#78

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #78 | 2970 words |

BUNGKER ITU sudah runtuh. Kosong. Kami terlambat. Ada sekelompok Pemburu lain yang datang sebelum kami.

Setelah berhasil membobol longsoran tanah dan pintu bungkernya, kami hanya menemukan tubuh para Pemburu—dua di antaranya masih hidup, tetapi sudah lemas kehabisan napas. Sabang mengorek informasi ke mana perginya Raios dari para Pemburu yang tersisa, lantas menembak mati keduanya setelah selesai.

"Tidak ada yang boleh tahu kita mencari Raios," kata Sabang saat aku dan Blec menghujamnya dengan tatapan menghakimi.

"Ke mana selanjutnya, Bang?" tanya si Cyone seraya menyenteri sisa jalan di saluran gorong-gorong yang belum amblas. "Kalau benar Raios menuju Kompleks terdekat, itu berarti Kompleks 4."

Satu kaki Sabang mengetuk-ngetuk lantai pipa. "Bintara di sana saat ini ...."

"Kita bisa mendahuluinya kalau berangkat sekarang."

"Tidak, tidak! Kita tidak bisa ambil risiko. Pergerakan kita tidak boleh terlihat sama sekali di sana." Sabang menggertakkan rahangnya. Sikap tubuhnya tampak tegang. "Bintara akan curiga. Kita tidak boleh membuatnya menaruh perhatian sama sekali pada Raios!"

Sabang dan timnya mulai menelusuri lorong yang masih utuh sambil bergumam sendiri, "Kalau saja ada cara untuk membuat anak itu mendatangi kita atas keinginannya sendiri."

"Menurutmu Leila bersama si Raios ini?" tanya Blec. Kakinya menyundul salah satu mayat Pemburu. "Kalau benar Leila bersamanya, kau yakin cewek itu masih hidup? Si Raios ini tampaknya malah lebih kejam daripada Sabang."

"Leila cewek yang cerdik," tukasku. "Tentu saja dia bakal bertahan."

Kami menyusul Sabang dan yang lainnya, melewati lorong gelap berlumut dan penuh bangkai tikus. Sesekali terlihat kelip cat semprot seperti yang ada di Garis Merah, hanya saja warnanya hijau-biru. Beberapa lorong bercabang, mengarah ke jalan buntu yang memaksa kami kembali ke cabang lain.

"Kalau ada Fervent yang bisa tinggal di Kompleks," kataku, "kenapa masih ada yang memilih bersembunyi di gorong-gorong?"

"Tidak semua Fervent diterima di Kompleks," jelas Sabang tanpa menoleh. "Mereka haruslah bekerja untuk NC. Dan, karena pemegang kekuasaan di sebagian besar Kompleks adalah Bintara ... nah, kau tahu jalurnya."

"Sori, kalau ini menyinggung, Om," kataku lagi. "Tapi, kalian juga mengoleksi mayat Fervent sebagai sampel untuk ... apa itu, penyemaian? Kalian juga membatasi hak dan kewajiban kami, manusia normal, karena Fervent sering dinilai lebih efektif untuk sebagian besar tugas. Apa bedanya T. Ed dengan NC, kalau begitu?"

Blec mendelik jengkel ke arahku. Tatapannya seperti mengatakan, Haruskah kau melontarkan pertanyaan menantang seperti itu saat kita terkurung dalam lorong bersama tujuh orang Fervent?

Tentu aku sadar juga. Karenanya aku memberi isyarat pada Blec untuk menyiagakan senjata api yang terselempang di bahunya, kalau-kalau Sabang berbalik dan mencabik kami jadi enam.

Namun, Sabang dan teman-temannya cuma terkekeh. "Bedanya ada pada tujuan dan metode. NC mulai menjalankan agendanya untuk mengisi planet ini dengan generasi Fervent dan melaksanakan genosida untuk membantai kalian, manusia normal—mereka ingin era baru. Sementara T. Ed? Kami mencoba mempertahankan dan mengakurkan kedua belah pihak—Fervent dan manusia normal. Sulit, memang, tapi tidak mustahil.

"Dan lagi, NC membunuh Fervent saat penyemaian, sedangkan T. Ed hanya mengambil sampel dari Fervent yang sudah mati. Kami juga tidak memisahkan anak-anak dari orang tua mereka seperti yang NC lakukan di Pusat Karantina."

Aku berjengit. "Kukira, Pusat Karantina justru mereka gagas bersama T. Ed."

"Memang," jawab pria itu. Blec mesti menarik lenganku agar aku tak maju ke depan dan menonjok Sabang. "Tapi di awal berdirinya, kami membiarkan para orang tua yang membawa anak-anak mereka sendiri ke Pusat Karantina. Kami memberi mereka kabar tentang keadaan dan kemajuan yang dibuat oleh anak-anak mereka. Kami bahkan mengizinkan kunjungan sesekali. Kemudian Bintara naik jabatan, Pusat Karantina dialihkan ke tangannya, mereka mulai menjemput paksa anak-anak dari orang tua yang menolak, dan tempat itu jadi neraka anak-anak."

"Bagaimana dengan Program Fervent Dasar?" tanyaku lagi. "Kudengar kalian melatih Fervent jadi mesin pembunuh di usia muda."

Sabang akhirnya melirik ke arahku. Bahkan teman-teman Fervent-nya tampak gugup.

"Apa aku tampak seperti mesin pembunuh di matamu, Anak Muda?"

"Kadang," jawabku seraya mengangkat bahu. Bisa kulihat Blec mencengkram senjatanya kian erat. "Bukankah itu berarti PFD lebih parah? Merenggut anak-anak dari orang tua mereka, melatihnya berperang sejak dini."

"Tidak ada yang direnggut dari orang tuanya," balas pria itu seraya berbelok lagi ke salah satu cabang lorong. "Kami semua diambil dari panti asuhan dan jalanan. PFD memberi kami rumah dan pendidikan, kami bertarung untuk mereka. Sesederhana itu."

"Sangat sederhana," sindirku.

Diam-diam aku memperhatikan Sabang dari belakang. Dia sama sekali tak tampak pernah menggelandang di jalan atau sempat jadi anak kurus tak terawat. Atau aku yang salah memandangnya—selama ini aku cuma berasumsi dia memelanting keluar dari perut ibunya dalam wujud pria paruh baya begitu saja.

Kami keluar ke lorong pipa yang lebih besar, becek, dan gelap. Namun, karena kegelapan inilah kami langsung menyadari keberadaan orang lain dari ujung satunya, sama-sama membawa senter dan senjata api. Dari siluetnya, hanya ada satu orang, tetapi kami tetap mundur dengan waspada.

"Siapa di sana?" Sabang dan orang asing di seberang mengajukan pertanyaan yang sama.

Lucunya lagi, keduanya kemudian sama-sama terdiam seperti mencoba memproses dan saling mengenali suara lawan, lalu mengucapkan nama satu sama lain. "Giok?"

"Sabang?" Orang asing itu melangkah keluar dari bayang-bayang gelap. Cahaya senternya menyorot kami, dan cahaya senter Sabang menyorotinya. Aku melihat sesosok anak laki-laki yang seumuranku dan Blec—mungkin agak sedikit lebih tua—ceking, bungkuk, wajah babak belur, dan matanya bengkak mengerikan.

"Kalau kau di sini ...." Sabang memulai. "Berarti ... Raios—"

"Tidak bersamaku, sumpah." Cowok bernama Giok itu mengangkat kedua tangannya sejajar kepala seperti memperlihatkan bahwa dia tak bersenjata.

Sabang ikut mengangkat kedua tangannya. Gestur itu sama sekali bukan untuk memperlihatkan bahwa dia tak bersenjata, melainkan tanda bahwa dia siap melempar lawannya dengan Phantom. "Lalu, kenapa kau di sini?"

"Kau sendiri kenapa di sini?" balas si Giok, melangkah maju mendekati kami.

Sabang ikut melangkah mendekatinya. "Aku bertanya duluan, Nak."

"Menjemput teman, tapi bukan Raios," jawab Giok. "Giliranmu."

"Mencari sampel."

Giok seperti tersedak tawa. "Dengan tim beranggotakan sembilan orang, kau mau keroyokan memulung mayat Fervent? Kau kira aku goblok?"

"Sekalian melakukan perekrutan," tambah Sabang dengan enggan.

"Raios?"

"Bukan urusanmu."

"Nah, berarti memang—"

"Kalau kau tahu lebih dari ini, aku tak bisa membiarkanmu keluar hidup-hidup."

"Memang apa yang kau takutkan? Komandan? Raios pasti sudah bertemu muka dengan daddy terkasihnya sekarang."

Ketika mereka berhadapan, aku bisa melihat Sabang bergerak gugup. Kakinya terus mengganti tumpuan. Namun, si Giok itu, tanpa senjata atau seorang pun di belakangnya, justru tampak berdiri tegak.

Dari sudut mataku, aku menangkap segaris kilatan yang tak sengaja disorot cahaya senter. Tak jauh di belakang Giok, warna dinding pipa lebih gelap, mulanya kupikir karena kegelapan tak berujung. Lalu, aku sadar kilatan garis yang kulihat itu semacam pintu.

"Bagaimana denganmu?" Aku angkat suara. Sabang berkedut sedikit, terkejut seolah baru menyadari kehadiran kami di belakangnya. "Teman—siapa yang kau jemput?"

Giok mengangkat wajah dan untuk pertama kalinya menatapku. Matanya yang agak bengkak memicing. "Siapa kau?"

"Aku bertanya duluan, Nak." Kutirukan suara Sabang sebelumnya.

Dalam sekian detik itulah tampaknya Sabang melihat apa yang kulihat. Pria itu mengangkat satu tangannya dengan gerak cepat, lantas mengoyak pintu rahasia di belakang Giok. Pintu terlempar ke seberang sampai kami semua tersentak kaget. Aku menginjak kaki Blec, dan popor senjatanya menghantam punggungku, tetapi aku tak punya waktu untuk kesakitan saat terdengar suara jeritan anak perempuan.

"Tidak mungkin ...." Suara Sabang, anehnya, terdengar ceria. "Dia meninggalkan cewek itu di sini."

Aku tak bisa memutuskan apakah itu ekspresi jijik atau gugup di wajah si Giok. "Jangan coba-coba."

"Kau sendirian, kami bersembilan." Bisa kubayangkan Sabang menyeringai saat mengatakan itu.

Giok menambahkan, "Ada temanku di luar, seorang Teleporter. Kalau aku tak kembali dalam sepuluh menit, dia akan curiga dan mengecek—"

"Kami bisa membereskanmu dan membawa anak itu kurang dari lima menit."

"Kau gila?" Giok akhirnya menampakkan emosi. "Raios akan menghabisiku kalau aku tidak mengamankannya! Buat apa juga kau membawanya!"

"Dia bisa jadi sampel hidup, sekaligus umpan. Mundurlah, atau kami akan—"

Suara letusan senjata api mengejutkan kami semua, bahkan Sabang. Telingaku tuli untuk beberapa detik dan jantungku seperti terlempar ke ujung lorong.

Yang terjadi selanjutnya adalah Giok, dengan lolongan serak, jatuh di atas sebelah kakinya yang tertembak. Kami semua menoleh spontan pada Blec, yang entah sejak kapan telah mundur menjaga jarak. Moncong senjatanya berasap, jarinya masih di pelatuk.

Salah satu Fervent menunjuk temanku dengan murka. "Apa-apaan?"

"Kelamaan." Blec mendengkus, tangannya membenarkan posisi senjatanya ke sisi sebelum pemuda itu melenggang lagi ke sampingku. Dia mengangkat bahu. "Setidaknya aku tidak membunuhnya."

Sabang dan beberapa teman Fervent-nya bertindak cepat mengamankan Giok ke sisi, menghentikan pendarahan di pahanya sekaligus membekuknya agar cowok itu tidak bisa kabur. Arka diikat ke tulang panggulnya.

Seorang Fervent lain memisahkan diri dan memasuki ruang rahasia yang Giok sembunyikan. Aku mendengar suara jeritan lagi sebelum kemudian hening.

"Siapa di dalam?" tuntutku, setengah memekik karena telingaku masih agak kebas gara-gara suara tembakan.

"Bukan Leila," jawab Sabang penuh kepastian. Tangannya menyetopku di dada saat aku mencoba memastikan ke dalam. "Cewekmu yang kau cari-cari itu pasti sudah di Kompleks 4 sekarang."

"Kalau begitu kita ke sana—"

"Kita tidak bisa masuk Kompleks sembarangan!" bentak Sabang. Suaranya menggema sampai gendang telingaku seperti ditusuk. "Hanya beberapa Kompleks yang aman buat kita—dan Kompleks 4 sama sekali bukan salah satunya!"

"Lalu, bagaimana?!"

"Kita bisa membuat mereka mendatangi kita langsung." Sabang menyeringai di kegelapan. Tangannya menunjuk ke dalam ruang rahasia, memberi isyarat pada teman-temannya untuk membawa siapa pun yang ada di dalam sana. "Yang di dalam itu bukan hanya sekadar sampel hidup, tetapi juga informan. Kita bisa korek semua darinya—rencana Raios, siapa saja yang bersamanya, dan jalur mana saja yang akan dilaluinya. Kita bisa memotong jalan mereka, atau memancing mereka. Tapi, dengar—" Sabang merendahkan suaranya, tetapi dia menekankan setiap kata yang diucapkannya. "Tidak ada yang boleh tahu tentang ini. Bahkan Sir Timothy. Beliau cukup terima beres—"

"Bang!" Salah satu Fervent dalam tim kami berteriak. "Teleporter!"

Semua itu terjadi sebelum aku sempat mencernanya. Ada enam Fervent yang Sabang bawa bersama kami, tetapi kini hanya ada tiga. Aku tahu dua Fervent masih berada dalam ruang rahasia, mengamankan seseorang yang Sabang bilang sampel hidup itu, tetapi ke mana yang satu lagi?

Lalu, aku melihat sekelebat sosok yang muncul, sepasang tangan menangkup bahu salah satu Fervent di tim kami yang baru selesai mengikat kain di kaki Giok untuk menahan darahnya. Kelebat sosok dan Fervent itu pun menghilang.

Ketika kelebatan itu kembali muncul dalam kegelepan, satu Fervent lagi lenyap, menyisakan Giok yang duduk sendiri memegangi kakinya.

"Teleporter tidak berguna!" Giok menyumpah, lalu meringis tanpa bisa bangun di atas kedua kakinya. "Bawa aku! Buat apa kau meladeni orang-orang ini?!"

Tepat saat aku sadar seorang Teleporter mencoba menjumputi kami satu per satu, memindahkan semua anggota tim kami entah ke mana, sosok itu muncul di belakang Blec, yang sama bengongnya denganku.

"Blec—"

Mereka menghilang.

Tanpa mengacuhkan teriakan Sabang, aku berlari menyusuri lorong tempat Giok datang. Jika benar Teleporter hanya bisa pergi ke tempat yang mereka ingat, maka dia takkan jauh dari sini.

Dari kejauhan, suara tembakan kembali bergaung. Aku berhenti sesaat.

"Blec!"

"Ryan!"

Aku mengikuti asal suaranya yang kemudian membawaku ke satu lagi bungker bawah tanah. Entah ini milik Raios atau bekas tempat persembunyian Fervent lain, tempat ini gelap, dingin, dan nyaris kosong. Satu-satunya yang mengisi ruangan itu hanya tubuh-tubuh para Fervent anggota tim Sabang yang setengah tertanam pada dinding bungker, menjadikan lantainya lautan darah.

"Ryan," panggil Blec terengah dari sudut ruangan.

Aku menyenteri ke arahnya dan melihat temanku duduk bersandar dengan darah merembes di rambut serta pinggangnya. Sepertinya kepalanya terbentur, dan luka di sisi tubuhnya itu ... barangkali berhubungan dengan senjata apinya yang menggeletak di dekat kakinya. Di sisinya, seorang wanita berambut pendek akhir usia 30-an terbaring telentang, tak lagi bergerak dan bagian bawah wajahnya dibanjiri darah, sepertinya mati tertembak di leher.

"Kami berebut senjata," keluh Blec dengan dengan bibir bergetar. Tangannya membuka sisi pinggangnya. "Dan ini terjadi."

Aku melepaskan jaketku dan menahan rembesan darahnya. Peluru itu mungkin hanya menyerempetnya—aku tak tahu. Namun, lukanya lumayan dalam. Saat Aku berusaha menyangganya di bahuku, tubuh Blec berkedut dan jadi kaku. Lenguhan napasnya terdengar. "Tidak bisa ... berdiri."

"Aku akan cari Sabang—"

"Kalau kau—meninggalkanku di sini, Bung," katanya dengan tangan terangkat lemah ke sudut seberang bungker. "Tikus-tikus itu akan memakanku."

Aku menyadari dengan ngeri beberapa ekor tikus got yang besarnya dua kali lipat kepalan tanganku, berkerumun di sekitar bangkai Fervent. Kuraih senjata api Blec dan berusaha mengusir semua hewan pengerat itu, tetapi yang kulakukan hanya mengulur waktu.

"Ah, aku bakal mati."

"Jangan bicara seperti itu, berengsek!" Aku menahan diri dari menonjok wajahnya. "Kita hanya perlu menunggu Sabang."

"Kita, 'kan, manusia normal tak berguna—mustahil dia datang untuk kita." Blec terbatuk samar. Darah meleleh di sudut mulutnya. "Dengar, Bung, sori aku dulu sempat mencoba menikungmu waktu kau pacaran dengan Leila."

"Sudahlah diam—tunggu, apa?!"

Aku menumbuk satu tikus yang terlalu dekat menggunakan ujung senjata, membuatnya penyet agar menjadi contoh untuk teman-temannya, tetapi para hewan pengerat itu tampaknya tak belajar banyak.

"Ah, cewek itu bukan tipeku, kok," gerutunya lagi sambil terkekeh aneh. Sepertinya dia membentur tembok terlalu keras. "Aku cuma kesal—Pat punya Irene, kau dapat Leila, aku jomblo sendiri ...."

"Kau harus diam, Blec. Aku mulai tergoda untuk mengumpankanmu ke tikus-tikus ini." Tentu saja aku tak serius, tetapi Blec memang harus menutup mulutnya karena bibirnya mulai berlumuran darah.

"Coba kau bayangkan kalau kita pulang nanti ...." Blec masih bicara meski batuknya mulai tak terkendali. "T. Ed akan fokus pada kegagalan kita karena ada manusia normal dalam tim. Tapi, jika sukses, mereka akan memuji para Fervent. Orang tuaku entah di mana, dan orang tuamu sudah tak mau tahu tentangmu."

Aku mencengkram senjata dan membuat dua ekor tikus lagi jadi bubur.

"Di mana tempat kita, Ryan?" Blec masih melanjutkan. Bagian bawah matanya mulai menggelap, wajahnya kehilangan warna di bawah cahaya senter. "Boleh jadi Leila-mu pun sekarang sudah terpincut pada seorang pemuda Fervent—entah itu Raios atau orang lain. Cewek itu Fervent. Tempatnya bersama para Fervent. Saat dia menyadari itu dan mengambil keputusan, kau cuma bisa gigit jari. Pencarianmu berbulan-bulan ini tak berarti apa-apa."

"Aku tahu."

"Lalu, kenapa kau teruskan, Sobat? Yang kita lakukan belakangan ini hanya usaha bunuh diri buat cewek itu. Ujung-ujungnya dia pasti memilih pihak Fervent."

"Seperti yang kau bilang, orang tuaku sudah menyerah terhadapku. Kalau aku menyerah pada Leila, aku tak ada bedanya dengan mereka." Aku menyatai seekor lagi hewan pengerat dengan ujung senjata, menekannya sebagai pelampiasan. "Kalau pada akhirnya dia memilih bersama kaumnya, maka aku bakal melepaskannya. Tapi, pertama, Leila mustahil meninggalkan ibunya. Dia mungkin tak akur dengan ayahnya, tapi ibunya adalah segalanya buat Leila. Selama segala kemungkinan masih ada, aku tetap akan mencarinya. Sampai aku menemukannya. Setidaknya aku melakukan ini buat ibunya juga."

"Kalau si Komandan tersohor itu menang—" Blec terbatuk dua kali, memuncratkan darah ke kakinya. "T. Ed pasti takkan punya pilihan selain kembali ke pelukan NC. Kau sadar itu, 'kan? Mereka semua hipokrit. Kita semua akan mati dibantai, dan semua pengabdian kita di sini juga sia-sia. Kita cuma manusia normal. Masa keemasan kita sudah habis."

Tak berapa lama setelah Blec menuntaskan pidatonya, Sabang menemukan kami. Melihat fakta bahwa kami masih dicari membuat Blec tertawa histeris sampai darah membanjir keluar dari mulutnya. "Wah, masih berniat menyimpan kami untuk mengisi ruangan genosida, Om?"

Mendengar itu, Sabang berjengit, tetapi dia tetap membantuku untuk menggotong tubuh Blec. "Kepalanya terbentur." Aku memberi tahu Sabang. "Dia tak tahu apa yang dia bicarakan."

"Oh, aku tahu!" Blec menukas, lalu tersedak. Napasnya tersendat. "Ya Tuhan, apa yang kutelan ini?"

"Itu darahmu. Sekarang berhentilah bicara!"

Saat kami berhasil mencapai Specter yang telah menunggu di atas gorong-gorong, pilot pesawat tampak terkejut. Katanya, "Nah, aku sudah sering melihat tim yang kuantar hanya pulang dengan seperempat anggota awalnya, atau tak ada yang pulang sama sekali. Tapi ini pertama kalinya semua manusia normal yang kuantar selamat sementara para Fervent-nya hanya satu yang kembali."

"Jalan saja, Jim," desak Sabang. "Anak ini mulai kehabisan darah."

Sementara aku duduk di bagian kokpit dan mengalihkan perhatian dengan menonton pilot bekerja, Sabang membawa Blec untuk memberinya pertolongan pertama.

Ketika Sabang kembali, dia duduk di seberangku, meyakinkanku bahwa Blec baik-baik saja. Dia tak menceritakan detailnya, dan aku terlalu takut untuk bertanya.

"Kau tidak takut setelah misi ini?" tanya Sabang, yang kubalas dengan gelengan kepala. Aku bisa melihat kekaguman di mata pria itu, yang malah membuatku makin ingin menciut. "Kau masih sanggup untuk misi selanjutnya?"

"Tentu," dustaku, lalu menambahkan dengan jujur, "sampai Leila ketemu."

Aku memejamkan mata, teringat mayat-mayat yang bagian tubuhnya terpotong, tikus-tikus, dan kelip cahaya cat semprot dalam gorong-gorong. Tadinya aku belum merasakan kengeriannya, tetapi baru setelah kami lepas dari keadaan kritis, sosok Blec yang berdarah-darah mulai menghantuiku. Kutegakkan punggungku dan mencoba bernapas.

"Tenang saja, kita tak sepenuhnya gagal dalam misi kali ini," ucap Sabang. "Kita hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi untuk menuai kesuksesan yang kita tanam hari ini."

Aku sama sekali tak merasa terhibur. "Giok itu—kau masih menahannya? Akan kau kemanakan?"

"Akan kukirimkan kembali ke Kompleks 1," jawab Sabang. "Teman-temannya di sana. Lagi pula, dia takkan bisa berbuat apa-apa untuk sementara waktu."

Sepanjang jalan, aku memikirkan apa yang akan terjadi setelah kami mendarat. Aku mungkin harus menghindari ibunya Leila selama beberapa hari ....

Namun, begitu kami mendarat, wanita itu berdiri di sana. Menunggu. Tangannya mencengkram kawat pagar landasan, matanya penuh harap, bibirnya terbuka saat melihatku. Kakinya hampir seperti melonjak-lonjak.

Ibuku bahkan tak pernah menungguku pulang seperti itu.

Kuseka peluh di wajahku dengan tangan yang gemetar. Kugertakkan gigiku agar tak seorang pun sadar bahwa aku merasa ketakutan sehabis pulang dari misi yang gagal total. Kutarik ujung bajuku yang kusut dan kotor karena hanya itulah yang tersisa untuk kurapikan saat menghampiri ibu Leila.

Dengan kepala tertunduk, aku menghadapinya. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku cuma bisa berdiri di depannya, dengan tangan terkepal serta wajah memerah malu, dan wanita itu tampaknya paham aku gagal membawa pulang anaknya.

Dia mulai menangis, dan itu pertama kalinya aku merasa bersalah membuat seorang wanita menitikkan air mata.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Fanart ulala

A'a Alatas kiriman ( ~'-')~❤ MuhamadIqbal408 



Mba Leila, Mommy Truck, dan Dedek Erion kiriman ( ~'-')~❤ Vhiga24

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro