#88

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #88 | 3620 words |

"ADA YANG tertembak! Medis—kami butuh medis di sini!"

Tanganku tidak bisa berhenti berkeringat. Bahkan setelah penambahan tiga anggota baru di regu kami, yang kesemuanya juga sudah mati sekarang, kami kembali kehilangan seorang rekan.

Sekarang, jika kau berpikir kami berada di tengah misi pencarian Relevia lainnya, kau salah. Kami tengah berada di misi lain, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelulusan dari PFD.

Kami mencoba kabur dari PFD.

Segalanya mulai terasa janggal sejak kepergian beberapa guru yang berhenti mendadak beberapa bulan lalu, digantikan guru-guru lain yang jauh dari kata kompeten. Misi kelulusan mulai ditambah: 1) temukan Relevia, Brainware, dan Multi-fervent liar, lalu bunuh semua target di tempat; 2) temukan Peredam dan X liar, lalu bawa ke markas besar. Sejak itu, angka kelulusan merosot ke angka nol.

Kami baru tahu belakangan bahwa T. Ed menghentikan penelitian terhadap Relevia karena dianggap berbahaya dan merugikan, maka Kompleks Sentral memutuskan untuk membasmi mereka bersama dengan Fervent lain yang dianggap memiliki potensi perusak yang serupa.

Sedangkan Peredam dan X diambil, dibawa entah ke mana—yang kemudian kami ketahui pula mereka 'disemai'. Artinya, para Fervent liar itu diawetkan, diambil beberapa bagian tubuhnya sebagai sampel untuk pembuatan peranti khusus: Arka yang mampu meredam beberapa jenis Fervor seperti Peredam, dan Lenx semacam lensa kontak dengan fungsi hampir setara dengan X aslinya.

Menangkap Relevia untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu satu hal, tetapi diperintahkan membunuh mereka? Tindakan itu merusak kami luar-dalam.

Pada bulan ketiga setelah aku menjadi ketua regu, PFD sudah kehilangan hampir setengah dari siswanya karena misi kelulusan itu. Anehnya, tidak ada lagi siswa baru yang datang. Jumlah kami berkurang drastis, barak-barak kosong mulai beralih fungsi sebagai gudang senjata dan sampel tubuh Fervent yang diawetkan, dan beberapa siswa yang lebih tua mulai terpecah menjadi dua kubu: yang ingin keluar dari PFD, dan yang ingin bertahan. Aku tak pernah tahu di mana aku berdiri.

Namun, Aria tahu—dia masih ingin ke Kompleks Sentral, tetapi tidak lagi melalui jalur kelulusan PFD. Malam itu, dia menyusup ke bagian anak laki-laki, masuk ke dalam selimutku, membuatku kaget setengah mati. Aku hampir berguling jatuh dari atas tempat tidur tingkatku (padahal ranjangku ada di tingkat teratas) saat Aria berbisik, "Kabur, yuk."

Di bawah, Vida menunggu dengan ransel besar yang membuatnya terbungkuk-bungkuk. Di tangannya, tergenggam lightstick redup berwarna neon, membuat seisi kamar barak tampak mencekam.

"Kalau kau tidak mau, aku pergi berdua saja dengan Vida—tapi aku harus mencekikmu lebih dulu supaya kau tidak teriak." Gadis itu tersenyum seram. "Kalau kalau kau setuju, Vida siap mementung kepala Mada, Hayden, dan Erill sampai mereka bangun. Kita bisa berangkat sekarang juga."

"Tapi—"

"Tidak ada waktu, Tim," bisiknya dengan lebih mendesak. "Para senior sudah siap juga malam ini—hanya empat orang senior yang masih keras kepala untuk tinggal bersama regu mereka, dan salah satunya adalah mantan ketua kita, si Aziri. Pikirkan, kau mau kutinggal di sini, dengan Aziri yang mengawasi punggungmu?"

"Tidak mau."

"Bagus. Ayo."

"Tunggu dulu!" Aku mencengkram tangannya. "Kenapa harus malam ini?! Kita semua lelah—Hayden masih mabuk karena melacak Relevia seharian!"

"Kau sudah dengar beritanya, 'kan? Ada pasukan militer masuk ke kota—seragam hitam, tidak berlambang, masuk lewat jalur laut dan mulai mengambil alih bandara. Itu pasti orang-orang Kompleks Sentral! Berita itu benar! Populasi Fervent naik di kalangan manusia normal, dan Kompleks Sentral sudah turun tangan. Penyekatan wilayah bahkan sudah berjalan: Kompleks untuk pemukiman orang normal dan Garis Merah untuk wilayah khusus Fervent. Kita bakal kesulitan membaur kalau penyekatannya meluas. Jadi, kita harus bergegas."

Aku menekuri jari tanganku di atas selimut. Pak Musa sudah pernah mengatakan ini semua, tetapi aku tak berkata apa-apa pada Aria dan yang lainnya karena kukira kami masih punya waktu. Kupikir, kami akan sudah lulus saat semua itu terjadi dan sudah aman di Kompleks Sentral. Tak kusangka semua ucapannya akan terjadi secepat ini.

"Ayolah, Tim! Nasib kita mulai tidak jelas di sini! Aku tidak suka guru-guru baru yang mereka bawa! Dan aku jelas tidak suka membunuhi sesama Fervent meski mereka Fervent liar. Aku juga sudah muak main kucing-kucingan dengan Relevia—aku hampir yakin mereka sebetulnya tidak ada, atau malah sudah punah! Pokoknya, kita harus pergi sekarang karena para senior itu—"

Suara gemuruh terdengar—jauh, tetapi cukup nyaring, mirip guntur yang mengawali hujan.

"Mereka sudah mulai." Aria bergegas menuruni tempat tidur tingkatku. "Ayo, Tim! Detailnya kujelaskan di jalan."

"Jadi, ini alasanmu menghabiskan waktu dengan para senior itu belakangan ini? Karena kau mau ikut rencana gila mereka? Di belakang punggungku! Tidakkah kau seharusnya merundingkan ini denganku dulu—aku ketua!" Namun, Aria sudah mengguncangkan Erill untuk membangunkannya, sementara Vida bergerak dengan lightstick terayun ke kepala Mada dan Hayden.

Setelah semuanya bangun, kami mengenakan seragam dan pelindung. Meski sudah mencuci muka sekali pun, kami tetap terseok dan terkantuk-kantuk. Aku mesti menampar Hayden dua kali sampai dia membuka mata untuk melihat pelindung perutnya terpasang terbalik.

Aria rupanya mengemasi barang-barang kami diam-diam, jadi kami tinggal pergi. Perbuatannya dan Vida yang sembunyi-sembunyi membuatku marah, tetapi aku tidak punya waktu karena kami langsung keluar ke koridor, menuju salah satu pintu ganda, dan berlari menuju halaman utama. Dari sisi terjauh bangunan, asap membumbung. Kaca jendela pecah, menampakkan cahaya merah panas yang mulai melalap seisi ruangan. Kilat menyambar-nyambar di dalamnya, lalu terdengar ledakan, dan api membesar ke jendela lain.

"Mereka mencoba merebut senjata dari gudang senjata." Aria memberi tahu.

"Mencoba?!" Aku meradang. "Apakah rencana kalian sudah disimulasikan? Apakah sudah diperhitungkan keberhasilan serta kegagalannya? Apa kalian menyiapkan rencana cadangan kalau yang ini gagal?!"

Aria merengut. "Makanya, tadi kubilang bergegas supaya kita bisa membantu mereka!"

Dari pintu ganda lain, regu-regu lainnya bermunculan, tampak sama kebingungannya dengan kami, kecuali ketua dan wakil mereka yang meneriakkan perintah-perintah untuk menyebar: berjaga dari gerbang dan bersiap menyokong para senior yang menyusupi gudang senjata.

Aku mendorong jauh kejengkelan dan rasa lelah, lalu meneriakkan perintah yang sama pada reguku sendiri. Alarm mulai meraung, beberapa lampu sorot jatuh ke tengah lapangan, menangkap beberapa anak yang mulai berlarian. Pengeras suara dari menara-menara pengintai memberi kami peringatan untuk kembali ke dalam barak. Kami mengabaikannya.

Aria dan Erill kuposisikan untuk tetap di depan gerbang, sementara aku, Vida, Mada, dan Hayden berlari ke arah gudang senjata. Mada terus berteriak-teriak, "Tapi kita belum pernah menyentuh senjata!"

Aku juga tidak pernah. Di antara kami, hanya Aziri si mantan ketua yang pernah—itu pun hanya peluru karet. Senjata paling berbahaya yang pernah dibawanya hanya peledak jarak jauh, yang dipakainya pada misi terakhirnya bersama kami sebelum dipindahtugaskan. Kuabaikan rengekan Mada karena segalanya sudah telanjur terjadi, yang terpenting adalah terus bergerak karena lampu sorot itu mulai mendapati kami yang berlari di sisi-sisi teras.

Tembakan pertama dilepas dan mengenai kaki seorang anak dari regu lain yang jaraknya hanya serentangan tangan dari kami. Pada saat itulah, selama sepernano detik, semua anak membeku.

Aku mendongak dan melihat siluet para penjaga di atas salah satu menara pengintai dengan senjata laras panjang siaga, mengarah ke halaman utama. Menara lainnya juga begitu. Padahal, tidak pernah ada tembakan selama ini. Terlepas dari program pembelajaran dan latihan keras serta misi berbahaya, guru atau tim penjaga tidak pernah menembaki siswanya.

Dalam beberapa kasus anak-anak nakal yang keluar untuk sekadar keliaran malam-malam, atau penyusup dari luar, beberapa tim jaga malam selalu diturunkan untuk menangkap mereka. Bahkan di saat siswa nakal itu membawa-bawa pistol curian, penjaga selalu memiliki cara untuk melumpuhkan mereka dengan tangan kosong, tanpa cedera. Akibatnya memang tidak pernah main-main—hukuman di ruang isolasi, pengurangan jatah makan untuk semua anggota regu, dan dikirim ke laboratorium pusat sebagai relawan PF13. Namun, tidak pernah ada yang ditembak.

Aku pernah mengintip kelas menembak beberapa kali khusus untuk anak berumur 16 ke atas. Tembakan pertama yang harus dilepas adalah tembakan peringatan—itu selalu ditekankan. Tembakan ke atas, bukan ke badan target.

Namun, tembakan kedua dilepaskan, dan salah satu senior di depan kami yang hampir mencapai jendela gudang senjata pun kehilangan kepalanya.

Histeria mulai pecah, kepanikan menyebar dengan cepat. Teriakan, tangisan, dan langkah-langkah tergesa. Beberapa anak Steeler yang cukup berpengalaman segera mengincar menara-menara pengintai, tetapi tidak dengan Steeler dalam reguku—Vida masih 8 tahun dan dilanda syok berat. Gadis itu nyaris tidak bisa bergerak dengan air mata membanjiri pipinya. Dia harus ditarik oleh Mada untuk terus berlari di belakangku.

Tembakan bertubi dilepaskan, lalu kudengar teriakan-teriakan yang bercampur aduk. Raungan di mana-mana.

"Ada yang tertembak!"

"Medis—kami butuh medis di sini!"

"Reguku habis—"

"KETUA!"

Aku butuh dua detik lamanya untuk mengenali salah satunya adalah teriakan Mada di belakangku.

Aku menoleh, dan dunia seperti berhenti berputar di sekitarku. Mada dan Vida bersimpuh sambil terisak-isak.

Meringkuk di tanah di depan mereka, adalah Hayden yang bergetar hebat dengan darah memenuhi mulutnya. Lalu, kusadari tangannya mencengkram bajunya, warna merah gelap menyebar di sana.

Pelindung di balik bajunya—apakah anak itu belum membenarkannya tadi?!

Aria dan Erill meninggalkan posisi dan menghampiri kami begitu melihat Hayden tertembak. Aku juga langsung kembali, tetapi jarak kami terlalu jauh.

"Ketua ...." Seluruh tubuhnya berkedut. Bibir Hayden bergerak. Bahkan meski aku tak bisa mendengarnya dari jarak sejauh ini dan di antara hiruk-pikuk, aku tahu dia terus mengucapkan, "Ketua ...."

"Buka baju dan pelindung perutnya!" Aku berteriak dan berusaha menyadarkan mereka yang masih syok di sisi Hayden, masih sambil berlari mati-matian dan berzig-zag untuk menghindari hujan peluru. "Periksa lukanya! Tutup—" Satu tembakan mendesing di atas kepalaku, membuatku berjongkok sesaat. Aku berdiri lagi dan kembali berlari. "Tutup lukanya yang berdarah!"

Aria melakukannya, tetapi darah Hayden sudah menggenang. Begitu aku berhasil tiba, aku bersimpuh di sisi Hayden.

"Ketua—" Tangan anak itu menangkap tanganku, matanya membelalak ketakutan, begitu berharap dan putus asa di saat bersamaan. Napasnya putus-putus. "Ketua ...."

"Tidak apa-apa," kataku, mencoba tenang. Cyone-ku menutup lukanya perlahan. "Peluru itu menembus badanmu, tapi aku bisa menutup—"

Tembakan persetan itu dilepaskan kembali dan lagi-lagi mengenai Hayden. Tepat di lehernya. Darahnya menyembur. Mada menjerit dan menyeret pantatnya mundur, Vida histeris dan berlari ke belakang punggung Aria. Erill menganga dan terpaku menatap Hayden.

Bahkan aku pun membeku.

Hayden menggeliat. Untuk sesaat, anak itu masih bertahan. Matanya membalik ke atas, membeliak ke langit. Bibirnya bergerak tanpa suara, tetapi dia jelas tak lagi memanggil namaku. Gerak bibirnya itu hanya berarti satu hal: Ibu.

Itulah kali pertama aku melihat seorang anak di PFD memanggil kembali salah satu orang tuanya. Dia tewas seketika setelahnya.

Penembak tak berotak di atas menara pengintai melepaskan tembakan lagi, kali ini mengintai Erill yang lumpuh tak bergerak. Aria menariknya tepat waktu hingga tembakan meleset menyerempet kaki Erill.

Aku berdiri dan memunggungi anggota reguku, menutup mereka dari pandangan si penembak. Aku mengangkat tangan dan berteriak keras-keras bahwa kami akan mundur kembali ke barak. Aku melambai sebagai tanda menyerah—mustahil mereka tak melihatnya dengan teropong pada senapan, tetapi tembakan tetap dilepaskan, menyerempetku di bahu.

"Mundur!" Aku mendorong anggota reguku menepi. Vida menjerit dan harus kugendong di punggung karena dia tidak mau meninggalkan jasad Hayden.

Kami bergerak dengan lambat dan sesekali berhenti, tetapi kami berhasil mencapai salah satu jendela yang ruangannya belum dijamah api. Di dalam, beberapa anak yang lebih tua sedang menjarah kotak-kotak kecil seperti kotak cincin. Aku menurunkan Vida, lalu memecahkan kaca jendelanya dengan siku. Aku baru melompat masuk saat seorang senior dari regu lain melemparkan salah satu kotak ke arahku. Katanya, "Ambil itu—mulai sekarang, misi kabur ini jadi misi individu dan bukan lagi misi bersama atau misi regu."

Aku melihat anak lainnya yang bergerak secara terpisah darinya. Tampaknya, mereka semua senior. Aku mengernyit. "Kau bisa bicara begitu karena semua anggota regumu sudah mati, 'kan?"

Dia menatap anggota reguku yang masih berdiri di luar jendela, lalu merengut. "Kalau kau sayang nyawa, kau akan bubarkan regumu dan bergerak sendiri-sendiri mulai dari sini. Kau tidak lihat di luar? Mereka menembaki kita! Mereka bukan guru! Mereka itu tentara! Aku sudah peringatkan kalian semua bahwa kita seharusnya kabur jauh-jauh hari—tidak ada yang mendengarkanku! Dan akan lebih banyak pasukan yang datang sebentar lagi untuk membantai kita. Bergerak dalam grup akan membuat kalian terbunuh. Hal terbaik yang bisa kau lakukan sebagai ketua adalah melepaskan mereka yang membebani."

Mengabaikannya, aku melompat keluar dan mengeluarkan isi kotak yang diberikannya. Lensa kontak—Lenx.

"Pakai ini," kataku pada Mada. "Ini akan membuatmu melihat lebih jelas, mengurangi kesalahan dari buta arahmu. Bantu aku masuk ke menara pengintai."

"Tunggu!" Aria menarik tanganku sementara Mada memakai kontak lensanya susah payah, dibantu oleh Erill. "Kau mau apa?"

"Kau lindungi mereka." Kuabaikan pertanyaannya. Kutunjuk Vida dan Erill, lalu menuding gerbang yang seolah seratus kilometer jauhnya. "Dan lari ke gerbang luar. Jangan berhenti untuk apa pun. Kami akan menyusul."

Mada berseru sambil mengerjap-ngerjap ke arah Erill dan aku. "Keren banget! Aku bisa melihat ke dalam baju kalian!"

Dia mencoba menoleh ke arah Aria, maka aku menampar kepalanya dan memaksanya menatap ke menara pengintai. "Ke sana! Sekali lagi kau macam-macam, akan kucungkil Lenx itu bersama bola matamu!"

Tanpa membuang waktu, Mada meneleportasikanku ke atas menara pengintai yang melepaskan tembakan pada Hayden. Begitu mencapainya, Mada buru-buru bersembunyi ke balik salah satu tiang, sementara aku mengangkat tangan untuk melindungi kepala dari berondongan peluru. Kemarahan membuat lukaku menutup lebih cepat, dan rentetan tembakan itu hanya menyerempet dengan payahnya.

Lalu, kusadari alasan banyaknya tembakan yang meleset ... para penjaga itu memegangi senjata mereka dengan tangan gemetar dan wajah pucat.

Mereka takut. Mereka takut, seperti halnya kami.

Itu tidak masuk akal—sudah bertahun-tahun kami di sini, tidak pernah ada pengajar atau staf yang takut pada kami. Namun, jika dipikir lagi, orang-orang ini adalah pekerja baru—pekerja yang berdatangan setelah berbulan lalu banyak guru, penjaga, dan pengawas yang berhenti mendadak. Mereka berpakaian serba hitam, dengan sabuk berisi pistol dan amunisi yang berlebihan. Lalu kusadari para pekerja baru ini hanya sekumpulan orang dewasa pengecut.

Orang dewasa pengecut yang menembaki anak-anak.

Aku meraung dan merebut salah satu senjata, menghantamkan popornya ke wajah si penjaga menara, meyakini dari posisinya berdiri bahwa dialah yang membunuh Hayden. Aku berputar sambil mengayun senjata, memukuli siapa pun yang berdiri terlalu dekat. Salah satu tembakan mengenaiku di paha dan menyerempet pipiku, membuatku terenyak sesaat.

Aku menggeram dan mencungkil sendiri proyektil yang bersarang di kakiku dengan jari tangan. Semua lukaku menutup tak sampai setengah menit, membuat dua penjaga yang tersisa itu menjerit. Bahkan sebelum jeritan mereka putus, aku menghantam keduanya dengan gagang senjata mereka sendiri.

Begitu menara pengintai ini kosong, Mada keluar dari persembunyiannya sambil membelalak padaku.

"Menara berikutnya," kataku.

"Sudah cukup, 'kan?" ujarnya dengan suara bergetar. "Kau tidak perlu menghajar semua—"

"Menara berikutnya!" ulangku lebih keras.

Mada melirik ke arah gerbang keluar, menatap penuh harap ke arah anggota regu kami yang barangkali sudah di sana dan menunggu. Aku mencengkram rahangnya dan memaksanya menatapku.

"Kubilang, menara berikutnya. Jika salah teleportasi, kau akan kulempar."

Dengan sekujur tubuhnya yang gemetaran, Mada meneleportasikanku ke menara lain. Aku tak menunggu orang-orang itu menyadariku—mereka sedang sibuk menembaki siswa lain di bawah sana. Salah satunya menyentuh telinganya, berbicara melalui earpiece: "—ya, bawa bomnya segera. Tempat ini sudah tidak tertolong. Dan jangan lupa jemputan kami—"

Perkataanya terputus saat aku mencengkram tangannya. Aku mengangkatnya melampaui pagar menara. Kupaksa pria itu menggenggam ujung pagar, memaksanya bergelantungan di sana. Saat teman-temannya menyadariku, aku menarik penjaga terdekat dan menjadikannya tameng hingga semua peluru yang dilepaskan membunuhnya. Aku menyerbu dua penjaga dan membenturkan kepala mereka pada satu sama lain sampai mereka pingsan, lantas merebut senjata si penjaga terakhir sampai dia mengangkat kedua tangan.

"A-aku bisa menolongmu! Jangan tembak!"

Bodoh, aku bahkan tidak tahu pelatuknya di mana. Aku hanya mengangkat senjata itu dan mencengkramnya dengan pose menembak. Namun, pria itu tampaknya percaya aku bakal menembaknya.

"Akan ada helikopter yang mengevakuasi kami sebentar lagi, oke?" ujarnya. "K-kau bisa mengambil seragam salah satu temanku, menyamar jadi penjaga juga, dan ikut denganku naik helikopter itu. Ada kapal feri yang berangkat ke Kompleks Sentral lusa—kau pasti mau ikut, 'kan? Ya, 'kan? Pulau ini terpencil dan tidak berpenghuni—tidak akan ada yang menolongmu meski kau lolos dari sini. Lagi pula, Kompleks Sentral berencana akan membumihanguskan tempat ini sebentar lagi."

"Apa?" Mada keluar dari persembunyiannya. "Kenapa?!"

Si penjaga terdistraksi oleh kemunculan Mada. Kumanfaatkan saat itu untuk memukulnya sampai tak sadarkan diri.

"Bagian transportasi!" Aku memerintah Mada dan mencengkram bahunya. "Lekas—mobil-mobil itu pasti sebentar lagi habis dijarah!"

Benar saja. Saat kami sampai di sana, garasi hampir kosong. Tersisa satu mobil boks berlabel sandang yang biasanya mengantarkan pakaian baru untuk kami, tetapi aku tidak bergerak cukup cepat karena salah satu anak mendahuluiku dengan kunci bergemerincing di tangannya.

"Hei!" Aku berteriak. "Bolehkah kami—"

"Tidak!" jawabnya buru-buru. "Anggota reguku ada sebelas orang dan mereka luka-luka di luar sana! Kita tidak bisa berjejalan—"

"Aku Cyone!"

Dia berpikir sebentar dan menyalakan mesin mobil. "Cuma kau—oke."

Mada mengangkat kedua tangannya, memprotes, "Kami cuma berlima! Regu kami bisa membantumu!"

"Membantu? Aku tahu kau, Mada—kau terkenal buta arah! Dan cewek Steeler kalian terlalu muda sampai-sampai tak berguna!"

Aku menyingsing lengan baju dan mengepalkan tangan, berlari menghampirinya, tetapi orang itu sudah tancap gas dan melaju keluar.

"Moga-moga ban kalian pecah—keempatnya!" Mada berteriak seraya ikut berlari di sisiku. "Semoga beruntung mencari tambal ban di sini, dasar kau—"

Namun, mobil itu sudah menjauh.

Kami keluar dan menyusun rencana untuk menjarah helikopter evakuasi yang dibicarakan si penjaga, tetapi tepat di depan pintu garasi yang terbuka lebar, terparkir sebuah mobil truk. Baknya tersambung dengan bagian depannya dan beratapkan kain hitam yang dipaku. Di jok pengemudi, mantan ketua regu kami duduk dengan gigi mengapit rokok.

"Halo, mantan anggota," kata Aziri seraya menjentikkan abu rokok ke kakiku. "Butuh tumpangan?"

Aku menggeram, tetapi Mada mencengkram tanganku penuh harap.

"Ya, kami butuh," ujar Mada.

Aziri terbahak. "Apa itu di matamu? Kau mencoba bersolek?"

"Ini Lenx—"

"Aku tahu apa itu, bodoh." Aziri mengubah ekspresi wajahnya begitu cepat hingga terkesan tidak normal. Sedetik dia tergelak dengan kepala terdongak, detik berikutnya dia memasang raut seolah hendak mengunyah Mada bersama rokoknya. "Aku hanya sedang menghinamu."

Aku sudah siap berkelahi meski kemungkinannya kecil aku bisa menandingi Aziri—dia bisa saja langsung melemparku ke tengah jarak tembak penjaga dengan telekinesisnya. Namun, pemuda itu ternyata mengedik dan berkata, "Cepat naik."

Aku tidak lagi punya ruang di kepalaku untuk mencemaskan kemungkinan dia menusukku begitu kami masuk—Aria dan yang lainnya mungkin masih menunggu di depan gerbang. Aku dan Mada melompat masuk. Kami berdesakkan di depan sementara Aziri mulai tancap gas.

Aziri memutar kemudi tanpa memikirkan kami. Kepalaku dan kepala Mada berbenturan dua kali, lalu wajah Mada menjiplak kaca depan saat Aziri memutari bangunan. Saat jalan kami mulai lurus, mataku menangkap beberapa luka tusuk kecil yang melepuh di lengan Aziri karena lengan bajunya tergulung. Lalu aku menyadari lagi: sejak kapan Aziri merokok?

"Itu—"

"PF13." Dia menjawab seolah tahu apa yang mengganggu pikiranku. "Bangsat mereka semua."

"Tapi kau Wakil di regu baru—"

"Bukan staf yang menjebloskanku—aku yang mengajukan diri jadi relawan, bodoh kau. Kau kira aku mau jadi orang nomor dua di regu yang tidak berguna itu? Setelah semua yang kubangun dengan susah payah? Aku harus dapat kepercayaan lagi. Menjadi relawan PF13 adalah satu-satunya jalan."

Mataku menulusuri luka tusuknya yang barangkali adalah bekas injeksi. "Tidak berhasil?"

"Tidak," geramnya. "Dua anak Multi-fervent yang masuk lab berbarengan denganku berhasil melalui masa kritis, satu Fervor mereka hilang, tetapi kekuatan lainnya jadi lebih terfokus dan mematikan—mereka langsung masuk Kompleks Sentral. Aku? Obat goblok itu menanamkan tumor di kepalaku."

Mada menatap Aziri, untuk pertama kalinya tampak bersimpati. Katanya, "Tim dan Aria pasti bisa menyembuhkanmu, kok."

Aziri terkekeh, lebih seperti mengejek ketimbang senang.

Di depan gerbang, anggota regu kami menunggu di bawah bayang-bayang pepohonan. Erill berdiri timpang, tampaknya luka kakinya lebih dalam dari yang kukira. Aria mengalungkan satu tangannya di bahu Erill, dan tangan lain di bahu Vida yang masih sesenggukan.

"Vida itu," kata Aziri, "cengengnya keterlaluan. Fervor berpotensi, tapi mentalnya lemah. Kau mungkin mau membuangnya sebelum dia jadi pemberat di sepatu kalian."

Aziri menghentikan mobil di depan anggota regu kami, lalu melompat turun, membiarkan Aria mengambil alih kemudi. Aria terpana sesaat, mengamati Aziri.

"Kau kenapa?" tanya gadis itu cemas. "Kau tampak ... sakit."

Aziri meludah ke samping. Dia meraih sebatang lagi rokok yang agak penyet dari sakunya, menyalakannya dengan pemantik. "Enyah kalian."

Saat semua orang sudah masuk—Aria dan Vida di depan, kami para cowok di belakang—kusingkap kain penutup bak truk dan mengernyit kepada Aziri. "Kau tidak ikut?"

"Dan menjaga sekumpulan badut ini?" Dia mengibaskan tangan ke kami semua, lalu menyengir. Kusadari beberapa giginya telah tanggal, gigi yang tersisa tampak kehitaman, dan bagian dalam mulutnya berdarah. "Tidak, terima kasih. Mereka bebanmu sekarang."

"Dan bagaimana denganmu?"

Aziri yang tengah tersaruk kembali dan masuk ke dalam gerbang pun menoleh. "Aku? Aku akan menonton tempat ini runtuh dan meledak."

"Menonton?" ulangku. "Dari dalam?"

"Kursi terdepan."

Selama mobil kami melaju, aku masih mengamati Aziri dan bangunan muram PFD yang telah menjadi rumahku selama bertahun-tahun. Aku memaksa Mada melepaskan Lenx-nya, lalu memakai benda itu di mataku. Aku butuh sepuluh detik untuk beradaptasi. Tak kubiarkan fokusku dibuyarkan oleh fungsi-fungsi penglihatan tembus pandangnya. Aku memicing, menatap ke arah PFD yang sudah sangat jauh di belakang. Sepuluh detik kemudian, aku mampu memusatkan penglihatanku dan melihat PFD dengan sangat jelas seolah-olah aku masih berdiri di depan pagarnya.

Jarak kami mungkin sudah dua kilometer dari PFD saat helikopter-helikopter itu berdatangan. Aziri duduk di atas pagar, rokok masih menyala di antara bibirnya.

Satu tangan Aziri terangkat melibas udara, dan beberapa helikopter yang seharusnya menyelamatkan para penjaga di menara pengintai pun oleng. Aziri berdiri di atas tiang pagar, menggerakkan kedua tangannya seperti menari di bawah langit malam, membuat lebih banyak helikopter berputar hilang kendali. Cahaya ledakan menerangi PFD saat dua helikopter saling hantam dan terbakar di udara.

Aku tidak bisa mendengar suaranya, tetapi kurasa Aziri tergelak saat para penjaga berlarian menjerit-jerit.

Dia menonton dari kursi depan saat semua helikopter jatuh. Salah satu helikopter itu pasti membawa bom yang direncanakan akan dijatuhkan ke PFD karena, sesaat kemudian, terjadi ledakan besar yang bunyinya sampai kepada kami. Aria sampai menepikan mobil, turun dari kursinya dan bertanya padaku, "Apa yang terjadi?"

Aku hanya bisa menggeleng, kehilangan kata-kata sembari melepaskan Lenx dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Kukira, aku tadi salah lihat, tetapi kurasa saat ledakan menyambarnya, Aziri merentangkan kedua tangannya dan melompat ke depan, menyambut api dan asap hitam.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Fanart ciamik╰(*'︶'*)╯♡
Ulululululululullulululululululululululululu

Thank u athsylla
( ˘⌣˘)♡(˘⌣˘ )

.

.

.

.

.

Thank u accantha
 (/▽\*)。o○♡

.

.

.

.

.

Para Hamba Tuhan yang tak ingin disebut namanya, thank u so much for sending these loves
 ('。• ω •。') ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro