#83

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #83 | 4728 words |

Song credit:
Hardwell - How You Love Me
(ft. Conor Maynard & Snoop Dogg)

PENDARATANKU MULUS. Dan menyakitkan. Saat badanku jatuh ke atas lempengan logam, rasanya hampir tak ada bedanya dengan dipukuli di punggung, tetapi selebihnya aku baik-baik saja. Lalu, aku meluncur lagi ke arah Alatas. Dia menangkapku dan mampu bertahan dua detik sebelum ikut ambruk kutimpa.

Tanah amblas di bawah kami, membentuk lajur curam dari wilayah pabrik-pabrik T. Ed yang berdiri di atas bebukitan. Lereng melandai ke bawah membelah hutan, menuju jalan besar beraspal. Logam-logam di bawah kami sebagai alas. Andaikata Alatas gagal mengendalikannya, niscaya kami sudah mati tersula cabang pohon atau tertimbun longsoran. Untunglah semua itu tak terjadi. Paling parah, kami hanya tergores kaca-kaca, menelan tanah, mata perih kemasukan debu, dan mendapat tamparan ranting yang beterbangan.

Sayangnya, Alatas gagal mengerem sampai kami meloncat melampaui jalan beraspal dan terperosok ke semak-semak rimbun di hutan seberang.

Alatas tertungging di sampingku, terhenti karena gerakan sikunya di tanah. Aku sendiri nyaris tidak bisa berhenti sampai akhirnya ubun-ubunku mentok di ujung sepatu seseorang. Aku mendongak, dan wajah Truck muncul di atasku. Dia menunduk dengan tatapan tak percaya bercampur jengkel. "Kau pasti bercanda."

"Hai, Truck." Aku menyeringai. "Aku nggak jadi pulang."

"Aturan lama masih berlaku," desisnya. Telunjuknya nyaris mencolok mataku. "Kalau kau lelet, kutinggal!"

Di sampingku, Alatas berusaha mengangkat dirinya. "Kakiku keseleo."

Aku ikut duduk. "Kakiku juga terkilir waktu kau menangkapku."

Pemuda itu mengerang saat berusaha berdiri lagi. "Pinggangku salah urat."

"Pinggangku juga."

"Kok, samaan?" Alatas terbahak. "Jangan-jangan kita jodoh."

Suaranya mencicit di akhir kalimat saat aku menarik ujung bajunya sebagai pegangan untuk bangun. Aku berdiri, tetapi Alatas tertungging lagi.

"Sori," ringisku seraya memapahnya.

Tidak ada waktu untuk mengobrol dan pamer cedera. Specter-specter Bintara masih terbang rendah, tanah makin ambrol, dan api mulai menjalar. Bayang-bayang hewan yang dilindungi T. Ed berlarian ke arah kota. Kurasa, Kompleks 12 sebentar lagi akan berubah jadi kebun binatang terbesar.

Kami menyusuri pinggiran hutan dengan Sabang dan Erion memimpin paling depan. Saat menemukan salah satu pos jaga NC yang kosong, Sabang mencuri kunci serta mobil pikap yang terparkir di depannya. Kami berkendara kembali ke kota, meninggalkan ledakan yang masih terdengar serta kepulan asap.

Sabang dan Erion menempati jok di dalam, sementara aku, Alatas, dan Truck duduk di atas bak terbuka. Aku sempat cemas akan ada yang mengenali wajah kami. Namun, orang-orang di sisi jalan disibukkan oleh hewan-hewan kecil yang melompat keluar dari bayang-bayang pohon. Mereka mulai menunjuk-nunjuk asap di kejauhan, lalu memanggil keamanan dan pemadam kebakaran.

"Orang-orang mungkin belum tahu apa yang terjadi di sana, tapi Bintara pasti akan melempar kesalahan pada kita," komentar Sabang yang mengemudi, terdengar melalui jendela tak berkaca yang menghubungkan bak dengan bagian dalam mobil.

Aku sedang menelaah trotoar jalan saat tangan Alatas menangkup wajahku. "Luka bakar," katanya sambil mengernyit.

Aku melirik jari-jarinya yang bergerak di pipiku. "Nanti akan sembuh sendiri."

Aku mengerjap sedikit saat Alatas mendekatkan wajahnya. "Aku melihat cahaya dari jendela sebelum rumah sakit itu runtuh—kau hampir meledak, ya?"

"Masih sembrono seperti biasa." Truck berkomentar meski tak ada yang mengundangnya bicara.

"Kalau aku meledak, masalah kalian selesai," kataku. "Raios mati bersamaku."

"Dan Pak Timothy," celetuk Sabang. "Juga Meredith."

"Apa pedulimu?" Akhirnya aku menukas. "Kau, 'kan, menyiksa Meredith!"

"Menurut kalian, Meredith selamat?" tanya Alatas cepat-cepat, kentara sekali mengalihkan pembicaraan agar aku tak mengajak sopir berkelahi. "Aku sama sekali tak melihatnya keluar. Sedangkan bangunan rumah sakit itu ambruk cepat sekali."

"Kurasa, tidak," duga Truck. "Sayangnya, Raios mungkin selamat. Tapi, itu keuntungan kita kalau Meredith tewas di sana. Raios tahu siapa yang meruntuhkan bangunan itu. Kalau akalnya jalan, dia bakal berbalik melawan Bintara sekarang."

"Walau pun itu ayahnya sendiri?" tanya Alatas.

"Raios hampir tak mengenal ayahnya seumur hidupnya." Sabang menimbrung lagi. "Kalau aku jadi dia, aku takkan pikir dua kali—biar pun ayahku sendiri."

Aku menyela sambil memeluk lutut, "Meredith masih hidup."

Truck menelengkan kepalanya. "Kau melihatnya?"

"Tidak. Aku cuma ... tahu." Bahkan aku sendiri kebingungan harus menjawab apa. "Maksudku, aku bisa merasakannya. Hampir sama seperti saat aku mengetahui posisi Erion begitu saja, mungkin karena pikiran kami sempat terhubung."

"Kau mengetahui posisi Erion?" Truck mengulang. "Dengan Brainware?"

"Kenapa? Semua Brainware bisa melakukan itu, 'kan?"

Sabang memelankan mobilnya, lalu berhenti di sisi jalan. Dia menoleh ke belakang. "Brainware tidak melacak posisi orang. Itu adalah pekerjaan Detektor. Mengenai Brainware yang mengetahui status hidup-mati seseorang, ada yang pernah mengemukakannya—itu mungkin saja secara teori, tapi belum pernah terjadi. Nah, coba jelaskan lagi bagaimana kau bisa—"

"Aku tak mau bicara apa-apa padamu."

Truck memutar bola matanya. "Kau baru saja bicara padanya."

Sabang menggertakkan gigi. "Berhentilah bersikap kekanakan—"

"Jalankan saja mobilnya dan bawa kami ke sarang Calor!" bentakku.

Sabang menjalankan kembali mobil dengan gusar. Keadaan pun jadi tegang.

Aku memejamkan mata dengan letih. Kudengar Truck mengeluh karena rambutku melecut wajahnya, jadi aku bergeser menjauhinya sampai mendempet Alatas. Saat aku terangguk-angguk mengantuk, bahu Alatas menyenggolku dan dia berbisik dalam benaknya, Kalau kau mau sandaran, boleh, lho.

Beautiful art by: sonozakirei


Kau tidak boleh menggoda cewek yang baru saja putus, Alatas.

Kenapa?

Pokoknya tidak boleh—tetapi aku merosot dan menyandar ke lengannya.

Jadi, aku tidak boleh menggodamu, tapi kau boleh menggodaku?

Aku cuma bersandar, bukannya menggodamu!

Rasanya sepertinya godaan!

Oke! Kalau begitu, aku bakal menyandar ke Truck walau berisiko dia akan melemparku dari mobil yang tengah melaju.

"Jangan! Sini—tidak apa-apa!" Alatas meneriakkannya keras-keras. Dia menarik tanganku saat aku mengangkat kepala dari lengannya. Truck sampai bertanya apa yang salah dengan pemuda itu. Sementara aku menahan tawa geli, Alatas tercenung dan memberi tahu Truck, "Leila mau menyandar padamu."

Truck beralih menatapku. "Kubunuh kau."

Sementara kami bertengkar bertiga di bak belakang, Sabang menggumamkan sesuatu mengenai sulitnya berkendara dengan sekumpulan Fervent liar sekaligus anak bau kencur. Satu jam lebih mobil melaju, kami sampai di depan motel tua.

"Kalian tidak perlu cemas di sini—pemilik motel ini bekerja untuk T. Ed," kata Sabang seraya menurunkan ransel-ransel kami. "Aku akan cari informasi mengenai pergerakan para Calor. Ada kemungkinan mereka mengarah ke dalam kota ini. Silakan cari makan, bersihkan diri—terserah. Tapi, jangan jauh-jauh dari sini."

Pria itu tampak lega sekali saat bisa memisahkan diri dari kami.

Ada dua kamar kosong yang bersebelahan. Ketika aku akan menarik Erion, anak itu masih menampikku dan membuntuti Truck ke kamarnya.

"Dia masih membenciku," lirihku nelangsa.

"Belikan saja dia kue atau sekotak jus." Alatas mengusulkan seraya menyandang ranselnya. "Pak Timothy memberi kita lumayan banyak uang. Bahkan yang diberikan Embre masih ada sisanya." Dia berjengit kemudian. "Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku pegang uang."

"Kau mau ke mana?" tanyaku sembari ikut memanggul tas.

"Telepon umum. Pak Timothy ingin kita menghubunginya tiap kita berhenti."

Aku membeli kopi kalengan dan sekotak jus dari mesin minuman, lalu mengekori Alatas sampai ke boks telepon umum. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menggunakan telepon umum—saat itu chapter #14, ayah, ibu, dan aku baru pindah ke Kompleks 45. Aku berusaha menghubungi teman-temanku di Kompleks 44, lalu pulangnya aku bertengkar hebat dengan ayah ....

Tidak banyak yang Alatas bicarakan di telepon, hanya melaporkan keadaan kami dan bahwa Sabang masih berlaku sesuai prosedur. Bagaimana pun, Sabang masih dalam masa percobaan karena tindakannya membawa Meredith. Aku sudah menghabiskan kopi sekaleng tepat saat Alatas meletakkan gagang telepon. Dia berbisik, "Kau yakin aku masih tidak boleh memberi tahu Pak Timothy masalah Detektor-ku? Brainware-mu barangkali juga seperti kasusku, 'kan?"

"Jangan dulu," kataku. "Aku masih harus memastikan beberapa hal mengenai Sir Ted. Kau bisa bicarakan ke Truck kalau itu bisa membuatmu tenang."

Begitu kami berada di luar boks telepon, kakiku jadi berat. Aku menoleh, lalu teringat ibuku. Aku meminta uang receh Alatas dan bertanya kontak Sir Ted, lalu kembali ke dalam boks. Alatas menunggu di luar.

Ketika aku meminta disambungkan ke ibuku, yang menerimanya justru Ryan.

"Ibumu masih tidak bisa bicara," katanya pelan. Ada suara mengisak kecil, yang barangkali adalah ibuku, tak jauh darinya. "Kami baru tiba di Kompleks 6."

"Semuanya?" tanyaku lega.

"Iya. Selamat semua. Omong-omong, kau dapat salam yang lumayan kasar dari si cowok Teleporter."

Suaraku jadi masam. "Op juga selamat?"

"Ya. Dia diawasi—sempat mencoba kabur untuk memperingatkan koloninya."

Kami pun terdiam canggung sebentar. Setelah jeda itu, Ryan berkata kalau ibuku sudah mau bicara. Telepon berpindah tangan, aku langsung mendengar ibu menyedot ingus dan suara seraknya yang mati-matian dia tekan agar terdengar kuat.

"Kau sudah makan, Sayang? Kalian tidur di mana?"

"Sudah," dustaku. "Ada penginapan bagus,"—aku melirik jajaran kamar motel yang catnya luntur dan bagian bawah dindingnya berlumut. Jendela kamarku tidak bisa dibuka, pengatur suhunya rusak saat aku masuk tadi, dan dengung mesin generator besar di bagian belakangnya mirip suara perut Truck. "Ibu sendiri?"

"Iya, Ibu sudah makan. Ah ya, Leila ... maaf, Ibu mengambil bajumu."

"Benarkah? Baju yang mana?" tanyaku seraya mengetuk pintu boks dan memanggil Alatas tanpa suara. Dia membantuku melepaskan ransel, lalu memeganginya sementara aku memeriksa. "Kemeja yang putih, ya?"

"Iya .... Leila, apakah bercak-bercak ini ... darah?"

Seingatku aku sudah mencucinya. "Bukan! Itu ... Alatas dan Erion main-main dengan saus."

"Kapan?" tanya Alatas menganga. Aku mendesis menyuruhnya diam.

"Buat apa, sih, Ibu mengambil baju kotor itu?"

"Ibu hanya ... Ibu butuh sesuatu yang bisa Ibu bawa tidur malam ini."

Aku terdiam. Mataku jadi panas, dan sesuatu menyumbat kerongkonganku.

"Ibu," kataku dengan suara bergetar. "Coba Ibu periksa sakunya."

Jeda sebentar, sepertinya ibu tengah mengecek. Lalu, suara napasnya tercekat.

"Kancing ayah," kataku karena ibu tampaknya tidak bisa berkata-kata. "Itu ... dia melepaskannya—karena sesuatu hal, dia harus melakukannya untuk menyelamatkanku." Aku berhenti sebentar untuk menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala untuk menahan air mata. "Kancing itu di tanganku sampai akhir hayatnya. Kurasa sekarang, memang harus Ibu yang pegang. Jangan sampai ada yang tahu kancing itu ada padamu, oke?"

Ibu tersedu lebih keras dan cukup lama sampai aku mesti memasukkan koin lagi agar sambungan tidak terputus. Aku mendengarkannya menangis selama semenit penuh sampai akhirnya dia bisa bicara dengan suara sengau, "Jaga diri, Sayang. Cepat pulang."

Sebelum aku menjawab, ibu langsung memberikan teleponnya pada Ryan lagi.

"Ibumu benar-benar tidak bisa bicara lagi," beri tahu pemuda itu. "Ah, ya ... tadi aku dikeroyok oleh Irene dan yang lainnya karena tidak membawamu pulang."

Aku tertawa kecil dengan mata masih berair. "Bagaimana keadaan mereka?"

"Marah, tapi baik-baik saja."

Muncul rasa bersalah di benakku. Teman-teman lamaku dari Kompleks 44 masih memikirkanku sementara aku bahkan belum menanyakan keadaan mereka sampai detik ini. Aku ingat dari memori Ryan: Irene sekarang yatim piatu, rumah Pat kebakaran, dan Blec pernah tertembak saat ikut Ryan mencariku. Aku berutang maaf pada mereka jika nanti kami bertemu. "Bilang ke mereka, aku kangen."

"Oke," jawabnya. Jeda lagi. Ryan kemudian berucap, "Sampaikan ke cowok yang namanya Alatas itu, sori, aku pernah memukulinya."

"Orangnya di sini," kataku.

"Aku?" sahut Alatas, masih memegangi tasku. Kutempelkan telepon itu ke telinganya. Aku tidak bisa mendengar apa yang Ryan ucapkan, dan sepanjang itu semua Alatas hanya berucap "oke" dan "tentu" lalu "ya, ya, kau juga, Bung."

Setelah kami keluar dari boks telepon, aku bertanya, "Dia bilang apa?"

"Minta maaf, nasihat jaga diri kalian, dan sebagainya." Alatas mengangkat bahu. "Oh, dan dia mengajakku nongkrong kapan-kapan."

"Hah?"

"Katanya, di Kompleks 6 sudah mulai ada sinyal penerimaan warga normal terhadap Fervent—soalnya beberapa pekerja T. Ed, 'kan, ada di sana. Kurasa, itu semacam undangan kalau kita selamat dari Kompleks Sentral."

Aku bersedekap. "Sayang sekali, beberapa hari yang lalu, ada cowok yang pesimis setengah mati dia takkan keluar hidup-hidup dari Kompleks Sentral."

Alatas merona. "Itu ... yah, lupakan yang waktu itu. Kau di sini sekarang. Ibumu menunggumu pulang. Jadi ... kita harus selamat, 'kan?" Matanya mengerjap ke jalan, seperti mengingat-ingat. "Sepertinya, tadi mobil kita melewati toko kue."

Aku mengulum senyum seraya mengambil kembali ranselku. "Kadang aku lupa kau dua tahun lebih tua dariku."

"Tiga tahun, sebenarnya." Alatas menyengir. "Aku sempat mengecek tanggal dengan Mo ... rupanya ulang tahunku sudah lewat. Kepalaku dua sekarang."

"Kau kepala dua sekarang." Aku membetulkan, lalu terperangah. "Kapan?"

Dia mengangkat bahu. "Barangkali saat aku dioperasi habis tertembak? Sekitar itulah. Soalnya, saat aku mengecek di bungker Raios, tanggalnya belum—" Dia tersentak saat aku menarik bagian depan bajunya. "Ke mana?"

"Beli kue."

"Buat Erion?"

"Buatmu juga."

Alatas berhenti mendadak. Aku menoleh dan melihatnya memegangi tanganku dengan ragu. Awalnya, aku menebak kalau dia malu karena merasa sudah terlalu tua untuk kue ulang tahun, tetapi Alatas kemudian memohon, "Bisa kita sekalian beli yang ada lilin angka 20-nya?"

Akan kutukar angka itu jadi 02 nanti, batinku gemas. "Bisa."

Pertama-tama, kami mencari jaket yang lebih tertutup agar bisa membaur di jalan, lalu berganti di toilet umum. Kuikat rambutku seadanya dan memasang tudung jaket. Alatas butuh topi di balik tudung itu karena warna matanya yang terlalu mencolok. Kami pun menyisir kota Kompleks 12. Sudah seminggu lebih kami di sini, dan aku masih kesulitan menaksir luasnya tempat ini.

"Bagaimana caranya Op bisa mengingat detail tempat ini?" Aku bergidik, teringat betapa mudahnya dia pernah muncul di kamar penginapan kami.

Alatas mengerjap. "Bukan cuma tempat ini. Dia mengingat banyak Kompleks. Tapi, bukan hanya itu yang bikin Op jadi Teleporter paling mahal; dia punya rekor memindahkan sebuah mobil patroli NC bersamanya—mobil yang sedang melaju—sampai menghancurkan sebuah pemukiman. Itulah alasan dia berakhir di Herde."

Aku mengangkat alisku tinggi. Bagi Teleporter, memindahkan objek bergerak memang hampir mustahil. Dan kalau diingat lagi, Op pernah memindahkan kami berempat sekaligus. Kurasa, selama ini aku memang terlalu meremehkannya hanya karena Op tampak seperti orang yang tidak beres kalau dilihat sekilas.

"Dan tempat dia mendarat selalu akurat," tambah Alatas. "Aku jadi kepikiran ... apakah Op itu Teleporter-nya sama seperti Detektor-ku dan Brainware-mu."

Kuceritakan padanya kilasan ingatan Meredith mengenai catatan Giok.

"Mutasi dan keturunan?" Tatapan Alatas jadi kosong. "Bukan Ledakan Fervor? Jujur saja, selama ini aku menghafal Fervor tanpa paham apa yang kuhafal itu."

"Ini sederhana Alatas." Aku menekankan. "Fervent adalah manusia bermutasi. Ada suatu faktor X dalam diri kita yang disebut Fervor. Tubuh kita beradaptasi dengan Fervor ini. Tapi, dari ingatan Meredith, Fervor kita juga bermutasi. Nah, mutasi tidak terjadi besar-besaran seperti sekarang kecuali dalam rentang waktu tertentu atau ada yang memicunya. Barangkali 'Ledakan Fervor' itu memang ada, tapi bukan 'ledakan' seperti yang kita pikir selama ini. Kau tahu mutasi adaptif?"

"Tidak kedengaran sederhana sama sekali." Mata Alatas menerawang ke seberang jalan, menatap pameran mobil sepi dan motor-motor pajangan.

Aku mendesah, "Baiklah, mungkin memang harus dibicarakan dengan Truck. Omong-omong, cowok bernama Giok itu—kau tahu bagaimana dia masuk Herde?"

Alatas mengenyit. "Seingatku, dia menyerahkan diri. Katanya, keluarganya mati, jadi dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi buat mengurusnya—dia masuk waktu umurnya 13."

"Dia Fervent apa?"

Alatas mengangkat bahu. "Mungkin X. Dia sering memergoki teman-teman sekabinku menyelundupkan rokok dan ganja. Atau bisa juga Teleporter, soalnya aku sering melihatnya muncul mendadak."

Masalah Giok langsung buyar dalam kepalaku karena, setelah menyeberangi jalan, baru beberapa meter dari showroom, aku melihat seragam Calor di antara kerumunan yang juga menyeberang. Total ada enam orang dari mereka. Alatas dan aku berpandangan—kami sama sekali tak mengenali wajah-wajah itu, tetapi mereka jelas mengenali kami karena, dari gelagatnya, mereka mengikuti kami.

Alatas bertanya gugup seraya menurunkan lidah topinya, "Menurutmu, mereka mau menangkap kita atau cuma mau lihat-lihat pameran mobil itu?"

Aku memukul kepalanya dan memaksanya berlari.

Keenam Calor itu ikut mempercepat langkah mereka. Jelas sekali yang ada dalam tatapan nyalang itu bukan niat menyapa.

"Tunggu!" Alatas berseru. "Bukannya ini tujuan kita? Bicara dengan mereka?"

"Mereka bukan Embre! Mereka cuma kaki tangannya—bisa jadi sudah resmi menjadi kaki tangan Bintara!" teriakku gusar. "Kalau kau mau negosiasi tentang nyawamu, Alatas, bicaralah pada kepalanya, bukan kaki atau tangannya!"

Tiga Calor lagi datang dari depan. Alatas menarikku berbelok ke celah antara bangunan toserba dan ruko yang menjual oleh-oleh. Sampah bertumpukan menghalangi jalan di gang sempit itu dan seekor kucing botak mendesis ke arahku. Para Calor masih membuntut, tetapi faktor ukuran badan memperlambat mereka.

"Leila ..." panggil Alatas saat kami baru mencapai setengah jalan menuju ujung gang. "Enam tambah tiga itu sembilan, 'kan?"

"Satu lagi ucapan bodoh dari mulutmu, Alatas, aku bersumpah—"

"Maksudku, tadi yang mengejar kita ada sembilan. Tapi, yang ada di belakangku sekarang cuma berempat."

Aku berhenti, lalu menyumpah saat melihat lima Calor lain entah bagaimana telah memotong jalan. Kini, mereka menghadang kami di ujung satunya, sementara empat teman mereka masih mengejar di belakang.

"Naik!" desakku. Kami merentangkan tangan dan kaki pada dua sisi tembok bata yang berseberangan. Sempitnya jarak antar kedua tembok dan dinding bata yang berbonggol-bonggol memudahkanku untuk mengimbangi Alatas memanjat. Ada tangga darurat menuju balkon di bangunan ruko, tetapi tangga itu masih terlalu jauh untuk diraih, sedangkan para Calor sudah tiba di bawah kami.

Alatas tersengal di atasku. Tangannya menggelincir. "Seharusnya tadi kita ajak Erion. Phantom-nya berguna sekali di saat seperti ini."

Mendengarnya, aku jadi gusar. "Dia masih marah padaku, ingat?!"

Kulayangkan kakiku ke panggulnya sampai Alatas terdorong ke jendela bangunan ruko. Kami sama-sama terpekik saat setengah badannya masuk ke dalam. Kami tak memperhatikan sebelumnya karena tirainya dari anyaman bambu yang bergeming, tetapi jendela itu ternyata terbuka.

Alatas segera menarikku masuk lewat jendela yang sama. Kami menyusup masuk ke kamar seseorang. Lampunya tak menyala, maka kami bergerak dalam kegelapan, meraba dinding sampai mendapatkan pintu, lalu keluar ke ruang televisi.

Di atas sofa, seorang pria gemuk tertidur sambil memeluk semangkuk berondong jagung. Televisi menyala, menayangkan film yang mendadak disela oleh berita. Ada foto wajahku dan Alatas, berganti-ganti dengan wajah Truck dan Erion sesekali. Tajuknya: Dicari: Fervent maniak, berbahaya, baru saja terlihat di Kompleks 12 dan menyebabkan kebakaran hutan di perbatasan Kompleks.

Sementara Alatas memantau dari jendela di belakang sofa, aku mencomot berondong jagung di pelukan si pria gemuk.

"Banyak mobil patroli NC di bawah," beri tahu Alatas. "Artinya para Calor memang sudah mengikuti Bintara. Eh, aku minta pop corn-nya."

"Tapi, kita belum melihat Embre atau Pascal," kataku, lalu menjumput lagi segenggam berondong jagung untuk ditampung di tangannya. "Yang terpenting sekarang lolos dari mereka. Tapi kita tidak bisa kembali ke motel jika dibuntuti."

Terdengar bunyi sesuatu yang jatuh dan pecah dari dalam kamar gelap tempat kami menyusup masuk. Tampaknya para Calor masih mengerjar kami. Pria gemuk terbangun, Alatas dan aku berjongkok di belakang sofanya.

"Siapa di situ?!" bentak si pria gemuk seraya mencampakkan mangkuk berondong jagungnya. Dia mengeluarkan pistol dari laci nakas. "Aku bersenjata!"

Mana senjatamu? tanyaku tanpa suara ke Alatas.

Dia menggeleng. Kutinggal di kamar motel. Kita, 'kan, cuma mau beli kue.

Kami merangkak menuju pintu keluar. Alatas memutar kenop tanpa suara dan membuat engselnya hening saat pintu mengayun terbuka. Tanpa membuang waktu, kami menyelinap keluar dan menuruni tangga melingkar, melompat masuk ke bagian toko suvenir di lantai bawah, mengejutkan beberapa penjaga dan kasirnya.

Melewati rak jajanan, Alatas dan aku mengambil beberapa bungkus camilan dan kue kotakan, lalu melintasi kasir dengan meletakkan begitu saja setumpuk uang. Kami tak punya waktu untuk menunggu kembalian atau struk pembayaran. Setidaknya, kami membayar, karena saat itu orang-orang mulai memanfaatkan situasi ricuh untuk menjarah toko.

Kami kembali ke jalan. Suara sirene bergaung dan derap sepatu para petugas NC mengubah atmosfer jalan. Para Calor mulai dikenali dan menambah kepanikan di antara orang-orang normal. Bahkan, para Fervent yang tak diincar pun tampak gugup, berlarian menghindari petugas razia. Kerumunan jadi gelisah dan terpencar. Segera saja dua orang petugas menoleh ke arahku, lalu memberi tahu rekannya.

Alatas dan aku terpaksa berbelok kembali ke arah showroom, di mana penjarahan yang paling parah terjadi. Orang-orang sudah tak sabar meninggalkan area ini sebelum jalan ditutup. Para pekerja showroom memekik-mekik meminta pertolongan petugas patroli dengan sia-sia.

Alatas membobol pintu salah satu mobil sementara aku meneriaki pegawai yang panik, "Masuk! Kemari—Pak, petugas itu tidak akan mengindahkan Anda!"

Hanya segelintir yang mendengarkanku: dua gadis muda berseragam SPG ketat, yang memapah satu pria setengah baya ketar-ketir yang memegangi dadanya karena punya penyakit jantung, serta satu pemuda yang terluka kakinya. Mereka berjejalan di belakang, berkeringat sambil tersengal-sengal.

Begitu Alatas mengambil tempat di belakang kemudi dan aku duduk di jok sebelahnya, salah satu SPG di jok belakangku memberikan kunci mobilnya. Aku mengajak mereka bicara untuk menenangkan, bertanya di mana rumah sakit dan sebagainya, sementara Alatas menyalakan mobil.

Kuamati Alatas mengatur tuas gigi, satu tangan di setir. Kucengkram tepi jok dengan gugup. "Apakah kau bahkan pernah menyetir mobil?!"

"Tunggu sebentar," ucap Alatas seraya menginjak pedal gas perlahan. Mobil maju setengah meter ke depan. "Yak! Sekarang pernah."

"Oh, Tuhan ...."

Alatas membawa kami berputar-putar menghancurkan showroom mobil karena banyaknya Fervent yang kocar-kacir menghalangi jalan, beberapanya mencoba memaksa masuk ke dalam mobil kami. Saat kesabaranku mulai habis, aku berteriak, "Tabrak saja mereka, Alatas!"

"Tidak bisa! Mereka pejalan kaki!"

Sepuluh menit berlalu, dan Alatas akhirnya capek mengejar-ngejar pantat mobil yang kami kendarai. Dia membawa kami keluar melalui jendela-jendela besar yang kacanya sudah pecah berkeping-keping. Kami menabrak pembatas jalan yang dijaga tim anti-huru-hara, melanggar parameter, melewati para Calor yang sudah menyemburkan apinya. Kami nyaris melenceng dari jalur di jembatan layang. Beberapa kali badan mobil memercikkan api karena bergesekan dengan trotoar hingga Alatas akhirnya mulai terbiasa dan mampu mengebut dengan wajar.

Begitu kami tiba di rumah sakit, Alatas memanggil bantuan. Para perawat menghambur keluar dengan kursi roda dan tandu. Namun, pria setengah baya itu, meski bajunya basah oleh keringat dan wajahnya tampak gelap, justru mengerjap-ngerjap heran dan akhirnya mampu berbicara, "Aku ... sudah tidak apa-apa."

"Luka di kakiku juga sudah menutup." Si pemuda yang dipapah temannya berkata dengan bingung. Darah di kain celananya bahkan belum kering.

Alatas bertemu pandang denganku. Bibirnya bergerak, Cyone-ku?

Saking jarangnya Cyone Alatas berguna, aku sampai lupa dia memilikinya. Lagi pula, aku terbiasa melihat Truck yang menutup luka dan menstabilkan detak jantung dalam hitungan detik. Yah, kurasa, hampir tiga puluh menit perjalanan menuju rumah sakit memang memberi waktu pada Cyone Alatas untuk bekerja. Namun, untuk amannya, kedua lelaki itu tetap dibawa ke dalam untuk ditangani.

Saat itulah jumbotron di gedung-gedung dan di atas jembatan layang, yang awalnya menayangkan iklan, beralih menampakkan wajah kami. Tajuknya kurang lebih: maniak berbahaya, baru saja menimbulkan huru-hara di Kompleks 12. Kedua SPG yang masih bersamaku terpana ke jumbotron, syok karena telah berkendara hampir 30 menit bersama salah dua buronan. Alatas dan aku buru-buru masuk ke mobil, tetapi Alatas bergerak dengan sangsi. "Ya Tuhan, kita mencuri mobil ...."

Kami tersesat—jelas saja. Setelah berkendara cukup jauh, kami meninggalkan mobil curian itu di pinggir jalan, lalu jalan kaki sambil membawa barang-barang.

"Kau lihat gambar kita di tv besar tadi?" tanya Alatas sembari menarik tudungnya lebih rendah menutupi wajah. "Itu fotoku yang paling ganteng."

"Aku terlihat seperti ibu tirinya Putri Salju," keluhku. "Bukan pose terbaikku."

Alatas dan aku mampir ke telepon umum lainnya di sudut gang kotor yang lembap dan gelap di bawah jembatan layang, lalu menghubungi Sir Ted untuk meminta bantuan. Kami disuruh menunggu dua menit dan menghubunginya sekali lagi. Pada telepon kedua, Sir Ted memberi kontak lain, yang menyambungkan kami pada seorang Agen T. Ed. Dan Agen itu sedang bersama Sabang.

"Anak-anak debil berotak udang!" Sabang menyumpah keras sekali. Padahal telepon ada di telinga Alatas, dan aku tetap mendengar suaranya. "Orang-orang ahmak kalian semua! Bambung, dungu, bebalnya tidak ketolongan! Bahkan Ryan dan Mo saja pasti lebih berguna daripada kalian—"

Kurebut gagang telepon dari Alatas. "Kau mau menolong kami atau tidak?!"

"Anak-anak geblek pandir—sudah kubilang jangan jauh-jauh dari motel—"

Aku memasukkan gagang telepon ke dalam ransel, meredam suaranya. Aku menunggu sampai jatah menelepon kami hampir habis. Alatas memasukkan koin lagi, dan aku mengeluarkan gagang telepon dari tas. Saat meletakkannya kembali ke telinga, Sabang sedang memanggil-manggil namaku tak sabaran.

"Kau tidak mendengarkanku sama sekali sejak tadi, ya, bocah dogol?"

"Tidak," jawabku. "Sekarang, kami mesti ke mana? Kami ada di gang, di samping toko baju, dan di seberang ada sebuah penatu."

Kudeskripsikan semua yang kulihat sampai Sabang bisa meraba-raba lokasi kami. Pria itu menyuruhku dan Alatas menunggu di sana sampai dia menyusul.

Jalan di atas jembatan layang masih ricuh. Petugas kocar-kacir, beberapanya meneriakkan panggilan darurat perihal hewan-hewan liar yang masuk kota, sisanya masih mencari kami berdua. Helikopter serta drone hilir mudik. Alatas dan aku bertahan di gang gelap itu, duduk di atas tempat sampah besar, diapit box telepon umum dan wadah sampah lainnya. Kami membuka bungkusan kue-kue berkeju isi cokelat yang kami beli. Kami terlalu lapar untuk memperhatikan di mana kami duduk. Lagi pula, kami pernah makan di dekat hal-hal yang lebih buruk lagi.

Kuhentikan Alatas dari mencomot bolu kotakan. Khusus yang itu, kami harus menunggu sampai ada Truck dan Erion.

"Kalau Cyone-ku tidak lambat, aku sama hebatnya dengan Truck." Alatas merenungi keju di atas kuenya. Cokelat menempel di ujung hidungnya. "Atau mungkin karena aku Multi-fervent. Biasanya Multi-fervent memang kurang unggul Fervor-nya daripada Fervent biasa, kecuali Erion."

"Perutku seperti diremas tiap kali memikirkan Erion." Tanganku bergerak refleks menyeka cokelat di wajahnya. "Ini rekor terlama dia marah padaku."

"Dia mungkin sering berlagak tua, tapi bagaimana pun Erion masih anak-anak. Erion hanya belum mengerti kalau saat itu kau tidak bisa memilih demi ibumu. Nah, dia akan memaafkanmu setelah melihat bolunya." Kali ini, keju yang menempel di pipinya. Aku menyapunya lagi dengan desisan terganggu, tetapi Alatas menggigiti kuenya seperti orang yang baru pertama kali bertemu cokelat dan keju.

"Ya. Truck sekali pun mungkin akan bersikap baik padaku begitu melihat bolu ini. Oh, ya ampun—bisakah kau berhenti menempel remah kue di mukamu!"

"Hmm." Dia mengangguk-angguk sambil mengunyah. "Aku sengaja."

Aku terpana sesaat, lalu mendorong tangan Alatas yang memegangi kue sampai seluruh keju itu menempel di bibirnya. Dengan puas, aku tergelak. Bahkan saat aku menenangkan diri untuk minum, aku harus berjuang agar air itu tidak keluar lewat hidungku. Alatas sendiri tak kunjung membersihkan wajahnya dan hanya duduk diam sampai aku tak bisa memutuskan apakah dia sedang merajuk.

"Kau tidak akan menghapus noda keju itu dari wajahmu?"

"Aku menunggu pertanggungjawabanmu."

"Aku bisa menyiram mukamu pakai air minum ini sampai bersih kalau kau mau," kataku. Akhirnya, Alatas menyeka sendiri remah keju dari wajahnya.

Sementara dia menghabiskan air minum di botol, aku membereskan sampah panganan kami. Aku hampir selesai saat Alatas bertanya, "Boleh aku tahu kenapa kau akhirnya memutuskan ikut bersama kami lagi?"

Selama beberapa detik, aku terdiam. Kulanjutkan memasukkan bawaaan ke dalam tas dan membuang sampah, lalu duduk kembali di sebelahnya.

"Aku hanya merasa ... sudah terlalu banyak yang berubah." Aku memulai sambil menekuri jari tangan. "Mungkin aku memang Fervent sejak lahir, tapi aku tidak mengetahuinya. Walau aku bukan termasuk orang-orang normal itu, tapi aku hidup sebagai dan di antara warga normal selama ini. Berkat ayahku."

Alatas mengangguk-angguk memahami. Dia sendiri pernah merasakan 15 tahun hidup di antara orang normal di bawah perlindungan keluarganya.

"Sekarang, jatahku hidup sebagai warga normal sudah habis. Itu berlaku sejak aku kabur dari rumah, tapi aku baru benar-benar menyadarinya setelah ayahku meninggal." Aku mengerjap untuk mengusir air mata. "Bahkan jika aku berkeras pulang sekarang, orang-orang takkan memandangku dengan cara yang sama lagi."

Aku teringat cara Ryan menata kalimat, mati-matian berusaha meninggalkan kesan seolah-olah aku terpisah dari golongan Fervent yang tengah dibicarakannya di saat dia sendiri menyadari kalau aku memang salah satu Fervent-fervent itu.

"Terutama, di saat-saat seperti ini—saat Fervent dan orang normal masih saling berprasangka buruk satu sama lain. Kalau aku ikut ke Kompleks 6, aku mungkin akan menyusahkan ibuku dengan pandangan orang-orang terhadap kami di sana."

Alatas mengangguk lagi. "Sebenarnya, Leila, ini juga alasanku bergabung dengan T. Ed. Bukan semata karena Truck mencari seseorang—maksudku, itu juga salah satu alasannya. Kurasa, T. Ed lebih memikirkan bagaimana membuat warga normal dan Fervent bisa hidup dan bekerja di tempat yang sama, ketimbang NC yang hanya menitikberatkan segalanya pada Fervent sebagai sumber daya utama."

Aku menoleh dan menatap wajahnya yang dijatuhi bayang-bayang. Lampu jalan di kejauhan mempertegas siluet pada lekuk pipi dan rahangnya.

"Maksudku, lihat pabrik-pabrik yang baru kita tinggalkan," lanjutnya. "Pernah ada orang-orang normal dan Fervent yang bekerja sama-sama di sana. Sejak Kompleks didirikan oleh NC, seluruh pekerjanya diganti jadi Fervent—dan ini pasti terjadi di semua tempat. Bahkan saat kita dirawat di rumah sakit T. Ed, orang-orang yang merawat kita adalah Fervent dan orang normal. Mereka mungkin sempat takut pada Erion karena cerita-cerita seram orang NC, tapi mereka tidak bersikap begitu terhadap rekan mereka karena mereka terbiasa dengan satu sama lain. Kurasa, itulah yang T. Ed coba wujudkan. Dan, aku bisa membantu mereka."

Separuh benakku ingin masuk ke bak sampah karena malu. Aku tidak sanggup mengatakan pada Alatas bahwa motivasi terbesarku di sini adalah Bintara. Dendam—begitulah ibuku menyebut tatapan mataku saat mendengar suara Bintara.

Tentu saja aku ingin lekas kembali ke rumah, ke pelukan ibu, bersama teman-teman lamaku, bersama Alatas, Truck, dan Erion juga. Namun, setiap kali aku menutup mata, aku melihat sosok Bintara dalam kegelapan. Aku melihat bayang-bayang Raios di sudut mataku. Aku merasa mereka akan membunuh lebih banyak orang yang kukenal. Akan lebih banyak yang bernasib sama dengan ayahku.

Bahkan meski aku tidur di dalam pelukan ibu saat itu, terornya masih ada. Di atas ranjang, aku mengira bahwa aku tidur di atas tanah berbantalkan batu, diintai puluhan mata yang kelaparan di Garis Merah. Ketika memakan sesuatu yang layak di sisi ibuku sekali pun, yang terekam jelas oleh otakku justru panganan kedaluwarsa yang telah berjamur dan berubah warna.

Saat ibu mengajakku mengobrol, pikiranku ke mana-mana: bagaimana jika seseorang mendobrak masuk dan menembaki kami? Bagaimana jika bangunan ambruk bersama kami di dalamnya? Di mana Alatas? Apakah Erion sudah makan? Apa Truck baik-baik saja? Apakah yang kucium ini bau mesiu atau imajinasiku semata? Apakah suara di luar itu pertanda bahaya atau tak berarti apa-apa?

Aku hanya ingin mengakhiri itu semua. Aku takkan bisa tidur nyenyak selama Bintara masih ada di luar sana. Begitulah aku sampai pada satu kesimpulan: aku harus mengakhiri nyawa pria itu. Itulah prioritasku. Jalan tengah antara Fervent dan orang normal hanya tujuan nomor sekian.

Namun, di sinilah Alatas, masih berandai-andai sesuatu yang bahkan tak berani kuimpikan: "Bayangkan kalau Fervent mau membantu warga normal, dan warga normal tidak memanfaatkan Fervent. Tidak ada prasangka. Sejujurnya aku sendiri juga pernah punya prasangka buruk macam itu, tapi kita bisa sama-sama berubah, 'kan? Kalau bisa seperti itu, Erion mungkin bisa ... entahlah—sekolah, barangkali? Punya teman sungguhan? Ya, Tuhan, kau percaya itu, Leila? Umurnya baru 10 tahun dan dia sudah jadi buronan nasional."

Tanpa kusadari, aku sudah menopang dagu dengan sebelah tangan, tersenyum menyimaknya. "Menurutmu kita bisa membuat akur Fervent dan orang normal? Bahkan saat sesama Fervent sendiri berebut wilayah kekuasaan dan sesama orang normal saling tusuk dari belakang?"

Alatas mengangkat bahu. "Kita baru saja lolos dari razia, dibantu orang-orang normal, dan kita mengemudikan mereka ke rumah sakit. Itu pemulaan, 'kan?"

"Lalu, kabur dengan mobil pamerannya—"

"Leila ..." keluhnya, membuatku mengulum senyum geli. Alatas melirikku dari sudut matanya. "Aku tidak boleh menggodamu," gerutunya. "Tapi yang kau lakukan sekarang ini menggodaku."

Aku tersedak tawaku sendiri. "Tapi, aku tidak melakukan apa-apa."

Alatas menunduk menatapku. "Kau tidak tahu senyumanmu seperti apa."

Aku mengerjap, merasakan suhu naik di balik kulit wajahku. Tak peduli berapa kali pun aku melakukannya, menatap mata hijau-biru Alatas selalu saja seperti hal baru bagiku. Padahal, sorot lembut matanya tak pernah berubah. Matanya menelusuri wajahku, lalu berhenti di bibirku. Isi pikirannya terdengar jelas seolah dia meneriakkannya keras-keras. Matanya naik lagi, menjerat mataku.

"Kau sadar, 'kan," kataku saat Alatas membungkuk ke arahku, "aku belum mandi, wajahku kotor, rambutku kusut, mulutku bau cokelat dan keju ... dan yang utama, aku sedang duduk di atas tempat sampah."

"Kau selalu cantik, tuh," bisiknya sambil menyengir di depan wajahku. "Kapan kau bakal mengerti, Leila, kau cantik karena kau pemberani dan kuat di mataku—"

Aku meraih bagian depan baju Alatas, menariknya, dan aku yakin kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



No detail for kisu scene 'cause I can't
°˖✧◝(⁰▿⁰)◜✧˖°

Ya'll just have to picture it on your own
(ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧




Update lagi berkat kalian yang menjawab di chapter sebelumnya:

RiskiAmanda0 al_sasta ina_01 reseh123456 armyldadea

Pertanyaannya emang dua, tapi jawabannya sama xD




Sweet fanart (((o(*°▽°*)o)))

dari ArthaArtha


Cute fanart \(★ω★)/

dari An-Saif



Semacam mini-comic yang uwu uwu 

dari seirin11_04




Me: "Upload upload fanart ulalaa~"

Wattpad forbids: Kamu telah mencapai batas 20 gambar per bab—

.____________.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro