#84

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: Disturbing Content

| RavAges, #84 | 4930 words |
Song credit: Lauren Jauregui - Invisible Chains

ARKA, PEMICU, Detonator, Lenx ... banyak sekali alat-alat yang dikembangkan dari Fervent. Belum lagi jika menghitung proyek-proyek gabungan dan pesawat Specter yang teknologinya melibatkan penyemaian banyak Fervent sekaligus.

Belakangan aku tahu kalau Giok menyimpan alat-alat macam itu, bermula dari aku yang memergoki lensa kacamatanya yang ternyata lensa kaca biasa. Cowok itu memang rabun jauh, tetapi di balik kacamatanya, dia memakai Lenx, disemai dari seorang X, didapatnya dari seorang 'teman' di T. Ed Company. Maka aku langsung menyudutkannya sampai dia bersumpah bahwa dia tak pernah mengintipku.

"Sori saja, aku nggak punya waktu memikirkan cewek! Kau juga bukan tipeku sama sekali!" tukasnya. "Lagi pula kenapa cuma aku? Kau tahu Raios Relevia, artinya dia juga bisa melihat menembus benda padat!"

"Raios bukan cowok macam itu!" balasku meski aku sendiri tak yakin. Sudah berminggu-minggu aku bersamanya, tetapi Raios tak pernah menyentuhku seujung jari pun. Entah dia memang laki-laki terhormat atau dia cuma tidak tahu caranya.

Lama kelamaan kewaspadaanku jadi melonggar. Raios jarang berada di rumah persembunyian itu, dan tampaknya aku memang tidak perlu mencemaskan Giok—dia seringnya tak mengacuhkan keberadaanku. Giok biasanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada orang atau tidak di dekatnya, sama saja seperti tidak ada. Kurasa, memang begitulah cara cowok itu bertahan hidup di sekitar Raios.

Kalau ada yang perlu kucemaskan adalah beberapa Fervent yang kadang-kadang datang—seorang Teleporter yang tak pernah pakai sandal, tiga orang Multi-fervent pemabuk dan pecandu, dan satu cewek Cyone yang suka cekikikan sendiri meski tak ada yang mengajaknya bicara. Menurut Raios, mereka itu 'teman'. Menurut Giok, mereka itu 'aset buat dimanfaatkan'. Menurutku, kalau salah satu saja dari mereka datang, aku mesti mengunci diri di dalam kamar dan pura-pura tak ada di sana.

Tiap kali Raios pergi entah ke mana, aku membongkar barang-barang dan menghabiskan waktu melihat-lihat apa yang mereka dapat di bawah pengawasan Giok. Kalau keduanya pergi dan aku sendirian, aku tak berani menyentuh apa-apa, jadi aku hanya menghabiskan waktu duduk-duduk di pekarangan belakang yang tidak terurus, dikelilingi tembok tinggi dan pohon-pohon meranggas, berusaha menyerap sebanyak mungkin cahaya matahari sebelum Raios dan Giok kembali.

Aku tak tahu apa saja yang mereka kerjakan di luar dan kenapa aku tak diajak, padahal aku ingin sekali keluar. Namun, garis besarnya, Raios dan Giok menjarah barang-barang dari NC dan anak-anak perusahaannya, lalu memetakan semua fasilitas yang mereka masuki. Salinan denahnya, selain disimpan sendiri, biasanya mereka pakai sebagai alat tukar dengan jasa Teleporter.

"Kenapa Raios tidak pakai Teleporter-nya sendiri?" tanyaku pada Giok suatu malam saat Raios sedang keluar lagi.

"Kenapa tidak kau tanya padanya?"

"Aku takut Raios."

Dia berdecak. "Reaktor Relevia-nya."—Giok menunjuk dada bajunya sendiri, memberi isyarat pada kalung yang biasa Raios kenakan di balik kemejanya. Belakangan, kuketahui bandul kalung itu bukan emas atau permata yang sewajarnya jadi perhiasan, melainkan sebutir kancing keemasan berukiran logo NC. "Kami belum punya komputer khusus untuk mengunduh datanya. Selama belum mendapatkan komputer dan USB hub-nya, Raios tidak bisa mengendalikan kekuatannya sendiri."

Aku membolak-balikkan halaman buku panduan Fervor milik Giok sambil menandai halaman Relevia dengan jari. "Bagaimana caranya NC membuat Fervor jadi punya semacam meteran HP mirip yang ada di game konsol?"

"Hanya Relevia yang seperti itu. Pemetaan genetik pada Relevia adalah satu-satunya yang berhasil dilakukan, yang mana menurutku benar-benar ironis karena Relevia yang paling kompleks. Pada software khusus yang NC gunakan, bukan Fervor-nya yang diprogram—mereka hanya mengatur besaran energi yang diperlukan untuk membendung tiap Fervor, lalu memprogramnya ke kancing itu."

"Jadi, Teleporter-nya pun masih terbatas?"

"Ya. Sebelum dia masuk Herde, bibinya yang jahat menggunakan komputer dan Reaktor Relevia milik ibunya Raios, dan membendung hampir semua Fervor-nya. Aku sudah mencari informasi tentang wanita sialan itu—ternyata dia sudah menjual komputernya ke pasar gelap."

Kubolak-balikkan buku Giok di tanganku tanpa benar-benar membacanya. "Kalau kau tidak masalah aku bertanya, bagaimana caramu masuk Herde?"

"Nyogok," jawabnya. Dia mengambil piring dari lemari dan mengintip panci di atas kompor. "Kau sudah tambahkan bumbu? Belakangan ini masakanmu hambar."

"Raios bilang, dia suka seperti itu." Aku menutup bukunya. "Kau tahu, banyak orang yang bakal membayar mahal agar anaknya tidak masuk Herde. Kau malah bayar untuk masuk ke sana."

"Aku butuh membaur di antara Fervent. Cara paling bagus untuk memahami kalian hanya dengan menjadi bagian dari kalian." Dia mulai menyendoki kari ke piringnya. "Lagi pula aku beruntung—waktu aku masuk, suasana hati Raios sedang tidak bagus. Dia membunuh enam Agen Herde dalam sehari, termasuk dua orang yang kusogok. Jadi, tidak ada saksi mengenai caraku masuk."

"Kau selalu seperti ini? Membiarkan Raios mengerjakan yang kotor-kotor demi keuntunganmu?"

"Anggap saja tugas kelompok di sekolah, Mer. Aku yang merangkum, dia yang ketik; aku yang menyusun, dia yang praktik—semacam itulah."

"Apa keluargamu tahu kau bekerja seperti ini? Dan lagi, kau punya adik, 'kan?"

Giok yang baru duduk di depanku dengan sepiring kari langsung berdiri lagi.

"Kau tidak bisa menyalahkanku mengintip foto keluargamu—kau sendiri yang lupa mengeluarkannya dari saku. Kau beruntung foto itu tidak ikut tercuci."

Akhirnya, cowok itu duduk lagi. Matanya mengawasiku dengan jengkel.

"Jadi ..." kataku, setengah segan setengah penasaran. "Ada apa? Apa yang terjadi dengan keluargamu."

"Hancur," katanya sambil lalu, kemudian menyuap sesendok kari. "Biasalah—NC datang, bisnis kacau, ibuku pergi membawa adikku, ayahku dipukuli karena menolak rumah dan seluruh asetnya diambil—entah bagaimana tanah kami berubah kepemilikan hanya dalam semalam. Sebulan kemudian, salah satu cabang Herde berdiri tepat di atas tanah kami."

"Ayahmu—"

"Di kursi roda sekarang." Dia masih menyuap, mengunyah, dan menelan sambil bercerita seolah yang kami bicarakan sesepele masalah cuaca. "Separuh buta dan kakinya lumpuh total. Tapi kepala pelayan kami yang dulu masih mau mengurusnya."

"Jadi, semua uang hasil menjual barang jarahan ke pasar gelap itu kau kirimkan ke ayahmu?"

Giok mengangkat wajahnya lagi, menatapku dengan lebih tajam.

"Maaf ... habis, kau sendiri yang lupa mengeluarkan tagihan dan nota pengiriman itu dari saku jaketmu."

Dia menelan dan menggeram. "Jangan pernah menyentuh cucian kotorku lagi."

"Kalau kubiarkan, kau bakal memakai baju yang sama selama setahun penuh." Kubiarkan Giok menghabiskan makanannya sebelum bertanya lagi, "Kenapa kau tidak membantu ayahmu dengan semua alat semaian itu? Lenx bakal mengembalikan penglihatannya, 'kan?"

"Kalau dia sembuh, masa senang-senangku habis—kebebasanku hilang. Dia tak bakal membiarkanku mengerjakan apa yang kukerjakan sekarang." Giok berjalan ke dapur, menambahkan piring kotor ke tumpukan dalam wastafel. "Dia cuma pria tua bodoh yang masih berpikiran kalau pekerjaan halal masih ada. Padahal, kalau aku tidak kerja seperti ini, dia juga yang tidak bisa makan. Di dunia yang masih ada NC-nya, orang macam Raios saja yang bisa hidup senang—dia membunuh berapa orang pun, nyaris tak ada yang peduli."

Kubenarkan renda pada ujung bajuku. Baju ini diberi Raios beberapa hari yang lalu. Dua nomor kebesaran di badanku, tetapi bajunya terlalu cantik untuk ditolak. "Bukannya pemikiran macam itu seperti racun? Makin kau memaklumi perbuatannya, dia makin menjadi. Makin dia menjadi, kau makin memakluminya."

"Terus apa? Kau mau mengajari Raios?" Giok meniru caraku memainkan renda baju dan bicara dengan suara falset yang menurutku tidak mirip suaraku sama sekali. "Bang, membunuh itu salah. Kita harus bergandengan tangan dan saling rangkul macam Teletubbies!"

"Apa itu Teletabis?"

"Acara tv lawas—sudah tidak ada. Nah, intinya," ujar Giok seraya kembali duduk di depanku. "Raios itu pembunuh. Kita tidak bisa mengubah itu. Kita cuma punya dua pilihan—jadi korbannya atau kaki-tangannya."

"Aku tidak mau jadi kaki-tangan pembunuh!"

"Kau masak buatnya dan mencuci darah dari bajunya tiap hari—kau sudah jadi kaki-tangannya!"

Tanpa sadar, aku memelintir ujung baju lagi. Begitu menyadari tatapan mencemooh Giok, aku buru-buru melepaskan renda itu.

"Kau pernah bilang, ayahnya Raios orang jahat, 'kan?" Suaraku melirih. "Barangkali ... barangkali Raios seperti itu karena ayahnya—"

"Tidak. Raios dan ayahnya selama ini tinggal terpisah—malah aku ragu mereka akan mengenali satu sama lain kalau bertemu. Tapi, menurut informan yang kutemui, bibinya beberapa kali mencoba mempertemukan Raios dengan ayahnya—jadi, kudengar, awalnya yang mengencani ayahnya Raios itu adalah bibinya, tapi ayahnya malah berpaling pada saudarinya sampai Raios lahir. Lalu, pria itu pergi meninggalkan mereka, keadaan ibunya Raios memburuk setelah melahirkan, dan bibinya yang akhirnya membesarkan Raios. Jelas saja Raios yang jadi pelampiasan, dan kurasa Raios mempelajari caranya hidup sekarang dari bibinya itu."

"Bibinya menganiayanya?"

"Lebih dari itu—dia mencoba membunuh Raios beberapa kali." Giok melepaskan kacamatanya, mengelap kacanya ke baju. Aku masih tidak mengerti kenapa dia tetap pakai kacamata meski bisa melihat jelas tanpanya. "Dari yang kudengar, bibinya pernah hampir dipenjara, tapi kemudian Raios bersaksi buat membelanya—jangan tanya aku kenapa. Sudah kubilang Raios itu aneh. Pokoknya, hampir semua tetangga di lingkungannya tahu kebenarannya, tapi mereka tak melakukan apa-apa."

"Mungkin ..." kataku, "karena seumur hidupnya dia cuma melihat perlakuan jahat bibinya, kebrutalan NC, dan kelicikanmu,"—aku mengabaikan pelototan tersinggung Giok dan melanjutkan, "mungkin, kalau dia dapat pengaruh yang lebih baik, dia bakal jadi ... manusiawi juga."

Giok mengangkat kepalanya, lalu berjengit menatapku. "Kenapa kau bersimpati? Jangan lupa, dia dulunya pernah menawarkan diri buat membunuhmu."

"Maksudku, seperti tumpukan cucian kotor itu." Aku menunjuk ke wastafel. "Atau baju-baju kotormu. Kalau dibiarkan, bakal penuh kecoak, tikus, dan entah akan menciptakan spesies apa. Tapi, kalau dicuci pakai air dan sabun, akan jadi bersih juga. Manusia, termasuk Raios, juga pasti begitu."

Giok tergelak. "Bayangkan kalau aku memberi tahu Raios kau menyamakannya dengan cucian kotor! Nah, begini ya, Mer—Raios itu berada di puncak rantai makanan. Kau apakan juga, kau tidak bisa mengubahnya—paling-paling, kau mati selagi mencoba. Sedangkan kau dan aku—" Giok menunjukku dan dirinya sendiri. "Orang macam kita bisa hidup tenang kalau mengekori Raios. Buat dia senang, jangan buat dia marah. Sebelum dibakar, kita lompat sendiri ke api neraka."

Aku menggumamkan ketidaksetujuan tepat saat pintu terbuka. Raios menerobos masuk dengan bercak darah (lagi) di baju dan celananya. Ransel yang terpanggul di sebelah bahunya tampak kembung oleh barang-barang jarahan. Ada moncong senapan baru juga menyembul dari balik punggungnya. Menutup pintu di belakangnya, Raios menatapku dan Giok bergantian. "Aku mendengar namaku disebut-sebut dari luar. Ada apa?"

Giok menyeka hidung dan mengenakan kembali kacamatanya. "Meredith bilang, dia kangen padamu."

Menghindari tatapan kami berdua, cowok itu melarikan diri di toilet.

Wajahku panas karena marah, tetapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Kalau kuiyakan, aku mati karena malu. Kalau kutampik, aku mati di tangan Raios.

Pemuda itu sendiri diam saja. Hampir mustahil membaca ekspresi wajahnya. Raios memiliki tatapan yang dingin dan kaku, jarang sekali menampakkan ekspresi tertentu. Dia bisa saja berdiri di sana dua hari satu malam tanpa berkedip, tampak seperti patung manusia. Jangan-jangan dia bahkan tak bernapas.

Karena tidak nyaman dengan kecanggungan itu, aku menawarinya teh.

"Kopi saja," ujarnya. Pada titik itu, barulah aku ingat Raios sudah tiga hari tidak tidur. Dia seringnya hanya duduk termenung di kursi-kursi ini atau pergi entah ke mana. Sedangkan Giok tidur serampangan—di sofa, di lantai, atau di samping rongsokan yang kusebut mesin cuci, bersama tumpukan berkas dan buku-buku.

Aku ingin menyuruh Raios istirahat, tidur sebentar atau sekadar rebahan ke kamar, setidaknya hanya sekadar basa-basi. Namun, tiap kali berhadapan dengan Raios, rahangku jadi kaku. Badanku panas-dingin hanya dengan menyadari keberadaannya yang berdarah-darah dalam ruangan.

Sementara aku menjerang air di ketel, Raios duduk merosot di kursi kayu yang tadinya diduduki Giok. Punggung tangannya menangkup mata.

Aku tergagap, "K-kau bisa pakai kamar itu dulu untuk tidur."

Dia tidak menjawab. Aku mendekatinya untuk memastikan apakah dia tertidur, tetapi ketika aku baru akan menyentuh lengannya, Raios lebih dulu mengangkat dirinya dan duduk tegak. Bau anyir dari bajunya menusuk hidungku.

Aku berusaha mengalihkan perhatian dari bercak darah di bajunya, tetapi perhatianku malah terpusat pada dua kancing bagian atas kemejanya yang tak terpasang. Kancing NC yang dijadikannya bandul kalung berkilauan di antara rona darah kehitaman. "Ada luka di ... itu, sepertinya cukup parah. Apa kau butuh—a, apa perlu kuambilkan sesuatu untuk mengobatinya?"

Raios melirik titik yang kutunjuk—goresan kecokelatan berdarah di bawah tulang belikatnya, hampir membuatku mual dan mataku berair.

"Ini luka lama. Kalau darahnya bukan darahku." Dia menyeka menggunakan bagian atas kemejanya, membersit bekas darahnya. Barulah aku menyadari lukanya tak tampak separah yang kusangka. Goresannya jadi lebih samar dan, saat dia mengancingkan kembali bagian atas kemejanya, luka itu tertutupi sepenuhnya.

Aku kembali ke dapur dengan langkah ketar-ketir. Ketika tengah menyeduh kopinya, aku teringat kata-kata Giok: Kau masak buatnya dan mencuci darah dari bajunya tiap hari—kau sudah jadi kaki-tangannya!

Entah kenapa aku jadi kalap. Perasaan aneh membanjiriku. Sepintas, kukira aku mulai jadi berani, lalu kusadari bahwa saat ini aku hanya sedang tak peduli—bodo amat Raios membunuhku. Bodo amat dia menendangku keluar.

Begitu aku meletakkan kopi di atas meja di depannya, aku langsung berkata, "Giok salah—selama ini aku tidak ada perasaan apa-apa padamu."

"Aku tahu."

"Tidak! Kau tidak mengerti! Giok itu hanya sok tahu, dan aku sama sekali tidak naksir ...." Suaraku langsung hilang. Setelah Raios menyeruput kopinya dengan tenang, barulah aku mampu bersuara lagi dengan parau, "Apa?"

"Aku tahu," ulangnya.

Aku mengerjap. Mati-matian aku berusaha menilai raut wajahnya, tetapi tidak bisa. Tidak ada apa-apa di sana.

Aku terduduk di depannya, tepat saat dia berujar, "Kau sering mengigau, sangat keras, tentang tak mau mati di tanganku. Dan lagi, aku tahu Giok orang seperti apa. Aku tidak pernah memercayainya lama-lama tentang sesuatu."

"Maaf ..." kataku malu. "Jadi ... kenapa kau belum membuangku?"

Raios tidak menjawab selama beberapa saat. Matanya menatap cangkir kopi di meja, kedua siku bertumpu ke sandaran kursi, dan jari-jari tangannya saling bertaut. Ketika kupikir dia menolak mengatakan alasannya, dan aku sudah berdiri untuk beranjak, dia berkata, "Aku juga tidak tahu. Aku cuma ... merasa senang saat melihatmu di sini."

Aku mengerjap sebentar, lalu duduk kembali. Kali ini, aku mengambil tempat di sebelahnya.

"Aku suka saat melihatmu memasak." Dia melirik ke dapur. Lalu, tatapannya jatuh ke kopi lagi. "Aku suka saat melihatmu menata ruangan atau membaca di sini. Aku juga suka saat mendapati kau masih ada waktu aku dan Giok kembali kemari."

Aku tidak tahu apakah harus senang atau merasa seram karena ternyata selama ini dia memerhatikanku diam-diam. Aku jadi bertanya-tanya apakah dia pernah melihat saat aku berjoget dengan kemoceng.

Kuputuskan untuk merasa senang. "Jadi, aku masih boleh tinggal di sini?"

Lama dia tidak menjawab lagi, tetapi kali ini aku menunggu. Raios mengangkat wajahnya, menatapku sekilas sebelum kemudian mengedarkan pandang ke seisi ruangan. "Sebetulnya, kita bakal pergi dari sini sebentar lagi."

Kuanggap itu artinya aku belum diusir. "Ah ... iya, Giok pernah bilang perihal pengosongan pulau. Jadi, kalian berencana ke mana begitu menyeberangi laut?"

"Aku sudah menyiapkan bungker bawah tanah di sana."

Darah seolah menyurut dari wajahku. Kurasa, Raios menyadari perubahan air mukaku juga karena sepasang matanya memicing. "Kau tidak menyukainya?"

"Tidak," jawabku jujur. "Berdiam diri berhari-hari di dalam sini saja ... kadang aku tidak tahan. Aku tidak pernah suka bawah tanah."

Aku melirik ventilasi-ventilasi kecil dan jendela-jendela yang tertutup tirai dan papan. Dari sana, seberkas cahaya matahari masih masuk tiap pagi, menembus melalui celah-celahnya. Membayangkan keseluruhan akses ke dunia luar itu menghilang, digantikan tembok rata, dan mengetahui bahwa di luarnya pun hanya ada tanah padat, membuatku merana seketika.

"Kau tidak punya pilihan," ucap Raios tiba-tiba. Kurasakan mata birunya yang pucat menusuk tepat ke mataku. "Diam di bungker itu, atau mati saja sekalian."

Rasa dingin menjalari tengkukku, menyebar sampai punggung. Ujung-ujung jari tangan dan kakiku seperti dicelupkan ke air beku. Mataku terpaku pada ukiran meja sementara Raios beranjak, meninggalkan cangkir kopi yang sudah kosong.

"Aku akan ke bandara NC sebentar." Kudengar Raios berkata dari kejauhan.

Lalu, suara Giok, "Aku juga—"

"Tidak, kau di sini saja." Jeda sesaat, lalu Raios melanjutkan ragu-ragu, "Kurasa salah satu Teleporter itu akan datang lagi hari ini. Mereka akan membawakan beberapa barang dari sini ke kapal untuk persiapan penyeberangan."

"Tapi, aku butuh beberapa contoh suku cadang Specter, dan cuma di bandara aku bisa—" Giok berhenti. Kedengarannya seolah dia jadi gemetar. "Oke."

Ruangan jadi hening. Aku terlambat menyadari Raios ke luar lagi dengan tas dan salah satu senjata apinya, masih dengan pakaiannya yang kotor berdarah. Dengan kepala pening dan tubuh tak berbobot, aku melangkah getir melewati dapur dan kamar mandi, pergi ke belakang kotak-kotak kardus dan beberapa rongsokan.

Kutemukan Giok duduk meringkuk di samping mesin cuci. Dia melepas kacamatanya. Wajahnya berkerut-kerut kesal. Katanya, "Kau bodoh sekali, Mer."

Setetes air mataku jatuh. "Itu tadi cuma ancaman kosong, 'kan?"

"Kurasa kita tidak bakal tahu itu, 'kan? Kecuali saat dia memisahkan kepala dari badanmu."

"Kenapa dia begitu?" isakku. "Tadi, aku sempat mengira—sesaat, kukira—"

"Kau kira dia mendadak jadi baik karena suka padamu?" Giok mengusap wajah dengan frustrasi sebelum memasang kembali kacamatanya. "Perlu dibilang berapa kali?! Tidak begitu cara kerjanya! Buat dia senang, minimal dia jadi tidak kepingin membunuhmu! Kau tidak berada dalam posisi minta rumah pinggir pantai!"

"Aku cuma mau dia melepaskanku!"

"Pertama-tama, Meredith, kalau dilepaskan, kau akan ke mana? Aku tahu kau sudah tidak punya orang tua atau saudara. Satu langkah ke luar, kau entah akan dimangsa Fervent lain, kena seleksi alam, atau dijadikan properti NC! Kedua, Raios sungguhan menyukaimu—nah, ini benar-benar di luar dugaanku. Bagusnya, kau bisa bertahan hidup di belakangnya! Buruknya, kau sudah jadi tahanannya! Menurutmu, apa yang kulakukan di sini? Menurutmu, buat apa aku keliaran di sekitar Raios, padahal aku bisa saja punya bungker persembunyianku sendiri dan keliaran semauku sambil masih memanfaatkannya? Karena aku juga tahanan di sini—sepertimu! Begitulah cara Raios memperlakukan 'teman' dan 'orang yang disukainya'! Lihat apa yang kau lakukan sekarang? Dia jadi jengkel! Dan saat Raios jengkel, akan ada darah lagi di bajunya."

Aku bergabung bersama Giok ke samping mesin cuci, lalu menangis sesenggukan. Meski cowok itu menggerutu, aku mengabaikannya dan menangis sampai mataku bengkak.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku menenangkan diri. Dengan mata menerawang ke barang-barang rongsokan dan pintu brankas rahasia Raios, aku bergumam, "Kalau kita kabur—"

"Tidak ada 'kita'. Kalau kau mau kabur, kaburlah sendiri. Aku masih sayang nyawa, dan ayahku yang tolol masih di kursi roda." Giok menelungkup ke kedua lengannya yang terlipat di atas lutut. "Detektor Raios bekerja terlalu baik dibandingkan Fervor lainnya dan Cyone-mu terlalu khas. Dia bakal melacakmu dengan mudah."

"Tapi, kau manusia normal. Dia tidak bisa melacak manusia—"

"Memang tidak, tapi dunia ini sempit, Meredith. Dia tahu semua tempat persembunyianku dan tempat ayahku tinggal. Tidak sekali dua kali dia mendatangi ayahku, bertingkah seperti memberi salam—dia lakukan itu buat mengancamku. Artinya, kalau aku macam-macam, ayahku yang merasakan kemarahannya."

Aku menggosok mata dengan lelah. "Sebetulnya, apa yang kau pikirkan waktu mendekati Raios?! Kau tahu dia membunuh orang—kau kira dia bisa membantu ayahmu?"

"Tidak. Mana kutahu aku bakal jadi kacungnya begini. Awalnya aku kepikiran buat memakai Raios untuk merampok bank atau meledakkan Herde dan Pusat Karantina—"

"Tapi, Pusat Karantina berisi anak-anak!"

"Anak-anak yang dijadikan properti NC. Kalau dibiarkan hidup, mereka entah bakal jadi orang sinting seperti Raios atau tentara buat NC. Mending ditumpas saja saat masih kecil. Bayangkan kerugian yang bisa diderita NC kalau Herde dan Pusat Karantina runtuh."

Aku menelan ludah dengan ngeri. "Kau tidak bisa menyeret orang tidak bersalah demi dendammu ...."

"Nah, sudah kulakukan. Aku sudah menyeretmu." Giok mengangkat kepalanya. Matanya yang berlensa Lenx memicing. "Yah ... aku masih bisa melihat Raios ... aku bisa lihat arahnya pergi. Mending aku membuntutinya sekarang sebelum kehilangan kesempatan."

Giok berdiri. Aku buru-buru menyambar tangannya. "Kau tidak bisa meninggalkanku di sini! Raios bilang, bakal ada Teleporter yang datang—"

"Tidak ada! Dia berbohong hanya supaya aku diam di sini!" sanggahnya seraya menepis tanganku. "Kami sudah memindahkan sebagian besar senjata dan peranti T. Ed, dan keberangkatan menyeberang juga masih lama. Op, Teleporter yang biasanya kupanggil, tidak bilang dia bakal datang kemari."

Kuamati punggung Giok sementara dia menyelinap pergi lewat pintu belakang menuju pekarangan yang tandus dan menghadap hutan gelap. Tidak ada yang kulakukan selama hampir setengah jam berikutnya selain duduk termangu di samping mesin cuci.

Aku mereka-reka cara kabur dari sini, atau peranti mana yang bisa kupinjam untuk dibawa lari—Giok punya Lenx cadangan di laci, peta Garis Merah, dan Arka untuk meredam kekuatan Fervent. Kucoba mengingat-ingat, barangkali ada sesuatu yang bisa membuatku tak terlacak dari Raios. Namun, sejauh yang kutahu, NC tidak mungkin memproduksi sesuatu yang akan mempersulit pencarian mereka terhadap Fervent.

Jadi, satu-satunya cara Raios melepaskanku cuma kalau aku mati ....

Mati kedengarannya enak untuk saat ini—bertemu ayah dan ibuku di surga dan tidak perlu diburu siapa-siapa, tak ada kecemasan mengenai makan apa hari ini dan tidur di mana malam ini. Lagi pula, aku telah menjadi anak baik seumur hidupku, aku pasti masuk surga ....

Kau masak buatnya dan mencuci darah dari bajunya tiap hari—kau sudah jadi kaki-tangannya!

Aku jatuh ke lantai, berbaring memeluk lutut. Air mataku mengalir dari sudut mata. Bagaimana bisa aku berpikiran bakal masuk surga kalau aku jadi kaki-tangan pembunuh? Aku juga tidak boleh lupa—aku menyebabkan orang tuaku terbunuh.

"Halo."

Aku mengangkat wajah saat mendengar suara sapaan. Entah sejak kapan, seorang pria berdiri membungkuk di atasku. Umurnya barangkali 20-an. Rambutnya lurus kecokelatan. Giginya tampak putih cemerlang karena bibirnya tengah tersenyum lebar. Ada tato di lehernya yang kecil dan kurus, menjalar hingga ke balik baju kaus lengan pendeknya. Aku bisa melihat tindik di lidahnya saat dia bicara, "Kau Meredith?"

Aku buru-buru duduk dan menyeka wajah dengan tangan. Kurapikan rambutku sebisanya. Kuamati pria itu—dia tiba-tiba masuk begitu saja, artinya dia Teleporter. Tapi, dia bukan Teleporter tanpa alas kaki yang biasanya kulihat dari celah pintu kamar. "I, iya. Maaf. Kau ... Teleporter? Temannya Raios?"

"Iya ... dan tidak. Mana mau Raios jadi temanku." Pria itu meringis, masih tersenyum. Dia berjongkok di depanku. "Raios sebetulnya menginginkan Op. Tapi Op itu seperti tuyul—dia hanya keliaran di tempat yang banyak uangnya. Kami tidak bisa menemukan Op di mana-mana, jadi Neil menyuruh aku yang pergi."

Aku merapat ke samping mesin cuci. Penampilan pria ini membuatku takut, tetapi senyumnya ramah dan tidak mirip orang jahat. Namun, kalau dipikir-pikir, Giok juga tidak mirip orang jahat, dan lihatlah di mana aku sekarang gara-gara dia.

"Tapi, untung di aku, rugi di Op," lanjutnya. Saat itulah senyumnya berubah jadi cengiran serigala. "Op bilang dia tidak pernah bisa melihatmu walau kepingin—katanya, Raios dan Giok menyembunyikan sedemikian rupa. Nah, aku malah langsung menemukanmu."

Tangannya meraih sejumput rambutku, yang langsung kutepis. Aku buru-buru berdiri. Tulang belulangku terasa meleleh saat pria itu ikut bangkit. Aku menerobos melalui sisi badannya dengan terburu-buru dan tergagap, "A-akan kubuatkan kau teh ... atau kopi, sementara kau memindahkan barang-barang Raios, ya? Dia sebentar lagi pasti kembali."

Kurasakan pria itu mengikutiku ke dapur. "Aku tidak melihat Giok—dia ikut Raios?"

"Tidak. Dia ada di sekitar sini," dustaku. Kuhidupkan kompor dan menjerang sisa air dalam ketel. Diam-diam, aku berusaha memanaskan ujung jari-jari tanganku dan memfokuskan ke badan ketel. Selain Cyone, aku juga Peledak—walau jarang menggunakannya, bukan berarti aku tidak bisa. Walau hanya sebatas petasan mainan anak-anak, setidaknya lebih baik daripada tidak ada. "A-apa yang Raios pinta kau untuk pindahkan?"

"Hanya beberapa senjata api dan beberapa kotak amunisi, katanya." Kurasakan tangannya di punggungku. "Tapi, itu bisa menunggu."

Aku mengangkat ketel yang berasap dan merasakan semua airnya sudah menguap di dalam. Tanganku seperti terbakar, tetapi aku tetap mengayunkannya ke belakang. Si Teleporter sempat berkelit dan mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi kepala, tetapi badan ketel meletup di udara, memercikkan bunga api.

Si Teleporter berteriak memegangi tangan kanannya yang melepuh. Kumanfaatkan jeda itu untuk lari melewatinya.

Aku mengincar kamar, tetapi kemudian kulihat pria itu muncul dari udara kosong di dalam sana. Di detik-detik terakhir, aku mengerem langkah, tanganku menarik gagang dan menghela pintu sampai tertutup, mengurungnya di dalam kamar. Kepanikan membuatku tidak berpikir jernih. Maka, saat aku berbalik untuk lari lagi, wajahku membentur dadanya hingga aku tersaruk membentur pintu.

"Bodoh!" Tangan kirinya mencengkram leherku. "Kau kira bisa lari dari Teleporte—"

Darah muncrat dari mulutnya. Cengkraman tangannya melonggar di leherku. Matanya memucat dan melirik ke bawah, yang kemudian kuikuti. Di perut kirinya, menyembul ujung bilah perak tajam, tembus dari belakang ke depan.

Aku terduduk, menyaksikan Raios muncul di belakangnya saat si pria Teleporter jatuh berlutut di depanku. Pisau dapur yang biasanya kugunakan untuk memotong sayur berdenting jatuh dari tangan pemuda itu.

Raios mencengkram bahu si Teleporter, memaksanya berbalik, lalu menjejalkan sebuah kotak hitam ke mulutnya. Aku butuh waktu untuk mengenali Arka—alat peredam Fervor, seukuran genggaman tangan, dan jelas menyiksa si Teleporter saat Raios melesakkannya ke dalam mulutnya seolah memaksa pria itu menelannya.

Si pria Teleporter, dengan bersimbah air mata dan darah di sudut bibirnya, berusaha berkelit. Tangannya bergetar saat mencoba mendorong. Gerakan putus asanya berakhir saat ibu jari Raios menekan lubang di perutnya, membuat Teleporter itu mengerang tertahan dengan mulut penuh.

Pintu terbuka, dan Giok muncul di ambangnya. Aku bersyukur saat dia menyeruak ke depanku, menghalangi pandanganku dari Raios dan si Teleporter.

"Masuk sana—ayo, Meredith!" Giok berusaha membuatku berdiri. Dia mengangkat lenganku, membentakku, tetapi aku cuma membeku di sana dengan kepala menyandar ke daun pintu.

Ketika Giok menyingkir dan berusaha mengangkatku dari samping, Raios dan si Teleporter sudah menghilang.

"Oh, bakal ada keributan di sarang Teleporter." Giok meringis. Dia berhenti berusaha membujukku berdiri, lalu ikut terduduk di sisiku. "Kacau! Kalau Raios mengonfrontasi Neil, bisa-bisa mereka tidak mau membantu lagi!"

Aku masih diam di sana, menarik dan membuang napas dengan tergesa. Kubuka kedua telapak tanganku, merasakannya masih panas membara, tetapi tidak melepuh. Rasa panasnya hanya berasa dari energi ledakanku sendiri.

"Aku bakal mati sebentar lagi." Giok melepaskan kacamatanya, menyangkutkannya ke kerah bajunya. Dia melepaskan Lenx dari matanya, menampakkan sepasang bola mata hitam pekat yang kecil dan tak fokus. Dia mengerjap-ngerjap. Keringat mengaliri pelipisnya. "Raios bakal membunuhku. Habislah sudah."

Saat Raios muncul kembali, dia memang terlihat tidak senang.

Darah masih menetes-netes dari tangannya, dan pemuda itu menyekanya ke baju begitu saja seperti mengelap bekas air semata. Matanya pertama-tama menelaahku, lalu beralih ke Giok.

"Kau memakai Lenx mengikutiku saat kusuruh kau tinggal," ujarnya datar, yang dibalas Giok dengan anggukan. "Kemarikan."

Giok menyerahkan sepasang kontak lensanya, yang langsung dihancurkan Raios dalam tangannya.

Satu tangan Raios memutar gagang pintu di belakangku, mendorong daunnya yang sedang kusandari sampai aku terjerembap ke belakang. Saat aku mengangkat wajah, kulihat wajah Raios di balik tirai rambutku. Katanya, "Masuk."

Aku melirik Giok ragu-ragu, tetapi cowok itu sedang menggosok-gosok matanya frustrasi.

"Jangan sampai aku mengucapkannya dua kali."

Mendengar Raios, aku merangkak masuk ke dalam kamar. Aku menarik kaki tepat waktu sebelum Raios menutup pintu, nyaris menjepit jari kakiku.

Aku naik ke atas tempat tidur. Meski bersimbah peluh, aku tetap masuk ke dalam selimut, mengapit kepalaku dengan bantal. Namun, itu saja tak cukup. Aku tetap mendengar Giok menjerit sepanjang malam.

Bahkan setelah pagi menjelang, aku tidak keluar. Sampai siang, aku tetap tidak keluar. Aku tidak makan atau meminum apa pun sampai petang.

Malam hampir turun lagi ketika Raios tiba-tiba muncul di samping tempat tidurku. Sebelah bahunya memanggul ransel, dan tangannya menggenggam pisau bernoda kehitaman—pisau yang tadi malam dihujamkannya ke si Teleporter.

"Aku tidak tahan lagi memikirkanmu bakal pergi," katanya. "Sekarang pilihanmu—ikut denganku ke bungker, atau tidak ke mana-mana sama sekali."

Artinya dia ingin aku membusuk di sini, dalam wujud mayat.

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Benakku terasa kebas. Mataku menatap pisau di tangannya karena aku tidak sanggup melihat matanya

Buat dia senang—suara Giok bergaung di kepalaku.

"Aku akan ikut denganmu," jawabku. Aku menunggunya bereaksi, sampai akhirnya Raios meletakkan pisaunya ke atas nakas. Setelah melihat sikap tubuhnya tak lagi sekaku sebelumnya, barulah aku menatap matanya. Kataku, "Tapi sekarang aku lapar. Dan haus. Kau pasti juga demikian."

Raios melangkah mundur, memberiku jalan ke luar kamar. Dengan langkah seringan bulu, aku berjalan ke dapur.

Aku menyiapkan makanan sesigap biasanya, hanya saja mataku ikut waspada. Aku menelaah ke sekitar, mencari-cari Giok.

Selagi Raios makan, aku beralasan hendak membuang sampah dapur dan pergi ke belakang. Seperti dugaanku, Giok menjejelkan dirinya ke samping mesin cuci. Cowok itu berbaring miring, bersimbah keringat sampai rambutnya lepek. Sebelah tangannya menangkup kedua matanya. Ada jejak darah di pipinya. Sebelah kakinya bengkok dengan ganjil. Bajunya kotor, hampir seperti dia merangkak, menyeret dirinya sendiri sepanjang jalan sampai ke sana.

Perlahan, sambil mencuri pandang ke Raios dari atas mesin cuci, aku mengeluarkan kotak obat yang kuselundupkan di antara bungkusan sampah, lalu meletakkannya di samping Giok. Cowok itu sempat berkedut kaget, tetapi badannya melemas lagi saat aku menyentuh dan menepuk-nepuk pelan tangannya. Bibirnya bergerak tanpa suara, Makasih, Mer.

Aku tidak tahu bagaimana lagi cara menolongnya. Dia mungkin tidak bisa melihat. Dia mungkin telah sebuta ayahnya sekarang. Dia mungkin tidak bisa mengangkat tangan untuk sekadar membuka kotak obatnya. Namun, sebelum aku bisa melakukan apa-apa lagi, Raios berdiri di ruang tengah, dan aku buru-buru bergerak untuk membuang bungkusan sampah.

Setelah mengisi perut dan membersihkan diri, aku mengepak barang-barangku yang tidak banyak—hanya beberapa lembar baju pemberian Raios. Ketika aku melangkah ke luar pintu, kutahan godaan untuk berlari menyambut bebas. Udara begitu lembap, rerumputan tampak mati, dan titik-titik cahaya merah cat semprot bersinar menakutkan dari dedaunan dan cabang-cabang pohon. Di antara itu semua, Raios berdiri menungguku. Senapan besar tergantung di sebelah bahunya.

Kuberanikan diriku bertanya, "Bagaimana dengan Giok?"

"Dia harus menyusul sendiri kalau dia bisa. Sementara itu, kita akan kunjungi ayahnya sebentar."

Aku memejamkan mata, membayangkan sesosok pria tua yang tak kuketahui wajahnya, tergolek di kursi roda—separuh buta, lumpuh total, menunggu anaknya pulang.

"Kau tahu aku tidak suka ruangan bawah tanah?" tanyaku dengan suara lirih. Jika kunaikkan suaraku sedikit saja, kurasa aku akan menangis lagi. "Tapi, aku bakal tetap pergi denganmu ... dengan satu syarat."

Buat dia senang.

Aku melangkah maju. Kuraih tangannya, mati-matian menahan diri agar tidak gemetaran di hadapannya. Kugamit lengannya. "Jangan membunuh, bahkan mengangkat senjatamu ke arah orang-orang. Siapa pun itu. Setidaknya, jangan membunuh siapa-siapa di depan mataku."

Aku mengangkat kepala, menilai wajahnya. Masih kaku, tetapi tidak marah.

"Aku akan mengikutimu ke mana pun," kataku. "Kau suruh aku masuk markas NC pun akan kuturuti."

Raios mengernyit, pada akhirnya menampakkan ekspresi kebingungan. "Aku tidak bakal menyuruhmu begitu."

"Aku tahu." Kupeluk lengannya lebih erat. "Tapi tetap saja—kau suruh apa pun, aku akan patuh. Tapi, jangan membunuh lagi di depanku. Kau belajar untuk mengendalikan emosimu, maka aku akan belajar menyukai bungker itu."

Ekspresi wajahnya melonggar. Matanya melembut. Akhirnya, kepalanya mengangguk.

"Jadi," lanjutku, "kurasa kita langsung saja ke bungker itu? Tidak perlu menemui ayah Giok?"

"Ya, kalau itu maumu."

Aku tidak menoleh. Kakiku bergerak seperti di luar kendali, mengikuti langkah Raios.

Ayah, ibu, maaf—aku tidak bisa menyusul kalian di surga sana.

Kedua tanganku masih menggamit lengannya, dan kurasakan jari-jari tangan Raios menelusup ke sela jari tanganku.

Karena aku akan melompat ke api neraka sekarang.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Maap >/////< lama tak update karena ada kerjaan dan deadline lain yang lebih mendesak sampai-sampai nda bisa nyentuh RavAges atau wattpad sama sekali >/////<

Pesan-pesan dan komen-komen akan saya balas secepatnya saat ada waktu >/////<





Terima kasihh AVLaks_ atas fanart Raios x Meredith nya :D



Terima kasih sonozakirei atas fanart Meredith nya :D


Fanart-nya dua aja dulu yak >/////< Mata saya dah hampir ketutup update tengah malam >/////<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro