#87

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #87 | 5890 words |

ENTAH SEJAK kapan aku ketiduran. Terakhir kuingat, kami diikat dan dijejalkan di bagian belakang bus oleh sekumpulan Calor, dalam perjalanan untuk dibawa pada Komandan. Lalu, Truck dan aku bicara ....

Mana dia? Dan, mana Alatas?

Saat aku membuka mata, aku tidur menyamping dengan tangan masih terikat. Hanya ada aku dan Erion. Kami berada di dalam semacam kurungan berjeruji besi di ketiga sisi dan dinding baja di satu sisi. Cahaya api obor meliuk di luar, mendistorsi udara sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berdiri di depan jeruji. Aku bisa mendengar suara mereka, mengobrol.

Awalnya aku tidak menyadari kehadiran Erion. Aku mengira melihat semacam bantal abu-abu di depan wajahku, lalu kusadari itu celananya. Erion tengah duduk memantatiku. Kedua tangannya yang terikat ke depan sedang mencengkram jeruji.

"Er ...?" panggilku, lalu kusadari dia gemetar. Suaranya muncul kemudian: Kurungan.

"Apa?"

Kurungan! Anak itu menjerit ke dalam kepalaku. Dia tampak panik dan ketakutan. Kenapa aku ada di kurungan lagi

Suaranya berhenti. Aku berusaha bangkit ke posisi duduk dan melihatnya sedang membungkuk untuk muntah. Wajahnya kehijauan, bagian bawah matanya gelap, dan bahunya naik-turun dengan cepat karena kesulitan bernapas. Matanya menerawang seperti orang mengigau.

"Hei!" Aku berteriak, mengagetkan tiga orang pria berjaket Calor yang menjaga sel kami. "Ada anak yang keracunan obat tidur dari kalian—dan kalian hanya mengobrol di sana tanpa melakukan apa-apa?!"

Karena Erion membelakangi kami, para Calor itu hanya mengerutkan kening dengan bingung. "Dia tampak baik-baik saja."

"Kami sudah membedakan dosisnya, memisahkan jatahnya dari yang lain." Pria satunya menyahut. "Kami tidak sebodoh itu."

Aku menggertakkan gigi. Erion sempat memakan setengah jatahku, mencuil ayam Truck, dan mencomot punya Alatas juga. Namun, percuma saja mengatakan itu—mereka sudah tidak mendengarkan dan kembali mengobrol bertiga. Pria Calor terdekat membelakangiku dengan punggung menyandari kurungan kami.

Aku memelototi celah jeruji—jaraknya cukup lebar. Lalu aku memelototi kakiku sendiri—cukup kecil ....

Si pria Calor memekik saat aku mengeluarkan sebelah kakiku untuk menyergap kakinya dan satu tanganku untuk menyekapnya di leher. Aku menariknya kuat-kuat sampai bagian belakang badannya tertekan ke jeruji, membuatnya tercekik tiap dia mencoba kabur ke depan. Satu tangannya mencengkram tanganku di lehernya, tangan lainnya meraih-raih ke kedua temannya. Dua pria lainnya melompat mundur, salah satunya berteriak, "Apa yang kau lakukan—dia cuma cewek!"

Cuma cewek?!

Aku mempererat cekikan dengan menarik seluruh bobot badanku ke belakang. Entah bagaimana rupanya, tetapi aku tahu dari suaranya bahwa si pria Calor sudah hendak semaput. Kedua temannya ikut berteriak panik sampai mengingatkanku pada suatu hari Sir Ted mengajakku ke kebun binatang, dan kami melihat kera-kera meneriaki sesamanya—suaranya persis seperti ini.

"Calor-mu—aktifkan!" teriak salah satu temannya, maka aku buru-buru melepaskannya. Yah, barangkali aku tak perlu mundur karena pria itu bahkan tidak bisa berdiri lagi, hanya berlutut terbatuk-batuk dan mencoba bernapas. Dia mungkin tak sanggup untuk sekadar berpikir mengaktifkan Calor-nya. Sekali lagi, walau aku benci mengakuinya, ajaran Embre perihal cekik-mencekik sangat membantuku.

Saat itulah Pascal datang. Dia melihat teman-temannya dengan ekspresi bingung, lalu menatap ke arahku.

"Obat tidur kalian!" jeritku. Aku menarik Erion, berusaha membuatnya berbalik. Namun, anak itu sudah setengah tak sadarkan diri. Napasnya terdengar berat, tubuhnya berkeringat, lidahnya membengkak, dan sikunya yang kurus gemetaran.

Kudengar engsel berderit di belakangku, lalu pintu kurungan terbuka. Pascal meraih ke dalam dan mengangkat Erion. Aku terlalu syok dan hanya terduduk di sana saat Pascal membawa Erion keluar. "Panggil Tody atau Cyone lainnya, siapa saja—anak ini overdosis!"

Salah satu pria keluar melalui koridor di kanan dan berteriak memanggil teman-temannya, sedangkan Pascal dan Erion berbelok ke sebelah kiri. Tersisa dua pria Calor yang menjagaku, tetapi salah satunya masih bergelung di lantai.

Aku menatap yang satu lagi, dan dia langsung menyala dalam wujud api, mengantisipasi seranganku. Dia menyeringai di balik wajah apinya. Suaranya terdistorsi, "Jangan macam-macam."

Aku menunggunya meraih pintu kurungan. Aku tidak bisa menyerangnya dalam wujud api, maka aku menendang pintu kerangkeng yang akan menutup sampai jari-jari besi itu membenturnya di wajah. Bahkan itu saja membuat sepatuku berasap. Aku buru-buru melompat keluar, tak mengacuhkan teriakan si pria Calor dan temannya yang masih merintih-rintih di lantai. Aku berlari ke kiri, menyusul Pascal dan Erion.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk tersesat.

Aku mondar-mandir dengan panik di sepanjang koridor, mendapati lorong-lorong ini begitu identik dan cahaya obornya sama sekali tidak membantu. Setelah tiga belokan serampangan dan dua kali mengabaikan tikungan, aku melihat sebuah pintu terbuka. Cahaya lampu putih menerpa lantai lorong, berasal dari dalam ruangan itu.

Hampir saja aku menerobos ke dalam seperti air bah, lalu aku mengerem langkah saat mendengar sebuah suara yang familier, "—sangat setimpal untuk itu."

Bintara.

"Kau bodoh kalau berpikir aku bakal percaya." Yang ini ... suara Truck.

Aku merapat ke dinding, berusaha menjaga jarak dari pintu agar bayangan tubuhku tidak tampak di lantai.

"Tapi berkasnya tepat berada di depanmu," ujar si komandan iblis lagi. Aku mendengar sesuatu digeser ... seperti halaman kertas di atas permukaan kayu, mungkin meja. "Dengan ini kau bisa menemukan gadis itu. Yah, aku memang tidak bisa menjamin apakah dia masih ada di sana atau tidak, tapi ini adalah hal terdekat yang bisa membawamu padanya. Dibandingkan dengan T. Ed yang bahkan tidak memberimu kepastian sama sekali, kami punya informasi yang kau butuhkan."

Aku mendengar kertas-kertas disambar, lalu suara Truck. "Rekam jejak ini bahkan tidak lengkap!"

"Kau kira aku bodoh, Nak? Lanjutannya ada di fasilitas NC di Kompleks 1. Kau bisa dapatkan sisanya kalau mengikuti kami ke sana sekarang juga."

Aku menahan napas. Mereka mencoba menawari Truck untuk membuang kami dengan iming-iming rekam jejak gadis yang dicarinya itu—Aria.

"Kau juga tidak perlu mengkhawatirkan teman-teman kecilmu itu." Suara Bintara begitu tenang, dalam, dan meyakinkan ... seperti saat dia memengaruhiku dulu di Kompleks 4 untuk ikut dengannya, mengiming-imingiku untuk bertemu dengan ayahku lagi. "Si Steeler itu—kami sudah telusuri latar belakangnya. Kami tahu di mana keluarga aslinya sekarang. Kedua orang tuanya dan saudaranya yang banyak itu—kami bisa memulangkannya pada keluarganya lagi. Dan si kecil itu, dia akan kami tinggalkan di sini—"

"Halah!" Terdengar suara kertas-kertas berhamburan, mungkin dilempar. Aku berharap Truck melemparkannya ke wajah Bintara. "Kausangka aku bisa dibodohi? Kau mengincar Erion sejak lama! Dan koloni Calor ini sudah sepenuhnya tunduk padamu. Erion ditinggalkan di sini sama artinya kau juga memiliki anak itu!"

"Tapi, setidaknya anak itu akan punya pilihan," ujar Bintara lagi, dan kedengarannya begitu meyakinkan hingga aku sendiri hendak memercayainya. "Dia bisa saja kabur dari sini dan kami mesti memulai dari nol lagi untuk mencarinya. Atau dia akan membantai orang-orangku yang mencoba membawanya. Atau para Calor di sini melindunginya dariku—ya, ya, aku orang jahatnya di sini. Aku, komandan yang hanya menjalankan tugas dari Kompleks Sentral, adalah monsternya, terlepas dari semua usahaku mengendalikan situasi antara Kompleks dan Garis Merah. Apa pun itu, kita tahu anak itu yang paling susah dikendalikan. Yang jelas, hal itu takkan lagi jadi urusanmu. Anak itu takkan lagi jadi bebanmu. Juga anak perempuan itu—kami hanya butuh ayahnya. Kami hanya akan menginterogasinya sebentar. Begitu aku tahu di mana ayahnya berada, kami juga akan melepaskannya. Dan, sekali lagi, itu takkan lagi jadi masalah atau urusanmu."

Jantungku menggedor rusuk. Kakiku ngilu menunggu jawaban Truck, tetapi yang paling mengerikan adalah diamnya pria itu. Dia seolah ... mempertimbangkan.

"Kami betul-betul membutuhkan Cyone, Truck. Cyone sehebat dirimu." Bintara membujuk lagi. "Fervent liar di mana-mana, dan kebanyakan kru kami sekarat oleh pertikaian tak berkesudahan di Kompleks dan Garis Merah—"

"Dan salah siapakah itu?" geram Truck. Punggungku dialiri rasa beku yang mencekam mendengar kebencian dalam suara Truck.

"Salahku. Sekali lagi, kuakui sistem Herde dan Pusat Karantina tak berfungsi dengan baik. Yah ... Herde memang sepenuhnya program dari NC, dan aku memang jarang mengunjunginya hingga tak tahu banyak oknum korup di dalamnya yang membuat tempat itu melenceng jauh dari agenda kami. Aku sungguh tak menduga banyak anak-anak yang tak diperlakukan dengan benar di sana."—Nyaris saja aku meludahi lantai mendengar Bintara. "Tapi perlu kuingatkan bahwa Pusat Karantina digagas oleh T. Ed—oleh mereka yang juga membuat PFD. Sekarang, kau punya pilihan—ikut kami ke Kompleks 1 untuk menemukan Aria dan bergabung dengan kami ke Kompleks Sentral ... atau tetap di sini, mati bersama teman-temanmu dimangsa para Calor karena kemungkinan besar kalian takkan diacuhkan oleh T. Ed. Apa perlu kuingatkan bahwa T. Ed pernah membuangmu dan teman-temanmu satu kali di PFD? Mereka bisa melakukan itu sekali lagi."

Aku memejamkan mata. Tanganku mengepal saking marahnya.

Aku pernah melihat dalam ingatan Alatas bahwa Bintara sendiri yang menyeret pemuda itu ke Herde dengan tangan diborgol. Bohong besar saat dia bilang dia tak tahu perlakuan Herde terhadap para Fervent remaja.

Bahkan dalam ingatan Erion, mulanya Pusat Karantina sempat menyerupai asrama anak-anak semata, dengan makanan dan tempat tidur layak serta orang-orang yang sungguh-sungguh mengurus mereka. Semua itu berganti menjadi kurungan, terapi sinar, dan aniaya fisik serta verbal sejak para pengurusnya berubah, digantikan oleh orang-orang berseragam hitam bersepatu bot dan memanggul senjata—lebih tepatnya sejak Bintara mengisi posisi Komandan NC.

Seharusnya Truck juga sadar, dari cuilan memorinya itu, bahwa hari-harinya di PFD menjadi neraka sejak seorang komandan baru ditunjuk.

"Kami akan beri kau waktu setengah jam," kata Bintara, "renungkanlah. Kami akan ada di luar, menunggu di dekat Specter yang siap lepas landas menuju Kompleks 1, jika kau sudah menetapkan pilihan."

Ada suara kursi-kursi berderit. Aku langsung panik dan bergerak kembali ke tikungan lorong dari arah aku datang. Aku menempel ke dinding seolah hal itu bisa membuatku tak kasat mata. Namun, kudengar langkah-langkah kaki mereka menjauh ke arah lain, dan hilang.

Aku kembali ke depan ruangan itu, mendapati Truck yang duduk di depan meja dan kertas-kertas di tangannya. Dia memunggungiku. Ranselnya bersandar di kakinya. Beberapa lama dia tak bergerak di sana, dan aku diam saja di belakangnya.

Truck kemudian berdiri, memasukkan berkas-berkas ke dalam map hitam berlogo NC—sepasang sayap terentang dalam jalinan tali perak melingkar. Dia menjejalkan semuanya ke dalam ransel, memanggulnya di sebelah bahu, berbalik—

Lantas mematung saat mendapatiku.

"Erion sedang ditangani Pascal karena overdosis obat tidur itu," kataku. Kutahan kedua tanganku agar tidak gemetar di depannya. "Mungkin anak itu kena alergi juga. Dan aku tidak tahu Alatas di mana. Bantu aku mencarinya."

Truck melewatiku. "Cari saja sendiri."

Perutku seperti diaduk-aduk. Sulit bertingkah lugu pada saat seperti ini, tetapi aku berusaha. Aku menyusulnya, menarik ranselnya. "Kau mau ke mana?"

"Bukan lagi urusanmu."

Peganganku mengencang. Bukan urusanmu memang frasa andalan Truck tiap kali aku banyak tanya, tetapi tambahan kata lagi itu mengonfirmasi ketakutanku—seolah-olah dia mau pergi dan apa pun urusannya tak lagi bisa kami campuri.

Suaraku jadi histeris. "Kau tidak mungkin percaya bujukan Bintara, 'kan?!"

"Kau dengar." Truck terkekeh tanpa berhenti atau pun berbalik menatapku. "Baguslah. Mengirit waktuku menjelaskan."

Aku menggelantungi ranselnya. "Tidakkah kau peduli pada Erion, Alatas—argh!" Alih-alih memperlambatnya, aku hanya membuat diriku terseret oleh langkahnya. "Kau makhluk besar kejam tak punya perasaan, keras kepala, keras hati, perut bundar, pantat kerbau, hidungmu kebesaran untuk wajahmu dan jari-jarimu hanya berupa kumpulan jempol yang—"

Truck akhirnya berbalik untuk menepis tanganku dari ranselnya. Tampaknya ejekanku berhasil memprovokasinya. Dia kembali memasang tampang jahat yang sering dipakainya saat sebal padaku—entah kenapa itu lebih membuatku lega daripada sikap diamnya.

"Bintara membual," kataku. "Kau tidak seharusnya memercayainya."

"Seperti kau tidak memercayai pria T. Ed itu?" balasnya sengit. "Akui saja, Leila, kau sendiri tidak tahu di mana kau berdiri. Pada akhirnya kita tidak memilih mereka karena mereka benar atau salah—NC dan T. Ed itu; keduanya sama! Pada akhirnya, kita memilih karena salah satunya mendatangkan lebih banyak keuntungan daripada yang lain!"

Dia berbalik lagi dan berjalan menjauhiku.

"Kau memang—k-kau betul-betul—" Aku menginjak-injakkan kaki, tetapi aku sudah kehabisan bahan ejekan. Padahal kalau aku berusaha, ada ruang khusus dalam otakku yang menyimpan banyak sekali hinaan untuk Truck, kutimbun di sana selama ini sejak pertama kali kami bertemu. Namun, kepanikan dan rasa terdesak menumpulkanku. Aku tersengal. Dengan suara bergetar, aku bergumam, "Aku tahu kau membenciku, tapi tak kusangka kau bakal meninggalkan Alatas dan Erion juga, Tr—" Aku menggertakkan rahang. "—Timothy."

Dia berhenti.

Saat Truck berbalik, kudapati tatapannya jadi bengis. Aku mendapat perasaan kuat bahwa dia sedang menahan diri dari membenturkanku ke dinding. "Kau melihat ke dalam—"

"Ya," jawabku langsung.

Dia berjalan kembali ke arahku. Auranya menekanku.

"Artinya kau sudah tahu," katanya di depan wajahku, "kenapa aku harus segera menemukan-nya."

Tidak, aku tidak tahu—tetapi aku tidak mengungkapkannya bahwa separuh dari memorinya masih tersembunyi dariku. Aku sudah mendapatkan perhatian penuh Truck, dan ini mungkin kesempatan terakhirku menahannya, bahkan meski dengan potensi dia bakal meremukkan tengkorakku dan mematahkan badanku jadi dua.

"Kami bisa membantumu mencari Aria—"

"Omong kosong." Truck mencibir. "Kau bahkan tidak peduli padanya."

"Aku nyaris tak mengenalnya, Truck," kataku, "dan kau tak pernah mau membicarakannya—tidak mungkin aku secara ajaib jadi peduli pada anak cewek yang belum pernah kutemui seumur hidupku. Tapi, tapi—" Aku terbata. Butuh segenap usaha, sebulat tekad, serta keruntuhan harga diri besar-besaran buatku melanjutkan, "Aku memang tidak peduli padanya, tapi ... aku peduli padamu."

Aku tidak bisa menatapnya. Rasanya wajahku seperti terkelupas dan jatuh ke lantai, menunggu Truck menginjak-injaknya.

"Kepedulian yang tidak perlu," katanya tiba-tiba. Suaranya begitu dingin dan bersih dari emosi. "Mengingat betapa sedikitnya yang bisa kau lakukan."

"Apa?" Aku mengangkat wajah, tetapi Truck sudah memunggungiku lagi. "Kau bilang—apa? Maksudmu, aku tidak berguna atau apa?!"

"Kau tidak mengerti juga?" tukasnya. "Aku pernah bilang kau ancaman, tapi aku tak memercayai itu sedikit pun. Aku bilang kau Peledak berbahaya agar Alatas dan Erion membuangmu jauh-jauh hari. Untuk Brainware—bagian itu benar. Fakta bahwa kau seorang Brainware membuatku tambah muak padamu. Tapi, kau sama sekali bukan ancaman. Sejujurnya, Leila, perempuan sepertimu mustahil bisa menjadi ancaman." Dia menoleh. Matanya berkilat menatapku. Untuk pertama kalinya, aku menyesal tidak menusuknya saat dia tengah terlelap jauh-jauh hari. "Kau cuma jadi beban. Aku benci beban tambahan."

Truck menjauh. Aku menatap ranselnya dengan belasan skenario berseliweran di dalam otakku di mana aku meledakkan tas itu bersama punggungnya, mengambil obor terdekat untuk membakarnya, menginjak-injak mayatnya, dan meludahi apa yang tersisa darinya.

Namun, aku cuma mematung di sana.

Setelah punggung Truck menghilang, aku merapat ke sisi koridor dan duduk memeluk lutut. Kepalaku terasa panas dan padat sampai-sampai aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi—pikiranku penuh, tetapi aku tidak tahu dipenuhi oleh apa. Aku ingin memikirkan Erion, tetapi mengingat kilasan wajahnya saja membuat pelipisku berdenyut hebat. Seharusnya aku mulai mencari Alatas, tetapi rasanya aku tidak kepingin ....

Aku seharusnya bergerak, tetapi di saat bersamaan kakiku menolak untuk berdiri. Aku tak ubahnya bongkahan batu seberat ribuan kilo tanpa bobot atau isi sungguhan.

Beban ....

Mungkin aku menyia-nyiakan sepuluh menit. Mungkin juga setengah jam lagi. Aku hampir tidak merasakan waktu berlalu sampai sepasang kaki muncul di depanku. Suara Pascal terdengar, "Di sini rupanya. Kau tahu, kami sedang sibuk dan panik? Kau malah membuat kami kelabakan mencarimu."

Aku mengangkat kepala.

Pascal mengernyit, lalu berjongkok di depanku. "Kenapa kau ... menangis?"

Aku tidak menjawab.

"Dengar, Leila, kau mestinya tahu kalau tindakan kami ini bukan karena masalah personal," kata Pascal, barangkali mengira aku menangis karena merasa dikhianati oleh mereka. "Embre sudah memberi tahu, 'kan? Bergabung dengan NC adalah satu-satunya pilihan koloni. Bintara masih menyandera anak-anak Calor dan beberapa orang tua renta di Kompleks 1. Dia tidak akan mengembalikan mereka hidup-hidup kecuali dia tahu di mana Aga Morris berada. Padahal, andai saja kau bilang padaku jauh-jauh hari kalau Aga Morris itu ayahmu ...." Pascal menatap kakinya. "Ya ... pokoknya aku janji mereka tidak akan menyakitimu atau teman-temanmu. Anak itu dan si cowok Steeler juga sudah ditangani. Walau pun kalian sandera, kalian akan baik-baik saja."

"Betulkah?" Aku berkata. Kedua tanganku merayap ke lehernya. Pascal melirik jari-jari tanganku dan wajahnya memerah. "Syukurlah."

Aku menarik kepalaku ke belakang, lalu membenturkannya ke wajah Pascal.

Saat Pascal tersaruk sambil memegangi bibir dan hidungnya yang berdarah, aku buru-buru berdiri, lalu oleng sejenak. Terhuyung-huyung, aku menunggu Pascal mendongak menatapku, lalu aku mengangkat satu kaki dan menginjaknya di muka. Dia mengerang dan berguling menyamping sembari memegangi wajahnya, tetapi Pascal pemuda kuat—kalau itu aku, aku pasti sudah pingsan. Sedangkan dia sudah mulai hendak berdiri sekarang.

Aku merenggut ke arah sabuknya—semua Calor tampaknya mengenakan sabuk perkakas yang sama, mungkin menyimpan senjata ....

Aku menemukan dua belati yang masih tersarung di dalamnya.

Aku menarik salah satu belati itu dan menancapkannya ke betis Pascal, membuatnya melolong. Itu akan memperlambatnya dari mengejarku.

Membawa belati lain, aku berlari menyusuri koridor tempat Pascal datang.

Setelah beberapa menit menyusuri koridor yang sunyi, akhirnya aku menemui dua Calor yang sedang mengobrol—satu pria yang tak kukenali, dan seorang wanita yang memunggungiku. Aku kenal suara ini—aku sempat jengkel pada suara cekikikannya yang manis saat dia mengobrol dengan Alatas di pinggir arena Calor. Iris, wanita Calor akhir 20-an yang sempat menolong kami di arena.

Si pria menyadariku lebih dulu dan menunjuk ke arahku. Aku melemparkan belati dan menggores pipinya. Tanpa buang waktu, aku menangkap bahu Iris, memaksanya berbalik, dan berbisik ke benaknya, "Kita berteman baik, 'kan?"

Dengan mata menerawang, Iris terbengong-bengong dan menjawab ragu, "Teman baik ...."

"Lebih baik daripada hubunganmu dengan lelaki di depanmu itu," desakku. "Kau ada masalah dengannya!"

"Ya." Raut wajahnya jadi jengkel, tetapi tatapannya masih kosong. Iris berbalik menghadap si pria Calor. "Kau menghabiskan cracker favoritku minggu lalu."

"Betul." Aku menyemangatinya. Iris berkobar dalam wujud api, memaksaku melepaskan tangan darinya. Tidak masalah; dia sudah dalam kendaliku.

Si pria Calor berdengap. "Kau ini—kenapa mengungkit itu di saat seperti ini!"

"Biskuit kesukaanmu," bisikku lagi, "dan dia memakannya dengan rakus."

"Hei!" Si pria Calor memprotes. "Aku sudah minta maaf tentang itu!"

"Permintaan maaf tidak cukup." Aku memberi tahu Iris.

"Tidak cukup." Iris menyetujui dengan patuh. "Harus diberi pelajaran."

"Nanti biskuitnya kuganti!" Si pria Calor berjanji, tetapi Iris sudah menerjang.

Mereka berkejaran sepanjang koridor, jadi aku tinggal mengekor di belakang Iris. Kami bertemu beberapa Calor lagi, tetapi kejar-kejaran ini membuat mereka terpengaruh dan ikut lari dari Iris.

"Apa yang terjadi padanya?"

Si pria yang pipinya kugores belati memekik, "Gara-gara aku memakan biskuitnya!"

Aku terus berlari di belakang Iris sampai mendengar seseorang memanggilku. Kubiarkan Iris terus menguber teman-temannya sendiri, mungkin sampai dia mendapatkan biskuitnya kembali. Di ruangan lain yang pintu terbuka, ada Erion berbaring di atas tempat tidur gantung paling depan, dan Alatas di sudut terjauh ruangan.

Pemuda itu berteriak memanggilku dan berdiri, tetapi tiga pria berseragam Calor menahannya. Satu pria lagi mencoba menutup pintu dariku, tetapi aku menerjangnya dengan segenap bobot badanku sampai terbuka.

Pria itu terhuyung sebentar saat pintu terhempas ke wajahnya, lalu mencoba menangkapku, tetapi aku buru-buru menunjuk pintu dan mendesak ke dalam pikirannya, "Awas, penyusup! Lekas tutup pintunya!"

Kebingungan sesaat, dia sungguh-sungguh menutup pintu dan menahan daun pintu itu dengan badannya, benar-benar linglung bahwa penyusup itu malah sudah masuk melewatinya.

Aku mengecek Erion lebih dulu. Matanya terbuka, rona wajahnya kembali, tetapi dia masih tampak lemas di atas tempat tidur gantung. Kelopak matanya setengah menutup sayu seperti anak yang malas bangun di senin pagi. Saat melihatku, anak itu menguap. Kurasa, dia akan baik-baik saja.

Aku berlari ke sudut ruangan, di mana Alatas dikepung tiga pria brutal seukuran Pascal. Salah satunya menendang rusuk pemuda itu sambil memaki, yang satu lagi memegangi Alatas ke lantai.

Pria ketiga mendatangiku.

"Lihat kantung mata itu," kataku penuh simpati, membuat pria yang mendatangiku meragu sesaat, "kau bisa memasukkan bayi kangguru ke dalamnya. Berapa hari kau tidak tidur, hm? Pasti lelah sekali."

Si pria Calor mengerjap. Dia mencoba melawan pengaruh Brainware, tetapi kelelahannya terukir jelas di kerut-kerut wajahnya. "Eh ... yah, kami belum tidur nyenyak sejak Komandan datang."

"Sungguh malang," kataku, mendorongnya lembut ke tempat tidur gantung. "Lihat semua tempat tidur gantung yang bersusun ini ... pasti enak kalau bisa rebahan sebentar. Tidak ada ruginya."

"Betul juga." Dia melirik Erion tepat saat anak itu menguap, lalu ikut menguap.

Aku berderap menghampiri dua pria lain yang menghajar Alatas di antara troli-troli yang dipenuhi nampan, piring-piring dan gelas kosong, tabung dan jarum suntik, serta bungkusan obat yang telah disobek. Mereka tampak tak sadar bahwa seorang teman mereka masih menempel ke pintu, dan yang satu lagi sudah tertidur.

"Kami sudah merawatmu, tahu dirilah sedikit!" Salah satu pria berjongkok di sisi Alatas yang lebam-lebam. Dia menarik kerah baju Alatas, mengangkat kepalan tangannya untuk membogem, saat aku menangkap lengannya.

"Jangan pegang-pegang—" Aku menjepit leher lelaki itu dengan kaki dan memuntirnya sampai kami berdua terjungkal ke lantai, "—pacarku!"

Alatas memutar tubuhnya dan mendorong satu-satunya pria Calor yang tersisa. Pria yang didorongnya meringis memegangi kepala belakangnya yang membentur tembok, sedangkan Alatas mengerang sendiri sambil memegangi rusuknya.

Aku menghampirinya. "Alatas—"

"Ah ...." Pemuda itu menyengir meski sudut bibirnya berdarah. "Pacarku menyelamatkanku."

Aku memeluknya, menjitaknya karena telah membuatku cemas, lalu memeluknya lagi.

Aku baru menarik Alatas berdiri saat merasakan sesuatu menampar pantatku. Aku menunduk, mendapati si pria Calor yang tadi kugulat tengah terduduk di samping troli, tangannya mengangkat nampan logam. Matanya membelalak. "Astaga ... kerendahan. Aku tak bermaksud memukul ke sana, sumpah—"

"Ada apa?" tanya Alatas heran.

Aku mengambil jarum suntik di atas troli, lalu menunjuk si pria Calor yang masih memegangi nampan. "Dia memukulku."

"Wah, Bung," Alatas berkata pada pria itu dengan ringisan simpati, "kau memukul orang yang salah."

Aku mengangkat jarum suntik; pria itu mengangkat lengannya untuk melindungi wajah. Kumanfaatkan kelengahangannya untuk merebut nampan logam dari tangannya, lalu menamparkannya ke kepalanya. Berkali-kali.

Alatas mencoba menarikku. "Leila, sudah. Sudah cukup. Kita harus—"

"Dia memukulku di bokong!"

"Kalau begitu, lima menit lagi." Alatas memberiku waktu.

"Sepuluh!" tawarku, lalu melancarkan pukulan beruntun.

Alatas menghampiri Erion, mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar. Dia mengangkat anak itu, lalu berteriak, "Leila—lekas! Ada suara derap langkah kaki di luar!"

Aku menimpa si pria Calor pakai troli agar dia tidak bisa mengejar kami, lalu berlari ke arah pintu. Di sana, Alatas menunggu, dengan gendongan kain dari tempat tidur gantung yang dia ikatkan ke punggungnya untuk membawa Erion. Kurasa, kebetulan saja kain itu bermotif bunga tulip kuning dengan kupu-kupu kecil merah muda.

Alatas mengencangkan ikatan gendongan di pinggangnya dengan risi. "Apa aku tampak konyol?"

"Tidak." Aku mengacungkan kedua ibu jariku. "Sangat cocok."

Kurasa, aku mimpi, kata Erion sambil mengerjap-ngerjap lemas. Bahkan dalam benak, suaranya terdengar malas dan tanpa tenaga. Aku mimpi Alatas menggendongku seperti bibi jamu menggendong botol-botolnya, pakai kain bunga tulip. Kapan mimpi buruk ini berakhir?

Kami keluar dan menyusuri koridor, berbelok liar saat akan berpapasan dengan beberapa Calor. Namun, seberapa jauh pun kami berjalan, lorong ini seperti tak ada habisnya. Satu kali, Alatas bergumam sambil tersengal, "Mana, sih, Truck di saat seperti ini?"

Aku tidak berkata apa-apa.

Kami kehabisan pilihan saat terjebak di lorong lurus dan ada empat Calor yang menghadang. Di belakang, hampir sepuluh orang mengejar kami. Alatas meraih salah satu obor di dinding, mengacungkannya dengan sikap mengancam yang nyaris lucu.

"Alatas!" Aku menghentak-hentakkan kaki. "Mereka itu Calor!"

"Oh, betul juga!"

Dia mencoba mencampakkan obor itu ke lantai, tetapi aku mendapat ide. Aku merebut obornya, melemparkan pada para Calor di depan, lalu mengancungkan jari dan membuat obor itu meledak di udara. Ledakan itu menghasilkan pusaran gelombang panas yang mengejutkan mereka serta putaran angin beliung dari api. Api itu tidak menyakiti para Calor, tetapi sabuk perkakas mereka terbakar. Dalam kepulan asap yang menghalangi pandangan dan sedetik kepanikan, aku mendorong Alatas ke dinding logam.

"Jalan pintas!" kataku, dan Alatas seketika memahaminya.

Dia menjebol dinding baja seperti merobek kertas HVS.

Karena markas koloni ini berada di dalam ceruk tebing, aku tidak terkejut saat mendapati jarak kami ke dasar tanah terpaut tiga meter lebih. Alatas mengatasi jarak itu dengan mencopoti rangka bangunan dan membuat seluncuran darurat. Pinggirannya tidak rata dan penuh karat, berpotensi menimbulkan luka sayat dan mungkin infeksi kalau kami tidak berhati-hati, tetapi tidak ada pilihan.

Alatas merenggutku di pinggang dan menempatkanku di depannya, satu tangannya yang lain menahan posisi Erion. Dia memberi peringatan singkat untuk tidak mengeluarkan tangan atau kepala keluar jalur perosotan untuk mengurangi kemungkinan terpotong-potong.

Sesaat sebelum kami meluncur, Erion sempat membuka mata dan berkomentar, Mimpi buruk ini tidak ada habisnyaaa— aaaaaaaaa.

Perosotan air itu asyik, tetapi tidak dengan perosotan logam yang mengarah ke dasar jurang. Gelap, dingin, berkabut, angin bersiul nyaring di telinga, dan seluruh organ dalamku naik ke kerongkongan.

Ketika sampai di bawah, aku yakin kami bakal jungkir balik atau meluncur terus sampai ke sisi lain tebing. Namun, Alatas entah bagaimana berhasil mengerem dengan kedua kakinya.

"Leila?" panggil Alatas saat kami berhenti. "Kau tidak apa-apa?"

Aku mengerjap-ngerjap karena bola mataku hampir berputar ke atas. "Otak dan isi perutku mungkin ketinggalan di atas."

Kami mengecek keadaan Erion—semaput sedikit, tetapi tidak apa-apa, hanya syok, lesu, dan separuh benaknya masih mengira ini mimpi buruk.

Di atas, para pengejar kami mulai mengumpulkan nyali untuk ikut meluncur turun. Kalau Alatas jahat, atau kalau aku yang Steeler, mudah sekali mematahkan perosotan ini jadi dua sampai mereka berjatuhan dan mati menghantam tanah. Sayang sekali, Alatas langsung menarikku lanjut berlari.

Di balik kabut tebal dan suhu yang merosot di dasar jurang, kami tertatih-tatih meloncati bebatuan. Alatas berkata, "Harus cari Truck—di mana, sih, dia?"

Aku baru akan buka mulut saat dari arah depan tampak pendar cahaya, makin dekat-makin membesar seperti lampu sorot. Tidak suara dengung mesin, senyap, dan aku langsung mendapat firasat buruk.

"Specter," gumam Alatas. "Iya, 'kan? Pesawat milik T. Ed?"

"Bukan," jawabku seraya menariknya. "Itu punya Komandan Bintara."

"Tunggu, kurasa aku mendengar suara Truck—"

"Tidak, Alatas kita mesti kembali!"

"Tapi, di arah sana ada Calor!" Alatas mengatur napas, lalu menoleh ke arah cahaya pesawat Specter. "Aku ... aku yakin tadi itu suara Truck. Coba dengar."

Kami membuang terlalu banyak waktu dengan berhenti, dan sudah kuduga perosotan itu seharusnya dipatahkan, karena mendadak saja kami sudah terkepung. Para Calor muncul dari kabut, membuat lingkaran di sekitar kami. Beberapanya menyala menjadi api, membuat tanah retak terbakar di bawah pijakan mereka. Di antara mereka, Pascal menyeruak dengan kaki timpang. Kain berwarna gelap membalut kakinya yang kutusuk.

"Cukup main kucing-kucingannya, Leila." Pascal menggertakkan rahangnya. "Kami mencoba untuk tidak terlalu kasar pada kalian, tapi kalian membuatnya tambah sulit."

Dikelilingi dengan rapat, kami tidak bisa ke mana-mana. Beberapa dari mereka merenggut Erion dari punggung Alatas, sisanya mendorong Alatas ke arah cahaya lampu Specter di mana Bintara berada, sedangkan Pascal sendiri mengangkutku ke atas bahunya. Tak peduli aku menyikut dan menumbuknya dengan lutut, dia terus berjalan pincang mengikuti teman-temannya.

"Pascal," bujukku putus asa, "kau tidak bisa melakukan ini pada kami! Bintara tidak pernah menepati janjinya. Dia akan membunuh kami, kalian, dan semua sandera yang dia tahan!"

"Nah, pikirkan itu sebelum kalian bertingkah!" Pascal berseru marah. "Kami mencoba memperkecil kerusakan, Leila! Andai saja kalian mau bekerja sama! Andai saja kau beri tahu di mana ayahmu—kami akan membantu kalian kabur sekali lagi! Kita bisa cari Aga Morris sebelum Komandan menemukannya lebih dulu! Kau tidak tahu apa yang bisa kita lakukan dengan bantuan ayahmu! Kami bisa membebaskan anggota koloni yang ditawan Komandan—tapi, tidak! Kalian malah mempersulit keadaan!"

"Tidak sederhana itu!" Aku menelan tangisan yang sudah mengganjal tenggorokanku. "Tidak bisa sesederhana menemukan ayahku begitu saja! Kita tidak bisa menemukannya—"

Aku menoleh ke belakang, melihat sosok Bintara di depan landasan Specter, berdiri diapit oleh dua orang berseragam hitam dan bersenjata. Aku tidak bisa melihat Truck dari posisi ini, tetapi aku yakin dia di sana juga karena kudengar Alatas menyerukan namanya.

"Pascal," kataku, betul-betul putus asa, "dengar—"

"Apa pun yang kau katakan, aku tidak—"

"Ayahku sudah mati."

Pascal berhenti.

"Ayahku sudah mati," ulangku, terisak di telinganya. "Dia mati di fasilitas NC tempat kita ditahan dulu. Aku menemukannya tepat saat kau pergi—dia ada di dalam gua bawah tanah, di dalam pintu sumur itu. Kami diserang orang-orang yang berada di bawah kendali penelitian Komandan. Dia mati menyelamatkanku. Seharusnya akulah yang mati. Dia—"

Pascal menurunkanku. Matanya merah dan bibirnya bergetar. Aku terkejut saat mendapat semburan ingatannya—seperti foto-foto yang dihamburkan di depan wajahku. Ada ayahku di dalam memorinya, menyelamatkannya saat keluarganya dibantai—umur Pascal mungkin masih empat tahun saat menyaksikan ayahnya digorok di perut, ibunya diseret keluar tanpa pakaian oleh tiga orang pria NC, dan tiga kakak laki-lakinya dijajarkan untuk ditembaki. Mereka semua Calor, tetapi kekuatan mereka diredam dan diserang tanpa perlawanan.

Pascal bersembunyi di balik pintu kamar mandi, gemetaran, saat salah satu petugas berseragam hitam itu menemukannya. Petugas itu ayahku, yang mengajaknya pergi dari sana.

Tidak banyak yang tersisa dari kaumnya. Aku ingat Ayah berkata demikian padaku, di dalam penjara gua bawah tanah itu, saat dia mengakui semua perbuatannya semasa bekerja untuk NC. Ayah membunuh mereka.

Ayahku, dan rekan-rekannya di NC, membantai sekeluarga Calor yang bahkan tidak melakukan apa-apa kecuali bersembunyi dari dunia luar. Dan ayahku juga yang menyelamatkan salah satu anak Calor ini.

"Pascal?" Salah satu temannya berbalik dan menghampiri kami. "Kenapa? Masalah kakimu? Kalau kau capek, biar kami yang bawa anak perempuan itu—"

Namun, Pascal mengabaikannya. Dengan kaki pincang, Pascal menerjang kerumunan Calor, menepis teman-temannya dari jalannya, mengarah langsung ke Bintara. Dalam semburan api, Pascal menyala dan meledak, tubuhnya seolah tanpa bobot, hanya cahaya murni dengan ekor api, meluncur bak komet hingga Bintara terduduk ke atas landasan Specter.

Segalanya berlangsung terlalu cepat. Anak buah Bintara mengangkat senjata dan Arka untuk meredam Fervor, tetapi di saat bersamaan mereka kalang kabut. Ekor api Pascal membakar semua yang dilaluinya, termasuk seragam dan rambut yang tak tertutup topi. Bahkan para Calor tampak kebingungan—mereka mencoba menghentikan Pascal dan menerikai pemuda itu, tetapi di saat bersamaan mereka mencoba melindungi Pascal dari tembakan prajurit NC.

Bagian depan baju Bintara terbakar, yang segera dipadamkan oleh anak buahnya. Mereka mengamankan sang Komandan lebih dulu, menaikkannya ke dalam Specter. Entah identitas Bintara sebagai Relevia masih tidak diketahui pekerjanya atau Fervor pria itu terlalu cacat untuk mengatasi Pascal—Bintara sama sekali tidak melakukan perlawanan kecuali mundur ke dalam pesawatnya.

Barulah aku melihat Truck—dia sudah berada di dalam, duduk di atas kotak peti kemas, siku menumpu lutut dan sama sekali tak mengangkat pandangan.

Pintu landasan terangkat menutup, dan para prajurit Bintara berbaris dengan Arka dan senjata teracung untuk menghalau Pascal yang mencoba menerobos masuk ke dalam.

Di tengah-tengah kericuhan itu, aku menarik Alatas dan Erion. Aku memaksa mereka berlari ke balik bebatuan, memerosot ke bawah lembah kering retak-retak.

Kami menunggu.

"Specter Bintara sudah pergi," kataku saat mengintip di balik bukit batu. "Tapi masih ada satu Specter ... oke, beberapa tentara NC masih di sini dan mereka mulai mengancam para Calor itu."

Pascal entah bagaimana sudah dilumpuhkan. Dia ditahan tengkurap di atas tanah, tangan terikat ke belakang dan Arka terpasang di belakang lehernya. Namun, pemuda itu masih berteriak-teriak, memanggil Bintara dengan serangkaian nama yang bisa memberi Erion kosakata baru.

"Mana, sih, Embre?" desisku. "Kenapa dia malah hilang di saat seperti ini—"

"Dia bahkan tidak mengangkat satu jari pun." Kudengar Alatas berkata.

Aku menoleh. "Apa?"

"Dia bahkan tidak mau melihat ke arahku," kata Alatas lagi. "Aku memanggilnya berkali-kali, dan dia diam saja!"

Aku mengentakkan tumit dengan gugup. "Siapa yang kau bicarakan?"

"Truck!" Suara Alatas pecah. "Dia di sana—di dalam pesawatnya Komandan!"

Erion menggosok matanya, sedikit demi sedikit mulai menyadari bahwa dia tidak sedang bermimpi. Mungkin Truck ketiduran di dalam? tanya anak itu penuh harap. Mungkin Truck tidak sadar dia di pesawat yang salah? Kita semua, 'kan, lagi diracun obat para Calor itu. Aku sendiri sempat menyangka aku kembali ke Pusat Karantina tadinya.

"Bisa kau sembunyikan kita dengan Phantom sebentar?" pintaku pada Erion. "Kau sanggup? Hanya sampai para Calor dan petugas NC itu menjauh dari sini."

Erion melambaikan tangannya dan membuat medan magnet yang kelihatannya lebih lemah daripada biasanya. Namun, kami menunggu beberapa menit, dan para prajurit NC itu melewati kami begitu saja. Kurasa, kami aman untuk sementara. Mereka mengabaikana kami dan menggiring para Calor kembali ke markas koloni—mengembalikan para Calor menjadi tahanan di rumah mereka sendiri.

Begitu lembah tersebut sepi, hanya ada kami bertiga, kabut pekat, udara dingin dan kegelapan, Erion menyalakan senter yang terkalung di lehernya—satu-satunnya barang kami yang tersisa. Entah di mana ransel-ransel kami dan senjata api Alatas, mungkin masih disita oleh Calor.

Aku mencoba sekali lagi untuk memanggil Sir Ted dengan telepati, juga ibuku, Sabang, dan Ryan. Aku bahkan mencoba Op, seberapa pun jijiknya aku. Tidak ada respons.

Pada akhirnya, dalam keheningan dan cahaya redup senter Erion yang di arahkan ke bawah, aku tak punya pilihan lagi selain menceritakan apa yang terjadi—tentang Truck, tawaran Bintara, dan tujuan mereka ke Kompleks 1.

Alatas terdiam pada awalnya. Erion bahkan mendadak jadi terpana pada sepatunya.

"Kita harus menyusulnya, kalau begitu," kata Alatas. "Pikiran Truck pasti sedang tidak benar. Kita tidak bisa membiarkannya dibawa Bintara."

Aku menggelengkan kepala dengan sebal. "Kita bahkan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri, Alatas. Kita beruntung kalau mendadak ada utusan T. Ed yang sadar kita hilang dan punya pikiran untuk menjemput kita di sini."

Alatas mengerang, "Tapi, kita tidak bisa meninggalkan Truck, Leila."

"Kita tidak meninggalkannya," desisku. "Dia yang meninggalkan kita!"

"Tapi, kita bisa membujuknya—"

"Dia tidak bisa dan tidak mau dibujuk! Kau ini kenapa, sih?!" Aku lepas kendali. Aku menarik senter Erion sampai lepas dari lehernya, mengayunkan talinya sampai senter itu nyaris menghantam Alatas di muka. "Dia tidak mau ikut kita lagi—titik! Kenapa kau buang-buang waktu? Kau ini pacarnya atau pacarku?!"

Alatas terpelongo, bahkan Erion tampak kebingungan.

"Leila ...." Alatas merendahkan suaranya. "Kau tidak mungkin ... masa kau cemburu sama Truck?"

Tanganku gemetaran pada tali senter Erion.

"Leila, dengar, Truck itu teman kita."

Aku mengayun senter lagi sampai Alatas berjengit. "Kau tidak berusaha menghentikanku sampai seperti ini saat aku akan pergi ke Kompleks 6!"

"Leila, keadaannya berbeda! Saat itu kau punya ibumu." Alatas menyambar tanganku, menghentikan ayunan senter. "Truck tidak punya siapa-siapa lagi selain kita!"

Sementara Alatas menahan tanganku, Erion mengambil alih senter dari tanganku. Anak itu kemudian menjaga jarak seolah takut aku bakal menyakiti senternya.

"Tenangkan dirimu dulu," kata Alatas seraya mendudukkanku di atas bebatuan. "Kita semua capek dan syok. Kita masih berada di teritori musuh. Erion masih setengah teler, wajah dan rusukku memar, kau juga terluka, dan Truck yang biasanya menjaga kita dengan Cyone-nya tidak ada di sini—jadi ...." Pemuda itu duduk di depanku, meletakkan tanganku perlahan di atas lututku sendiri. "Kita bicarakan ini pelan-pelan. Kau tidak punya alasan untuk cemburu dengan Truck, oke? Kau pacarku, dia itu mama kita—sampai situ, kurasa duduk perkaranya sudah jelas."

Aku menggeleng letih, mengingat tatapan Truck dan kata-katanya yang menyakitkan. "Kelihatannya aku ini masih orang luar buat kalian. Kadang aku merasa yang pacaran di sini justru kau sama Truck."

Alatas meringis. "Sumpah, Leila, cuma kau—"

"Oh, berhentilah," potongku. "Kalimat yang diawali 'Cuma kau' itu biasanya diucapkan cowok yang pacarnya banyak!"

Lalu, aku teringat Alatas memang pernah punya pacar banyak.

"Begini saja ...." Alatas menepuk-nepuk punggung tanganku. "Aku menciummu, tapi aku tidak pernah mencium Truck."

Aku berjengit. "Kalau kau sampai mencium Truck, Alatas, aku minta putus."

"Tidak akan." Dia bersumpah. "Maksudku di sini, memang cuma kau—" Dia berhenti, lalu mengoreksi, "Leila, kau pacarku. Truck itu sahabatku. Titik."

Erion duduk bersandar ke salah satu batu besar. Satu kaki tertekuk, satu tangan merangkul batu yang disandarinya. Aku ini apamu, dong?

Sepertinya anak itu betul-betul teler.

"Aku tidak bisa menghentikanmu pergi karena ada ibumu waktu itu," kata Alatas lagi, "dan mantan pacarmu, juga Pak Timothy yang menjamin keamananmu. Kau bakal ke Kompleks 6, mendapat kembali tempat pulang yang selama ini memang kau inginkan—aku jahat kalau mencoba menjauhkanmu dari itu semua. Tapi, aku tidak bisa bohong—aku juga senang waktu kau memutuskan ikut bersama kami."

Aku mendesah, melorot menyandar ke batu. Rasa bersalah mendekapku.

"Truck betul-betul tidak punya siapa-siapa lagi, Leila. Bahkan Aria mungkin saja ...." Alatas menelan ludah. "Aku tidak mau terkesan pesimis untuk yang ini, tapi gadis itu kemungkinan besar sudah mati. Bahkan Truck saja yakin gadis itu sudah mati. Dan, kalau memang benar begitu, kita semua tahu Bintara tidak bakal memeluk Truck buat menenangkannya. Kita yang mesti berada di sana buatnya."

"Baiklah." Aku menghela napas. Alatas menyengir dan mencoba menciumku, tetapi aku berkelit karena masih jengkel. "Kompleks 1. Entah bagaimana caranya kita bisa ke sana."

"T. Ed?" usul Alatas.

"Sir Ted bilang kita tidak bisa ke Kompleks 1 untuk sementara karena T. Ed sedang krisis sekarang, dan di Kompleks 1 itu banyak markas Agen Herde dan fasilitas NC." Aku mengingatkannya. "Jadi mustahil Sir Ted bakal mau memberi kita akses, kecuali ...."

Aku memandangi tanah retak. Keningku berkerut. Rasanya aku mengingat sesuatu ....

"Teleporter." Aku tersadar. "Mereka punya akses ke sana! Kau ingat waktu kita terdampar di pantai pulau ini dengan seorang anak nelayan bernama Harun? Waktu Op dan Neil memberi kita pilihan Kompleks mana yang mau kita datangi?"

Alatas menganga. "Aku ingat Harun. Aku ingat Op dan Neil. Tapi aku tidak paham kau mau mengarah ke mana Leila."

Aku mencakar udara karena wajah Alatas sudah cukup lebam untuk dicakar. "Coba ingat lagi! Waktu itu Harun bertengkar denganku karena aku membuat keluarganya terlambat berlayar! Neil memberi kita pilihan—"

Kompleks 4 atau Kompleks 1. Erion berujar sambil menggaruk-garuk ke balik bajunya. Kalau tidak salah, Neil menawarkan begitu. Antara Kompleks 1, Kompleks 4, atau Kompleks 7. Terus si Harun pilih Kompleks 1, kita ke Kompleks 4.

Aku menatap Alatas dengan pandangan berduka. "Bahkan anak 10 tahun yang teler masih lebih pandai darimu."

Alatas memberengut merajuk, jadi aku memberitahunya. Sekarang, kami tidak punya pilihan. Aku tidak bisa mengontak orang T. Ed, tetapi aku mungkin bisa menghubungi Op kalau ....

"Mencari Embre," kataku. Aku menoleh ke arah tebing yang dipenuhi rangka besi, langkan-langkan dan anak tangga—markas koloni ada di sana. Embre mungkin ada di dalamnya. "Masalahnya, bagaimana kita menemukannya tanpa tertangkap lagi? Bagaimana kita meyakinkannya—dia membenci Op, tapi hanya dia yang tahu cara menghubungi si Teleporter."

Alatas menggaruk tengkuknya. "Aku barangkali tahu dia ada di mana."

Aku mengerjap. "Di mana?"

Alatas menunjuk ke balik kabut, berlawanan arah dari markas koloni. "Itu mengarah ke lembah yang lebih hijau dan air terjun, ya, 'kan? Juga arena Calor di mana para Fervent tawanan saling bunuh demi hiburan waktu Pyro masih berkuasa di sini. Kurasa, Embre di sana, dengan temannya yang Multi-fervent—si Cybra."

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Detektor-ku aneh, ingat?" Alatas mengangkat bahunya. "Aku tidak pandai melacak Fervor asing apa pun dari jarak jauh karena tercampur dengan Fervor orang mati juga, tapi kalau Fervent yang sudah kukenal, aku lebih mudah merasakannya dari jarak jauh sekali pun dan sangat jelas—aku sampai mengenali siapa orangnya dan di mana posisi persisnya."

Erion mengangkat alisnya. Alatas bakal pandai sekali main petak umpet sama kita kalau dia yang jaga.

"Oke." Aku berdiri setelah memastikan tidak ada prajurit NC mau pun Calor di sekitar. Aku ingat mereka sempat menyinggung drone pengintai di sini, tetapi kurasa kami harus ambil risiko. "Saatnya negosiasi dengan Embre."

"Satu masalah lagi," kata Alatas. Wajahnya mengerut tidak suka. "Bukan hanya Embre dan Cybra ... aku merasakan yang lain juga di sana. Tadinya aku tidak yakin, tetapi kurasa mereka sedang bersama Pyro."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Fanart libur sebentar karena file-nya belum sempat dirapikan ;-; Sudah tengah malam dan mata saya tidak sanggup ;-;


Coming soon: RavAges Buku #1 terbit di Erye Art

Open PO segera

https://youtu.be/qzq3pzGUnjc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro