kali ini dia tidak kembali lagi.

Dengan kepala yang terasa kosong, aku melangkah keluar dari bangunan bawah tanah itu. Aku menyenggol seseorang saat menaiki undakan, mengabaikan panggilan Ryan saat menjauhi gudang, dan hampir tidak menyadari Op saat aku sampai di depan pintu kaca rumah sakit.

"Hei, lihat wajah itu—seperti mengatakan, aku kepingin merangkak ke lubang galian dan mati." Si Teleporter menyapa. "Ada apa? Ayo, sini, cerita sama Om."

Aku menoleh. Aku tidak tahu ekspresi macam apa yang kupasang, tetapi si Telepoter langsung tersaruk mundur dengan gugup dan berucap, "Sori ... iya, iya, aku pergi," lalu menghilang.

Aku berjalan lagi. Tiap langkah yang kuambil, makin ringan kepalaku rasanya. Setetes demi setetes air mataku mulai berjatuhan. Hidungku sudah mampat saat sampai di depan pintu yang dijaga oleh satu wanita dan satu pria berseragam putih.

"Maaf, dia masih tidak bisa menerima pengunjung," kata si wanita gugup. Temannya mengulurkan tangan untuk menghentikanku, tetapi tersaruk mundur saat aku menepisnya. "Tekanan darahnya masih rendah, dan—"

"Aku kemari atas perintah langsung Timothy Edison," dustaku. Wajahku barangkali menakut-nakuti keduanya—kusut, merah, sembap, dan masih berjejak air mata. Suaraku bahkan terdengar serak seperti dengkuran hewan liar. "Minggir."

Saat aku masuk, Meredith sudah siaga di atas brankarnya. Tangannya yang kecil kurus mengacungkan bantal, entah itu dimaksudkan sebagai tameng atau senjata. Bibirnya putih dan pecah-pecah. Wajahnya bengkak, nyaris tidak berwarna, kecuali warna lebam. Rambutnya tergelung kasar dan sorot matanya tampak liar.

Gadis itu tidak sanggup berbicara, tetapi aku mendengar ketakutannya.

"Aku tidak bersama siapa-siapa," kataku seraya mengelap hidung. Satu tanganku menutup pintu. "Aku tidak akan memaksamu bicara. Aku tidak akan menanyaimu. Aku tidak akan memborgol tangan dan kakimu. Aku tidak akan ...."—Aku berjengit saat mendengar ketakutan terakhirnya—"Aku tidak akan memukul, atau menendangmu, atau membenamkan kepalamu ke bak air dingin."

Meredith merelaks sedikit. Bantalnya dia dekap ke dada.

Aku merosot duduk hampir seketika, punggung bersandar ke daun pintu, lalu menangis sesenggukan tanpa mengatakan apa-apa. Meredith sendiri hanya menontonku terisak-isak untuk beberapa menit, sebelum kemudian mulai bertanya-tanya apa yang terjadi padaku tanpa benar-benar membuka mulutnya. Aku hanya menggeleng dan tersedu makin keras seperti anak kecil. Kuluruskan kakiku, tanganku berusaha mengelap air mata yang menolak kering dari wajah.

Masih tanpa bersuara sedikit pun dan satu tangan memeluk bantal, Meredith merosot turun dari brankarnya. Dia duduk di lantai sepertiku, satu tangannya meraih bantal lain di atas pembaringan, lalu mengopernya kepadaku. Meski kelihatannya dia tinggal tulang terbungkus kulit, Meredith tampaknya baru selesai makan dan memiliki sedikit tenaga ekstra sampai bantal yang dilemparnya mengenai wajahku.

"Makasih," ucapku. Dia membatin meminta maaf. "Tidak apa-apa."

Kau kenapa? Suara dalam benak Meredith terdengar lemah, selirih bisikan.

"Aku mengacau," kataku sembari menenggelamkan wajah ke bantal. "Aku merasa gusar karena dia menahan diri untuk tidak mengungkapkan keinginannya."

Dia siapa?

Aku terus mengoceh, "Jadi, aku memakai Brainware dan memaksanya untuk bicara. Bodohnya aku—satu-satunya yang tidak jujur justru diriku sendiri."

Leila, aku tidak paham.

"Ayahku mati ..." ucapku getir, pelan, hampir seperti embusan napas belaka, tetapi Meredith mendengarnya. Dia terkesiap. Gadis itu, setelah menjalani interogasi panjang oleh Sabang, tentu sudah tahu siapa ayahku sebenarnya.

"Aku tidak bisa mengatakan ini pada siapa pun." Seolah bibirku sendiri membalas perbuatanku pada Alatas, kata-kata mulai membanjir keluar dariku. "Aku tidak bisa menatap ibuku. Aku takut pada Sir Ted. Dia pria yang seumur hidup kuanggap keluargaku sendiri, tapi dia membuatku melupakan beberapa hal dari masa kecilku, dan kini aku mengingat semuanya—aku tidak yakin lagi mana memoriku yang benar. Aku melihat Bintara dan pacarmu yang keparat di sudut mataku setiap saat seperti hantu, dan mereka terus muncul saat aku menutup mata. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku ingin pulang, tetapi di saat bersamaan aku sudah tidak tahu apa itu rumah. Aku sudah menanti ini seumur hidupku—kembali pada mantan pacarku, teman-teman lamaku, keluargaku ... tetapi sekarang aku tidak yakin. Dan kalau aku mengungkapkan ini, aku akan menyakiti ibuku. Aku mencoba mengorek isi hati Alatas, tetapi akulah yang paling banyak menyembunyikan isi hatiku sendiri. Sekarang, Erion membenciku. Dan, astaga, kukira aku pasti sudah gila, tapi aku rindu pada Truck."

Aku mengatur napas. Kutekan bantal ke dadaku seperti yang Meredith lakukan. Rupanya ini membantu—dorongan untuk ambruk ke lantai jadi berkurang.

Meredith mengesot di lantai mendekatiku, lalu ikut bersandar ke pintu. Aku turut berduka buat ayahmu, Leila.

Kutempelkan sebelah pipiku ke bantal yang kupeluk. "Apa Raios tahu ...?"

Kalau ayahmu adalah Aga Morris? Iya .... Meredith meragu sesaat. Tapi kurasa, saat kau dan teman-temanmu datang ke bungker kami, Raios sungguhan tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali Brainware-mu. Dia tidak peduli tentang siapa ayahmu. Tapi ... entahlah kalau sekarang. Aku tidak tahu lagi Raios telah menjadi apa setelah bertemu pria itu.

"Bintara ... maksudmu? Ayah Raios?"

Meredith mengangkat bahu. Giok pernah menyelidikinya, dan dia bilang iya. Aku juga tidak yakin. Masalahnya, Raios tidak pernah melihat ayahnya sejak lahir. Tapi jika benar mereka ayah-anak, itu menjelaskan kenapa Relevia Raios cacat.

Kurasa, tentang inilah isi dari kertas yang pernah Meredith berikan padaku.

Ada keganjilan pada fungsi Brainware dan Cyone Raios. Karena itulah dia sempat ingin menggunakanmu untuk menyerang Kompleks 1 dan Kompleks Sentral, 'kan? Tapi, sejak kalian pergi ke Kompleks 4, semuanya jadi tidak keruan. Raios bertemu Bintara, kalian berempat jadi buronan, aku dan Giok tertangkap sampai aku dibawa kemari. Tapi, pria itu mengembalikan Giok ke teman-temannya di Kompleks 1 asal Giok sepakat mengarahkan kelompoknya untuk bergabung dengan T. Ed. Dan sejak itu, Giok hilang kontak dengan Raios.

Aku mengamati lebam di bawah mata, rahang, dan lehernya. "Aku bakal membalas perbuatan Sabang padamu."

Meredith menggeleng. Dia berdeham susah payah, lalu akhirnya mampu bersuara dengan serak, "Jauhkan saja dia dariku—itu sudah cukup."

Aku mengerjap. "Padahal aku sudah janji tidak akan bertanya macam-macam, tapi aku penasaran ... kau Cyone? Truck dan Alatas mengira kau Peledak."

Meredith mengerutkan alisnya sedikit. Tatapan matanya seolah mengenang. "Keduanya." Lalu, suaranya hilang lagi. Aku Multi-fervent. Tapi, Raios memanipulasi dataku di Herde, menghapus 'Cyone' dari identitasku. Karena, jika aku masuk sel khusus Cyone, Raios akan kesulitan mengeluarkanku—sel itu berpenjagaan paling ketat, bersebelahan dengan sel Brainware. Tapi, kurasa sejak dia membawaku kabur, kesalahan penginputan data itu mulai terkuak.

Aku bergidik karena merasakan sekilas rasa nyaman di benak Meredith ketika membicarakan kenangan akan Raios. Sayangnya, aku sendiri pernah pacaran dengan preman kampung—mana bisa aku menghakimi seleranya.

Kami baru akan melanjutkan bergosip saat cahaya lampu tiba-tiba padam. Suara dengung samar dari pembangkit listrik jadi hening, terganti suara orang-orang yang gelisah di luar.

"Ada apa ini?" tanya Meredith gemetar. Suaranya timbul dan hilang. Tangannya mencengkram lenganku kuat sampai kukunya menancap.

Di luar, derap langkah terdengar. Pintu kami digedor, dan kudengar Sir Ted berteriak, "Leila! Aku tahu kau di dalam. Keluar!"

Tangan Meredith makin kencang memegangiku. Ketakutannya menulariku.

"Tidak apa-apa," kataku pada gadis itu. "Aku akan menyuruhnya pergi."

"Tapi, aku tidak mau sendirian ... ini gelap sekali—"

"Aku bakal kembali," janjiku.

Meredith memeluk dua bantal sekaligus dan meringkuk di belakang pintu ketika aku membukanya. Mataku menyipit disambut cahaya senter. Di hadapanku, Sir Ted dan Sabang berdiri dengan napas terengah seolah mereka baru berlari kemari. Di belakang mereka, Truck dan Op mengekor. Truck mengepalkan tangan dan terus menatap punggung Sir Ted seolah kesal akan sesuatu, sementara Op melempar pandangan ke segala arah kecuali ke arahku. Aku pun sadar ....

Teleporter celaka itu mengadukanku.

"Kita harus pergi sekarang," perintah Sir Ted dengan kaku.

"Meredith?"

"Dia akan tetap di sini."

"Kenapa?" tuntutku geram.

Op, akhirnya menatapku sambil menyengir, dengan beraninya bergurau, "Orang sakit belum boleh jalan-jalan. Tenang saja, aku dan Abang Sabang bakal menemaninya, memastikan dia terhibur di sini."

Ketakutan Meredith menyeruak dari balik pintu seperti asap pekat yang mencekikku. Mati-matian aku menahan kakiku agar tidak ambruk menanggapi rasa gelisah gadis itu. Jangan tinggalkan aku dengan mereka lagi, Leila ....

"Raios mendeteksi gadis itu," kata Sir Ted. "Kau pasti tahu siapa Raios, 'kan, Leila? Relevia, kemungkinan besar anak Binta. Walau Relevia-nya cacat di Cyone dan Brainware, Detektor-nya berfungsi dengan baik. Dia berderap kemari sekarang bersama pasukan Bintara. Mereka mengetahui posisi kita karena gadis itu."

"Itu sebabnya, ya, kau terus membawanya sampai kemari?" Aku menelengkan kepala pada Sabang, yang sama sekali tidak mau mengangkat kepalanya. "Kau sadar benar menjadikan Meredith umpan adalah kesalahan besar karena, kalau Raios datang, dia bukannya akan menyerahkan diri untuk bergabung demi Meredith, melainkan langsung membunuhmu. Kau terus memindahkan Meredith karena, kalau Meredith ditahan di satu tempat, Raios akan menemukannya."

Pria itu tak membuka mulutnya sedikit pun.

Sir Ted mencengkram tanganku. Suaranya mendesak. "Kita harus pergi sekarang! Kau tidak perlu mengkhawatirkan gadis itu—beberapa Fervent akan tinggal di sini bersamanya."

"Kau tidak bisa melakukan ini pada kami." Truck, setelah sekian lama diam di belakang Sir Ted, akhirnya bersuara. "Kau berjanji akan mengirim kami ke Kompleks 1. Kau berjanji aku akan dapat jawaban di sana—"

"Maaf, Nak, keadaan berubah," kata Sir Ted. "Dengan kepastian bahwa Raios bergabung dengan Bintara, kita kalah sumber daya. Dan sejak awal kita sudah kalah jumlah. Jika kalian tidak mau bertahan di sini dengan tim Sabang untuk menjaga Meredith, tidak apa-apa. Pergilah, aku melepaskanmu dan teman-temanmu."

T. Ed memang kacau—suara Ryan mengiang di telingaku.

Aku mengamati Truck, lalu terkejut saat mendapati tatapan matanya goyah. Untuk sesaat, dia tampak tak berdaya. Rasanya, aku melihat refleksi diriku sendiri di wajahnya—persis seperti saat aku putus asa, lantas mendapatkan harapan bahwa aku bisa menemukan ayahku lagi, hanya untuk menyaksikan kesempatan itu direnggut tepat di depan mataku.

Kalau Aria itu adalah kau, Leila, dan aku ada di posisi Truck—masuk kongsi Bintara pun bakal kulakukan demi menemukanmu. Alatas benar .... Bahkan aku sendiri pernah melakukannya. Aku mengikuti Bintara saat dia menjanjikan ayahku. Kali ini, aku melihat keinginan itu tumbuh di benak Truck.

"Kita masih bisa mengelabui pasukan Bintara." Kutepis tangan Sir Ted yang mencoba menarikku. "Kau masih bisa merekrut lebih banyak Fervent alih-alih mencampakkan timmu untuk bunuh diri menghadapi Raios di sini karena, percayalah, ada banyak sekali Fervent maupun manusia normal yang membenci NC. Ada banyak sekali kelompok pemberontak yang tersebar di mana-mana. Kau bisa kirimkan Truck dan yang lainnya ke Kompleks 1 setelah mengumpulkan cukup banyak orang, tapi sementara itu kau harus terus memindahkan Meredith. Berapa orang Teleporter yang kau punya? Maksudku, selain pecundang di belakangmu."

Op memicingkan mata padaku.

"Hanya seorang anak perempuan—Mo." Sir Ted menjawab tidak sabar, tetapi dia tetap mendengarkanku. "Aku tidak berniat menggunakannya untuk apa pun. Anak itu Teleporter-nya lemah. Lagi pula, ini sudah terlambat, Leila. Yang perlu Raios lakukan hanya terus mencari, sampai kita terpojok, sedangkan kita tidak bisa mengumpulkan pasukan sebesar milik Bintara dalam waktu singkat!"

"Bisa," jawabku. "Selama kau tahu tempat yang tepat untuk mencari."

Bibir Truck berkedut, nyaris terangkat. Dia menatapku sebentar, lalu mengerling Teleporter di sebelahnya.

Op sendiri menggeleng begitu keras ke arahku sampai kelihatannya, kepalanya mengalami glitch. Namun, aku tidak mengacuhkannya, seperti dia yang tidak pernah memedulikan akibat perbuatannya terhadap orang lain.

"Bagaimana," kataku mantap di hadapan Sir Ted, "kalau kami bisa memberikan padamu sekelompok besar Teleporter dan sekoloni Calor?"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



✧◝(⁰▿⁰)◜✧ Fanart ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

❤ from shiholilah (◍•ᴗ•◍)❤

- Alatas nge-date ama Leila 


- Dua heroine lintas generasi, Leila & Nila 


***


❤ from tha_lisy ( ˘ ³˘)❤

- The strong beauty, Leila


- The charming softy, Alatas


- Mind reader & parallel universe traveller


***


❤ from someone dengan codename "Truck kabogoh aing, awas maneh kadaritu" (. ❛ ᴗ ❛.)❤
(entah apa arti uname-nya itu -__-)

- Edisi nge-halu if Alatas udah bisa bobo



- Truck jadi anu katanya .... /(._.)\


- Terus ini Ryan, untuk menggoyahkan kapal kalian



/and here I am, masih nge-halu bisa menggambar sebagus kalian (º﹃º♡)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro