#86

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf lama ;-;
Tapi selama apa pun, saya bakal selesaikan RavAges di wattpad kok ;-;

Dan ... ini dia. Flashback yang sudah di-gas banget oleh beberapa pembaca

You know who it is '-')b

| RavAges, #86 | 4959 words |

KALAUPUN DIA sudah mati, sudah terlambat buat kami mencari tahu.

Gedung bank itu sudah reyot dalam ditinggalkan saat kami mendatanginya, dan kini malah disusupi oleh para Fervent liar sementara kami mencari target. Asap hitam membumbung dari jendela lantai 3 yang diamuk tiga Fervent dewasa. Setengah dari lantai 1 sudah ambruk ke kolong parkir bawah tanah.

Kami malah terjepit di lantai 2.

Di belakangku, empat anak Fervent kisaran umur 7 sampai 9 tahun tersedu-sedu dan merengek hendak pulang, salah satunya bersikeras memasukkan kepalanya ke balik punggung sweter hitamku seolah-olah tindakan itu bisa membuatnya tak kasat mata. Di depanku, ketua regu kami tidak melakukan apa-apa selain berteriak-teriak dan menimpakan kesalahan pada wakilnya yang sudah mati.

"Gara-gara Phantom udik ini ketinggalan sabuk perkakasnya di sini!" Ketua Regu menendangi jasad wakilnya yang kepalanya terpuntir menghadap punggung. "Gara-gara kau kami terjebak di sini—kau dengar?!"

"Dia sudah mati." Aku memberitahunya.

"Aku bisa lihat itu—aku tidak buta!" Ketua Regu menudingku dengan telunjuknya, nyaris mencolokku di mata. "Kau gantikan posisinya. Nyalakan suar, kirim sinyal, dan siapkan tali tambang—kita turun lewat jendela!"

Mendengar itu, anggota lain makin berdesakkan di balik punggungku. Mada, yang sejak tadi berusaha masuk ke dalam bajuku, langsung berlari ke ambang jendela yang sudah tak berkaca, melongok ke bawah, lalu tergopoh-gopoh kembali untuk melapor, "Tapi, Ketua, kita terlalu tinggi!"

Ketua Regu menggertakkan giginya, sebelah kakinya terhentak, dan retaklah dua pilar terdekat. "Kau boleh tinggal di sini, akan kumasukkan namamu ke dalam daftar Yang Hilang dan Mati. Aku tidak peduli kalau kalau tertinggal, Mada—malah, lebih bagus! Menghemat waktu dan tenagaku untuk menghukummu karena memberi informasi yang kedaluwarsa."

Mada terpekik, "Tapi, Relevia itu memang ada di sini saat aku mengecek!"

"Tapi sudah tidak ada saat kita datang, 'kan?" Ketua Regu memelotot ke arahku. "Apa lagi yang kau tunggu? Lekas!"

Aku menyalakan suar dan mengirim tanda. Mobil van kami seharusnya sudah terparkir di depan gedung untuk menjemput kami. Sudah hampir fajar, dan cahaya kemerahan sudah tampak di kaki langit.

Seluruh anggota merapat ke arahku, mengabaikan Ketua Regu yang memaki agar mereka bersiap untuk serangan para Fervent yang akan datang lewat tangga.

"Di antara seluruh orang," omel Mada, matanya memelototi Ketua Regu, "kenapa harus Aziri yang Multi-fervent?! Kenapa harus dia yang jadi ketua?!"

"Aku dengar itu!" Ketua Regu melempar salah satu meja dengan sekat kaca yang hampir mengenai kami, tetapi meleset dan menabrak kaca jendela yang masih utuh sampai pecah berkeping-keping. "Kucabut lencana kenaikan kelasmu jika kita kembali nanti, Mada!"

Percaya atau tidak, ketua regu kami sangat penyabar hari ini.

"Bersiap di posisi kalian!" Ketua Regu berseru, tetapi tidak satu pun anggota kami merespons. Gemuruh dari lorong tangga sudah lebih dulu membuat mereka lumpuh ketakutan. Melihat itu, Ketua Regu naik pitam. "Kubilang, kemari kalian—anak-anak jalang! Formasi D, rencana pertahanan, yang tidak menurut akan kuusir dari timku biar kalian dipungut Pusat Karantina!"

Keempat anak memasuki posisinya masing-masing dengan kaki gemetar. Lampu-lampu yang seharusnya sudah mati mulai berkeredep dan memercikkan listrik, merespons sekian banyak Fervor yang aktif bersamaan. Pendingin udara bergetar, dinding bergemuruh, keramik lantai pecah-pecah, dan langit-langit menyerpih seperti akan runtuh. Di sampingku, sebuah pintu kaca ganda mulai retak.

Saat ketiga Fervent liar menyerbu dari lorong tangga, angin ribut menerjang dan memenuhi seisi ruangan dengan badai telekinetik. Tekanannya membuat seluruh anggota regu terdorong hampir dua meter ke belakang, udara terbakar dan memercikkan cahaya kekuningan saat berbenturan dengan medan energi Ketua Regu. Medan energi itu bahkan tidak bisa benar-benar disebut medan energi. Yang dilakukan Aziri hanya memecah molekul gas hingga ke bentuk atom dan partikel bebas; dalam artian, dia membuat tiruan medan energi dengan plasma. Hanya itu; tiruan. Namun, di seluruh PFD—Program Fervent Dasar—Aziri yang terbaik yang kami punya.

Tiruan medan energi itu barangkali tidak bakal bertahan lama, tetapi tampaknya Phantom liar yang mencoba menyerbu kami juga amatiran—mereka bahkan butuh keroyokan bertiga hanya untuk menumbangkan sekumpulan bocah.

Badai berkurang sedikit, tetapi beberapa barang dan anak tetap terlempar hingga gagal menyokong formasi.

Aku masih menyiapkan jalur kami untuk turun, mengikatkan tali tambang kuat-kuat sambil masih mengawasi jalan aspal di bawah sana, saat Mada terpelanting ke arahku, menabrak pantatku. Dia mengambil kesempatan untuk kembali menyembunyikan kepalanya ke balik sweterku lagi.

"Mada!" Aku berteriak melawan angin. "Kembali ke posisimu!"

"Sudah gila, ya?! Tidak lihat apa yang terjadi pada kepala wakil kita gara-gara energi Phantom-nya meledak sendiri?" Mada menyembul keluar sesaat untuk membalas teriakanku. "Bahkan Cyone sepertimu pasti tidak bisa mengembalikan kalau kepalaku penggal dan meluncur ke lantai—tunggu ... apa kau bisa?"

Matanya melebar, menatapku penuh harap. Anak itu barangkali ingin aku berkata, Entenglah, aku menyambung kepala orang tiap hari sebagai hobi. Namun, karena aku tak kunjung menjawab, Mada ambil aman dengan memasukkan kepalanya kembali ke balik bajuku. Aku menguatkan pijakan, kembali melongok ke bawah, hampir berpikir untuk turun sendiri—barangkali Aria tidak melihat sinyal yang kukirim, barangkali terjadi sesuatu padanya dan pengawas kami ....

Lalu, mobil vannya muncul dalam pandangan, masuk ke halaman dengan menerobos pagar pembatas, berputar membelakangi bangunan. Dari jendela pengemudi, Aria muncul, rambutnya berkibar. Sebelah tangannya berpegangan ke atap mobil, yang sebelah lagi masih di dalam dan menekan klakson.

"Mundur!" Aku berteriak. Ketua Regu menyerukan perintah yang sama, tetapi dia sendiri tetap bertahan di antara kami dan para Fervent liar.

Kubiarkan Vida, Steeler sekaligus anak yang paling muda di antara kami, turun lebih dulu. Ketakutan dan rasa tidak sabar meninggalkan tempat ini membuatnya mendadak tangkas memerosot turun menyusuri tali tambang. Begitu anak itu sampai tanpa cedera berarti, dia mengaktifkan mekanisme pendaratan logam di atas atap mobil. Berturut-turut, kubiarkan Mada dan dua anak lainnya menyusul.

"Ketua!" Aku berteriak. Badai telekinetik bertambah besar karena tidak ada lagi Peredam dalam ruangan. "Mundur!"

"Kau duluan!" balasnya. "Nanti aku—"

Aku anak buah yang penurut, jadi aku melompat turun tanpa menunggu ucapan heroiknya selesai. Aku bergelantungan di tali tambang beberapa detik lebih lama dari anak lainnya—aku tidak suka ketinggian, tetapi bukan berarti aku takut. Tidak suka dan takut itu berbeda, meski Aria sering berkata sebaliknya untuk membuatku kesal.

Tinggal setengah meter sebelum aku mencapai atap mobil, tetapi tali tambangnya putus di tengah-tengah. Aku mendarat di atas pantatku dengan tangan masih mencengkram tali, membuat Vida menjerit, "Sudah kubilang, kau seharusnya diet!"

Aku menggertakkan rahang. "Ini gara-gara badai Phantom talinya putus, bukan berat badanku!"

"Akui saja, kau kegedean untuk anak 13 tahun!"

Vida dan aku bisa saja berdebat di sana lebih lama, tetapi beling mulai berjatuhan, memaksa kami menyelinap masuk ke dalam mobil van lewat pintu belakang. Gedung bergetar, dindingnya mulai keropos dan membuat retakan besar. Di jok pengemudi, Aria tancap gas dan membanting setir saat segundukan beton mendarat di jalur kami. Di sebelahnya, pengawas kami duduk bersandar lemas, tampak tak sadarkan diri. Aria melirikku lewat spion, menyadari tatapanku, dan menjawab tanpa perlu aku bertanya, "Sempat ketemu beberapa Fervent liar lain. Ceritanya panjang. Intinya, pengawas kita pingsan gara-gara salah satu Brainware."

Berguncang-guncang di dalam mobil, aku memaksa anggota kami duduk berbaris agar aku bisa menghitung jumlah kami. Mada, Vida, Erill, Hayden, aku ....

Kurang satu. Siapa—

"Ketua!" Aku mendesak dan membuka pintu belakang. "Ketua ketinggalan!"

Mada berdengut penuh harap, "Biarin saja ...."

Namun, Aziri ternyata sudah di ambang jendela lantai 2. Bahkan saat aku mendongak, dia sudah melompat dan membiarkan tubuhnya yang jangkung memelesat dengan stabil menggunakan Phantom.

Mada menggigiti kuku ibu jari tangannya dengan gugup. "Jatuh, plis ... jatuh."

Alih-alih masuk ke dalam melalui pintu yang kubuka lebar-lebar, Ketua justru memelesat terus melewati atap mobil. Sepatunya berdecit di bumper depan dan tangannya mencengkram windshield wiper. Aria membunyikan klakson sampai Ketua bergeser dari pandangannya.

Ketua regu kami mendongak melampaui atap mobil, matanya masih mengamati bangunan tiga lantai yang tertinggal jauh di belakang, ujung jaketnya berkibar, wajahnya bertopeng debu kelabu. Lalu, kusadari stik kecil seukuran pena yang digenggam di tangannya. Ibu jarinya menekan tombol di ujung pengendali jarak jauh, dan meledaklah gedung bank swasta di belakang kami.

"Ya ..." gumam Aria sembari memelankan kecepatan mobil. "Setidaknya kita bisa melapor kalau kita membersihkan satu lagi sindikat Fervent perampok di sini."

Setelah Ketua masuk, pintu ditutup dan dikunci, kaca-kaca jendela dinaikkan, dan semua orang terdiam. Tampaknya, kami duduk tenang demi mengatur napas, tetapi bisa kurasakan hampir semua orang di bagian belakang van justru menahan napas dan duduk kaku. Terutama Mada.

Baru setelah matahari naik, dan kami keluar dari jalan beraspal memasuki jalan berbatu, Ketua Regu memecah keheningan. "Aku menyalahkan kinerjamu yang tidak kompeten untuk kegagalan hari ini, Mada."

Mada tampak menahan lidahnya sekuat tenaga, tetapi pada akhirnya dia gagal dan memprotes, "Bukan salahku Relevia itu kabur sesaat sebelum kita datang—"

"Meski dia baru pergi sedetik sebelum kita menginjakkan kaki di sana, informasi yang kau sampaikan tetap kedaluwarsa." Ketua menggeram, matanya berkilat marah. "Entah itu ... atau kau membimbing kami ke bangunan yang salah."

Mulai terjadi keriuhan—Mada memprotes, Hayden membelanya. Namun, Ketua bersikeras semua ini salah Mada. Aku juga tidak begitu suka pada Aziri belakangan ini, tetapi aku memaklumi kecurigaannya.

Mada adalah Teleporter, menjadikannya kadet paling berpotensi untuk mencari lokasi Relevia jika dipasangkan dengan Hayden si Detektor—Hayden akan melacak target, memastikan lokasinya bersama Mada, lalu kembali ke markas secepat kedipan mata untuk melapor.

Sayangnya, dan yang paling fatal bagi seorang Teleporter, Mada buta arah.

Anak itu tidak bisa membaca peta, payah mengingat rute dan detail suatu tempat, sering menjadikan bangkai kucing atau gundukan batu sebagai acuan untuk menandai lokasi, perlu briefing belasan kali agar dia bisa mengenali tempat tertentu, dan butuh waktu tiga puluh detik penuh untuk menjawab jika ditanyai yang mana tangan kanannya. Bahkan saat ditanya arah matahari terbit, dia akan menunjuk tenggara atau selatan dengan penuh percaya diri.

Karena itulah mereka butuh Erill—anak lelaki Brainware yang masih 7 tahun. Kemampuannya terbatas pada mengirimkan potongan-potongan ingatan ke dalam kepala seseorang, dan saat dia melakukan itu rasanya mirip seperti lembaran foto yang ditempel ke jidatmu sampai matamu juling untuk menatap gambaran tersebut. Tugas Erill untuk mengingat lokasi, merekam detailnya dengan matanya, mengirimkannya ke dalam kepala Mada.

Vida yang terampil dengan logam-logam biasanya menjadi pembuka jalur, entah untuk kami menyerang atau mundur menyalamatkan diri. Aria adalah pengemudi andalan yang mengantar-jemput serta membawa kami kabur, merangkap tim medis bersamaku karena kami sama-sama Cyone.

Aku menangani luka menganga, kondisi kritis, situasi gawat darurat yang butuh penanganan cepat seperti patah tulang atau penadarahan; sedangkan Aria bertugas merapikan pekerjaanku karena Cyone-ku agak brutal. Penyembuhanku cepat, tetapi Cyone-ku cenderung meninggalkan bekas luka besar atau koreng jelek.

Ketua regu kami, Aziri, dulunya lebih berguna dari ini. Dia Multi-fervent—Phantom yang lumayan kuat, dan Icore yang sebatas sengatan listrik 100 sampai 200 voltase untuk menunjang fungsi Phantom-nya. Kekuatan serangannya mematikan dan dia kritis, serta cepat dalam mengambil keputusan, membuatnya meroket dalam waktu singkat hingga punya regu sendiri di usia 15 tahun. Padahal, saat kami masih sama-sama junior, kami pernah membuat contekan bersama dan sempat berkonspirasi dengan seorang anak Brainware untuk mencuri lihat naskah ulangan dari otak seorang guru—pangkat membuatnya melupa akan hari-hari itu.

Sekian bulan berlalu sejak tim ini dibentuk, Aziri mulai berkarat. Sekarang, kepandaiannya hanya melempar kesalahan dan mencari alasan untuk marah.

"Itu bangunan yang benar!" Hayden bersikeras membela Mada. "Relevia itu memang pernah ada di sana!"

"Tetap saja gagal!" Ketua menyalak sampai semua anggota muda berjengit. "Peringatan untukmu, Hayden, karena membantah dan menutupi kesalahan anggota! Dan Mada—tunggu saja! Akan kubuat kau berakhir di Pusat Karantina!"

"Hei, tidak perlu sampai seperti itu, 'kan?!" Aria buka suara dengan mata yang masih fokus ke jalan. "Dia masih 9 tahun!"

"Lalu, kenapa? Tak ada hubungannya dengan umur—mereka saja yang manja! Di umur Mada ini, aku sudah dijebloskan ke ruang kaca yang dipenuhi sepuluh Calor dan untuk lolos dari sana aku mesti mencekik mereka sampai mati dengan membuat tempat itu jadi ruang vakum!"

Aku memutar bola mata. "Kau saja yang psikopat sejak dini."

"Peringatan untukmu juga!" Ketua menudingku. "Karena berbicara di saat aku bicara!"

"Di saat kau bicara, ada jangkrik dan burung-burung di pohon yang juga berbunyi—kau akan kasih mereka peringatan juga?"

"Sudahlah!" Aria menengahi sementara Ketua dan aku terjebak dalam adu pelototan. Dia menurunkan kecepatan dan menepikan mobil. "Mumpung jalanan tampak aman—siapa yang butuh diobati?"

Vida dan Mada mengulurkan kedua telapak tangan mereka yang terkelupas dan berdarah karena habis mencengkram tali tambang, sedangkan Erill menggulung kain celananya untuk memperlihatkan lebam di betis kanannya. Hayden menarik-narik kerah baju dan ujung celananya selama beberapa lama, berusaha mencari luka, tetapi tampaknya tak menemukan apa-apa hingga akhirnya meneladani Vida dan Mada, memperlihatkan telapak tangannya yang lecet.

"Lihat!" Ketua berteriak dengan tangan melibas ke arah anak-anak. "Manja!"

"Ya, simpan kembali luka-luka kalian," kataku, "menurut Ketua, kalian tidak layak dapat bantuan medis apa pun kecuali ginjal kalian meluncur keluar lewat hidung dan mata kaki kalian pindah ke jidat."

Aku dapat sanksi detik itu juga. Ketua menyuruhku—dengan sebelas kata umpatan berbeda dan gerakan tangan berlebihan—untuk duduk di atas atap mobil dan mengawasi keadaan dengan teropong. Tidak masalah. Aku muak di dalam. Pengawas kami tidak berguna, Ketua Regu punya tempramen buruk, dan misi gagal total. Tampaknya regu ini masih harus menunggu lebih lama lagi untuk hidup senang di Kompleks Sentral.

"Menurutmu, kenapa mereka kepingin sekali kita menangkap Relevia?" tanya Vida. Aku bisa mendengar percakapan mereka karena Aria sengaja menurunkan semua kaca jendela agar aku tidak merasa tersingkir di atas sini. "Relevia itu sungguhan ada?"

"Ada," jawab Hayden. "Baunya tidak enak. Pernah mencium bau bangkai ikan yang dimasukkan ke dalam kulkas kotor berminggu-minggu yang disimpan bersama sayuran busuk? Semacam itu."

"Ih. Kok kau tahan?"

"Dia tidak tahan," beri tahu Mada, yang mendapat suara berdecak Hayden. "Dia selalu muntah tiap kali kami menemukan Relevia."

"Memang Relevia bisa apa?"

"Tidak tahu. Tapi Pak Musa pernah bilang Relevia punya potensi paling hebat di antara Fervent lain, jadi T. Ed Company memerlukan mereka untuk dikaji lebih jauh."

"Tapi, 'kan, keterlaluan sekali. Kenapa syarat lulus kita harus menangkap satu Relevia dan membawanya ke Kompleks Sentral? Memang tidak bisa, ya, langsung membiarkan kita masuk saja ke Kompleks Sentral? Padahal, itu, 'kan perjanjiannya sejak awal kita masuk PFD? Melacak Relevia, 'kan, susah. Mereka jarang ada. Dan tempat ini terpencil sekali—tidak ada yang tahu kalau kita jadi mayat di sini."

Aku setuju. Seolah-olah tidak cukup buruk kami digembleng seperti tentara, diajari penyergapan ke sarang-sarang Fervent liar, dan beberapa dari kami yang cukup sial ditunjuk menjadi relawan untuk penelitian PF13.

Aku sebetulnya tidak peduli dengan Kompleks Sentral, meski para guru menekankan bahwa tempat teraman bagi anak-anak mutan seperti kami adalah Kompleks Sentral. Aku hanya menghindari ancaman 'dijebloskan ke Pusat Karantina kalau gagal' atau 'dimasukkan ke dalam daftar awal Program Herde saat fasilitas itu selesai dibangun'.

Kami mendengar banyak hal buruk terjadi di sana. Para guru meyakinkan kami kalau PFD setara taman bermain kalau dibandingkan dengan Pusat Karantina.

Jadi, aku hanya menghindari kedua tempat itu. Atau, yang menurut para guru lebih buruk: dibuang ke kota atau pedesaan, di tengah-tengah lingkungan orang-orang normal. Yah ... sebelum dibawa ke PFD, aku memang pernah berada di dunia luar di antara manusia normal—perlu kuakui, aku tidak cocok di sana.

Aku bergonta-ganti tempat penampungan anak belasan kali karena tampaknya orang-orang ketakutan melihat tulangku yang patah bisa memperbaiki dirinya sendiri—beberapa pengurus panti pernah memanggil dukun-dukun yang kerjanya hanya menyemprotku pakai air kumur-kumur mereka.

Aku pernah tidur di jalanan sampai 3 tahun lamanya. Saat umurku 5 tahun, aku bertemu seorang wanita bernama Timothy Freya; wanita baik, membelikanku makanan dan baju, kadang sepatu, hingga akhirnya dia mengakui bahwa dia tahu aku ini apa, bahkan sebelum aku tahu apa itu 'Fervent'. Belakangan, kuketahui wanita yang mengadopsiku itu adalah salah satu penyokong PFD. Dua tahun setelah aku mengenalnya, dia membawaku ke PFD—saat-saat terbaik dalam hidupku.

Namun, seiring kenaikan kelas, aku mulai menyadari ini bukan institusi penampungan anak biasa. Yah, maksudku, kami sendiri juga bukan anak biasa. Namun, PFD kian lama kian tampak janggal seiring tahun-tahun yang kuhabiskan di dalamnya. Pada awalnya kami hanya diajari seluk-beluk Fervent secara teori, lalu ketahanan fisik kami mulai diuji. Beberapa tes memaksa kami bertarung dengan teman seangkatan, atau melarikan diri dari satu sama lain. Anak-anak yang berusia 16 tahun ke atas sudah diajari pakai senjata api. Dan, karena tidak ada batasan usia pada tiap angkatan, anak di bawah umur 10 tahun pun bisa saja diluluskan lebih dulu jika mereka cukup pandai, lantas terjebak dalam misi hidup-mati macam ini. Empat anak di dalam mobil van ini, contohnya, termasuk Aria—mereka loncat kelas meski berada di PFD tak lebih lama dariku.

Aku tidak pernah melihat Timothy Freya lagi sejak bergabung dalam tim Aziri. Terakhir kali kami bertemu ... keadaannya tidak bagus. Dia menggali informasi dari tempat-tempat yang dulu menampungku, mencari tahu keluarga yang membuangku. Saat mengetahui apa yang didapatnya, melihat wajah ibu dan ayahku, dan anggota keluarga lain yang tak kuketahui ternyata kumiliki ... aku jadi marah. Seperti bocah, aku melampiaskannya pada Timothy Freya dengan melemparkan foto keluargaku ke wajahnya. Sejak itu, dia mendadak jadi sibuk dan tak pernah mengunjungi PFD lagi.

Kian hari, aku mulai berpikir: apakah sebaiknya aku kabur ke tempat orang-orang normal saja? Aku sudah belajar banyak, dan aku tidak segoblok dulu. Aku bisa menyembunyikan kekuatan abnormalku, membaur di antara orang-orang normal. Sayang sekali, Aria kepingin ke Kompleks Sentral. Mustahil aku kabur sendiri tanpa dia.

Sesampainya kami di markas besar, pengawas kami langsung sadarkan diri. Dasar tidak berguna.

Markas besar itu berupa sebuah bangunan persegi raksasa setinggi empat lantai yang suram dan tersembunyi di antara rimba, dikurung pagar kawat berpenjagaan ketat, dikelilingi empat bentangan lapangan: sebuah lapangan udara, dua lapangan rumput, dan satu lapangan yang disemen.

Seperti yang bisa ditebak: kami tidak diberi waktu istirahat atau membersihkan diri. Kami didamprat habis-habisan di bagian luar kantor guru. Ada Ketua Asosiasi juga di sana, yang seharusnya datang untuk menyelamati kami kalau sukses karena, menurut mereka, Relevia incaran kami hari ini seharusnya target yang mudah.

Kenyataannya, kami gagal—tim evakuasi kalang kabut saat menerima kabar ledakan di bangunan bank yang kami tuju. Mereka bertolak ke sana, mengira kami tewas, tetapi hanya menemukan puing-puing, jasad tiga Fervent dewasa yang wajahnya sudah tidak bisa dikenali, dan mayat rekan Phantom kami yang sebelum ini adalah Wakil Ketua. Kematian rekan—meski rekan itu memang tidak banyak gunanya sejak regu ini dibentuk—tetap mencederai catatan tim kami. Fakta bahwa kami mengurangi populasi Fervent perampok pun tidak berdampak besar untuk memperbaiki keadaan.

Pengawas kami, dengan tatapan masih setengah teler, begitu piawai membagi-bagikan kesalahan secara merata kepada kami seperti membagikan kartu remi, lalu memberi penjelasan yang tidak perlu demi menekankan betapa dia menjadi korban seorang Brainware liar gara-gara kecerobohan kami semua.

Ketua Regu mencoba menyelamatkan muka dengan menimpakan kesalahan pada Mada, tetapi hal itu justru membuat para guru menghujaninya dengan tatapan dingin.

"Mungkin kami salah menilaimu." Ketua Asosiasi berucap, membuat punggung Ketua Regu menegang. "Kinerjamu menurun sejak mendapatkan regumu sendiri, sampai-sampai menyebabkan wakilmu sendiri terbunuh; itu salahmu—padahal kami menyangka kemampuan Fervor dan bakat intelektualmu punya potensi. Padahal kami punya banyak rencana hebat untukmu di Kompleks Sentral. Tampaknya kami melakukan kesalahan besar."

Ketua Asosiasi menyerahkan urusan regu ini kepada pengawas kami dan para guru, lalu berderap pergi, meninggalkan kami mematung di bawah tekanan.

Pengawas kami dan beberapa guru masuk ke bagian dalam kantor, barangkali berdiskusi dengan guru lainnya, lalu mencapai suara bulat setelah sepuluh menit lamanya. Mereka memanggil kami semua masuk, membuat kami berbaris di depan meja Pak Musa.

Meja Pak Musa berada di balik ruang kaca tebal karena dirinya seorang Calor. Dari ujung kepala sampai kaki, Pak Musa B. Reihan dilalap api. Dia hampir tidak bisa ke mana-mana tanpa dikelilingi kotak kaca produksi T. Ed untuk menghalau panasnya dari kami. Ruang kelasnya pun berbeda sendiri, terletak tepat di belakang kantor guru, dan kami diajari olehnya dalam keadaan tersekat kaca fireproof.

Pak Musa menyampaikan kata pengantar panjang yang menurutku percuma. Dia mencoba terlalu keras untuk tak membuat kami merasa gagal. Tiap kata yang terlontar darinya justru membuat kami makin menundukkan kepala dan menambah beban baru di pundak. Lalu, "Mulai hari ini, Aziri, kau dibebastugaskan dari jabatan sebagai ketua."

Aku menahan napas, begitu pula teman-temanku yang lain. Di sampingku, Aziri tampak seperti akan ambruk seketika. Keringat mengalir turun di sisi wajahnya, matanya memelotot ke lantai, rahangnya mengencang.

"Kami akan mengalihfungsikanmu sebagai wakil regu Steff untuk sementara ini." Pak Musa melanjutkan, yang sama saja seperti vonis mati buat Aziri. Regu Steff isinya pecundang, ketuanya bahkan dijuluki si Kaki Emas karena kecepatannya dalam melarikan diri meninggalkan anggota regu saat situasi jadi genting dalam misi.

"Maaf, Pak," kata Aziri akhirnya dengan suara yang ditekan stabil dan terkendali. Perlu kuakui dia hebat dalam menahan diri sekarang. "Tapi, bagaimana dengan regu saya? Yang sudah saya bentuk dengan tangan saya sendiri hingga seperti sekarang? Siapa yang akan menggantikan saya mengepalai mereka?"

Pak Musa menatapku sekilas, lalu melirik si pengawas. "Pengawas regumu dan mayoritas guru di sini sepakat, Timothy akan menggantikan posisimu."

Saat itulah segala hal seolah terjadi sampai tumpang tindih menimpaku. Aku merasakan perutku melesak, jutaan alasan mengapa aku yang ditunjuk berkeliaran dalam kepalaku—karena aku anak adopsi Timothy Freya? Karena aku paling tua kedua setelah Aziri? Karena bakat Cyone-ku? Yang terakhir itu mustahil, Aria lebih bagus dariku.

Aku bisa merasakan tatapan Aria, juga melihat sekilas cengiran Mada. Vida dan Hayden saling senggol seperti orang kegirangan. Erill hanya diam dan tenang seperti biasa. Lalu, tatapan Aziri menusukku di leher. Dia seolah sedang mencoba mendorongku ke seberang ruangan, melubangiku dengan sorot matanya.

Setelah itu, Aziri menolak bicara pada siapa pun di antara kami, tidak pula mengucapkan salam perpisahan yang sepantasnya dia lakukan sebagai seorang—mantan—ketua. Dia langsung berkemas, meninggalkan barak regu yang sudah berbulan-bulan kami diami, pindah ke barak barunya.

Pintu sekat bagian anak perempuan terbuka saat Aziri sudah pergi. Wajah Aria muncul di sana bersama Vida. "Dia sudah pergi?"

"Sudah," kata Mada, menyengir lebar seperti budak merdeka. "Tidak mengatakan apa pun. Tidak menghajarku. Tidak menyetrum Timothy sampai mati. Kabar gembira akhirnya tiba setelah kita kepayahan dan kehilangan Wakil."

Aria menatapku dalam-dalam, seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Mada," kataku, "cek sabuk perkakas kita, lihat kita kekurangan apa. Hayden, bantu Mada. Vida dan Erill, bisakah kalian buat laporan misi hari ini—makasih."

"Siap, Bos!" Mada berseru sementara aku berderap keluar dan Aria mengekoriku. Di belakang, sebelum pintu tertutup, bisa kudengar Mada mengoceh, "Nah, lihat siapa yang langsung cocok jadi ketua? Setidaknya Timothy tidak pernah marah-marah seperti kakek tua darah tinggi."

"Kau yang jadi Wakil," kataku seketika saat Aria dan aku tinggal berdua di koridor. "Selamatkan posisi itu sebelum Mada mengajukan diri."

"Oke ...." Gadis itu menjawab ragu-ragu. Matanya yang legam masih menelaahku. "Tapi, kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa." Aku mengatakan itu dengan sebelah kaki bergoyang gelisah dan tangan yang masuk ke saku seperti orang kecopetan. "Kita hanya perlu menemukan Relevia baru lagi. Setelahnya ... Kompleks Sentral."

"Kompleks Sentral." Aria mengangguk. Senyumnya merekah untuk pertama kali setelah sepagian yang melelahkan ini. Tangannya menyentuh lenganku—seketika, beban dan rasa lelah seperti terangkat habis dari pundakku. "Kau bakal jadi ketua yang baik, Tim."

Saat aku naik kelas 2, dan Aziri mulai melesat hingga loncat kelas, Aria baru masuk ke PFD. Dia dibawa oleh seorang guru yang memungutnya dari bawah jembatan, kurus kering kelaparan. Guru itu mengamatinya selama lebih dari seminggu dan menyadari si gadis kecil tidak makan atau minum apa-apa, hanya tidur, tetapi tetap bertahan hidup. Manusia normal seharusnya sudah mati.

Aria lebih muda setahun dariku, tetapi tidak butuh waktu lama baginya untuk menyusulku—bahkan membalapku. Kami baru akrab di kelas 4, saat kami berada dalam kelompok yang sama beberapa kali dalam tugas-tugas. Dia pintar, telaten, dan dewasa. Hanya dengan berada di dekatnya, kau bisa merasa seluruh masalah di hidupmu terasa tidak begitu menyusahkan. Sayangnya, belakangan ini hubungan kami jadi dingin dan berjarak karena suatu hal ....

Aria melenggang masuk ke dalam setelah memastikan sekali lagi bahwa aku baik-baik saja. Dia membantu Mada dan Hayden menyortir bawaan kami. Aku tidak kepingin masuk—aku tidak sanggup menghadapi percakapan saat ini, terutama kalau rekan-rekanku bakal mengoceh 'ketua! Ketua!' seperti kaset rekaman rusak terpuntal.

Aku berbalik, lantas mendapati pengawas regu kami berdiri menjulang di hadapanku. Bibirnya menyeringai jengkel.

"Anak tidak tahu diri," ujarnya dengan suara berbisik, matanya melirik pintu barak dengan cemas, "kau, 'kan, seharusnya sudah tahu kalau Aria itu—"

"Iya, saya tahu," kataku, menggertakkan gigi dan mendelik sengit kepadanya. "Anda tidak perlu memberi tahu saya dua kali."

"Baguslah." Si pengawas mengusap rambutnya yang berminyak ke belakang. "Bagus kalau kau mengerti. Lagi pula, kau ini masih bocah bau kencur, tidak cocok taksir-taksiran seperti itu. Caramu menatap gadis itu membuat jijik! Fokus saja ke misi kalian untuk lulus agar aku tidak perlu mengurusi kalian lagi. Dan, camkan ini—kau ketua. Kau bertanggung jawab atas nasib semua anggotamu. Jika ada yang cedera, itu salahmu. Jika ada yang mati, meski bukan kau yang menusuk atau menembaknya, sama saja kau pembunuhnya. Lihat Aziri? Itu yang akan terjadi padamu jika kau masih besar kepala."

"Kenapa," kataku, "memilihku jadi ketua kalau Anda tidak suka padaku?"

"Mayoritas guru menyukaimu," geramnya. "Aku harus pura-pura sependapat untuk menyelamatkan muka."

Muka yang mana? pikirku. Namun, aku menahan diri—ini salah satu tugas awalku sebagai ketua: mengendalikan diri, menahan amarah, menghindari masalah yang tidak perlu. "Itu saja?" tanyaku. "Anda ke sini untuk mengkritisi saya saja?"

"Pak Musa memanggilmu kembali ke ruangannya." Pengawas itu mengedikkan kepala ke balik bahunya. "Barangkali mau memberimu pengarahan, atau memperingatkan hal yang sama seperti yang sudah kuwanti-wanti padamu untuk tidak melakukan hal aneh-aneh seperti naksir rekan regumu sendiri."

Kubiarkan dia pergi lebih dulu, lalu berjalan kembali ke kantor guru.

Kantor guru tampak sepi karena pagi itu, para siswa dan anggota regu baru selesai sarapan—ini jadwal bagi para guru untuk makan pagi. Maka, hanya ada Pak Musa di sana, yang memiliki makanannya sendiri dalam tempatnya yang terpencil.

"Duduk, Nak." Pak Musa melambai ke kursi di depanku.

Dia selalu memanggil kami 'nak', padahal kudengar usianya masih muda sekali. Mungkin 25 sampai 27-an. Aku tidak tahu—aku belum pernah melihat mukanya. Ya, bayangkan saja lekuk mata, hidung, dan bibir yang menonjol dalam kobaran api—mana bisa aku menaksir umurnya dari pemandangan macam itu?

Namun, Pak Musa kadang seperti lupa kalau kami tidak bisa melihat wajahnya. Satu kali, dia bergumam sambil lalu dalam kelas bahwa dia hendak memotong rambutnya yang sudah panjang lagi. Kami bahkan tidak tahu dia punya rambut.

"Jadi, Ketua." Pak Musa memulai setelah aku duduk. "Kau sanggup mengembannya, atau perlukah aku mengadakan penunjukan ulang? Jujur saja, ini membebaniku—kami menunjukmu seketika tanpa bertanya kesanggupanmu."

Aku sempat tergiur untuk melepaskan posisi ini, tetapi berat rasanya .... Aku bukannya tanpa pengalaman. Dalam simulasi kecil-kecilan misi pencarian Relevia bohongan, aku pernah jadi ketua beberapa kali. Bahkan, saat sudah masuk regu Aziri, dalam beberapa kesempatan dia mengalami cedera hingga harus digantikan Wakilnya, lalu Wakilnya yang memang dari sananya sembrono itu ikut-ikutan cedera, hingga aku harus ambil keputusan cepat untuk menggantikan keduanya.

Kalau posisi ketua kulepas, tanggung jawab ini akan jatuh ke kepala siapa? Aria? Dia pernah mengetuai regu kecil sebelum kami direkrut Aziri. Dalam regu kecil itu, Aria tersedu-sedu dua hari dua malam karena frustrasi, tidak mampu mengendalikan keempat anggota regunya. Gadis itu cekatan dan efisien dalam banyak tugas, tetapi posisi ketua selalu menjadi momok buatnya.

Mada? Kami bakal tersesat setiap hari di bawah kepemimpinannya. Dan anak-anak lainnya masih terlalu muda, masih terlalu hijau ....

"Tidak, Pak, tidak perlu penunjukan ulang. Saya menyanggupinya." Aku menegaskan. "Lagi pula, saya sudah memilih Aria sebagai wakil."

Bahkan dengan wajahnya terdistorsi api sekali pun, aku tahu Pak Musa tengah melongo. "Begitukah? Apa Aria mau? Dan ... apa kau tidak masalah bekerja sama dengan ...."

"Tidak masalah, dan dia mau," jawabku. Kakiku mulai bergerak-gerak gelisah di bawah kursi. "Ada lagi, Pak?"

"Begini ...." Pak Musa mengangkat tangannya, gerakan yang tampak seperti memijat pelipis. Namun, dalam kobaran api, kurasa aku takkan pernah tahu dia melakukan apa. "Sebetulnya, Timothy, saya akan berhenti mengajar di sini bulan depan."

Aku menegakkan punggung. Meski pria ini api semua, dia guru yang lumayan kusukai dibandingkan yang lain. "Kenapa, Pak?"

"Akan kuberi tahu padamu saja karena kau dekat dengan Nyonya Freya, oke?" Pak Musa mencondongkan dirinya ke depan, jilatan apinya mengenai kaca. Suaranya memelan. "Nyonya Freya meninggal bulan lalu, tapi ini masih rahasia. Timothy bersaudara yang tersisa tampaknya mulai terpecah. Akan ada banyak berubahan terjadi di PFD, terlebih dengan kabar dari Kompleks Sentral. Kabarnya, populasi Fervent melonjak naik secara mendadak—mereka bermunculan di antara orang-orang normal. Ada Komandan baru yang ditunjuk untuk membereskan situasi, dan si Komandan ini memiliki agenda sendiri untuk memperluas cakupan—tampaknya akan terjadi sesuatu yang besar. Ada yang menyebut-nyebur martial law, penyerbuan besar-besaran ke kota-kota, penyekatan wilayah antara pemukiman orang normal dan wilayah khusus Fervent ... Timothy? Kau masih mendengarkanku?"

Tidak. Aku hampir tidak menangkap apa-apa lagi setelah bagian meninggal bulan lalu. Bagaimana bisa—wanita baik hati itu, yang mengadopsiku, orang pertama yang pernah memperlakukanku seperti manusia, meninggal, dan aku bahkan tidak tahu?

Aku melemparkan kertas ke wajahnya terakhir kami bertemu ....

"Maaf, sepertinya aku terlalu mendesakmu." Pak Musa mendesah, yang kedengarannya seperti gelontoran api disemburkan melalui pipa. "Aku hanya ... merasa kalau kau harus tahu, Tim. Bagaimana pun, namamu diberikan olehnya—secara khusus oleh Timothy Freya. Dan aku tahu kau bukan anak jahat. Tapi, Tim, Aziri dulunya juga bukan anak seperti itu."

"Seperti itu?" ulangku, masih dengan perasaan kebas di dada.

"Pemaksa, arogan, pemarah, keras hati ...." Pak Musa menggeleng sedih. "Kau kenal dia sejak lama—dulu dia bukan anak seperti itu."

"Bukan," kataku, "tapi dia memang agak ambisius sejak dulu."

"Ambisius, ya. Tukang gencet dan ringan tangan? Tidak. Posisi ketua meracuninya, Tim. Kau harus paham ini: kalian masih muda—kalian anak-anak; dan kalian tidak berada di sekolah biasa. Ini Program Fervent Dasar. Kalian dilatih untuk mempertahankan hidup sekaligus untuk siap mati. Meski kalian dijanjikan hidup damai di Kompleks Sentral, pada akhirnya kalian semua akan ditaruh ke barisan depan saat proyek Kompleks Sentral terancam. Kau paham maksudku?"

Aku merenungi kakiku.

"Tanggung jawab itu berubah jadi beban besar di punggungnya, Tim. Aziri masih muda—bayangkan menjadi dirinya, mengemban tugas dan disalahkan saat rekannya mati. Bahkan, seorang prajurit dewasa di medan perang bisa hancur lebur di tengah atau pasca pertempuran. Kalian? Beberapa dari kalian bahkan masih tidur sambil memeluk boneka beruang."

Aku membuka mulut, tetapi tidak ada kalimat yang bisa keluar. Mulutku terasa asam dan pahit.

"Aku berharap kau bisa lebih bijaksana," lanjut Pak Musa. "Aku berharap kau tidak menangani situasi seperti Aziri."

"Jangan khawatir, Pak," kataku pada akhirnya seraya berdiri. "Saya tahu tugas dan kewajiban saya."

Pak Musa meragu sesaat, tetapi pada akhirnya dia mengangguk.

Aku meninggalkan ruangannya hampir dengan pikiran kosong. Lalu, aku mengerjap, dan ribuan pemikiran menghantamku seperti air bah. Apa kata si pengawas tidak berguna tadi? Kau bertanggung jawab atas nasib semua anggotamu.

Aku mengerjap lagi, mencoba mengusir suaranya, tetapi kudapati diriku makin mengingatnya.

Jika ada yang cedera, itu salahmu. Jika ada yang mati, meski bukan kau yang menusuk atau menembaknya, sama saja kau pembunuhnya.

Tidak. Aku tidak akan berubah menjadi seperti Aziri. Yang membunuh rekan sendiri lalu menendangi jasadnya seperti anak tantrum. Yang pemarah. Yang arogan. Yang keras hati. Yang berhati dingin dan berkepala panas. Yang akhirnya terusir dari tim yang dibesarkannya dengan kedua tangannya sendiri.

Tidak akan ....

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Fanart libur sebentar karena file-nya belum sempat dirapikan ;-; Sudah tengah malam dan mata saya tidak sanggup ;-;


Coming soon: RavAges Buku #1 terbit di Erye Art

https://youtu.be/qzq3pzGUnjc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro