#89

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca ceritanya ....

/QnA nyempil/

Silakan bertanya di inline comment di sini yaaaa

Pertanyaan menjurus spoiler tidak bisa saya jawab, jadi silakan menanyakan hal yang lain '-')/


| RavAges, #89 | 5906 words |

DI ATAS sungai yang berarus deras, menggelegak teraduk-aduk air terjun, bergelantungan kotak sel berjeruji setinggi satu setengah meter, tertambat dengan empat untai rantai yang terhubung pada cabang pohon tebal dan panjang, menjuntai sampai ke tengah-tengah aliran sungai. Di dalam penjara menakutkan itu, terkurung Pyro.

Cybra dan Embre berdiri di atas bebatuan sungai, tengah berbicara pada tahanan saat kami menginterupsi.

Aku mengira Embre dan Cybra akan mulai berteriak memanggil kawanannya. Namun, mereka hanya bertukar pandang saat melihat kami datang. Embre mendengkus jengkel. "Kalian berhasil kabur dari Bintara, aku tidak terkejut. Tapi dari anggota koloniku? Bagaimana bisa?"

"Brainware." Aku mengedikkan bahu.

"Brainware piyik sepertimu? Bisa memengaruhi para Calor terbaik di koloniku?"

"Para Calor terbaikmu itu lelah!" semburku kesal. "Kalau kau belum memerhatikan, mereka semua capek dan luka-luka! Menurutmu gara-gara keputusan siapa? Bergabung dengan Bintara—sekalian saja kalian mengembalikan Pyro ke posisinya jadi ketua koloni! Tidak bakal ada bedanya!"

"Aku suka itu," gumam Pyro dari penjaranya. Cybra melemparinya dengan kerikil, tetapi itu malah membuat Pyro menjadi. "Sini kalian—hadapi aku tanpa penghalang jeruji dan Arka sialan ini! Pengecut! Mau-maunya dikendalikan wanita dan bocah 10 tahun!"

Aku sudah menggulung lengan baju, tetapi Alatas menahanku dan mengingatkan tujuan awal kami. Kubiarkan pemuda itu menceritakan situasinya. Alatas juga berusaha meyakinkan Embre agar membantu kami terhubung dengan salah satu Teleporter (kalau bisa bukan Op, tambahku).

"Aku cuma tahu cara menghubungi Op." Embre menebas harapanku. Dia melipat kedua lengannya di depan dada. "Memang apa yang bisa kalian tawarkan pada kami? Dan perlu kuingatkan,"—dia memotong saat Alatas akan buka suara—"kami tidak pernah berhubungan baik dengan T. Ed Company. Kami sudah berulang kali mencoba mengibarkan bendera putih, tapi perjanjian damai selalu dilanggar."

Alatas membuka mulutnya, tetapi tidak bisa berkata-kata. Akhirnya, pemuda itu menatapku.

Aku mendekati Embre dan menunjuk wajahnya, "Dengar, Musa—"

Wajah Embre mengerut. "Kau panggil aku apa?"

"—kami mungkin tidak bisa menawarkan yang lebih baik lagi selain persekutuan dengan T. Ed Company, tapi Erion pernah menyelamatkan bokong kalian semua dari tirani dablek di sana itu. Itu sudah lebih dari yang pernah Bintara lakukan buat kalian!"

"Dablek?" Pyro menggeram.

"Dan lihat bagaimana cara kalian membalas anak itu—membuatnya overdosis dan alergi!" Aku menunjuk ke belakang, di mana Erion tengah duduk di tanah, kedua kakinya selonjoran. Dengan mata bengkak dan mengantuk, dia memandangi kedua telapak tangannya dengan serius. Ujarnya: Aku baru tahu garis di telapak tangan kananku beda sama yang di kiri.

"Dan biar aku bertanya padamu," kataku lagi seraya mempersempit jarak dengan Embre, "apakah T. Ed pernah menyandera anak-anak di bawah umur dari koloni kalian, dan membunuh mereka satu per satu sebagai ancaman?"

Cybra bergerak gelisah. Tangannya terangkat, berbicara dengan Embre melalui bahasa isyarat. Meski tak paham artinya, aku bisa mendengar suara dari pikirannya: T. Ed mungkin lebih efektif karena bergabungnya para Teleporter.

"Para Teleporter tak beradab, maksudmu?" kata Embre, lalu aku teringat dia juga punya masalah personal dengan Op.

"Kau bilang, T. Ed pernah menahan beberapa Calor dari kolonimu?" Aku mengungkit. "Bagaimana kalau T. Ed mengembalikan para Calor itu ke koloni?"

Embre tampak mempertimbangkannya.

Di atas arus sungai, Pyro terkekeh. "Tak akan! Semua yang dijerat T. Ed Company akan mereka anggap aset dan takkan bisa keluar—termasuk kalian!"

Aku meraih kerikil di sisi sungai dan melemparkannya ke dalam kurungan Pyro. "Kucacah aset-mu kalau kau tak diam!"

Pyro mengguncang-guncangkan jeruji selnya. "Kemari kau, wanita!"

"Leila, ingat—kita mesti mengejar Truck." Alatas menahan tanganku. "Mari, emm ... berdiskusi dengan tenang agar tak ada aset yang dicacah."

"Truck?" Embre mengerutkan keningnya. "Dia sudah dibawa Komandan?"

"Ya." Aku berucap. "Kenapa kau terkejut? Oh, betul, karena kau tak melihatnya. Karena kau di sini, ambil aman dan menjauhi kericuhan daripada berada bersama anggota kolonimu. Sama seperti yang selalu kau lakukan—meninggalkan anak-anak didikmu."

Embre tampak geram sampai wajahnya memerah. Dia pasti paham sindiranku, tetapi memutuskan untuk tak mengacuhkannya. "Aku di sini karena hanya aku yang tahu di mana ayahmu, ingat? Di dalam pesawat Bintara ada seorang Brainware, dan satu-satunya alasanku membiarkan kalian tertangkap karena kau juga Brainware! Aku berharap kau entah bagaimana bisa mengelabuinya!"

Aku terkesiap. Aku menggigit bibir keras-keras dan mendelik Alatas. Pemuda itu juga menatapku dengan bibir yang berucap tanpa suara, O-ow.

"Mereka sedang mengumpulkan Cyone," kata Embre, tak menyadari ekspresi kami yang jadi gelap. Kepalanya mengedik pada Pyro. "Pyro bilang, itu ada dalam salah satu agenda Komandan: para Fervent liar yang terdampak PF13 disembuhkan agar mereka bisa diberdayakan lagi dan menggantikan posisi manusia normal."

"Dan kau berjanji membebaskanku dari sini kalau aku memberimu informasi itu!" Pyro berusaha melesakkan wajahnya ke antara celah jeruji. "Tepati janjimu!"

Embre berdecak. "Aku memang akan membebaskanmu, tapi nanti, kalau kau sudah berjanggut putih dan keriput di dalam sana. Kira-kira 60 atau 70 tahun lagi."

"Sialan kau, Embre!"

"Lain kali, perjelaslah kalau kau membuat perjanjian dengan seseorang. Jangan lupa, dulu kita sering dibodohi dalam perjanjian dengan Bintara dan T. Ed karena kau dongok."

Cybra menyenggol Embre, lalu menunjuk kami. Kata Embre, "Kenapa?"

"Aku mungkin telah melakukan sedikit kesalahan," kataku seraya meremas-remas jari tanganku sendiri. "Aku ... kayaknya tak sengaja, tanpa niat, hanya karena panik, dan terdesak—"

"Katakan yang jelas—"

"Aku memberi tahu Pascal perihal ayahku."

Sedetik, Embre melongo. Detik berikutnya, api menjulang dari dirinya. Embre meledak dalam pusaran kemarahan, membuatnya jadi tampak seperti tongkat cahaya sebenderang matahari setinggi hampir tiga meter. Suaranya terdistorsi, "Apa yang telah kaulakukan?!"

Kami berjengit mundur. Alatas memanggil bongkahan baja dari dalam tanah untuk merintangi Embre dariku, tetapi logam itu memanas di depan wajahku sampai-sampai aku merasa seperti sedang digoreng sampai garing.

"Aku tidak punya pilihan!" Aku menjerit panik. Rumput mulai mengering, air sungai beruap hangat, Erion mengeluhkan udara panas di belakangku, dan ujung sepatu Alatas terbakar karena terlalu dekat sampai dia mesti menendang-nendang tanah untuk memadamkannya. "Hentikan itu! Erion membiarkanmu memakai choker itu bukan untuk jadi tukang gertak seperti Pyro!"

Embre mulai meredakan apinya perlahan, tetapi yang memadamkannya sepenuhnya adalah semburan air sungai yang menerpa kami mendadak. Airnya begitu hangat, berupa gelombang setinggi satu setengah meter. Aku tahu Erion yang melakukan ini, mungkin gerakan spontan di luar kesadarannya karena rasa panas karena tak berapa lama kemudian aku mendengarnya menyumpah kaget.

Kami semua batuk-batuk dan meludahkan air saat gelombang menyurut. Kuhampiri Erion yang masih tampak syok. "Kau tidak apa-apa?"

Tidak apa-apa, katanya sambil mengusap muka yang basah kuyup. Air menetes-netes dari rambut ke matanya. Setidaknya sekarang aku jadi melek.

"Dengar," kata Alatas saat Embre berderap maju ke arahku, "Leila memberi tahu Pascal karena putus asa—kami secara harfiah diseret di bebatuan ke hadapan Komandan. Lagi pula, aku, Truck, dan Erion tahu apa yang terjadi pada ayahnya Leila. Jadi, tidak ada bedanya meski pikiran Pascal terbaca oleh Brainware itu—dia pasti sudah membaca pikiran kami juga!"

"Pascal betul-betul terguncang," kataku. "Dia memukul pasukan Bintara mundur, tapi sekarang dia pasti sedang menghadapi masalah. Setelah apa yang dia lakukan, kau kira Bintara akan mengembalikan sandera kepada kalian?"

"Anak-anak dan manula Calor yang disandera ini—di mana mereka sekarang?" tanya Alatas.

Masih marah dan berasap, Embre menjawab, "Kompleks 1."

"Nah, ini akan menghemat waktu," kata Alatas, "kau tolong kami menghubungi Op. Kita ke Kompleks 1 dengannya; kalian bantu kami membawa Truck, kami membantu kalian membebaskan sandera. Semua orang senang."

"Wah, mudah sekali." Embre menyeringai sinis sembari menepukkan kedua tangannya, lalu ekspresi wajahnya mengeras. "Mudah sekali untuk membuat kita semua terbunuh! Kau pernah ke Kompleks 1? Tempat itu sarang musuh kita semua! Semua Agen Herde, mantan pekerja Pusat Karantina, pemburu Fervent, dan sebagian besar prajurit NC markasnya ada di sana!"

"Lalu, kau mau apa? Menunggu Bintara bermurah hati membebaskan mereka?" desakku. Erion menarik-narik jari tanganku. "Jangan sekarang, Erion—ganggu Alatas sana. Dengar, Embre, kau lebih pintar daripada ini. Kau pasti tahu Bintara tidak bakal membebaskan semua sandera meski kalian menyerahkan kami. Dia bakal mengakali perjanjiannya!"

"Dia mungkin akan membebaskan Pyro," cetus Alatas—hal terbaik yang dia ucapkan seharian ini karena aku bisa melihar Cybra memucat dan Embre makin kehilangan kata-kata.

Dia sudah bebas! Kalimat itulah yang akhirnya merenggut perhatianku kepada Erion, lalu aku menatap sel di atas sungai. Tepat saat itu, Pyro tengah dalam wujud api, meluncur turun dari lantai penjaranya yang meleleh hingga berlubang. Dia meluncur turun ke aliran sungai, apinya padam, dan badannya terseret arus deras.

Aku hanya perlu menunjuk satu kali untuk membuat yang lain menoleh. Cybra dan Embre langsung berlari menyusuri sungai, melompati batu demi batu, berusaha mengejar. Kami mengekor, kecuali Erion yang tampaknya terlalu letih dan hanya bisa terduduk di tanah. Alatas menggunakan kekuatannya untuk mencabut rantai-rantai sel dan melemparkannya ke Pyro, tetapi pria itu berenang cepat dan aliran sungai membantunya kian menjauh. Aku berusaha meraih benaknya, tetapi sensasi air dan gelombang yang menerpanya segera menimpa kepalaku juga hingga aku harus buru-buru menarik diri—terkutuklah bakat perenangku yang luar biasa!

Akhirnya, Pyro sungguhan hilang, dan kami tak tahu ke mana sungai ini berujung—suatu tempat di Kompleks 12, kata Embre, tetapi dia sendiri tampak tak yakin. Kami kembali untuk mengecek selnya, lalu menemukan Arka yang menempel di bawah lantai penjaranya gosong dan meleleh sebagian. Suhu yang Embre hasilkan telah membakar suku cadangnya sampai rusak.

"Apa yang telah kulakukan ...." Embre berdengap. "Ini salahku ...."

Sebetulnya, ini mungkin salahku. Aku yang memprovokasinya sampai dia meledak terbakar. Aku menyebut nama lamanya—seharusnya aku belajar dari pengalamanku dengan Truck, betapa sensitifnya perkara nama lama para Fervent.

Aku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi kemudian kusadari kami terkepung. Para anggota koloni Calor—sekitar 30-an pria dan wanita—berdiri di sekitar lembah dan bebatuan di belakang Erion. Mereka semua bertampang muram, punggung mereka ditodong senjata api oleh para anak buah Bintara yang masih tinggal mengawasi koloni.

Salah satu prajurit NC berkata, "Komandan mempertanyakan sikap salah satu anak buahmu yang menyerangnya. Ini akan berdampak pada nasib para sandera."

Di antara para Calor, kudapati kehadiran Pascal, babak belur dan hampir tak sadarkan diri, dan satu-satunya alasan dia bisa berdiri di sana karena dua orang temannya menyangganya.

Embre menggeleng. Matanya mengeras oleh amarah. "Pascal bukan anak buahku. Mereka semua bukan anak buahku. Mereka keluargaku."

Si prajurit NC mendesak maju, moncong senjatanya terarah ke dada Embre. "Kami mempertanyakan loyalitas koloni kalian sekarang."

Embre melirikku, lalu tatapannya jatuh ke Erion.

Erion menggoreskan ibu jarinya dengan melintang ke lehernya sendiri. Itu isyarat lama di atas arena para Calor saat ada yang mati dalam pertarungan ketika Pyro masih berkuasa. Kurasa, mereka tak pernah menggunakan isyarat itu lagi sejak Erion membakar Pyro dalam permainannya sendiri.

Si prajurit NC berkata lagi, "Jadi, di mana kolonimu berpihak—"

Embre mengangkat tangannya dan menyemburkan api, membakar si prajurit hidup-hidup.

"Awas!" adalah perintah Embre yang sempat kudengar sebelum tembakan dilepaskan dari senapan-senapan NC. Aku melihat para Calor yang langsung berlutut merapat ke tanah seolah mereka sudah tahu apa yang akan Embre lakukan dan akibat yang ditimbulkannya. Namun, aku tak sempat melihat apakah ada di antara mereka yang terkena tembakan karena Alatas sudah mendorongku dan Erion ke arus sungai. Bahkan Cybra pun iku bercebur.

Aku benci arus deras. Aku tidak bisa berenang. Namun, aku tidak punya pilihan selain berpegangan erat-erat pada Alatas dan berharap Erion melakukan hal yang sama. Di permukaan, Embre sepertinya telah menyala bak matahari di tengah hari bolong. Kurasakan air mendidih sampai-sampai Alatas mesti membawa kami berenang menjauh sebelum kami jadi Fervent rebus.

Meski aku berpaling dari Embre, mataku tetap panas. Aku bisa melihat sepenjuru lembah jadi terang benderang. Para Calor mungkin takkan terdampak dari suhu panasnya, tetapi prajurit NC mustahil bertahan. Kalau mereka belum terpanggang, mata mereka pasti sudah buta oleh cahaya api Embre.

Letusan senjata berhenti—atau mungkin telingaku dipenuhi air sungai.

Alatas terus berenang mengikuti Cybra, sesekali menoleh untuk mengecek Erion dan aku. Aku mencoba berkata bahwa kami tidak apa-apa, tetapi lidahku tergigit dan air langsung masuk ke mulutku.

Pelajaran renang pertama: jangan bicara waktu terombang-ambing arus deras.

Saat kami naik ke permukaan, Embre hanya tinggal titik cahaya di kejauhan. Bahkan dari jarak sejauh ini saja, rasanya masih seperti menatap langsung pada matahari yang terik.

"Kekuatan Choker itu luar biasa." Alatas berkomentar takjub.

"Tidak heran dulu Pyro tak pernah mau melepaskannya," kataku menggigil.

Cybra memberi isyarat pada kami agar mengikutinya. Dia membimbing kami ke arah ujung markas koloni yang berupa langkan serta serangkaian anak tangga dari rangka-rangka baja, mengarah ke pintu-pintu lorong yang menembus dinding tebing seperti sarang semut raksasa.

Kami sampai ke sebuah ruangan yang penuh loker dan baunya mirip segunung kaus kaki bekas pakai. Cybra mengoperkan handuk dan pakaian ganti untuk kami, menunjuk ke pojokan yang dipenuhi tirai-tirai untuk bersalin baju, lalu menuju salah satu loker dan mengambil ponsel dari dalamnya.

Setelah kami berganti baju kering, Cybra menghubungkan kami dengan Op.

Rasa sudah berabad-abad aku tidak pegang ponsel. Terakhir kali, ponselku jatuh sebelum aku terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan ruko. Ponsel di tangan Cybra adalah ponsel pintar pada umumnya, lockscreen-nya adalah foto anjing pudel yang tersenyum dengan lidah terjulur imut. Lalu kusadari tidak ada bar sinyal di ujung layar—aku ingat bahwa katanya kehadiran Fervent mengganggu sinyal hingga segala bentuk siaran seperti televisi, radio, sampai internet diputuskan. NC mengembangkan jaringan komunikasi baru kemudian. Apa pun itu, kami langsung terhubung dengan Op.

"Halo?"—Bahkan mendengarnya dari pengeras suara saja menggodaku untuk membanting ponsel Cybra.

Kita mesti bilang apa? Alatas bertanya tanpa suara.

Aku berpikir sejenak, lalu aku memencet hidungku, mengubah suara, "Halo, Op, kau mau uang? Ada tugas untukmu. Kami di ruang loker yang biasa—"

Bahkan kalimatku belum selesai saat Op muncul begitu saja di tengah ruangan. Dia membelakangi kami, jadi dia tak sadar dan lambat bereaksi saat Cybra mementung kepalanya dengan Arka. Alatas menyergapnya dari belakang, menahan kedua tangannya ke belakang.

"Penipuan!" Op berontak. "Penipuan berkedok uang yang keji!"

Cybra susah payah menempelkan Arka pada bagian belakang bajunya, tetapi karenanya Alatas juga ikut teredam, menjadikan ini pertarungan fisik.

Erion memanjati badan Op dan melakukan serangan fatal. Entah dari mana, mungkin dari salah satu loker, anak itu menemukan segumpal kaus singlet kekuningan berbau luar biasa, mendesakkannya ke hidung Op. Si Teleporter jadi teler dan memudahkan Alatas menekannya ke lantai.

Kami tak buang waktu dan mendesaknya untuk membantu kami ke Kompleks 1. Alatas mengancam akan menghajarnya, yang sama sekali tak membuat Op gentar ("Hah! Coba saja, Alatas! Kau bahkan tak pernah bisa menginjak seekor semut tanpa menangisi mayat mereka!"). Aku berjanji akan masuk ke dalam kepalanya, menggali ingatan masa lalunya dan menemukan aib terbesarnya, dan Op jadi pucat ("A, aku tidak punya aib, kok! Aku hidup dengan benar selama ini!"). Erion tidak mengancam, dia hanya membuka pintu loker dan mengeluarkan lebih banyak baju dalam kotor yang tampaknya belum pernah dicuci sejak zaman dinosaurus masih berkuasa ("Oke, oke! Jauhkan benda-benda itu!")

"Kalau kau sampai mengerjai kami," ancamku, lalu aku membungkuk, pura-pura mendengarkan ucapan Erion, yang padahal tidak mengatakan apa-apa, "Erion bakal mengejarmu sampai ke ujung dunia dengan sekarung singlet kuning."

Op tampaknya percaya karena dia berjengit menjauhi Erion. Aku tak menyalahkannya. Erion masih memutar-mutar singlet di tangannya seperti baling-baling, membuat pakaian bau jadi mainan.

"Katakan pada Embre, kami akan berusaha membebaskan sandera," kataku pada Cybra, "tapi cobalah untuk membantu ke sana setelah urusan kalian di sini selesai."

Cybra mengangguk, benaknya mengucapkan terima kasih.

Karena aku tidak sudi memegang Op, dan dia juga mulai membenciku, aku hanya berpegangan ke Alatas dan Erion. Alatas memegangi bahu kiri Op, Erion mencengkram ujung celana Op dari sebelah kanan, dan kami praktis tampak seperti lingkaran manusia yang mencoba menarikan tarian pemujaan berempat.

"Jangan salah tempat." Aku memperingatkannya.

Op terkekeh dari sela giginya, raut wajahnya jengkel, "Oh, tenang saja. Teleportasiku sangat akurat."

Aku curiga pada penekanan kalimatnya itu, tetapi tak sempat protes. Kami menghilang dari koloni Calor, lalu muncul di tengah ruangan yang berpencahayaan putih benderang.

Tepat di hadapan Bintara.

Ini momen tolol sedetik penuh di mana kami semua terbengong-bengong, bahkan Bintara sendiri. Dia sedang duduk di kursi kayu bersandaran setinggi kepalanya, masih berseragam lengkap, mencoba menyuap daun selada dengan garpu dari kotak styrofoam, mungkin itu makan siangnya atau apalah. Kami muncul dengan melingkarinya. Matanya menatapku yang berdiri tepat di hadapannya.

Op, yang berdiri di belakang Bintara, mengangkat tangan kirinya dan mengambil kesempatan satu kali seumur hidup: dia menampar kepala belakang sang Komandan, lalu menghilang, meneleportasikan dirinya sendiri keluar.

Segalanya jadi ricuh secepat berakhirnya keheningan. Bintara meraung murka, kotak makannya jatuh, tetapi Op tak lagi ada di sana, jadi dia hanya mendapati udara kosong saat menoleh. Lalu, dia berbalik, dan kami sudah berlari menuju pintu keluar. Bintara mengejar kami, menekan salah satu tombol di tembok, membuat alarm meraung gila-gilaan.

Bintara mencoba menggunakan kekuatannya, tetapi Erion melambaikan tangan dan menerbangkan pria itu kembali ke dalam ruangannya.

Menyusuri lorong berlantai keramik putih dan bertembok baja, segera saja kami terkepung dari kedua sisi. Prajurit NC berdatangan dengan senjata lengkap. Alatas menarik kami, lalu menggunakan seluruh badannya menjebol dinding baja. Kami menerobos sebuah ruangan di mana para pria dan wanita bersetelan rapi duduk mengepung meja kaca seperti tengah melangsungkan rapat. Mereka bengong, tetapi kami tetap berlari.

Namun, saat Alatas akan menjebol baja lagi, sesuatu melesat melampaui kepalaku, dan kulihat sebuah kotak hitam seukuran genggaman tangan—Arka—dilemparkan hingga menabrak tembok di depan kami. Sebelum hancur berkeping-keping menghantam lantai, Arka itu sempat meredam kekuatan Alatas. Karena timing lemparannya, pemuda itu menubruk dinding baja dan berucap, "Adaow!" keras. Kurasa, ini pertama kali dia merasakan menghantam logam.

Tembakan peringatan dilepaskan. Semua orang yang tak bersenjata berjongkok panik dengan menaruh tangan di kepala termasuk kami. Lebih banyak Arka yang meluncur di lantai ke dekat kaki kami, meredam Alatas dan Erion sepenuhnya. Alatas mencoba menendang Arka-arka itu, Erion menginjak-injaknya, tetapi benda itu terus berdatangan, dilemparkan oleh para prajurit NC.

Aku menarik keduanya. Kami merangkak ke bawah meja, mencoba membaur di antara orang-orang bersetelan, tetapi mereka terus menjerit, "Mereka di sini!"

Kami sudah putus asa, lalu Op muncul di hadapanku, berjongkok di bawah meja. Katanya, "Kangen aku?"

Salah satu prajurit NC mendapati kami di bawah meja, lalu mengangkat senjata. Namun, Op sudah meraup kami bertiga dan berteleportasi.

Kami muncul di ruangan lain yang jauh lebih gelap dan sunyi. Cahaya menyorot dari luar di lorong, masuk melalui kaca-kaca jendela yang bertirai bambu renggang, menyorot seisi ruangan yang dipenuhi lemari arsip setinggi langit-langit.

Op berdiri menjulang di depan kami yang terduduk syok. Dia menyengir di bawah temaram cahaya dan bayang-bayang tirai. "Itulah yang kaudapat kalau menjadikanku musuhmu, dan itu baru permulaan."

Dengan perkataan yang menghibur itu, dia lenyap.

Alatas bernapas keras-keras. Peluh memenuhi pelipisnya. "Kukira kita bakal mati. Aku tak pernah secapek ini hanya karena dikejar-kejar orang NC."

Wajar saja. Cyone Truck biasanya menjaga stamina dan daya tahan tubuh kami. Tanpa dia di sini, kami lebih rentan kelelahan dan luka-luka.

"Setelah semua yang kita alami ini, Alatas," kataku kesal, "aku bakal meledak—sungguhan—kalau sampai dia tidak mau dibujuk ikut kita lagi."

"Dia bakal ikut!" Alatas berkeras. "Taruhan, dia hanya perlu satu kali dibujuk, dan pikirannya akan jadi benar lagi."

Aku memutar bola mata. "Ratusan kali dibujuk, dia tak bakal mengacuhkan kita—kalau aku benar, kau harus ... jalan pakai tangan, kaki di atas."

Alatas mempertimbangkannya. "Oke. Kalau aku benar, kalau Truck langsung ikut saat pertama kali kita membujuknya, aku dapat ciuman sepuluh kali."

Aku hampir menjerit, tetapi aku buru-buru menekan suara dan berbisik keras, "Lima!"

"Sebelas—" Dia mengecilkan suara saat aku memelotot. "Lima juga oke ...."

Tunggu dulu! Erion memprotes. Aku juga mau ikutan taruhan!

Aku memberitahukannya pada Alatas. Pemuda itu mengernyit ke arah Erion. "Er, kau masih 10 tahun, belum legal buat taruhan."

Oh, ya? Memang siapa yang akan menangkapku? Polisi? Erion memutar bola matanya. Menurutku, perkiraan kalian berdua salah—tidak bakal ada yang menang. Kalau aku benar, kalian harus pakai kertas bertuliskan 'Babu Erion' ditempel di punggung kalian selama 24 jam.

Kurasa, Erion mustahil menang taruhan seperti itu, karena pilihannya cuma dua: Truck ikut kami atau tidak. Yang bakal menang taruhan hanya di antara aku dan Alatas, tetapi kami membiarkannya saja asalkan anak itu senang.

Di salah satu meja kerja dekat pintu, Alatas membongkar laci-laci dan berkata, "Erion, senter."

Nggak bisa .... Erion menekan tombol senternya berulang kali, wajahnya muram. Korslet karena tadi berenang di sungai.

"Mungkin Cybra bisa memperbaikinya nanti," kataku untuk menghiburnya.

Bagaimana pun, senter itu pemberian Alatas—suatu bentuk pemberontakan kecil Erion yang memiliki ketakutan pada cahaya menyorot mendadak ke arahnya. Sedangkan tali kalungnya dari Truck. Aku tak sampai hati mengatakan bahwa senter itu sudah terlalu tua dan kemungkinan besar rusak permanen.

"Kau cari apa, sih?" tanyaku pada Alatas.

"Peta tempat ini, atau apa saja," kata Alatas, yang sudah menemukan senter pulpen kecil. "Sandera biasanya dikurung di sel atau sejenisnya."

"Kita tak mungkin seberuntung itu menemukan denah di sini—"

"Nih, ada!"

Aku tak memercayai keberuntungan Alatas. Seringnya dia sial. Kalau dia mendadak punya nasib baik, berarti musibah sudah dekat. Misal, saat dia mendadak mampu menjatuhkan serentak senjata api para penjaga gerbang Kompleks 4, tak lama kemudian dia tertembak.

Alatas merentangkan kertas itu di atas meja. Yang ditemukannya bukan denah, melainkan pamflet, tetapi itu saja sudah cukup. Pamflet itu mempromosikan tempat ini, menawarkan gaji tinggi dan berbagai macam asuransi serta pensiunan tinggi bagi orang-orang yang ingin bekerja di sini; "NC menjamin dan mengayomi hak militer dan sipil!" begitu slogannya.

Gambar depannya mungkin adalah foto bangunan ini diambil dari atas: bangunan persegi bertingkat-tingkat di atas sebuah pulau kecil yang dikelilingi danau nan asri—aku yakin gambar itu editan, danaunya terlalu berkilau dan nuansa hijau pulau terlalu indah untuk jadi kenyataan. Di dalam lipatannya, ada berbagai fasilitas yang ditawarkan, salah satunya penjara bawah tanah. Aku tak mengerti kenapa mereka mencoba menarik orang sipil bekerja di sini dengan menjanjikan penjara sebagai salah satu fasilitasnya. Seperti: Hei, kalau bekerja di sini, kau bisa lihat-lihat penjara, lho! Asyik, 'kan?

Namun, fasilitas yang dijanjikan juga ada gudang senjata, dan akses tak terbatas pada peranti yang disemai dari Fervent. Kurasa, itulah yang paling menggoda selain gaji dan tunjangan hari rayanya.

Meski tak ada denah, tapi kami tahu penjaranya di bawah tanah, ada empat pintu darurat di tiap-tiap lantai, dan kami bisa meraba-raba luasnya bangunan ini.

Ketika aku mengangkat kepalaku, aku terkesiap karena merasa sesuatu berkedip di ujung ruangan.

"Alatas," kataku, "kita mesti keluar, sekarang!"

"Tapi kita belum dapat denah—" Dia berhenti saat aku menunjuk kamera pengintai di ujung langit-langit. Alatas menelan ludah. "Ayo pergi."

Kami keluar dan melihat sepasukan pria di ujung kiri lorong, jadi kami berlari ke kanan. Sayap bangunan yang ini dindingnya semen berplester dan dicat abu-abu, maka Alatas tidak bisa menjebol apa-apa. Namun, dia bisa mencabut salah satu pintu logam, melemparkannya ke belakang untuk menghambat pengejar kami.

"Aku bisa merasakan Fervor-nya!" seru Alatas, matanya berkilat dan langkahnya makin cepat. Erion dan aku nyaris tak bisa mengimbanginya. "Truck dekat sini!"

Kenyataan itu membuatku bertanya-tanya—sedekat ini Op meneleportasikan kami dengan Truck. Apakah dia tahu Truck di mana, tetapi tak mengatakan apa-apa? Atau dia semata menghafal semua ruangan di sini beserta fungsinya hingga dia bisa memprediksi Truck akan berada di mana? Atau hanya kebetulan ....

Lalu, aku terpikir lagi, apakah dia meneleportasikan kami ke ruang arsip hanya karena tempat itu sepi?

Lariku melambat. Aku menoleh ke belakang, teringat Aria. Truck ke sini untuk mencari rekam jejak gadis itu. Dan kami baru saja keluar dari—

"Leila, ayo!" Alatas menarikku agar lari terus.

"Alatas," kataku sambil tersengal-sengal. "Cewek yang Truck cari itu ... siapa? Kenapa tampaknya semua yang mengenalnya melarang Truck dekat-dekat dia?"

Alatas melirikku dari sudut matanya. "Kau lihat ingatannya?"

"Sedikit," kataku, "Truck masih berusaha menyembunyikan sebagian besarnya."

"Kurasa, dia malu."

"Hah?"

Kejam, besar, beringas, paranoid—semua itu adalah kata yang akan melintasi benakku kalau disuruh menggambarkan Truck. Pemalu? Itu akan terjadi kalau kiamat sudah betul-betul dekat.

Aku tak sempat komentar karena Alatas membimbing kami memasuki sebuah ruangan panjang yang dipenuhi kursi-kursi dan meja kayu. Seperti kantin, tetapi pantri-pantrinya kosong dan kaca etalasenya diselubungi kain penutup seolah mereka sedang tutup. Di salah satu kursi, Truck duduk membungkuk dan sikunya bertumpu ke lutut. Dia tengah memandangi kakinya dengan khidmat saat kami masuk. Dengan kaget, dia berdiri, lalu memelotot.

"Kalian orang-orang idiot tak punya otak," sapanya. Matanya melirik ke belakang kami dengan cemas. "Apa yang kalian lakukan di sini?!"

"Secara umum, dikejar-kejar." Alatas menjawab seraya menutup pintu dan menguncinya. "Secara spesifik, menyelamatkanmu."

"Mari kita buat ini sesingkat mungkin," kataku sambil menatap marah pada Truck. Sakit hatiku atas semua perkataannya sebelum ini menguak begitu aku melihat wajahnya lagi. "Kau ikut kami atau tidak?"

"Tidak," jawabnya seketika. "Kalian mesti pergi dari sini. Sekarang!"

Aku ingin melemparkan tatapan tuh, 'kan yang keji pada Alatas, tetapi dia begitu murung dan kecewa sampai-sampai aku tak tega. Matanya menatap Truck putus asa. "Truck, masa kau mau mengikuti Bintara?"

"Pegang kata-kataku, Truck." Aku memperingatkannya. "Komandan pernah mengiming-imingiku untuk bertemu ayahku; dia malah mengurungku di sel bersama Pascal. Dia bahkan baru saja mengingkari janjinya dengan koloni Calor dan mencoba melimpahkan kesalahan ke Embre. Dia persuasif, tapi bukan pemegang janji. Dia bakal mengulur-ulur. Dia tidak akan menyerahkan rekam jejak Aria semudah itu. Dia akan terus mencari alasan agar kau tertahan di sini."

"Kau tidak tahu apa-apa." Truck membalas. "Pergi sekarang, sebelum—"

Pintu berderak di belakangku. Kami merapat ke sisi Truck dan memelototi pintu yang tampaknya tengah didobrak.

"A, aku menguncinya. Tidak apa-apa." Alatas memberi tahu. Lalu pintu berhenti bergetar. Suara mesin mendesing dari luar seperti gigi-gigi roda yang berputar, bersinggungan dengan logam. Dari celah pintu, terlihat percikan api. Alatas berdengap, "Mereka memotong logam kunciannya."

Sebelum kami bisa bereaksi, Truck mendorong kami ke balik salah satu etalase. Aku berusaha membuka pintu pantri di belakangku, yang tidak terkunci, tetapi daun pintu tidak bisa didorong seolah ada tumpukan barang yang menghalanginya dari dalam. Aku berusaha mencari jendela, tetapi seluruh ruangan ini hanya dinding.

Pintu logam menjeblak terbuka. Erion, Alatas, dan aku berjongkok, merapat ke bawah etalase. Dari seberang ruangan, kudengar suara Bintara, "Mana mereka?"

"Tidak ada di sini," jawab Truck. "Baru saja keluar."

"Anak buahku hanya melihat mereka masuk, tidak keluar."

Alatas berbisik padaku tanpa suara, Kenapa Bintara tidak mendeteksi kita?

Aku hanya bisa menggeleng. Kalau dipikir lagi, pria itu juga memotong pintu dengan pemotong logam. Padahal seharusnya dia memiliki semua Fervor seperti ayahku dan Sir Ted. Kalau pun si komandan memang Fervent cacat ... separah apa?

Belasan prajurit Bintara masuk dan mulai menyusuri ruangan dari sisi ke sisi. Semuanya membawa Arka, senjata, amunisi lengkap, dan berseragam dengan pelindung kepala serta rompi anti peluru. Kami punya sekitar 60 detik atau kurang dari itu sebelum mereka menyisir kemari.

"Aku tak bisa memberimu rekam jejak lengkap gadis itu kalau kau tak bisa dipercaya," ucap Bintara.

"Kesepakatannya, aku hanya perlu ikut kemari dan mengerjakan beberapa pekerjaan kotormu, lalu pergi dengan barang yang kau janjikan," balas Truck.

Phantom-ku masih berfungsi, kata Erion. Cakupan Arka mereka pendek. Tapi jumlahnya terlalu banyak; aku tidak bisa membereskan semuanya.

Aku mendongak, memandangi langit-langit yang benderang oleh cahaya lampu putih. Kupejamkan mataku, merasakan denyar udara—energi panas di semua tempat. Sambil menarik napas, aku bergumam, Meledak—menyebabkan satu bola lampu pecah di suatu tempat dalam ruangan. Derap kaki terhenti.

Meledak—aku mencoba lebih keras. Dua lagi bohlam yang pecah, kali ini disertai bunyi bzzt. Kurasakan cahaya meredup. Saat aku membuka mata, ruangan sudah jadi gelap, hanya dengan cahaya kehijauan temaram dari lampu darurat. Masih kurang.

Aku berusaha lagi hingga merasakan sentakan di perutku, seperti ketika aku jatuh dari tempat yang tinggi. Kupikir aku mengkhayalkannya, tetapi lantai bergetar. Alatas dan Erion mencengkram tanganku karena kaget. Alarm meraung lagi di sekitar kami dengan bunyi yang lebih pelan dan sumbang.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Bintara tegang. "Di mana mereka?"

"Aku sudah bilang mereka tak di sini." Truck bicara dengan lebih keras. "Barangkali mereka di bawah, membebaskan para sanderamu."

"Begini saja." Bintara berucap lagi. Derap langkah sepatu bot mulai bergerak kembali mencari kami. Tampaknya Bintara tak percaya semudah itu pada Truck. "Buktikan dirimu dengan menyeret keluar ketiga tikus itu hidup-hidup, akan kuberikan kau separuh dari rekam jejak Aria yang belum kaumiliki."

"Bukan begitu perjanjiannya—aku seharusnya mendapatkan rekam jejak utuhnya sekarang."

"Kau sudah bersama mereka ... berapa lama? 6 bulan? 7? Hampir setahun?" Bintara melanjutkan. "Apa yang kau dapatkan dari itu semua? Apakah mereka bahkan peduli pada gadis yang kau cari? Bocah itu masih 10 tahun, terlalu kuat, tetapi juga terlalu kecil untuk paham, dan yang dilakukannya pasti hanya menyulitkanmu. Anak laki-laki satunya tak punya kekuatan. Dia bahkan lebih membebanimu daripada si bocah." Bintara meringis seperti bersimpati. Kurasakan Alatas melorot di sebelahku. "Dan anak perempuan itu—kudengar yang kalian lakukan hanyalah mencoba saling bunuh selama ini. Mereka hanya sekumpulan orang bodoh, menempel padamu seperti benalu. Mereka tak menghargaimu, Truck. Apa pun yang kau lakukan hanya akan berujung pada kesalahan. Aku tahu rasanya—aku memimpin pasukan ini bertahun-tahun. Tak ada penghargaan layak yang kudapat, tetapi saat aku melakukan kesalahan, semua jari menunjuk wajahku."

Suara guruh lagi. Kali ini lebih keras. Derap sepatu bot mulai ragu-ragu di sekitar kami. Alarm memelan dan mati sepenuhnya. Di saat bersamaan, aku merasakan jantungku seperti diremas tangan tak kasat mata.

Leila? Erion mengguncangkan lenganku. Kau kenapa?

Bola mataku bergetar di rongganya. Nadi di tangan dan leherku berdenyut. Jantungku seperti akan meletus. Aku menarik napas lagi pelan-pelan, berusaha mengendalikan diriku agar tidak panik. Satu sentakan terakhir, lalu suara letusan nyaring terdengar dari suatu tempat di kejauhan. Seperti ledakan berkilometer jauhnya, tetapi getarannya membuat gigiku bergemeletuk.

"Kau yakin tidak mau mengecek?" tanya Truck dengan lebih mendesak. "Erion mungkin meledakkan sesuatu di luar sana."

Jeda sesaat. Barangkali Bintara memerintah anak buahnya untuk mengecek karena suara sepatu bot itu berderap keluar, makin menjauh hingga lenyap. Namun, Bintara sendiri menolak pergi.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Alatas di sisiku. Tangannya menyibakkan helaian rambut dari wajahku. "Kau tampak—"

"Aku habis meledakkan sesuatu," desahku letih. "Tapi aku tidak tahu apa itu."

Lama sekali ruangan gelap itu hening. Truck yang kemudian memecahkan kesunyian. "Kurasa, kau benar, Komandan. Cyone-ku nyaris tak pernah istirahat untuk menjaga tiga orang sepanjang jalan."

Aku memberanikan diri untuk mengintip dari balik kain selubung etalase. Bintara masih berdiri menghadang pintu, sedangkan Truck sekitar satu atau dua meter di depannya di antara deretan kursi-kursi.

"Mereka hanya menyia-nyiakan Cyone-mu." Bintara mengangguk sependapat.

"Mereka bertiga memang menyusahkan," kata Truck lagi sambil tersenyum masam. "Alatas terus-terusan melukai dirinya, daya tahan tubuh Erion lemah, dan Leila leletnya setengah mati. Mereka memang kumpulan idiot yang tidak bisa menjaga pantat mereka sendiri dari ranjau." Tangannya meraih salah satu kursi. "Jadi, kurasa, karena itulah aku tidak bisa meninggalkan mereka."

Truck melemparkan kursi kayu ke wajah Bintara sampai patah.

Aku memekik karena terkejut, campuran antara syok dan senang. Erion bertepuk tangan di sisiku. Alatas bahkan sudah berdiri dan menyoraki Truck, "Begitu, dong!"

Bintara mungkin sempat mengangkat tangan untuk melindungi wajahnya, tetapi benturan membuatnya lamban bereaksi. Nyaris tak ada perlawanan saat Truck menubruknya sampai ke luar, menggencetnya ke dinding koridor seberang.

Kudapati Alatas menyengir padaku.

"Kau tetap kalah taruhan!" kataku dengan wajah panas. "Kau bilang Truck bakal langsung ikut setelah satu kali dibujuk, tapi tadi itu lebih dari satu kali!"

Alatas mengerutkan keningnya. "Jadi ... siapa yang menang?"

Kami berdua menoleh ke belakang, di mana Erion tengah mengamati punggung kami. Tampaknya dia tengah membayangkan lokasi strategis untuk meletakkan pelat "Babu Erion" di punggung kami berdua.

Meski adrenalinku masih terpacu karena menggunakan Peledak, denyut jantungku mulai stabil. Aku bahkan bisa mengabaikan nyeri di seluruh tubuhku dan berhasil memaksakan diri untuk berlari lagi keluar karena terlalu bersemangat.

Namun, sebelum kami bisa menghajar Bintara ramai-ramai, pria itu lenyap. Truck berdiri terpaku di sana, menekan dinding kosong.

"Dia tidak bisa mendeteksi kita," gerutu Alatas, "tidak bisa memotong pintu logam, tapi bisa teleportasi?!"

"Lekas!" desakku. "Dia pasti bakal mengirim lebih banyak anak buahnya dan kita belum membebaskan anggota koloni Calor yang disandera!"

Truck memimpin kami berlari ke tangga menuju ruang bawah tanah. Sesekali kami mesti merapat ke dinding koridor, atau masuk ke salah satu ruangan, saat para prajurit NC kocar-kacir, tetapi tampaknya tak ada yang mencari kami lagi. Aku mendengar beberapa kata seperti, "Trafo meledak," dan "gardu listrik terbakar," kemudian "pintu waduk jebol," lalu yang terakhir: "kerumunan Calor di atas bendungan."

Aku tak pernah selega ini mendengar 'kerumunan Calor'.

Kami berlari lagi dan Truck bilang sudah hampir mencapai tangga ketika mataku menangkap pintu ruang arsip. Aku memanggil Erion yang berlari di depanku, tetapi dia tidak mendengarku. Keadaan terlalu gaduh dan mereka terlalu panik hingga terus berlari. Aku pun tidak punya waktu untuk memulai diskusi grup.

Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam ruang arsip.

Senter pena yang Alatas pakai sebelum ini masih tergeletak di atas meja dalam keadaan menyala, menyorot pamflet dan menyinari foto bangunan fasilitas NC yang berada di tengah danau berkilau. Namun, ada sesuatu yang lain lagi di sana, tepat di balik meja. Atau tepatnya seseorang ....

"Kau," kataku pada si gadis Brainware yang duduk sambil menatap pamflet. "Daile ...?"

Mustahil aku melupakannya. Matanya yang kelabu, hampir putih, serta ekspresi wajah kosong itu. Dia adalah salah satu dari ketiga gadis dalam rumah kumuh di Kompleks 4 yang mencoba memasak kami jadi kari dan rebusan. Ketika Alatas tertembak, gadis ini yang membekukan kami bertiga hingga Alatas dibawa oleh Komandan. Tak terpikir sama sekali olehku, saat Embre bilang ada Brainware di dalam pesawat Bintara, maksudnya adalah gadis ini ....

"Brankas 9-00131," katanya dengan nada monoton seolah-olah jiwanya tak berada dalam badannya. "Di sana rekam jejaknya. Si gadis Cyone. Brankas 9-00131. Ruangan tersendiri di ujung kanan dengan undakan pendek ke atas. Tidak terkunci. Brankas 9-00131."

Aku terlalu terkejut untuk melakukan apa pun. Aku justru bertanya, "Kau belum memberi tahu Bintara tentang ayahku ...?"

Alisnya mengernyit. "Aku harus memberitahunya?"

"Tidak," jawabku cepat. "Tapi, kenapa ...? Kupikir kau bekerja untuknya."

"Ada sesuatu yang berputar-putar di sini." Dia menunjuk kepalanya sendiri, lalu memutar-mutar jarinya. "Kurasa ini gara-gara aku masuk ke kepala-nya."

"Kepalanya ... maksudmu Pascal?"

"Dia bahkan menggendongku ...." Daile menggerutu dengan nada tak percaya. "Dia menggendong anak Calor di tangannya. Kenapa pria itu mengampuni nyawa monster sepertiku?"

Awalnya aku tidak mengerti ucapan gadis itu. Lalu, kusadari dia seperti aku saat sedang trans di dalam kepala seseorang. Pikirannya sedang terjepit—antara jati dirinya dan jati diri seseorang yang pikirannya dia baca. Separuh dirinya percaya bahwa dia ini Pascal ... yang tengah diselamatkan oleh ayahku.

Aku mengendap melewati Daile, berusaha menuju ke pojok ruangan.

"Dia menggendongku ..." desah Daile lagi. "Pasukannya yang menghancurkan rumah kami karena kami ini monster, tapi dia mengampuni nyawaku."

Rasanya sesak sekali, tetapi aku tak menoleh. Aku mencoba tak mengacuhkan racauan si gadis Brainware atau aku akan mulai bergelung di atas meja dan sesenggukan menangisi ayahku lagi.

Aku menemukan undakan-undakan yang dimaksud Daile, mengarah pada pintu logam pendek. Aku mesti menunduk untuk melaluinya, lalu masuk dan mulai mencari di antara laci-laci.

Entah berapa lama aku mencari—sepertinya cukup lama. Aku menemukan dua nama Aria di laci yang sama, tetapi yang satunya seorang Peredam dan umurnya 6 tahun—bukan yang kucari. Aria yang satu lagi, datanya terbungkus map plastik dan tersegel rapat, berlabel Cyone. Ada foto gadis itu di pojok bawah kanannya, dan aku beryukur masih mengingat wajahnya dari kenangan Truck.

Dia betul-betul cantik, wajahnya terkesan kuat sekaligus dewasa, dengan bola mata berwarna gelap dan tatapan tajam, dia seperti sedang menantang orang yang memotretnya buat main panco.

Aku memasukkan berkas itu ke dalam jaketku, merapatkan kancingnya sampai atas, lalu berlari keluar.

Daile sudah tidak ada. Seisi bangunan hanya diterangi lampu hijau darurat dan sebagian besar pintu sudah terkunci. Tidak ada prajurit yang kocar-kacir lagi. Lalu, kudapati kakiku berkecipak di air.

Lantai koridor basah seolah ada kebocoran pipa air atau apa. Makin jauh aku berjalan, air makin naik—setumit, semata kaki, sebetis ....

Serangan panik mulai melandaku. Aku berlari ke arah tangga yang sebelum ini dituju Truck, Alatas, dan Erion, tetapi tangga itu menuju ruang bawah tanah. Tentu saja tempat itu sudah dipenuhi air bergelombang sampai atap dan anak tangganya. Tak ada tanda-tanda orang di sana.

Mana mereka?!

Aku berkeliaran tak tentu arah hingga akhirnya mendengar gemuruh dari salah satu lorong di belakangku. Semestinya aku tetap lari, tetapi ketakutan membuatku lumpuh. Pada detik terakhir itulah aku mengingat lagi foto pamflet di mana bangunan ini dikepung danau luas. Saat gelombang air setinggi atap datang, aku hanya berdiri di sana dan membiarkan diriku disapu sampai membentur tembok.

Aku didorong arus. Sesekali aku muncul kepermukaan, seringnya aku tenggelam. Aku mencoba mendorong wajahku ke atas untuk mencari udara, tetapi aku hanya bisa megap-megap dua detik paling lama sebelum dihantam ombak lagi, dibenturkan ke tembok atau atap. Sepertinya rambutku tercerabut, mungkin kepalaku juga. Tangan dan kakiku ditarik berlawanan arah.

Aku bakal mati, pikirku. Setelah selamat dari terkubur hidup-hidup, nyaris dibunuh orang, dan hampir terbakar hidup-hidup, aku akan mati tenggelam.

Aku memikirkan Erion, dan bagaimana cara dia berkomunikasi setelah ini dengan orang-orang kalau aku tak ada. Aku memikirkan Alatas, yang selalu menarikku kalau aku tenggelam, entah itu di air maupun di dalam tanah. Aku bahkan memikirkan Truck, juga bentakannya saat kami di arena Calor: Cepat atau lambat kau mesti belajar berenang! dan rasanya sekarang sudah terlambat.

Lalu, aku memikirkan ayahku. Kalau ada dia di sini, dia akan menyelamatkanku. Namun, dia tidak ada di sini ....

Ketemu Ayah ... pikirku, yang akhirnya membuatku sedikit lebih tenang. Saat dadaku seperti terbakar sampai ke kepala, saat air memenuhi pernapasanku dan mulai memburamkan penglihatanku, aku membiarkan tubuhku tenggelam lebih jauh. Aku bisa ketemu Ayah.

Kemudian seseorang menarik pergelangan tanganku, menyentakkanku ke atas. Sepertinya aku mendengar suara ibuku yang menyuruhku pulang. Ibuku yang baik dan tidak pernah marah, kali ini dia terdengar sangat murka.

Wajahku muncul ke permukaan, dan hal pertama yang kulakukan adalah batuk. Ada yang menyangkut di kerongkonganku, dadaku seperti diberi pemberat timah panas puluhan kilo. Aku mencoba mengeluarkan apa pun yang telah kutelan, tetapi tidak bisa. Saat aku membuka mata, muka Truck sedemikian dekat sampai kata-katanya seperti menghujam langung ke bola mataku: "DASAR GOBLOK!"

Aku mulai terisak-isak. Truck makin marah dan memerintahkanku untuk berhenti menangis, lalu dia berenang sambil menyeretku ke tepi.

"Jangan ditelan!" bentaknya saat aku terbungkuk-bungkuk sekarat di atas tanah. Tangannya—kuharap itu tangan—memukul-mukul punggungku. Jantungku mungkin peretel, tetapi setidaknya dia berhasil membuatku memuntahkan air.

Rasanya sesak sekali dan bagian dalam kepalaku membeku. Aku membuka kancing jaketku, mengeluarkan entah benda plastik apa yang memberati badanku sejak tadi—aku hampir tak bisa mengingat benda apa itu.

"Jadi, cewek ini yang dicari?" tanya seseorang. Aku mendongak dan melihat sesosok laki-laki berotot, tetapi pendek, berdiri sambil berkacak pinggang di depanku. Dia menatapku seolah aku ini anak anjing yang baru saja mengencingi karpet mahalnya. Aku butuh waktu lama untuk mengenalinya, tetapi kemudian aku mengingatnya. Dia Neil, si Teleporter, temannya Op. Di bahunya, tersampir dua gulungan kain selimut, yang kemudian dia lemparkan ke hadapanku. "Kuberi kalian waktu 5 menit. Kalian tidak bisa berteleportasi dalam keadaan seperti ini."

Dia berbalik dan berjalan memasuki hutan.

Di belakangku, danau masih bergolak. Di kejauhan, aku bisa melihat setengah dari bagian atas bangunan persegi fasilitas NC menyembul keluar dari air berombak, sisanya tenggelam di bawah danau yang menandak-nandak. Air masih terus naik. Dari satu arah, gelombang setinggi satu meter atau lebih masih dalam perjalanan menyerbu bangunan itu.

"Yang lain—?" Aku mencoba bicara, tetapi suara dan napasku masih tercekat dan tersendat-sendat. Mataku pedas, sekujur badanku menggigil, dan air masih mengalir keluar dari telinga, mulut, serta hidungku.

"Sudah aman." Truck melambaikan tangannya jengkel. "Alatas hampir mencoba melompat ke air saat sadar kau tidak ada, dalam keadaan punggungnya menggendong tiga anak Calor dan dua balita di tangannya. Jadi, Neil meneleportasikannya lebih dulu. Apa, sih, yang kau pikirkan?!"

Aku mengesot menjauh sampai ke rumput, meraih salah satu kain seprai yang Neil berikan, berusaha menghangatkan diri sebisa mungkin. Rasa sesaknya mulai berkurang, tetapi pengalaman nyaris mati tenggelam itu masih membekas.

"Benda ini yang membuatmu balik lagi? Kau memang mau mati?" Kulihat Truck memungut map plastik bersegel yang kutinggalkan. Masih sambil menggerutu, matanya memindai isi map dari luar. "Apa, sih, yang kau—"

Truck pun jadi kaku.

"Kenapa kau—" Dia berhenti sejenak, masih memegangi map plastik di tangannya. "Cuma demi dokumen ini ... kau kembali cuma buat ini."

Aku mengerjap. Buliran air jatuh dari bulu mataku.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya lagi.

"Alasan yang sama denganmu saat kau melompat dan menyelamatkanku barusan." Aku menunjuk ke arah air pasang. "Kita ... keluarga, 'kan?"

Aku mengoperkan kain selimut lain padanya, yang dia tangkap tanpa menatapku. Truck jadi sangat diam. Dia duduk di sampingku, menatap map plastik itu dengan pandangan kosong seakan masih tak percaya benda itu ada di tangannya.

"Isinya tidak rusak, 'kan?" tanyaku. "Coba kita lihat."

Aku mencuil segelnya, merusaknya sampai terbuka. Setelah mengelap tangan sebisa mungkin ke kain selimut, aku berusaha menarik keluar kertas-kertas itu keluar, tetapi Truck menekankan jari-jarinya ke map, memencetnya sedemikian rupa sampai kertas-kertas itu tertahan di dalam.

"Ayolah, kau harus menghadapi ini!" kataku. Aku menarik lebih keras, tetapi jari-jari tanganku masih kaku. "Truck, kau tidak bisa mangkir selamanya! Dia masih hidup atau tidak—kau harus tahu!"

"Perkaranya tidak semudah itu!"

Dia balas menarik. Kami terlibat rebutan untuk beberapa saat. Lalu aku berhasil menipunya dengan, "Kau merobeknya!" sampai Truck terpaksa melepaskan map.

Kukira, Truck bakal mengunyah badanku sampai putus, tetapi dia malah berbalik. Kedua sikunya menumpu ke atas lutut yang tertekuk, kemudian dia membuatku terkejut dengan menumpukan wajahnya ke kedua lengan seperti orang depresi. Kudengar dia bergumam samar-samar, "Bagaimana aku menghadapinya? Aku mesti bilang apa padanya?"

Aku mengeluarkan isi map itu dan memindai cepat. Tidak ada petunjuk apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati, tetapi rekam jejak itu memberitahuku lokasi-lokasi yang pernah disinggahinya, juga tempat domisili terakhirnya, tempat terakhir Aria terlihat. Kalau gadis itu masih hidup, dia ada di Kompleks 18 sekarang.

Kemudian aku melihat data gadis itu semasa di PFD, tempat dia pertama ditemukan di bawah jembatan, umurnya setahun lebih muda dari kami, lalu silsilah keluarganya ....

Aku tersentak. Mendadak aku sadar kenapa Aria selalu jadi topik sensitif buat Truck. Kenapa seluruh orang di PFD tampaknya mencemooh Truck cuma karena menyukai Aria—bukan karena dia terlalu muda atau apa. Tak ada kaitannya ...

Tiba-tiba semuanya masuk akal. Keinginan kuat Truck untuk mencari Aria, yang di saat bersamaan pria itu berharap tak pernah menemukan gadis itu sama sekali. Kekecewaan Truck saat dia diberi tahu identitas keluarganya, yang kemudian dia lampiaskan dengan kemarahan seperti anak kecil terhadap Timothy Freya ... juga alasan hubungannya dan Aria sempat merenggang setelah saling taksir selama beberapa lama di PFD.

Anak tidak tahu diri, pengawas tim mereka mencela Truck hari itu karena dia memilih Aria menjadi wakilnya, kau, 'kan, seharusnya sudah tahu kalau Aria itu—

Truck marah saat melihat foto keluarganya bukan karena dia dibuang. Dia bahkan nyaris tak memerhatikan wajah orang tuanya. Dia marah karena foto keluarga yang membuangnya sama dengan foto orang-orang yang membuang Aria.

Yang membebani perasaan Truck bukan semata prioritas nyawa atau perkara patah hati. Dia tidak boleh punya perasaan macam itu pada Aria, tetapi sudah terlambat saat mereka sadar. Truck bahkan tidak tahu harus memanggil gadis itu apa karena ... Truck ... dia—

Dia jatuh cinta pada adik kandungnya sendiri.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Thank u HelaiSunyi for recommending the song on mulmed ('♡‿♡')❤




Fanart gantengs dari Kaka Eclairell ❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc) thank uuuuu



Fanart UwU dari "Kakaknya Erion" (',,•ω•,,)♡ makasiiiii



Satu lagi fanart kiyowo maksimal dari Kaka RaReRina ╰(*'︶'*)╯♡ maaciiiih (tuluuung ini user not found, mohon yang punya fanart datang dan mengklaimnyaa)



Waktu Truck, Leila, sama Alatas di atas bak mobil dan sender-senderan oleh kaka Vhiga24 timakaciiii ( ˘⌣˘)♡(˘⌣˘ )



Truck/Timothy dan Aziri dari "hamba Tuhan yang paling gamntenk, Kanigaracrown (' ω '♡) arigatouu

Pas Aziri lompat indah '-')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro