#77

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #77 | 3998 words |

IBUKU BENAR-benar kehilangan banyak bobot tubuhnya. Pipinya begitu tirus.

Kami bertemu di depan bangunan rumah sakit. Dia masih memakai piama dan sandal bulu—tampaknya ibu langsung melompat dari kasur saat baru bangun dan berlari keluar begitu dihubungi Sir Ted. Setelah memelukku, ibu langsung pingsan.

Ryan, Sir Ted, serta dua ajudannya membawa ibu dan aku ke penginapan tua yang terletak di ujung jalan, hanya lima menit jalan kaki dari bangunan rumah sakit tempatku dirawat. Kamar penginapan ibu begitu sempit, tetapi lengang. Kopernya tampak masih penuh di sudut ranjang seolah ibu hanya menjumputi barang-barang saat diperlukan saja tanpa benar-benar mengeluarkan isinya.

"Di mana ibuku tinggal selama ini?" tanyaku tanpa melepaskan tangannya. Setelah membaringkan ibuku, pria ajudan itu kembali menjaga jarak.

"Kompleks 6," jawab Sir Ted. "Hanya segelintir Kompleks yang lepas dari teritorial NC—Kompleks 6 adalah salah satunya. Di sana hanya ada pemukiman, dan lalu lintas perdagangan di sisi timurnya. 97% penghuninya manusia normal, sisanya Fervent yang bekerja untuk T. Ed Company. Ibumu aman di sana, Leila."

Aku menoleh ke jendela di sisi kepala ranjang. Bisa kulihat bahwa kami masih belum keluar dari Kompleks 12. Dari jendela kamar ini saja, tampak cerobong pabrik-pabrik yang Truck tunjuk waktu itu. Hutan renggang mengepung sekitar, menutupi bangunan-bangunan usang yang tampaknya tak terpakai lagi jika dilihat sekilas. Bahkan bangunan rumah sakit yang baru kutinggalkan tampak seperti bangunan berhantu dari luar, padahal bagian dalamnya tampak masih sangat baru.

"Lalu, kenapa Ibu bisa di sini?"

"Ada yang kelepasan bicara kalau kau ada di sini." Sir Ted melirik Ryan, yang langsung membuang muka. "Ibumu menerorku seharian agar dia bisa ikut kemari."

Aku menyeka keringat dingin di pelipis ibu. Matanya berkedut, tetapi dia belum bangun. "Bagaimana kalau NC tahu kalian ada di sekitar sini?"

"Tentu saja mereka punya dugaan kami menginfiltrasi Kompleks 12, tapi mereka tak tahu lokasi pasti persembunyian kami. NC menganggap tempat ini bangkrut—yang memang benar .... T. Ed sempat menutup area ini karena kebocoran limbah dan beberapa subjek lepas kendali di hutan. Tapi setelah saudaraku memindah tangan kepemimpinannya padaku, kuputuskan untuk membersihkan tempat ini dan membukanya kembali diam-diam. Memang tidak optimal, tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dan ... lokasi ini yang paling dekat dengan gerbang. Kami mencoba mencapaimu dan teman-temanmu, tapi tak kami sangka kalian berbelok arah dan memasuki hutan. Untunglah Ryan dan teman-temannya yang berjaga di sana menemukan kalian."

"Tempat ini berbahaya sekali ..." lirihku. "Ibu tidak boleh tetap di sini."

"Beberapa hari lagi kalian akan kuberangkatkan ke Kompleks 6. Kau dan ibumu akan punya rumah di sana." Sir Ted memajukan tubuhnya. "Mungkin lusa."

"Tunggu—bukankah besok?" tukas Ryan.

"Kekacauan di perbatasan makin menjadi—tampaknya sarang Calor tengah bersitegang dengan NC. Kita tidak bisa melintas untuk sementara."

Aku menegakkan punggungku. Sosok Embre, Pascal, dan Ash beserta puluhan anak Calor lainnya membayangi ingatanku. "Bersitegang? Ada apa?"

"Kurasa ada hubungannya dengan kalian." Sir Ted menelengkan kepalanya. "Ada jejak kalian di sana baru-baru ini. Pyro akan menjual kalian, kuasumsikan, dan kalian kabur? Mereka pasti mendapat masalah dengan Bintara sekarang."

Tidak kabur. Embre melepaskan kami. Namun, kutahan lidahku. Jika aku kelepasan bicara, akan makin banyak pertanyaan. Aku tidak mau memberi detail bahwa Erion mampu mengendalikan api, atau kepemimpian Calor yang berganti—bagaimana pun, Sir Ted pasti punya kepentingan sendiri. Aku tidak mau Erion terseret ke dalamnya. Lagi pula, Embre tampak tak memercayai T. Ed sama sekali.

"Kalau kau tak keberatan, Leila ...." Sir Ted tiba-tiba menyentuh punggung tanganku yang mengepal di piama ibu. "Besok, izinkan aku menelusuri ingatanmu. Barangkali ada petunjuk untuk menemukan ayahmu—"

Aku menampik tangannya dengan tamparan yang terdengar lancang. Bahkan bisa kulihat kedua ajudannya menegang, dan Ryan mengangkat kedua alisnya.

"Maaf, mungkin kau masih butuh waktu," kata Sir Ted lagi dengan lebih lembut. "Datanglah kapan pun kau siap, oke?"

Pria itu lantas berdiri dari tempatnya duduk. Dia memberi isyarat pada dua ajudannya untuk keluar mengikutinya, tetapi Ryan tidak ikut keluar.

Ryan tampak hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku mendahuluinya demi menghindari obrolan canggung, "Bagaimana kalau orang-orang NC kemari?"

"Sudah pernah, waktu hari pertama kami sampai." Ryan mengangkat bahu. "Ada petugas NC yang berpatroli sampai kemari. Kami pura-pura jadi warga dan buruh pabrik yang menolak digusur, lalu melemparinya pakai batu sambil teriak-teriak minta ganti rugi gaji yang belum dibayar. NC pasti cuma menganggap ini masalah dalam perusahaan T. Ed, jadi mereka membiarkan kami di sini."

"Irene dan yang lainnya tidak ikut ke sini?" tanyaku lagi.

Dia menggeleng. "Mereka di Kompleks 6. Cuma aku dan ibumu yang ke sini. Di sana tidak seramai Kompleks 44 yang dulu, tapi setidaknya mendekati."

Aku menggembungkan sebelah pipiku, mencari bahan obrolan lagi—apa pun, agar Ryan tidak menyerempet pada pembicaraan yang tak mau kumulai. Namun, pemuda itu akhirnya berkata, "Kalau begitu, aku bakal kasih kalian waktu berdua."

Aku mengangguk cepat-cepat dan dengan lega mengantarnya ke depan pintu. Saat dia memunggungiku, rasanya seolah aku telah mengecil, atau dia yang tambah tinggi. Lengannya dipenuhi bekas luka sayat, dan banyak sekali plester luka di sekitar jarinya. Sikap tubuhnya lebih tegap, dengan tangan mengepal setiap saat.

Dia berbalik menghadapku, memberiku sorot mata itu lagi—sorot mata yang dulu membuatku merasa spesial, tetapi kini entah kenapa membuatku tertekan.

"Aku akan turunkan egoku sebentar," katanya. "Jadi kuharap kau juga tidak menggigitku lagi." Sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, Ryan membungkuk dan membawaku ke dalam pelukannya.

Aroma rambutnya, dekapan tangannya, suara napasnya—segalanya terlalu familier sampai-sampai aku menaruh pipiku di bahunya, dan kedua tanganku menyambutnya. Kembali terlintas di benakku ... bukankah ini yang kuinginkan sejak lama? Bukankah ini yang kukejar dari dulu?

Kembali dengan Ryan, ibu, dan teman-teman lamaku. Kembali jadi anak rumahan. Kompleks 6 terdengar begitu aman dan nyaman ....

Tidak akan ada lagi suara tembakan.

Tidak perlu menangisi orang-orang mati lagi.

Tidak ada lagi angkat senjata saat berpapasan dengan orang asing.

Tidak tidur beralas tanah dan batu lagi, dengan langit sebagai kelambu, dan puluhan mata yang mengintai dengan sorot lapar dari kegelapan.

Tidak perlu mencemaskan akan makan apa besok.

Aku bahkan sudah tidak perlu takut dibuang Truck ke sungai saat tidur.

Aku ... sudah pulang.

Begitu Ryan melepaskanku, benaknya meneriakkan betapa rindunya dia padaku. Dan gara-gara itu aku jadi ingin memeluknya sekali lagi.

Dia membuka mulut untuk menyampaikannya, tetapi kemudian mengalihkan pandang. Punggung tangannya menangkup mulut, dan dia berkata pelan, "Dilihat dari ekspresi wajahmu, kau pasti sudah membaca pikiranku."

Aku berdengap dengan wajah yang terasa panas.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ryan beranjak. Sebelah tangannya mengacak-acak rambutnya seperti kesal, tetapi aku bisa merasakan kalau dia cuma malu.

Aku terdiam di depan pintu selama beberapa detik, tak melakukan apa pun kecuali berdiri di sana. Susah payah aku membetulkan napas dan menunggu sampai detak jantungku memelan kembali.

Begitu masuk ke dalam, ibu sudah bangun. Dia duduk di tepi ranjang dengan mata sembap dan tatapan yang masih linglung. Saat melihatku, ibu menangis lagi, dan aku jatuh berlutut di pangkuannya. Selama beberapa lama, yang kami lakukan hanya membanjiri satu sama lain dengan air mata dan permintaan maaf.

Dia meminta maaf karena tidak bisa menemukanku lebih cepat, juga karena menyembunyikan masalah Fervent dariku. Aku meminta maaf dengan alasan yang lebih banyak; karena lari dari rumah subuh itu, karena sempat marah padanya, karena menjadi anak yang egois di saat mereka berusaha menjagaku ....

Namun, aku masih tidak sanggup mengatakan bahwa ayah mati di depan mataku. Kurasa, sebanyak apa pun aku meminta maaf, sampai bibirku lepas dan gigiku bertanggalan sekali pun, takkan pernah bisa membayar nyawa ayah.

Ibu masih mengira aku dan ayah terpisah entah bagaimana. Dia masih menaruh harapan Sir Ted dan tim kecilnya akan menemukan ayah. Dia bahkan menghiburku—bahwa kami akan kembali lengkap bertiga tak lama lagi. Setiap kali dia melakukan itu, aku menundukkan kepala, tidak mampu menatap matanya.

Saat jam tidur, kami berdesakan berdua di atas ranjang yang sempit, begadang. Ibu menceritakan Kompleks 6 yang didiaminya beberapa bulan belakangan, dan aku menceritakan apa yang terjadi selama aku hilang.

Sebisa mungkin, aku menutupi hal-hal buruk, seperti saat aku bercerita pada ayah. Aku mengedit kalimatku mati-matian. Ibu tak perlu tahu perihal luka tusuk, serempetan peluru, atau detail ledakan. Aku hanya menyampaikan garis besarnya bahwa Truck menjaga kami, Alatas yang baik padaku, dan Erion—

"LEILA—sialan!" Pintu kamar kami terbang ke seberang ruangan. Bunyi debumnya bisa saja membangunkan seisi penginapan, tetapi untungnya tempat ini nyaris tidak berpenghuni. Aku dan ibuku buru-buru bangun dan melihat Truck di ambang pintu, kakinya yang tidak lagi diperban terangkat, menunjukkan dengan apa dia barusan mementalkan pintu itu dari engselnya.

"Truck!" Alatas setengah memekik di sisinya. "Sudah kubilang, ketuk dulu!"

"Barusan itu caraku mengetuk!" Truck menggerung. Matanya merah, menunjukkan bahwa mood-nya sedang jelek karena mengantuk.

"Pakai kaki?!" bentakku. "Sekarang kau sudah bisa menggerakkan kakimu, dan hal pertama yang kau lakukan adalah menendang pintu orang?!"

Truck masuk dan langsung memenuhi seisi kamar dengan badannya. Dia berbalik, memamerkan Erion di gendongan punggungnya yang menyengir padaku.

"Maaf," kata Alatas, ikut masuk ke dalam. Dia kemudian memungut daun pintu di sisi ruangan, mendekapnya ke dada. "Erion rewel seharian. Dia mencoba mengatakan sesuatu, tapi tidak seorang pun dari kami yang paham."

Aku memegang tangan Erion, lalu mendesis jengkel. "Apa kalian tidak membawanya ke toilet seharian?!"

"Toilet?!" raung Truck. Dia mencoba melihat Erion di balik punggungnya. "Cuma minta ke toilet—kau bisa saja memegang anumu sambil loncat-loncat, 'kan?! Kita tidak perlu jalan jauh-jauh dari rumah sakit kemari!"

Ibu, yang masih tampak terpana di sisiku, menunjuk salah satu pintu di seberang ranjang. "Toilet di situ."

"Makasih," gerutu Truck, lalu membawa Erion masuk ke toilet.

Ibu membelalak menatapku seolah bertanya, Yang barusan itu makhluk apa?

"Benar-benar maaf," kata Alatas lagi. Dia tengah berusaha memasang kembali daun pintu itu. Tatapan matanya memelas pada ibuku. "Yang barusan itu ... Truck mengatai pintunya yang sialan, bukan Leila. Sungguh."

"Kau pasti Alatas." Ibu menunjuk pemuda itu dengan sorot mengingat-ingat. Tatapannya tak lepas dari sepasang mata Alatas yang berbeda warna, seolah dia baru bisa memercayai ceritaku sekarang.

"Dan, Anda pasti ibunya Leila." Alatas meletakkan pintu yang gagal terpasang, meraih tangan ibuku, dan mencium punggung tangannya—gestur sopan santun kepada orang yang lebih tua, yang bertahun belakangan tak pernah kuterapkan lagi pada orang tuaku sendiri. "Andaikata saya tak tahu Leila anak tunggal, saya sudah mengira Anda ini saudarinya."

Ibu tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar menatapku. "Oh, kau benar, Sayang—sikapnya memang manis sekali!"

Aku melompat turun dari ranjang, menghindar dari bertemu pandang dengan Alatas, lantas menghampiri toilet untuk mengecek Erion. Namun, keburu terdengar suara Truck berteriak. Pintunya terbuka, dan Truck basah kuyup di ambangnya.

"Anak itu tak pernah menyentuh shower," ucapnya dengan nada syok yang amat jarang dimilikinya. "Dia menggila di dalam sana."

Aku baru mengambil satu langkah ke dalam saat air menyemprotku dari depan.

"ER—RION!" jeritku seraya meludah. Tampaknya kerannya diputar sampai habis. Erion memainkan selang dengan Phantom, membuatnya seperti ular-ularan. Tangannya memutar-mutar seolah dia berusaha menjinakkan pancuran air.

Shower yang dulu di toilet mall dan bungkernya Raios, tuh, tidak begini—cuma menempel di dinding! Ada nada girang di suara Erion.

Ibu muncul di sisiku, dan pancuran air langsung jatuh menggeletak ke lantai. Erion menangkup kedua tangannya ke depan, mendadak diam, dan sikapnya mengingatkanku pada saat pertama kali kami bertemu—segan, anteng, dan begitu terkendali. Kecuali fakta bahwa sekujur badannya basah.

"Kalian ada baju gantinya?" tanya ibu, yang langsung menarik handuk dari gantungan dan menghampiri Erion. Anak itu mengerut ke celah antara dinding dan toilet duduk, tetapi itu tidak menghentikan ibu dari menggosoknya sampai kering.

"Ransel kita ditahan di lobi rumah sakit," kata Alatas. "Tadi Truck mencoba mengambilnya, tapi mereka malah mencoba mengembalikan kami ke kamar inap."

"Katakan saja disuruh Ed," kata ibu, lagi-lagi menggunakan kekuasaan orang dalam. "Nanti aku teleponkan Ed agar dia memberi tahu petugas lobinya."

Alatas berseru, "Anda malaikat, Nyonya Ibunya Leila!"

Ibu terkikik malu dari kamar mandi, bercampur suara protes Erion yang jengah yang hanya terdengar olehku.

"Truck, ayo—"

Namun, Truck entah sejak kapan telah menaruh badannya yang basah kuyup di atas ranjang ibu dan mengorok. Air menetes-netes dari seprai, dan, saat Alatas memberi tahu kalau Truck tidak bisa tidur seharian karena diganggu Erion, aku tak tahu mesti kasihan atau marah pada pria besar itu.

Aku memakai jaket ibu dan pergi dengan Alatas untuk mengambil ransel kami.

Sepanjang jalan, tak satu pun dari kami bicara. Baru setelah kami sampai di depan bangunan rumah sakit, aku berkata, "Kau marah padaku?"

"Marah?" tanyanya seraya mendorong pintu kaca.

"Karena aku tidak memberi tahu tentang Ryan."

Kami terhenti di depan pintu. Tidak ada siapa-siapa di sana, jadi kami hanya berdiri menghalangi jalan selama setengah menit penuh.

"Tidak," kata Alatas kemudian. Bibirnya melipat ke dalam, matanya menghindariku. "Aku tidak marah."

"Tapi, kau tampak ...." Aku berhenti lagi, tidak tahu harus mengucapkan apa.

"Patah hati?" usulnya dengan pipi mengerut, antara tersenyum dan meringis. "Kau bisa patahkan hatiku seribu kali lagi, Leila, dan aku tidak akan pernah bisa marah padamu." Dia terdiam setelah mengatakan itu, matanya memejam rapat sampai kelopaknya mengerut, ekspresinya seperti merasa bersalah. Alatas kemudian meringis lagi dengan nada setengah bercanda, "Aku tidak seharusnya menggodamu lagi, ya?"

Kami saling diam lagi selama berjalan ke meja lobi yang sunyi. Dengan canggung, Alatas mengetuk-ngetuk meja itu dan menjulurkan leher, mencari seseorang dan tas kami.

"Aku dan ibuku akan pergi ke Kompleks 6." Aku kaget sendiri mendengar diriku menyampaikan itu. "Di sana kedengarannya aman. Sir Ted, bilang sebagian besar penduduknya manusia normal, dan beberapa Fervent yang bekerja untuknya."

Alatas melipat bibirnya lagi. Aku butuh waktu lama untuk sadar bahwa dia sedang menggigitnya di dalam sana. "Bagus," sahutnya sembari mengangguk-angguk. "Aku senang—kau ... akhirnya bisa pulang. Maksudku, kau berusaha keras selama ini agar bisa bersama ibumu lagi, 'kan?"

"Kau tidak mau ikut ke Kompleks 6?" cetusku begitu saja.

Alatas menahan napas. Dia mengusap tengkuk, tampak bimbang. Pemuda itu mengamati sekitar kami seolah memastikan tidak ada siapa pun, lantas menunduk rendah dan berbisik padaku, "Tampaknya Raios hilang sejak dia pergi bersamamu dan Bintara waktu itu—saat kalian pergi ke pangkalan tempat ayahmu ditahan. Giok dan teman-temannya hilang kontak dengan Raios sejak itu, jadi mereka menerima tawaran T. Ed untuk bergabung. Saat ini, mereka sudah menginfiltrasi Kompleks 1, dan hanya tinggal menunggu kiriman bantuan dari T. Ed."

"Dan kalianlah bantuan itu?" tanyaku tajam. "Kalian masih serius untuk berderap ke sana? Padahal kau sendiri yang bilang Kompleks 1 adalah sarang para Pemburu dan Agen Herde. Selanjutnya apa? Kompleks Sentral?"

"Cuma ini yang kami punya, Leila," bisik Alatas lagi. "Lagi pula ... Truck mencari sesuatu di sana."

"Seseorang," ralatku. "Aku tahu dia mencari seorang cewek yang namanya Aria atau siapalah itu. Kau tidak perlu berbohong padaku."

"Aku tidak berbohong—tapi separuhnya memang benar, Truck memang mencari Aria. Masalahnya, kami masih tidak tahu di mana Aria. Tapi, Sir Timothy berjanji bisa mencari tahu. Di markas besar para Pemburu, ada berkas persebaran para Fervent yang pernah mereka tangkap—entah Fervent itu masuk Herde, dipekerjakan di pabrik, Kompleks Sentral, atau dikirim ke suatu tempat. Petunjuk lokasi Aria ada di Kompleks 1—karenanya Truck harus ke sana."

Alatas secara tak langsung memberitahuku bahwa Aria dan Truck terpisah karena Pemburu. Padahal aku belum tahu sampai sejauh itu.

"Setelah selesai?" desakku. "Setelah kalian menemukan Aria?"

Alatas menatapku nanar. "Kompleks Sentral. Mencabut NC sampai ke akar."

Aku mulai merasa sesak. "Setelah Kompleks Sentral—"

"Leila," potongnya. Alatas hampir tak pernah memotong perkataanku, tetapi kali ini wajahnya begitu serius sampai-sampai suaraku hilang di pangkal tenggorok. "Hanya sampai Kompleks Sentral, Leila. Tidak ada kelanjutannya. Maksudku ... setelah kami masuk sana, kami mungkin takkan keluar lagi hidup-hidup—"

"Jangan mengatakan itu!" Aku memukul meja lobi sampai suaranya bergema dan telapak tanganku kebas sendiri. "Jangan kau berani-beraninya mati di sana!"

"Semua Fervent yang bekerja untuk NC ada di sana," lanjut Alatas. "Mereka semua adalah lulusan PFD—tempat Truck berasal. Tempat di mana Fervent dilatih menjadi mesin pembunuh sejak mereka baru bisa merangkak. Semua sumber daya Fervent terbaik ada di Kompleks Sentral, dan jumlah mereka ribuan."

"Bagaimana dengan Erion?!" Suaraku mulai pecah. Mati-matian aku menahan agar air mataku tidak jatuh. "Kau serius mau membawanya bersama kalian?!"

"Sebenarnya ini alasanku ke tempatmu tadi," desahnya. "Aku ingin kau membujuk Erion agar dia mau kembali ke sarang Calor."

"Kenapa sarang Calor?"

"Ada banyak sekali Fervent seumurannya di sana," lirih Alatas. Tangannya mengepal di atas meja lobi. Sekilas ingatannya melintas, di mana Erion dikerubungi Ash dan para bocah Fervent sesaat setelah Embre mengajari anak itu pyrokinesis. "Kau tidak melihat betapa diterimanya Erion di sana, Leila. Erion mungkin butuh waktu untuk membaur, tapi dia akan aman dan berada di antara teman-teman."

"Ya, tapi dia bisa saja ikut denganku dan ibuku! Ke Kompleks 6!"

"Aku tidak bermaksud menyinggungmu, Leila, tapi kau bilang tempat itu banyak dihuni manusia normal. Erion tidak bisa membaur di sana."

"Kau ingat waktu kita mengobrol di penginapan pertama di Kompleks 12 ini?" ungkitku dengan nada pahit, lalu tanpa sadar menambahkan dalam hati, sesaat sebelum kau berusaha menciumku. "Aku ingat benar, kau bilang kau berharap ada tempat di mana manusia normal dan Fervent bisa hidup bersama tanpa disekat apa-apa. Sekarang kau tidak mau aku membawa Erion ke tempat yang dihuni banyak manusia normal? Jadi, kata-katamu waktu itu hanya omong kosong?"

"Ya ..." katanya. "Aku berubah pikiran saat, beberapa jam yang lalu, aku melihat Truck mesti menginjeksi sendiri obat penghilang rasa sakit ke Erion, karena para perawat itu bahkan tidak mau mendekati Erion dalam keadaan bangun."

Aku butuh waktu lama untuk mencerna perkataannya. "Apa?"

"Mereka bahkan tidak mau masuk, Leila. Mereka meletakkan troli obat-obatan dan jarum suntik itu di depan pintu. Mereka menatap Erion seperti penyakit menular. Bahkan saat Truck dan aku pergi ke tempatmu tadi, tidak seorang pun menghentikan kami. Mereka semua membuka jalan, ketakutan. Aku mesti mematikan alat bantu dengarnya saat—" Alatas mengepalkan tangan, matanya memerah. "Aku mesti mematikan alat bantu dengarnya saat salah satu perawat memanggilnya 'monster kecil'. Tapi kurasa Erion sudah telanjur mendengarnya."

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan air mataku yang menggenang.

"Truck sudah bilang jauh-jauh hari kalau harapanku itu bodoh, tapi aku baru memercayainya setelah melihat sendiri. Ada alasannya kenapa para Teleporter, Calor, dan Steeler membuat tempat bermukimnya sendiri. Fervent lain juga begitu. Bahkan kau lihat sendiri di sini, Leila, di Kompleks mana pun Fervent dan manusia normal terpisah—entah para Fervent yang menepi ke perbatasan, atau manusia normal yang menolak keluar rumah saat Fervent memenuhi jalan."

Setetes air mataku jatuh, tetapi Alatas tampak belum menyadarinya.

"Tapi, kau berbeda," tambahnya lagi. "Kau punya ibumu, Sir Timothy, teman-teman lamamu yang bisa menerimamu, dan ... pacarmu. Kau sudah hidup lebih lama sebagai 'manusia normal' ketimbang sebagai Fervent. Pada dasarnya kau sudah terbiasa di lingkungan itu. Tapi, kami ...? Kami tidak punya siapa-siapa, Lei. Dan kami bukan siapa-siapa—" Suaranya tercekat. "Kami ini Fervent liar."

Begitu pandanganku kabur sepenuhnya, barulah tangisanku berbunyi. Kudengar Alatas berdengap. Tangannya menyentuh pipiku yang dibasahi air mata.

"Jangan—" Alatas terdengar panik. "Leila, jangan menangis ...."

"Aku menyesal," isakku seraya menyeka air mata dengan tangan, tetapi mereka terus berjatuhan. "Seharusnya kita tidak ke sini!"

Padahal beberapa hari belakangan, aku sendiri yang berusaha membujuk mereka untuk berhenti menuju Kompleks 1. Untuk melupakan teman-teman Herde mereka yang berderap menuju kematian dalam pemberontakan. Untuk mencari tujuan lain, apa pun selain Rav atau hal bodoh lainnya di sana.

Namun, aku malah membuka jalan mereka untuk pergi ke sana sekarang. Dan tak ada yang bisa kulakukan karena aku tidak punya hak menghalang-halangi mereka. Karena aku sendiri tidak bisa berbuat apa pun untuk mereka.

"Leila—"

Ucapannya terpotong. Alatas tersentak ke sisi saat sebuah tangan meraupnya di kerah. Aku mendongak dan menyaksikan saat Ryan mencampakkan pemuda itu ke lantai. "Pertama kau menggoda pacarku, sekarang kau membuatnya menangis?!"

Di tengah-tengah isakan dan sesenggukan, aku mencoba menariknya. "Ryan!"

"Aku tidak menonjokmu saat kita pertama bertemu tadi karena kau mengeluarkannya dari reruntuhan itu! Tapi, persetanlah!"

Aku menarik punggung bajunya, tetapi Ryan tetap lepas dari gapaianku. Dia menindih Alatas dan membogemnya dua kali, tetapi pada saat ketiga Alatas berhasil menghindar. Ketika, entah bagaimana Alatas berhasil membalik posisi mereka, Ryan mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah, seolah-olah dia sudah ratusan kali menghadapi perkelahian macam ini dan tahu apa yang mesti dilakukan.

Namun, Alatas yang hampir tidak pernah berkelahi fisik sungguhan tidak kunjung memukul. Pemuda itu justru berguling dari atas Ryan dan merangkak menjauh, padahal Ryan masih tampak menunggu serangan.

"Sialan!" Ryan bangkit dengan cepat dan siap menerjang lagi.

"Tunggu!" Alatas terseok. Kedua tangannya terangkat. "Aku tidak mau melawanmu—Bung, ini salah paham!"

"Bangun, dan hadapi a—"

Aku menarik bahu Ryan sampai dia berbalik, lalu meninjunya di dagu. Atau setidaknya aku mencoba .... Gerakan refleks pemuda itu lebih cepat.

Dia mengangkat satu tangan untuk menamengi wajah, tubuhnya menghindar. Kepalan tanganku lantas bersarang di tulang lengannya, dan, ketahuilah, meninju di bagian itu menyakitkan. Buku jariku seperti terbakar.

"Kenapa kau lakukan itu?!" seru Ryan seraya mengejarku, sementara kakiku terus melangkah mundur seolah-olah aku bisa meninggalkan tanganku sendiri.

"Kenapa kau menghindar?!" tangisku kian keras.

"Karena kau mencoba memukulku!" bentaknya lagi. "Aku mengajarimu memukul cowok yang mendekatimu, bukan untuk digunakan padaku!"

"Karena kau tidak bisa diberi pengertian saat marah!" balasku. "Aku menangis bukan karena Alatas! Aku menangisi Erion! Dia mencoba menenangkanku, tapi kau langsung main hajar!"

Keadaan jadi kikuk selama beberapa detik. Alatas masih duduk di lantai sambil memegangi punggungnya dan sesekali menyeka sisa darah di sudut bibirnya. Ryan berdiri mematung, dan tampaknya benar-benar malu.

Aku lebih malu, masih sambil terisak-isak dan mengelu-elukan tanganku. Aku bahkan sampai bingung sebenarnya aku menangis karena apa.

Ryan berbalik mendadak dan mengulurkan tangannya pada Alatas.

"Kau bisa meremukkan punggungku tadi," protes Alatas. "Bisakah tanya dulu sebelum memukul orang?"

"Sori," ucap Ryan ketika Alatas menyambut tangannya. "Kenapa juga kalian di sini?! Tempat ini hampir tidak ada orangnya kecuali aku yang sedang berjaga."

"Ransel," kata Alatas di sela ringisan. Dia melepaskan jaketnya dan memberikannya padaku, seperti biasa, tahu benar aku butuh sesuatu untuk mengelap hidung sehabis menangis.

Ryan pergi ke belakang meja lobi, lantas mengeluarkan semua tas kami dan menaruhnya di atas meja. "Ada lagi?"

Tanpa mengacuhkannya, aku merenggut ranselku kasar dan menyandangnya.

"Ayolah!" seru Ryan seraya memutari meja lobi dan mendekatiku. "Jangan ngambek lagi! Cowok itu saja langsung memaafkanku!"

"Tidak juga," sahut Alatas seraya menyandang tasnya dan tas Truck sekaligus.

Aku membawakan tas Erion dan menenteng jaket Alatas, lalu melewati Ryan dengan kaki menghentak. Namun, Alatas tak kunjung menyusul.

"Alatas?" Aku menoleh dan melihat pemuda itu terdiam seraya menatap ke satu titik di atas langkan.

"Ada Fervent," lirih pemuda itu. Dia menghirup udara dalam-dalam seperti menyesapi suatu aroma. "Fervent yang kukenali."

Aku teringat saat dia mengatakan hal serupa—ketika dia mendeteksi Op di depan pantri hotel tempo hari. "Paling-paling Teleporter berengsek itu lagi!"

"Tidak ...." Alatas mulai melangkah menuju tangga. "Mereka ada banyak."

"Tunggu dulu!" Ryan mengejarnya. "Jangan ke sana! Aku bisa kena masalah!"

Aku mengekori kedua pemuda itu menaiki tangga. Aku mulai mengerti—Detektor Alatas memang kurang mampu membedakan jenis Fervor, tetapi dia mengenali teman-teman yang pernah dideteksinya—seperti halnya Brainware-ku yang paling kuat terikat pada Erion karena aku paling merasa akrab dengan otaknya.

Alatas membimbing kami menjauhi langkan dan berbelok dari koridor ke koridor, mengabaikan Ryan yang mencoba menghentikannya.

"Sebenarnya apa yang kalian simpan di sekitar sini?" tanyaku.

"Cuma sampel!" jawab Ryan.

"Sampel?" Aku teringat para remaja yang menemukanku di lorong sebelum Ryan datang—awalnya mereka berniat memanggil perawat untuk mengurusku, tetapi kemudian salah satunya berkata, Mereka pasti sedang dikumpulkan untuk mengurus sampel yang itu, 'kan.

Alatas tiba di ujung lorong, di mana pintu logam berdiri kokoh di sana. Namun, sebelum pemuda itu membongkarnya, Ryan menghentikannya.

"Sampel!" bentak Ryan. "Artinya bagian tubuh dari Fervent yang sudah mati untuk kepentingan penelitian dan penyemaian! Apa yang akan kau lakukan dengan rambut dan potongan gigi orang mati?!"

Alatas tampak terpaku di sana. "Mati?"

"Bung ...." Ryan berjengit. "Kau bisa mendeteksi Fervor orang mati?"

Aku ikut berjengit. "Bukankah semua Detektor bisa mendeteksi Fervent yang sudah mati?"

Karena itulah yang terjadi—Alatas pernah mengenali Fervor sesosok mayat yang terapung di sungai di Garis Merah, atau jasad seorang Peledak di bawah puing-puing di mall, atau bau darah pada selimut di bungker Raios. Pada akhirnya kami tahu bahwa darah itu milik teman Herde-nya dan Truck yang dibunuh Raios.

"Sejauh yang kupelajari, tidak," kata Ryan penuh kepastian. "Detektor tidak mendeteksi Fervent yang sudah mati. Relevia sekalipun tak bisa melakukannya."

Alatas berbalik. Langkahnya gontai seolah hal itu mengejutkannya juga.

"Kau bukannya Detektor payah," bisikku seraya menyentuh lengannya, tetapi Alatas tampak terlalu terguncang untuk mendengar. "Kau hanya mendeteksi terlalu banyak—karena kau tidak hanya mendeteksi Fervent hidup, tapi juga merasakan kehadiran semua mayat itu di Garis Merah."

Dan bayangkan jika ada yang mengetahui ini, sudut benakku mewanti-wanti. Suara Truck yang dulu mencecarku mengikuti, Kau bisa menjamin pria itu tidak bakal memanfaatkan kami?!

"Jangan beri tahu masalah ini pada siapa-siapa," kataku pada Ryan. "Terutama Sir Timothy. Bersumpahlah!"

Ryan tampak bingung, tetapi dia mengangguk saja.

Saat kami melewati jalan yang sama untuk kembali ke lobi, Alatas berhenti di persimpangan. Dia menoleh ke ujung lorong di kanannya, lalu bertanya, "Kalian juga menyimpan sampel di sini?"

"Tidak," jawab Ryan.

"Tapi ...." Alatas berbelok lagi. "Aku yakin di sini pun ada yang kukenali—"

Saat itulah kami mendengar suara tangisan di balik salah satu pintunya. Kami saling bertukar pandang tiga arah, yang aku sendiri tak tahu bisa kami lakukan.

"Ada orang di dalam?!" seru Ryan seraya menggedor pintu itu. Namun, sekali lagi yang menyahut hanya suara isak tangis. Makin lama kudengar, makin aku merasa kenal pada suaranya.

Alatas mencoba mencungkil kuncinya, tetapi dia mengalami kesulitan karena pintu ini dari kayu. Ryan membenturkan bahunya ke sana seraya berteriak, "Siapa pun di dalam—menyingkirlah! Kami akan mencoba mendobrak—"

"Minggir!" Dengan panik, aku menarik kedua cowok itu, menyingkirkan mereka dari depan pintu. Aku memang mengenali suara ini.

Suara Meredith.

Aku menyentuh gagang pintu dan meledakkannya hingga pintu itu terpental ke dalam.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


FANART UWU

Something I just can't move on from ( T^T )❤

dari seirin11_04 

Chapter berapa hayooooo


The cat tho ( T0T )❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro