#90

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #90 | 5988 words |

Warning: Disturbing Content

KAMI TERLAMBAT. Penyekatan wilayah itu sudah terjadi di mana-mana. Saat kami turun dari kapal feri yang kami susupi, para penumpang langsung dibariskan menuju portal dan diperiksa.

Selain petugas penggeledahan, ada seorang wanita yang berdiri mengamati orang-orang yang masuk. Kami langsung tahu dari gelagatnya—mata memicing seperti orang sakit mata, hidung mengendus-endus seperti anjing pelacak, dan seseorang digiring ke portal terpisah saat wanita itu membisiki penjaga portal: wanita itu seorang Detektor.

Entah apa yang terjadi pada para Fervent yang digiring ke portal terpisah, tetapi aku tidak berminat mencari tahu. Aku langsung menggiring yang lain untuk keluar barisan dan menyelinap ke dalam hutan.

"Ada bau masakan." Vida mengeluh di belakang. "Sepertinya ... nasi goreng."

"Pasti pakai suwir ayam," sahut Mada penuh harap. "Ada telurnya juga."

Di sisiku, Erill yang terpincang-pincang dan berpegangan pada Aria pun menelan ludah. Bibir anak itu pucat dan pecah-pecah, bagian bawah matanya gelap. Kami sudah menangani luka kakinya sebisa kami, tetapi koyakannya terlalu besar dan ada serpih besi tertinggal di dalam. Erill butuh antibiotik juga alat medis yang steril dan memadai—tetapi kami tak memiliki itu semua.

Kami menemukan pondokan kecil terbengkalai di tengah hutan. Lantai ubinnya retak-retak dan becek, baunya seperti sampah basah, dan tak ada perabot apa pun kecuali dipan kayu kosong tanpa kasur dan selimut tua yang sudah bolong-bolong. Bukan tempat yang baik, tetapi Erill butuh duduk dan kami harus istirahat.

Detik pertama kami duduk, Erill jatuh pingsan, Mada mulai terisak-isak, dan Vida menempel erat ke lengan Aria. Baru setelah kami sendirian di tengah hutanlah duka karena kematian Hayden dan meledaknya institusi PFD meresap. Aku bahkan hanya bisa menatap lantai selama setengah jam penuh, merasa kosong dan bebal. Andai Aria tidak mengingatkan bahwa kami butuh sesuatu untuk dimakan dan diminum, aku mungkin takkan bergerak.

Aria dan aku berbagi tugas. Saat dia keluar mencari—lebih tepatnya mencuri dari pos terdekat—makanan dan air minum, aku tinggal untuk berjaga di dalam pondok. Saat aku keluar mencari pakaian bersih dan sesuatu untuk mengobati kaki Erill, Aria yang berjaga. Namun, tak banyak yang bisa kami dapat selain baju-baju kaus kebesaran dari tali jemuran seseorang, roti sosis bulukan, dua botol air mineral yang segelnya sudah rusak, dan penghilang rasa sakit untuk Erill.

"Kita masih butuh perban dan antibiotik," kata Aria saat aku meletakkan dua ampul lidocaine dan sebotol ibuprofen yang hampir kosong di depannya. Tangannya masih sibuk membuat bantalan dari segumpal kaus di bawah kaki Erill. "Di mana kau mendapatkan ini?"

"Rumah seorang nenek tua yang kukira buta dan tuli, tapi ternyata dia melihatku dan mampu berteriak seperti gadis muda melihat serangga di kakinya." Tepat saat aku mengatakannya, Vida menjerit karena seekor kecoak terbang dari jendela ke rambutnya. "Nah, persis seperti itu."

"Ibuprofen ini sudah kedaluwarsa sepuluh tahun!" Aria mengecek.

"Mana bisa aku meluangkan waktu untuk mencari tanggal kedaluwarsanya saat seorang wanita tua menjerit sambil melempariku bakiak?!"

"Di mana rumahnya? Biar aku yang ambil sekarang."

Segera setelah dia mengatakan itu, terdengar suara gemuruh lembut seperti baling-baling kecil. Tampak cahaya menyorot melalui jendela. Kami menunduk rendah, tetapi Mada malah berdiri dan bergumam kagum, "Keren! Apa itu drone?"

"Menunduk, dasar bodoh!" Aku mendorong kepalanya ke bawah, tanpa sengaja membuatnya mencium lantai papan sampai hidungnya berdarah. Aku buru-buru mendekap—atau membekap, dari sudut pandang Mada—wajahnya sebelum dia menjerit. "Aku akan minta maaf nanti, tapi kau harus diam dulu!"

Kami menunggu hampir sepuluh menit sampai cahaya dan bunyi gemeresiknya menjauh. Begitu aku melepaskannya, darah Mada telah mengotori dagunya. "Tim menghancurkan wajahku!"

"Aku tidak sengaja!" desisku. "Kecilkan suaramu!"

"Kalau seperti ini kita tidak bisa keluar," kata Aria. "Tim, apakah nenek-nenek itu melihatmu lari ke sini? Barangkali dia melapor ke penjaga."

"Kalau aku lari sambil dibuntuti nini-nini encok yang mengacungkan sandal jepitnya, aku pasti menyadarinya!"

Sambil memencet hidungnya sendiri, Mada menunjuk Vida. "Pasti mereka mendengar teriakan Vida tadi!"

"Kok, aku!"

Segera saja pondok itu diramaikan bentakan dan tangisan. Aku mesti mematahkan kepala dipan hanya demi membuat keduanya diam. Akhirnya, kami harus bertahan sehening mungkin karena drone-drone­ itu mulai memenuhi hutan.

Siang dan sore hari saja sudah cukup berat dengan udara lembap dan Vida yang terus merengek saat melihat laba-laba, kecoak, atau tikus; malam justru jauh lebih buruk dengan suhu yang turun drastis dan anjing hutan berkeliaran.

Erill mulai menggigil diserang demam saat khasiat penghilang rasa sakitnya habis. Luka tungkainya mulai berubah warna dan bengkak di kakinya membesar.

"Mungkin ..." kata Aria lirih. "Kita menyerahkan diri saja."

"Ke mana?" tanyaku sengit. "Herde? Kau dengar reputasi tempat itu. Seratus anak mati tiap bulan, 60% anak laki-laki jadi lumpuh dan 90% anak perempuan jadi gila."

"Ke rumah seseorang?" usul Vida. "Mungkin akan ada satu atau dua keluarga yang kasihan pada Erill dan membawanya ke rumah sakit."

Aria dan aku bertemu pandang. Bahkan gadis itu sadar bahwa pilihan itu sama buruknya dengan Herde—Aria sendiri pasti sudah melihat bagaimana respons penduduk perumahan terdekat terhadap anak gelandangan yang keliaran di sekitar rumah mereka. Aku bisa melihat bekas luka gores besar di dagunya yang didapatnya tadi siang hanya karena mengambil roti sosis busuk.

Namun, pada akhirnya aku mesti keluar karena, kira-kira tengah malam, Erill mulai mengerang-erang tak sadarkan diri. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Meski lambat karena ada dua Cyone di sisinya, infeksinya masih menyebar, dan dipan serta pondok kotor penuh kuman sama sekali bukan tempat pemulihan yang baik. Sesekali, Erill mengoceh dengan mata setengah terbuka.

"Aku lihat ikan," gumam anak itu. "Ayahku membelikanku ikan di akuarium."

"Dia mulai berhalusinasi." Aria memberi tahu.

"Ayolah, Erill," bisik Mada, setengah cemas, setengah menyemangati. "Kau Brainware. Biasanya kau yang membuat orang jahat lumpuh pakai halusinasi ... bukan sebaliknya. Nanti kalau kau sembuh ... aku akan tangkapkan ikan yang banyak buatmu."

Aria memalingkan muka. Tangannya bergetar di atas kening Erill.

Maka, aku berlari keluar, sesekali merangkak di bawah belukar saat salah satu drone patroli melintas lewat. Sayangnya, aku tidak pernah pandai bergerak sembunyi-sembunyi—aku mengendap-endap seperti sapi dipasangi kalung lonceng.

Hutan itu seharusnya gelap, tetapi ribuan titik cahaya merah menyebar di dedaunan dan bebatuan, mungkin cat semprot. Kurasa, inilah yang namanya Garis Merah. Menuju perumahan terdekat, aku butuh dua jam—mungkin lebih—hanya untuk menyusup masuk. Aku mengambil risiko tertangkap atau terlihat penjaga, tetapi pada akhirnya aku berhasil menggetok kepala seorang pria penjaga apotek dan merampoknya.

Dengan ransel penuh, aku baru keluar lewat pintu belakang saat si penjaga apotek sadarkan diri dan berteriak, mendatangkan setengah lusin pria berseragam serba hitam yang membawa-bawa pentungan.

Selama beberapa lama, aku dikuasai rasa panik. Aku berlari lurus ke arah hutan dan berusaha kembali ke pondok sebelum kemudian menyadari bahwa aku telah membimbing para pengejarku ke tempat persembunyian kami. Maka, aku berbelok, berlari tak tentu arah selama beberapa menit, lalu memanjati pohon. Aku juga tidak pernah pandai panjat-panjatan, tetapi situasi genting dan adrenalin mendorongku sampai melampaui batas kemampuanku.

Aku menunggu sampai segerombolan pria berseragam hitam itu berderap lewat. Kupicingkan mataku, merasa bahwa jumlah mereka lebih sedikit daripada yang kuingat. Mungkin aku salah lihat. Intinya, mereka berlari terus, mengira aku ada di depan. Setelah cahaya senter mereka tak lagi terlihat, aku melompat turun.

Aku bahkan belum sampai pondok saat bertabrakan dengan Aria.

"Mereka membawa Vida!" jerit gadis itu histeris. "Vida—mereka ke sana!"

Aku terpaku karena syok. Namun, cahaya senter itu mulai kembali, dan mereka menyorot tepat ke punggungku. Tersengal-sengal, aku menyeret Aria bersamaku, mengabaikan rontaan dan jeritannya.

"Tidak—Tim—Vida di sana! Dia dibawa ke sana!"

Karena pengejarku sudah terlalu dekat, aku tak punya pilihan selain menghadapinya. Kurasakan ranselku ditarik, maka aku menggunakan momentum untuk menghantamkan kepalaku ke belakang. Aria melepaskan diri dariku sementara aku berbalik dan meninju pria berseragam yang memegangi mulutnya. Aku merebut senternya, lantas memberi serangan final di antara kedua matanya.

Tidak ada siapa-siapa lagi di belakangnya. Sepertinya pria itu mengejarku sendirian. Namun, teman-temannya pasti akan berdatangan tak lama lagi.

"Aria!" Aku menariknya sebelum gadis itu berlari lagi, memanggil-manggil Vida. "Erill! Kau meninggalkan Erill!"

Cahaya senter rampasanku menyorot wajahnya. Bisa kulihat mata gadis itu membelalak ngeri saat kesadaran menyerbunya.

Kami berlari ke arah pondok, yang mana hampir mustahil dilakukan tanpa tersesat. Sementara kami tersandung-sandung dan jelalatan ke sekitar, mulut Aria bergerak dengan cepat, menceritakan apa yang terjadi dengan nada histeris.

"Vida bilang mau buang air kecil," isak Aria. "Aku tidak mungkin membiarkan Vida keluar sendirian. Lagi pula kukira takkan lama. Saat kami akan kembali ke pondok ... tiba-tiba saja mereka—mereka datang—entah dari mana—dua orang pria ... membawa pentungan—"

"Dan kau meninggalkan Erill?!" bentakku tak percaya. "Dengan Mada?!"

"Maafkan aku!" tangisnya.

Setelah berputar-putar tak tentu arah dan nyaris tertangkap kamera pengintai drone dua kali, kami akhirnya berhasil menemukan pondok itu lagi. Namun, saat aku mendobrak masuk, hanya ada Mada di dalam. Anak itu terbaring menyamping, menangis pelan sambil memeluk sebelah kakinya.

Aku memeriksanya, tetapi tidak ada luka. Lalu, Mada terisak, "Kakiku ...."

"Kakimu tidak apa-apa."

"Kepalaku ...."

"Jadi, yang salah kakimu atau kepalamu?" Aku mulai hilang kesabaran.

"Erill masuk ke kepalaku ..." rintih Mada kemudian. Suaranya serak. "Dia mendadak berdiri. Dia mengoceh aneh ... katanya, dia ingin mengurangi rasa sakitnya, mau membaginya denganku. Dia masuk ke kepalaku ... sakit sekali! Kakiku ...."

"Erill?" Aria memanggil.

Kami mencari—menengok ke bawah dipan, ke luar jendela, ke balik pintu. Namun, Erill tak ada di mana pun. Aku hanya menemukan jejak berdarah dan nanah yang mengarah ke depan pintu, seperti langkah kaki yang diseret sampai ke tanah dan menghilang di antara rerumputan.

Sebelum kami bisa mencari lebih jauh, cahaya senter kembali melesat, memaksa kami kembali ke arah pondok. Sayangnya, mereka pasti akan mencari ke dalam.

Aku menggendong Mada di bahuku. Terseok-seok, Aria dan aku berlari membelah hutan dan akhirnya kembali memanjati pohon. Dedaunan lebat menyembunyikan kami, ranting dan dahan-dahan gemuk yang berkaitan menopang bobot kami bertiga. Namun, aku tetap harus melepaskan ranselku, melemparkannya jauh-jauh sebagai umpan untuk membuat jejak palsu bagi pengejar kami.

Toh, ransel itu sudah tak berguna. Obat-obat yang kurampas—semuanya sia-sia. Erill takkan bertahan di dalam hutan.

Mada tertidur dengan memperlakukan perutku seperti bantal, sesekali menggumam tentang ikan-ikan dalam akuarium, berasal dari bayangan yang ditanamkan Erill dalam kepalanya. Aria di sisiku, tangannya menggemit lenganku erat, wajahnya jatuh ke bahuku. Dia terus menangis, "Ini salahku. Vida, maafkan aku ... Erill—ini semua betul-betul salahku ...."

Sejujurnya, ini salahku. Orang-orang berseragam hitam itu mengekoriku sampai hutan. Aku yang membimbing mereka ke sini. Namun, sebelum aku sempat mengatakan itu pada Aria, gadis itu keburu terlelap. Matanya bengkak.

Hanya aku yang terjaga. Seberapa pun lelahnya, wajah-wajah Vida, Erill, dan Hayden terus membayangiku. Bahkan wajah Aziri menghantuiku. Beberapa kali, aku mesti menahan Mada yang merosot dan hampir menggelincir jatuh, membuatku terbayang-bayang apakah wajah anak ini juga bakal menghantuiku suatu saat. Karena, kalau dia mati, meski yang membunuhnya adalah mimpi ikan dalam akuarium sekali pun, itu tetap akan jadi salahku.

Lalu, aku menoleh dan mendapati wajah Aria. Tak bisa terbayang olehku kalau wajahnya juga bakal bergabung bersama para hantu itu, memburuku seumur hidup.

Keduanya terjaga silih berganti untuk sekadar terisak-isak dan menggumamkan nama-nama mantan rekan kami yang sudah mati, tetapi akhirnya mereka kembali lelap karena letih.

Aku tak bisa tidur sedetik pun. Meski drone-drone pengintai itu tidak mungkin terbang ke antara dedaunan rapat, aku harus tetap pasang mata. Lagi pula, mustahil tidur setelah apa yang terjadi. Namun, saat matahari mulai naik, aku akhirnya tak tahan lagi dan membangunkan Aria. Wajahku barangkali mirip zombie karena gadis itu membelalak dan hampir terpekik.

"Kau tidak tidur semalaman? Sama sekali?!" Dia buru-buru membantuku mengenyahkan Mada dari atasku. Satu tangannya berpegangan ke salah satu cabang pohon, tangan lainnya menahan Mada. Maka, tidak ada yang menyanggaku saat aku oleng ke samping. "Tim!"

Aku berguling jatuh. Cabang-cabang pohon menahan laju jatuhku sekaligus membuat lusinan luka gores baru. Ketika akhirnya aku menghantam tanah, rasa sakit itu datang perlahan-lahan. Mula-mula kepalaku seperti bola basket yang diputar di atas satu jari tangan, lalu penglihatanku dihiasi bintik-bintik hitam, dan sekujur tubuhku nyeri tak terkira.

Aku mendengar teriakan Aria, tetapi aku tak bisa memprosesnya. Aku memaksa diri untuk bangun. Selama beberapa detik, aku kebingungan; di mana aku, apa yang kulakukan, dan ... apakah jari kakiku memang semestinya menunjuk ke arah sana ...?

Terpincang-pincang, dengan kaki yang rasanya seperti terbakar dan pandangan buram, aku berjalan membelah hutan. Samar-samar aku teringat bahwa salah satu anggota reguku hilang. Itu tanggung jawabku buat mencarinya.

Selang beberapa menit, aku tersandung lagi. Aku bangkit dan berusaha melihat apa yang menghalangi jalanku, bertepatan dengan Aria yang akhirnya menyusulku bersama Mada di sisinya. Awalnya wajah mereka cemas, lalu mereka melihat tubuh seorang anak laki-laki yang baru saja menyandung kakiku, dan Mada mulai histeris.

"Erill!"

Aku bersandar ke salah satu cabang pohon, berusaha mati-matian mengingat dan memahami. Kulihat Mada menangisi Erill yang teronggok di tanah dengan sebelah kaki membusuk, separuh tertutup dedaunan yang menguning. Aria menarik Mada, mencoba menenangkannya, lalu membuka jaketnya sendiri untuk menutupi jasad Erill. Gadis itu tampaknya mati-matian menahan diri agar tak menangis juga.

Lalu dunia mulai miring. Atau aku yang miring. Padahal aku tidak boleh pingsan. Aria sedang panik, dan histeria Mada sama sekali tidak membantunya—mana boleh aku pingsan di saat begini?

Namun, akhirnya aku jatuh. Dan segalanya gelap. Sunyi.

Bunyi deru mesin membangunkanku. Rasanya aku baru tidur sedetik, tetapi langit sudah gelap lagi begitu aku membuka mata. Dari guncangannya, aku berada di dalam mobil. Dari tingginya dudukan dan bentuk pintu ini, sepertinya kami meminjam sebuah truk atau mobil boks.

Di sisiku, Mada duduk memeluk lutut di antara aku dan Aria yang menyetir. Mata mereka berdua sembap.

"Sudah baikan?" Aria bertanya sambil melirik ke arahku. Tangannya menekan sesuatu di dekat roda setir, menggerakkan wiper, lalu aku menyadari bahwa sedang hujan lebat. "Untunglah kau Cyone. Kakimu betul sendiri. Tapi, tampaknya kau sempat gegar otak ringan juga."

Aku mengernyit, merasakan kepalaku yang masih berat. "Mobil siapa ini?"

"Tidak tahu. Diparkir di jalan dengan kunci masih terpasang. Aku tidak punya pilihan. Kau beratnya 10 ton, Tim, aku dan Mada tidak bisa memapahmu seharian." Aria mencoba meraih sesuatu di atas dasbor, tetapi tangannya tidak sampai. "Mada, kasihkan air minum dan biskuit itu ke Timothy."

Tidak ada reaksi.

"Mada?"

Dengan tampang cemberut, anak itu meraih ke depan, lalu melemparkan sebungkus biskuit ke wajahku. Aku menggeram, "Apa, sih, masalahmu?!"

"Kau yang punya masalah!" Mada mendadak menjerit. Matanya merah. Aria memanggil namanya dengan nada memperingatkan, tetapi anak itu tak mendengarkan. "Kau senang, 'kan, Erill mati dan Vida hilang?!"

"Kalau saja kepalaku tak sedang pusing, kau sudah kulempar keluar—"

"Seharusnya kita turuti Aria buat menyerahkan diri ke Herde! Erill mungkin masih bisa tertolong! Tapi, kau nggak mau! Vida hilang dan Erill mati sendirian—itu semua salahmu!"

"Mada!" Aria membentak. Laju mobil truk memelan, lalu berhenti.

"Tapi, aku benar!" Mada balas berteriak pada Aria. "Timothy sudah nggak asyik sejak dia jadi ketua, tapi kau selalu membelanya! Tim begini, Tim begitu—kau menurut terus sama dia! Kenapa?! Padahal kau tahu dia salah!"

"Hentikan." Aku memperingatkan Mada. "Kalau kau marah padaku, jangan melampiaskannya pada Aria juga—"

"Memang kenapa? Semua orang di PFD juga tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua!" Mada berteriak kehilangan kendali. "Bukan salahku, ya, kau naksir sama adikmu sendiri!"

Di sanalah batasku. Satu tanganku terayun, dan betapa aku menyesalinya saat menyadari aku memakai tangan kanan. Namun, sudah terlambat. Bunyi plak keras memenuhi jok depan dan menyaingi suara hujan saat aku menampar Mada. Kudengar Aria menarik napas seperti hendak berteriak padaku, tetapi suaranya tak keluar.

Mada terpaku. Satu tangannya menyeka darah di sudut bibirnya, padahal bekas koreng di hidungnya saat aku tak sengaja membenturkan wajahnya ke lantai belum lagi hilang. Semestinya aku minta maaf, tetapi kudapati diriku berkata, "Itu untuk mengajarimu cara menutup mulut!"

Sedetik dia mematung, detik berikutnya Mada menyerangku dengan kepalan tangan kurus dan kuku-kuku jari kotornya. Dia menjerit, menangis, dan mengataiku dengan beragam hinaan yang dulu hanya dia gunakan untuk Aziri di belakang punggungnya. Aku berjengit, berusaha menamengi diri. Meski Mada begitu kecil dan ceking, rasanya seperti diterjang hamster gila.

Pintu mobil di sisi pengemudi terbuka. Serentak, Mada dan aku menoleh dan melihat Aria turun dari mobil. Hujan deras tak menghentikan gadis itu dari berderap menjauhi mobil. Aku ikut turun, terhuyung-huyung mengejarnya. Hujaman air hujan hampir sama sakitnya dengan tinju Mada di sekujur badanku yang memar.

"Aria!"

Ketika aku berusaha menariknya, gadis itu menampik tanganku dengan marah. "Lanjutkan saja, jangan pedulikan aku. Aku bisa cari jalan sendiri."

"Jangan bercanda!" Aku berkeras menarik tangannya. "Cepat kembali ke dalam, sekarang!"

"Dan melihat kalian mencakar satu sama lain?!"

"Anak itu yang mulai duluan—"

"Dia 9 tahun!" Aria berteriak. Tangannya melibas ke arahku. "Teman-temannya mati dan hilang dalam 24 jam! Hayden bahkan tertembak di depan matanya! Dia takut dan marah! Buat apa kau meladeninya?! Berkelahi dengan anak 9 tahun adalah hal yang bakal dilakukan Aziri, bukan kau!"

Kami sudah basah kuyup dan aku cemas akan mobil lain yang melintas. Bisa jadi orang Herde. Bisa jadi siapa pun yang tersisa dari PFD meski kami telah meninggalkan pulau itu. Atau lebih buruk, pemilik mobil truk yang kami curi. Mataku mulai berkunang-kunang dan air hujan sama sekali tak membantu.

"Aria, kumohon." Aku mengusap air dari wajahku dengan putus asa. "Aku—aku tidak bisa menyetir ...."

Ujung bibirnya berkedut. Gadis itu tampaknya berusaha keras untuk tidak tertawa. Dia mengatur ekspresi wajahnya dan berderap melewatiku, kembali ke arah mobil. Katanya, "Kau mesti minta maaf pada Mada nanti."

Saat kami kembali, anak laki-laki itu tengah duduk memeluk lutut di atas jok, terisak-isak ke lengannya. Karena suasana hatiku sendiri tidak bagus, aku hanya duduk kembali di tempatku, berpura-pura tak memerhatikannya. Aku membanjiri bagian bawah dasbor dengan air menetes-netes dari baju.

Aria, meski tampak menggigil dan berusaha keras menahan bunyi gemeletuk dari giginya, membujuk Mada sampai tenang. Saat dia menyuruh Mada bergeser, anak itu mencengkram roda setir kuat-kuat. Sambil menyedot ingus, Mada merengek pelan, "Aku pingin menyetir."

Aku memelotot dan menegakkan punggung, tetapi Aria balas memelototiku, lalu berkata lembut pada Mada, "Pegangi roda kemudinya erat-erat, kalau begitu. Biar aku yang injak pedal gas dan remnya. Hati-hati dengan tuas giginya."

Bagian atas roda kemudi masih dipegangi oleh Aria, sedangkan Mada hanya mencengkram bagian bawahnya, tetapi tetap saja aku cemas kami akan terguling di dalam truk. Ketimbang menyetir, kelihatannya justru roda kemudi yang menyetir Mada—anak itu terus tersentak, terbawa ke arah putarannya, dan memekik parau, "Jangan lepas—pegangi aku, aaaaa!"

Satu-satunya yang bisa dikendalikan anak itu hanya tombol wiper kaca depan.

Satu kali saat akan berbelok di tikungan tajam, Mada bersin begitu kencangnya. Mobil hampir oleng ke sisi jalan sampai Aria harus menginjak rem. Kami yang hujan-hujanan, dia yang pilek—heran, tidak, sih.

"Oh, ya ampun." Aria berdengap, lalu kulihat cairan lengket dari hidung Mada mengenai roda setir. "Mada, kau jorok sekali!" Namun, gadis itu mengatakannya sambil tertawa. Tawa histeris yang menular sampai-sampai aku mesti membuang muka dan menutupi mulutku sendiri dengan punggung tangan.

"Ini nggak lucu!" jerit Mada dengan wajah malu. Lalu dia melihatku menahan cengiran. "Jangan tertawa—nggak, ini sama sekali nggak lucu!"

"Ingatkan aku untuk tidak menyentuh klakson," kata Aria, masih terkekeh-kekeh.

Begitu hujan reda, mobil truk sudah hampir kehabisan bahan bakar, jadi kami berhenti di tengah jalan. Udara begitu menggigit, jalanan terlalu gelap, anjing hutan melolong dari dalam hutan yang mengepung, maka kami tetap berada di dalam menunggu fajar. Kami seharusnya tidur bergantian, tetapi rasa waspada mengambil alih, menekan keletihan dan kantuk. Ke mana pun aku menatap, benakku dihantui rasa cemas akan segerombolan Pemburu Fervent atau Fervent liar.

"Kenapa Garis Merah?" Mada bertanya seraya melihat ke sekeliling. "Tempat ini dipenuhi titik cahaya merah cat semprot—harusnya namanya Bintik Merah."

"Komandan Bintara, yang menetapkan penyekatan wilayah ini, awalnya menggunakan cat merah pada pagar kawat pembatasnya." Aria memberi tahu. "Dari jauh, sekatnya seperti garis merah untuk menandakan area terlarang yang tidak boleh dimasuki manusia normal—tentu saja mereka tidak tahu apa yang ada di dalam. Mereka hanya mengira Garis Merah itu sisa peradaban yang dibombardir oleh pasukan Komandan. Tapi hal itu hanya bertahan sebentar. Dalam seminggu saja, ada belasan kasus anak hilang karena bermain terlalu dekat dengan wilayah Garis Merah."

"Yah, kalau aku melihat pagar merah mentereng seperti itu pasti rasanya memang mengundang buat dimasuki," komentar Mada.

"Nah, memang tidak efektif. Bertepatan dengan itu, ada masa di mana para Calor yang pertama kali mendapat kekuatannya ... menggila."

"Menggila?"

"Bayangkan saja Pak Musa, guru kita di PFD," kataku, untuk pertama kalinya bersuara sejak berjam-jam terakhir. "Apa reaksimu kalau dia terbakar mendadak?"

"Dia selalu terbakar. Tapi, toh, aku bakal aman karena dia berada di dalam kotak kacanya, jadi tidak apa-apa."

Aku berdecak. "Kalau begitu, bayangkan dia berjalan keluar dari kotak kacanya buat menghampirimu."

Mada memucat. "Dia tidak boleh ... ba-bakal ada perabot yang terbakar kalau dia melakukan itu."

"Itulah yang menimpa para Calor saat pertama kali mereka mendapat kekuatannya," kata Aria. "Rata-rata, para Calor berubah jadi api saat usia pubertas. Saat mengalami itu, mereka berlarian ke arah Garis Merah yang tidak berpenghuni. Saksi mata yang pernah melihat para Calor pergi entah berakhir di rumah sakit jiwa atau mati dengan luka bakar. Akhirnya para Calor lari ke wilayah sungai, air terjun, danau, atau tanah kering agar tidak membuat kebakaran hutan, tapi jejak api mereka kadang tertinggal. Titik-titik api yang tersisa itu rupanya ampuh mengusir siapa pun dari Garis Merah, bahkan anak-anak. Orang-orang dewasa mulai membuat cerita tentang hantu api. Cat semprot itu pun mulai disebar dan pagar kawat dialiri listrik. Yah, hasilnya memang ada—anak-anak jadi takut mendekati Garis Merah."

Aku mengerutkan kening. "Dari mana kau tahu semua itu?"

"Pak Musa cerita sebelum dia berhenti mengajar." Aria mengangkat bahunya.

"Menurutmu, di mana dia sekarang?" tanya Mada sendu. "Apakah Pak Musa tahu PFD diserang oleh guru-guru baru itu? Apakah dia tidak khawatir sama kita?"

Aria dan aku berpandangan. Kami tidak mungkin membuat Mada lebih terpuruk lagi, tetapi kecil kemungkinan si pria Calor memikirkan kami—dia pasti tahu apa yang tengah terjadi dalam institusi PFD, tetapi, toh, dia tetap meninggalkan kami. Dia bisa saja mengatakan yang sebenarnya, mengoordinasi kami agar keluar lebih cepat dari PFD, atau lebih bagus lagi: memberi tahu kami di mana Kompleks Sentral, karena tempat itulah yang dijanjikan sejak awal sebagai suaka sekaligus hadiah kelulusan kami. Namun, tidak. Pria Calor itu malah berhenti, pergi begitu saja, meninggalkan ratusan anak dan remaja yang dia bilang sudah seperti anak-anakku sendiri.

"Aku lapar," kata Mada lagi.

"Kita belum memeriksa bak truk ini sejak mencurinya," kata Aria seraya menoleh ke belakang. "Akan kucek, mungkin ada sesuatu buat dimakan. Kalau ada baju ganti lebih bagus. Dan ..."—dia memandangi tombol klakson—"sesuatu untuk mengelap bekas ingus."

Mada mendengkus. "Cuma bersin satu kali, dan seseorang langsung dicap jadi biang ingus seumur hidupnya—adil sekali."

Aria menyengir dan mengusap puncak kepala Mada sebelum pergi keluar untuk mengecek pintu belakang. Kemudian, Mada memelototiku.

"Apa?" tanyaku. "Bukan aku yang mengejek ingusmu."

"Kapan kau mau minta maaf?" desaknya. "Kau menghajarku dua kali belakangan ini. Kau juga pernah memukul tangan Hayden dan membentak Vida waktu di barak—kau bukan Timothy yang kukenal lagi sejak kau jadi ketua."

Aku mendengus. Coba saja kalau dia yang di posisiku, terjebak untuk mengurusi anak berandalan seperti mereka—aku hampir mengatakan itu, tetapi Mada keburu melanjutkan, "Kau tidak merasa bersalah? Kau kira memukuli anak buah itu salah satu tugas ketua, makanya kau tidak merasa tindakan itu salah? Artinya kau tidak ada bedanya dengan Aziri."

Aku berdecak. "Oke. Sori."

Mada memberengut. "Bagus, jangan diulangi lagi."

Rasanya ini terbalik, tetapi aku terlalu capek untuk memulai pertengkaran.

"Menurutmu Vida selamat, tidak?" tanya Mada tiba-tiba. Tangannya menekuri roda setir. Aria pasti akan berusaha menumbuhkan semangatnya dengan berucap, Vida anak pintar, hebat, dan sebagainya, dia pasti bertahan.

Namun, aku bukan Aria. Dan 'pintar' atau 'hebat' sama sekali bukan kata pertama yang melintas di kepalaku saat terbayang Vida. Dia cengeng, penakut, mudah panik, masih terlalu muda dan ceroboh. Aku tak melihat alasan sama sekali untuk mengangkat harapan kosong Mada.

"Tidak," kataku. "Kurasa, dia takkan selamat. Orang-orang berseragam hitam itu ... mereka pasti pasukan dari Kompleks Sentral. Mereka tak ragu-ragu mengejarku dengan pentungan. Mereka takkan ragu-ragu juga menghabisi Vida."

Mada menjatuhkan wajahnya ke atas roda setir seperti orang depresi, jidatnya menekan klakson, yang kemudian melengking menembus malam dan mengusir burung-burung yang bertengger di antara pepohonan di sekitar kami. Anak itu terlonjak sendiri sebelum aku sempat menariknya.

"Dasar bodoh," kataku, lalu buru-buru memutar kunci sampai mesin mobil mati. "Bagaimana kalau ada orang di dekat sini?!"

Mada mengerling sekitar dengan gugup. "Aria ... dia kok tidak datang ...?"

Firasat buruk menghantamku. Mada benar—seharusnya Aria menghampiri kami, minimal berteriak menanyakan klakson barusan. Aku buru-buru turun dari mobil. Saat Mada ikut bergeser, aku menghentikannya. "Kau di sini saja!"

Kuabaikan gerutuan protesnya. Mada memang Teleporter, tetapi dia juga buta arah. Apa pun yang terjadi di belakang, kalau memang ada seseorang ....

Aku tidak bisa kehilangan anggota reguku lagi.

Namun, saat aku mengecek, Aria masih di sana, duduk di dalam bak truk yang gelap. Kelegaan menguasaiku selama beberapa detik, kemudian aku melihat apa yang tengah merenggut perhatiannya sampai-sampai gadis itu tak mendengar lengkingan klakson barusan.

"Apa ini?" tanyaku, melompat naik.

Dia menoleh kepadaku, lalu kembali memerhatikan kurungan bersusun di hadapannya. "Seperti kandang hewan ...."

"Maksudmu, pernah ada hewan yang ditawan di sini, dan sekarang mereka lepas?"

"Tidak." Gadis itu meraih ke dalam salah satu kotak kurungan yang pintu jerujinya terbuka, mengeluarkan sepasang celana kotor dan baju kaus putih bergambar zebra yang tersenyum. Baju itu dipenuhi lumpur dan noda kecokelatan yang sepertinya bekas darah. "Ini baju anak-anak, Tim. Ini ... bahkan lebih kecil dari ukuran Mada dan Erill."

Aku memerhatikan sepenjuru bagian dalam bak. Kurungan berjeruji, bungkus makanan yang separuh habis, baju-baju kotor bekas pakai ... dan tulisan pada peti kemas.

"Pusat Karantina." Aku membaca tulisannya. "Ini ... institusi lain dari program Kompleks Sentral, tempat mereka mengarantina anak-anak Fervent yang terlalu muda. Mereka pasti pernah membawa anak-anak itu dengan mobil truk ini sebelum kau mencurinya."

"Bagaimana bisa mereka melakukan itu ke anak-anak? Tempat ini buat hewan!" Aria mulai terisak-isak seraya memeluk baju kaus zebra itu. "Bagaimana dengan Vida? Vida bisa saja berakhir seperti ini, Tim ...."

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menghiburnya, jadi aku hanya terdiam dan duduk di antara kurungan-kurungan kotor selama Aria tersedu-sedu. Beberapa selimut bolong-bolong teronggok bersama tumpukan kain terpal robek-robek—mungkin anak-anak itu dipaksa tidur di sana, meringkuk ketakutan.

"Hei," kataku, berusaha memutar otak untuk kalimat yang bagus, "semuanya bakal baik-baik saja."

Baik-baik saja jidatmu. Kami terdampar di tengah jalanan sepi, dikepung hutan yang berkelip merah; menyaksikan banyak teman yang mati dan hilang; kelaparan, kedinginan, kebingungan ... dan kami duduk di antara kurungan-kurungan hewan yang pernah menawan anak-anak Fervent seusia Vida dan Erill. Mada masih 9 tahun dan sudah menyaksikan kerongkongan temannya dilubangi timah panas, Aria 12 tahun dan sedang menangis seperti wanita tua yang meratapi kematian anak kandungnya, aku 13 tahun dan dituduh bertanggung jawab atas kematian dua rekan serta hilangnya satu anggota regu. Baik-baik saja dalam keadaan ini kedengaran sama parahnya seperti ucapan Hore di pemakaman seseorang.

Setelah Aria sudah lebih tenang, dia kembali memeriksa kotak-kotak kayu untuk mengais sisa makanan kalengan yang tersisa. Matanya bengkak, wajahnya pucat, tetapi entah bagaimana dia mampu terlihat lebih tegar daripada aku.

Tanpa memandangku, dia bertanya, "Kau sudah baikan dengan Mada?"

"Mungkin," kataku. "Dia bilang, aku tak ada bedanya dengan Aziri."

"Jangan diambil hati."

"Tapi, tadi kau juga bilang begitu," kataku. "Kau bilang aku seperti Aziri."

Aria mengangkat bahu. "Kadang, sih, kau tampak seperti berusaha menyesuaikan diri dengan cara Aziri memimpin regu."

"Menghibur sekali, tuh."

"Aziri tidak seratus persen jelek," bantah Aria. "Dia mungkin kasar, senang main tangan, egonya tinggi, selalu menemukan kesalahan orang lain daripada kesalahannya sendiri ... tunggu, tadi kita membahas apa?"

Aku memutar bola mata. "Kau bilang, Aziri tidak sepenuhnya jelek."

"Ya," kata Aria. "Satu sisi baiknya, Aziri tidak pernah meninggalkan kita. Dia mungkin menyeret kita sampai berdarah-darah di tanah, tapi dia tak pernah meninggalkan siapa-siapa di belakang. Dia terus-terusan mengancam Mada dan Vida bakal membuang mereka dari regu, tapi pada akhirnya Aziri selalu menarik mereka bersamanya, walau dengan paksaan."

Aku merenungi kakiku. "Jelas saja—bahkan aku pun tahu bagaimana posisinya."

"Apa?"

"Perihal tidak bisa meninggalkan siapa-siapa di belakang," kataku. "Maksudku ... aku hanya memalingkan wajah beberapa detik, dan Hayden tertembak tepat di belakangku. Aku pergi mengambil obat, Erill langsung tewas dan Vida hilang. Rasanya seolah aku tidak boleh lengah sedikit pun—" Aku mengenyit, lalu menggetok bagian depan bak truk dengan cemas. "Mada, kau masih di sana?"

"Hah?" Kudengar suaranya samar-samar. "Ada panda di belakang sana?"

"Aman," kataku, dan Aria menyengir.

"Jangan terlalu memberati pundakmu sendiri, Tim," kata gadis itu, "kau tidak sendirian di sini."

"Rasanya seolah aku sendirian."

"Tidak, kok. Mada masih di depan, dan aku juga masih di sini. Selama kita bersama-sama—"

"Kau menjauhiku saat diberi tahu kalau kita saudara kandung," ungkitku, merasa kekesalan lama diungkap kembali. "Dan baru beberapa jam lalu kau mencoba meninggalkanku berdua saja dengan Mada."

"Yang tadi itu aku cuma mengancam, kok, tidak serius." Aria memelintir helaian kecil rambutnya yang masih lembab di depan bahu. "Terus, masalah yang dulu itu ... kau mau aku bagaimana? Setelah semua yang terjadi, lalu tiba-tiba aku diberi tahu kau itu kakakku—kakak kandungku ... kaukira jadi mudah menatapmu? Tentu saja aku syok. Selama ini aku—" Dia menelan ludah, alisnya mengerut dalam. "Selama ini aku naksir pada kakakku sendiri. Kau kira enak punya pemikiran seperti itu?"

"Apakah kau bahkan pernah menganggap aku ini kakakmu?"

Aria mengangkat bahu. "Tidak. Bahkan setelah tahu pun, masih susah menganggapmu 'kakak', soalnya kadang kau sendiri kekanak-kanakan."

"Aku?" Kutunjuk diriku sendiri dengan syok. "Kekanak-kanakan? Setelah semua kesabaranku selama ini? Aziri cuma butuh 24 jam bertingkah gila setelah mengenal Mada dan Vida. Aku menghabiskan berbulan-bulan belakangan ini untuk tidak melempar mereka berdua lewat jendela—yang mana susah sekali!"

"Aku dengar itu!" Mada berteriak dari depan.

"Kurasa, kau terlalu banyak menghabiskan waktu membandingkan dirimu sendiri dengan Aziri." Aria berdecak. "Dan itu kekanak-kanakan. Kalau kau mau kupanggil kakak, bertingkahlah seperti 'kakak', bukannya seperti Aziri."

Aku menatapnya lekat-lekat. "Jadi, kau menganggapku apa?"

Dia menelengkan kepalanya, balas menatapku. "Aku bisa tanyakan hal yang sama padamu, Tim. Kau menganggapku apa?"

Kami bisa saja melakukan dialog canggung dan ganjil ini semalaman, tetapi suara lolongan anjing hutan membuat suasana senyap dan mencekam seketika. Selama beberapa saat, Aria kembali mengumpulkan barang-barang, dan aku mengamati sekitar dengan tegang. Ketakutan menyebar seperti udara dingin—merayap, menjerat, dan tiba-tiba saja kau telah lumpuh. Aku baru akan keluar dari bak saat mobil truk berguncang seperti ditabrak dari depan. Aku jatuh berlutut, dan Aria memekik seraya menjatuhkan beberapa kaleng buah penyok.

Mada.

Kakiku bergerak otomatis. Aku melompat turun dan berlari ke depan, lantas melihat batang kayu gelondongan sepanjang lebih dari semeter mencuat dari kaca depan. Jauh di depan, mungkin hampir 200 meter jaraknya, pohon-pohon dan semak tinggi tersibak, meninggalkan bekas seolah salah satu batang pohon di sana baru saja meluncur seperti roket dan menghantam kaca depan truk.

Hatiku mencelus, tumitku kebas, dan rasa seolah hujan sederas air terjun sekali lagi mengguyurku sedingin es. Bagian depan mobil penyok, pintu rusak, dan ada darah yang mengotori kaca depan. Aku menarik pintu yang setengah hancur sampai terbuka dan mendapati Mada tertancap ke sandaran jok dengan batang kayu menembus dadanya.

"Mada?" Aku memanggilnya dengan gemetar meski aku tahu sudah terlambat. Aku menarik batang kayu itu, mencoba mencabutnya; aku berusaha memindahkan Mada, mendorong dan menggesernya—tak ada yang bisa kugerakkan kecuali ranting-ranting yang patah. "Mada ...."

Matanya mati, menatap ke depan, membeliak seakan dia masih menyaksikan batang kayu itu melaju ke arahnya. Dia tidak akan menjawab, tetapi kudapati bibirku masih bergerak memanggilnya, "Mada ...."

Pikiranku kosong untuk sejenak.

Kemudian, Aria berteriak.

Bak dirasuki setan, aku berlari kembali ke belakang. Tanganku mengepal, kepalaku panas hingga ke ubun-ubun. Aku mendengar suara seseorang tertawa—suara laki-laki. Lalu, dia berkata dengan riang, "Lihat, cepat sekali lukanya menutup!"

Di dalam, ada dua orang laki-laki yang tidak mungkin lebih tua dari 20 tahun. Mereka memakai seragam hitam dengan seleret garis oranye melintang diagonal dari satu bahu ke pinggang. Di PFD, kami mempelajari mereka—sisi jelek dari Kompleks Sentral, yang merekrut Fervent untuk meringkus Fervent lainnya: para Pemburu Fervent.

Salah satunya memainkan ranting-ranting dan dedaunan di tangannya, membuyarkannya sampai menjadi debu—Phantom, dan aku yakin dialah yang menerjang truk kami dengan batang pohon itu, membunuh Mada dalam sekejap. Lelaki satu lagi duduk di atas punggung Aria yang ditahan tengkurap, memuntir tangan gadis itu ke belakang. Si Pemburu menggoreskan pisau lipat ke sepanjang lengan Aria dan memerhatikan lukanya menutup dengan tatapan tertarik.

Aku menerjang ke dalam.

Si lelaki Phantom terjungkal dan kepalanya menghantam dinding bak truk, membuatnya linglung sesaat. Namun, lelaki satu lagi berkelit, membawa Aria bersamanya dengan pisau lipat menempel ke nadi gadis itu.

"Evalyn!" teriak lelaki yang menahan Aria, seperti memanggil seseorang.

Aku lengah. Aku terlalu berfokus untuk menjatuhkannya dan tak menyadari seseorang mengendap di belakangku. Tanpa kusadari kedua kakiku lumpuh seolah kehilangan tulang-tulang penyusunnya. Badanku berdebum ke depan, sepatuku terlepas dari kakiku, dan kurasakan jari tangan seseorang mengangkat daguku.

Wajah perempuan muncul di atasku, matanya seputih susu.

Brainware ....

"Lekas!" Kudengar suara lelaki lain di belakangku, barangkali Phantom yang tadi kujatuhkan. "Sebentar lagi Agen Herde datang!"

"Mungkin kita bawa saja keduanya," usul si Pemburu yang menahan Aria. "Kalian lihat data mereka—keduanya bersaudara. Cyone mereka sama-sama bernilai tinggi! Kalau kita jual langsung—"

"Tidak." Si perempuan Brainware—Evalyn—menukas sambil masih mengamatiku. "Kita sudah telanjur melapor ke Herde. Kalau mereka tidak mendapat Fervent, ini akan berpengaruh ke penilaian kinerja kita."

"Jadi?"

"Tinggalkan salah satu untuk ditangkap Agen Herde, jual yang satunya—dengan begitu kita bisa dapat dua miliar dari penjualan Cyone ilegal tanpa melukai kinerja kita. Perempuan nilainya lebih tinggi di pasar gelap."

"Bagaimana dengan Teleporter di depan?" Pemburu satu lagi bertanya. "Cody langsung membunuhnya—apa Teleporter itu masih bisa kita jual?"

"Percuma," kata si Phantom—Cody. "Anak itu Teleporter rendahan. Tidak ada nilainya. Makanya, aku langsung membunuhnya sebelum dia bisa berteriak."

Aku menggertakkan gigi. Kakiku masih lumpuh dan kedua tangannya terkulai seolah mereka bukan tanganku.

"Sekarang, masalahnya adalah laki-laki ini." Evalyn menelaahku. Meski bola matanya putih susu dan tampak hampa, aku bisa merasakan bagian dalam kepalaku tengah dikoyak dan dikais olehnya. "Siswa PFD, nilai terbaik ... pikirannya punya pertahanan sendiri."

Dua Pemburu lain mendekat dan ikut mengamatiku di belakang si Brainware. Di tangan salah satu Pemburu itu, Aria tak bisa bergerak karena bilah tajam yang menempel begitu erat ke lehernya, tampak hampir terbenam ke kulitnya.

"Kalau kau tidak bisa menghapus ingatannya, dia bakal mengadukan kita ke Herde."

"Dia tidak akan mengadukan kita." Evalyn menelengkan kepalanya, mencari celah. "Kalau saja aku bisa merusaknya sedikit—"

Lalu, sudut bibir Evalyn terangkat. Senyum lebarnya—terlalu lebar hingga kesannya seperti merobek wajahnya—tersungging. Kedua temannya pun berjengit menghindari gadis itu.

"Aku tahu masalahnya sekarang!" Gadis itu terkikik histeris. Kurasakan bola mataku bergetar di rongganya. Seumur hidupku, aku tak pernah merasa setakut ini pada seseorang. "Kau ingin terbebas dari mereka. Kau ingin terbebas darinya." Si Brainware berbisik di depan wajahku. "Kau capek. Kau terbebani. Ambillah kebebasanmu—lepaskan mereka. Lepaskan gadis itu."

"Tim—" Aria melakukan kesalahan dengan bersuara. Setetes darah mengaliri kulit lehernya. Gadis itu merintih, gemetaran, tetapi pemuda yang menyekapnya tampak menikmati itu dan tak berniat melonggarkan sayatan belatinya sedikit pun.

Aku hampir mendapat kendali diriku lagi saat air mata Aria jatuh, tetapi kemudian si gadis Brainware mencengkram wajahku. Senyumnya tercetak di mukaku. "Ini kesempatanmu—lepaskan mereka!"

Suaranya mendadak terdengar merdu di telingaku. Kedengarannya dia sedang menyemangatiku. Aku tak pernah disemangati seperti ini seumur hidupku.

"13 tahun kau hidup buat orang lain!" Evalyn meyakinkanku. "13 tahun kau mengabdi untuk ekspektasi orang-orang yang bahkan tidak peduli padamu! Mereka menamaimu, memberimu label, memberikanmu tanggung jawab yang seharusnya bukan buatmu! Ini kesempatanmu untuk bebas!"

Kau senang jika tidak perlu lagi menoleh setiap menit untuk memastikannya masih ada. Kali ini, kudengar suara Evalyn di dalam kepalaku. Kau lelah pada tanggung jawabmu, dan rasa takut kalau suatu hari akan kehilangannya. Kalau kau kehilangannya sekarang, kau tak perlu takut lagi besok.

"TIM!" Suara teriakan seorang gadis pecah, tetapi aku tak mengenali suaranya. Kudapati kakiku kembali tersangga. Aku bergerak turun dari bak truk.

"Teruslah berjalan dan jangan berhenti!" sorak Evalyn padaku. Dadaku disesaki euforia dan kegirangannya. "Jangan menoleh lagi! Dia bukan lagi tanggung jawabmu! Kau juga tidak perlu lagi meragukan moralmu sendiri! Tidak usah memikirkan benar atau salahnya perasaanmu buatnya—teruslah berjalan!"

Kukira ada cahaya benderang menyorot dari depan, mungkin itulah kebebasanku. Aku mengejar sinar itu, merasa terbang untuk sesaat.

Lalu, suara klakson menusuk telingaku.

Begitu otakku kembali berproses, hal pertama yang tertangkap oleh mataku adalah tulisan HERDE pada badan dua mobil jip yang tengah melaju lamban di jalan. Aku masih tersembunyi di antara pepohonan, tetapi mereka akan melihatku sebentar lagi.

Kemudian, aku mulai bertanya-tanya: apa yang kulakukan di sini?

Begitu tersadar, kurasakan tulang penyusun tubuhku ambruk. Es batu seolah berjatuhan ke atas kepalaku, mengguyurku sampai kaki.

Aria.

Aku berbalik, berlari kembali. Mati-matian. Menerabas belukar setinggi pinggang dan menginjak akar berbonggol dengan kaki telanjang. Sepatuku hilang entah di mana. Telapak kakiku mengucurkan darah, tetapi aku tidak peduli. Aku cuma berlari.

Aku terus berharap mobil truk itu masih di sana, dengan Aria di dalamnya.

Dengan adikku masih utuh di dalamnya.

"Aria!" Aku berteriak begitu mencapai mobil truk itu, tetapi saat aku masuk ke bagian dalam baknya, tidak ada seorang pun di sana.

"ARIA!"

Aku menyibak selimut, melemparkan kandang-kandang yang kosong ke luar. Aku masih berharap Aria, entah bagaimana, mampu bersembunyi di antara ini semua. Entah bagaimana, dia bisa bertahan—harus.

Aku tak tahu berapa lama aku membongkar muatan mobil truk. Setelah bak itu hampir kosong, dengan seluruh isinya kulempar ke jalan dan hanya tersisa satu kurungan yang di atasnya tergeletak baju kaus bergambar zebra, aku pun sadar, aku telah kehilangannya. Aku kehilangan Aria.

Aku kehilangan adikku.

Aku semestinya mengejar. Aku seharusnya berlari lagi. Aku mungkin masih bisa menyusul para Pemburu itu dan menyelamatkan Aria, tetapi kalimat si Brainware masih mencekikkku dari dalam.

Kau ingin terbebas dari mereka. Kau ingin terbebas darinya.

Jatuh bersimpuh, kucengkram kedua lututku, berusaha meyakinkan diriku bahwa aku kakak yang baik. Aku pemimpin yang baik. Aku tidak merasa terbebani—sama sekali.

Kau senang jika tidak perlu lagi menoleh setiap menit untuk memastikannya masih ada. Kau lelah pada tanggung jawabmu, dan rasa takut kalau suatu hari akan kehilangannya. Kalau kau kehilangannya sekarang, kau tak perlu takut lagi

"KELUAR DARI KEPALAKU!"

Kucengkram jeruji kurungan itu, lalu mulai membenturkan kepala ke sana. Berulang-ulang. Belasan, puluhan kali. Sampai kurasakan darah mengental di kepala, meleleh menuruni wajahku. Di jok pengemudi, mayat Mada masih duduk. Aku tak bisa melihatnya karena terhalang dinding bak, tetapi aku tahu dia di sana, menancap ke jok. Kurasa, aku mendengarnya tertawa juga.

Kau ingin terbebas darinya.

"Keluar ...." Aku ambruk ke belakang. Dengan posisi telentang dan tangan terentang, aku masih berusaha mengangkat kepala, untuk kemudian membenturkannya ke lantai mobil. "Keluar dari kepalaku."

Kau ingin terbebas darinya.

Atap mobil mengerucut. Atau mungkin pandanganku yang mulai menyempit.

Kau ingin terbebas darinya.

Kupejamkan mataku, lalu membukanya lagi. Sayup-sayup, kudengar suara sepatu bot yang berderap—para Agen Herde akhirnya menemukanku.

Kau ingin terbebas darinya.

Kau ingin terbebas dari—

Aku ingin terbebas darinya.

Tidak perlu takut lagi. Tidak perlu cemas. Tidak perlu mengkhawatirkan siapa-siapa. Lebih bagus kalau dia mati, atau hidup tanpa sepengetahuanku di ujung dunia sana.

Barangkali suara-suara ini asalnya dari kepalaku sendiri, terkubur jauh di dasar pikiranku yang penuh oleh beban nyawa orang lain. Bukan suara si Brainware. Brainware itu hanya membantuku menggalinya keluar.

Tidak perlu takut kehilangan Aria lagi karena dia sudah hilang ....

Cyone tak membiarkanku kehilangan kesadaran hanya karena cedera kepala. Dengan cepat, kudapatkan tenagaku kembali, lalu duduk bersila meratapi onggokan baju kaus bergambar zebra yang sebelumnya Aria dekap erat-erat.

Aku terbebas darinya. Aku terbebas dari pandangan aneh orang-orang karena aku menaksir adikku sendiri.

Seseorang menyorotiku dengan senter, lalu suara-suara itu menghantarkan kabar—"Ada Fervent liar di dalam bak truk."

Tidak perlu takut lagi. Kalimat itu berputar dalam kepalaku, memberiku kedamaian yang ganjil—perasaan asing yang menjalar dengan cepat bak racun, melumpuhkan insting dan otot-otot tubuhku yang seharusnya selalu siaga.

Tidak perlu cemas lagi.

Kurasa aku berhalusinasi, tetapi tampaknya kepala Mada berputar di jok pengemudi. Kutekankan sekali lagi: ada dinding bak truk yang menghalangi pandanganku darinya, tetapi aku seolah tahu begitu saja bahwa Mada tengah menertawakanku di jok depan.

Wajahnya yang hampa tersenyum padaku. Suaranya menyayat: Kau bebas, Tim. Kau bukan lagi ketua kami. Kau bahkan bukan lagi Tim yang kukagumi. Kau bukan lagi Timothy yang kami kenal.

Tangan-tangan itu mulai menarikku, menyeretku keluar dari mobil truk. Kalimat si Brainware menyatu dengan pikiranku. Ia mengubahku menjadi sediam dan sedingin patung pahat.

Kepada wajah imajiner di jok depan, aku terkekeh. Aku tertawa pada mayat Mada. Dia benar. Aku sudah bukan ketua lagi. Yang terutama, aku bukan lagi seorang kakak!

"Ada apa dengan bocah truk ini?" tanya seorang pria berseragam hitam. "Kenapa dia tertawa—"

Aku mencoba memberitahunya, tetapi aku terlalu sibuk tergelak sampai kerongkonganku sakit.

Aku tidak perlu mengkhawatirkan benar-salahnya perasaanku buat Aria lagi.

Aku tidak perlu menjaga siapa-siapa.

Tidak perlu takut kehilangannya.

Tidak ada tanggung jawab lagi.

Aku bebas ....

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Mari tebak-tebakan ending RavAges (╯✧▽✧)╯

Bagaimana cerita super panjang ini akan berakhir nanti?

Siapa aja yang bertahan dan siapa aja yang dipanggil Tuhan?

Apa sebetulnya yang diincar duet maut Bintara dan Raios?

Siapa Raven?


Yang jelas, ending ceritanya akan bikin kalian nangis sambil ngakak UwU


Remember this one?

.

.

.

I didn't lie, did I?

Mari kita lihat prediksi ending yang kali ini  ╰(*'︶'*)╯



Fanart (ataukah ini mini comic?) dari seirin11_04 σ(≧ε≦σ) ♡



Fanart (ataukah ini mini comic?) dari Shiholilah ♡ ~('▽^人)



Satu lagi ....




Petisi untuk seirin11_04 dan Shiholilah bikin komik sendiri ke webtoon!!!!!! \( '^' )/

/khalayak bersorak/ Ayeeee!!!!!

//demo //bakar ban



BTW

Sudahkah Anda sekalian main ke lapak Iridescent? |\ • ω •。')

Hamdalah menang wattys2020 di kategori Paranormal °˖✧◝(⁰▿⁰)◜✧˖°

Terus menang event Marathon Writing Month dari Grup NPC juga karena bisa tamat dalam sebulan °˖✧◝(⁰▿⁰)◜✧˖°

Yang suka hantu-hantu unyu, cantiks, demen arisan di kuburan, atau makhluk-makhluk astral uwu lainnya, mari datang //tahlilan //baca doa selamat

FYI, Iridescent merupakan Spin-Off dari cerita Indigenous, yang dua tahun sebelumnya juga nangkring di wattys2018 dalam kategori "The Wild Cards"

Kalian bisa tetap baca Iridescent walau belum baca Indigenous karena konflik ceritanya berdiri sendiri, tapi kalau baca Indigenous dulu akan lebih mancap (buat authornya) '-')b

Ehehe

Terima kasih yang mendukung saya sampai sini, ini adalah kemenangan kita bersama  (♡°▽°♡)

Terima kasih pihak Wattysid (*˘︶˘*).。.:*♡

Selamat untuk para pemenang lainnya (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro