#91

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #91 | 5677 words |

Karena sayanya kelamaan nda update, nih pengingat, kali aja banyak yang lupa ._.

Previous chapter:

Truck mencoba berbalik ke kongsi Komandan Bintara untuk menemukan Aria, tetapi Leila dan Alatas berhasil meyakinkan Truck ke pihak mereka kembali, alhasil Erion menang taruhan. Sebagai pengalih perhatian, Leila (somehow) meledakkan tanggul dari kejauhan, membuat air danau meluap dan (dengan bantuan para Calor dari koloni Embre) menciptakan kepanikan massal di fasilitas NC di Kompleks 1.

Ketika mereka hampir berhasil melarikan diri sekaligus membebaskan semua anggota koloni Embre yang ditawan, Leila ketinggalan karena menyelamatkan rekam jejak Aria. Truck menyelamatkannya bersama Neil (Teleporter, teman Op). Dan Leila menemukan kebenaran hubungan Truck sama Aria.

BAGAIMANA BISA aku tak menyadari kemiripan keluarga di antara mereka? Sepasang mata hitam legam dengan tatapan waspada, tubuh tinggi atletis untuk ukuran anak remaja, kesan dewasa dan pembawaan keras di wajah keduanya ....

Aria adiknya Truck. Adik kandung.

Kini, mengingat kembali perkataanku pada Alatas dulu bahwa Truck seharusnya berhenti saja mencari Aria ... aku jadi malu sekali.

"Kompleks 18." Aku membaca rekam jejak Aria. Dari tanggalannya, dokumen ini diperbarui enam bulan lalu. Kalau gadis itu masih hidup, dia seharusnya masih di sana. "Sekarang atau tidak sama sekali, Truck."

Truck masih duduk terpaku. Kedua tangannya saling cengkram di atas kepalanya yang tertunduk, siku bertumpu ke lutut. Dia tampak pucat, hampir seperti orang mabuk laut.

"Ada Teleporter di dekat kita." Aku menunjuk Neil yang masih menunggu kami di antara pepohonan. "Kau hanya perlu melihat keadaannya. Entah kau mau menemui Aria atau tidak, itu terserah padamu nantinya. Tapi, kau harus melakukannya sekarang. Kalau kau menunda ini, mungkin tak bakal ada kesempatan lagi untuk mengeceknya. Setelah kita mengacaukan pangkalannya lagi di sini, Bintara akan tambah gila untuk menangkap kita sekarang. Belum lagi tetek bengek T. Ed dan para Calor—"

"Dan koloni Teleporter-ku," tambah Neil, menyunggingkan senyum masam. "Jangan lupa, kami terseret sampai sini gara-gara mulut ember seorang cewek."

Aku berpura-pura tak mendengarnya. "Jadi, kau harus mengecek Kompleks 18 sekarang, Truck, sebelum orang T. Ed mulai bertanya-tanya di mana posisi kita."

Truck menghentak-hentakkan sebelah kakinya ke tanah. "Teleporter hanya bisa berpindah ke tempat yang pernah dikunjunginya."

Aku menatap Neil. "Kau pernah ke Kompleks 18?"

"Pernah," jawabnya. "Tapi kau tidak bakal suka di sana."

"Kenapa?"

"90% penghuninya manusia normal dan sudah berbulan-bulan ini mereka melakukan persekusi pada Fervent. Fervent yang diizinkan datang ke sana hanya Cyone, Detektor, Peredam—pada dasarnya, jenis Fervent yang tidak destruktif. Selain tiga Fervent itu? Mati atau terusir. Terakhir kali, mereka mendapati salah satu warganya ternyata seorang Peledak yang mengaku-aku manusia normal ... seru sekali." Neil melempar pandang ke batas perairan dengan tatapan mengenang. "Arka dijahit ke kulit lengannya, lalu dia diarak telanjang bulat di jalanan, dilempari batu oleh tetangganya sendiri. Aku dan Op ikut menyorakinya dari trotoar."

Aku mengerutkan kening. "Tapi kalian Teleporter."

Neil mengangkat bahu. "Tidak ada yang menyadari wajah kami di keriuhan."

"Nah, Truck cuma Cyone, artinya tidak masalah—"

"Alatas dan Erion menunggu kita," kata Truck lagi.

"Mereka akan mengerti, kita akan jelaskan nanti." Aku mengangkat sebelah alis, menantangnya untuk mencari-cari alasan lagi.

Aku menghitung sampai 10. Tidak ada sanggahan, berarti 'iya'. Maka, aku meminta Neil meneleportasikan Truck ke Kompleks 18, yang mana mudah saja karena dia bukan Op.

"Tunggu dulu," kata Truck sampai aku dan Neil mengerangkan keluhan hampir bersamaan. "Bagaimana denganmu? Kau ... tidak ikut?" tanyanya, matanya seperti akan meloncat keluar dari rongganya. Namun, yang dipasangnya itu bukan ekspresi marah atau pun cemas. Truck seperti ... ketakutan ...?

"Kau dengar Neil, Truck. Multi-fervent sepertiku bakal dikuliti di sana."

"Kalau tidak ketahuan, sih, tidak apa-apa," ujar Neil. Matanya menelaahku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lagi pula kalau ketahuan, cuma dibawa keliling kota tanpa baju, kok. Aku janji bakal tutup mata waktu melemparimu batu."

Aku memutar mata. "Makasih."

"Markas NC yang baru kau hancurkan tepat di ujung sana." Truck menodong seberang danau yang masih bergolak. Bangunannya sudah hampir tak terlihat, tetapi puluhan titik cahaya drone patroli berseliweran di atasnya. "Mereka akan menyisir kemari tak lama lagi."

Aku bersedekap keras kepala. "Aku baru saja menemukan cara baru untuk meledakkan sesuatu dari jarak jauh. Aku tidak keberatan praktik lagi ke orang NC. Aku bakal baik-baik saja di sini asal kau tidak lama-lama di Kompleks 18."

"Kau harus ikut—tidak boleh tidak!" Aku terkejut setengah mati saat Truck mencengkram lenganku. "Kalau kau tidak ikut ... aku tidak jadi pergi!"

Barulah aku menyadari tangannya gemetaran dan sorot matanya goyah. Aku tidak tahu Truck bisa memasang tampang seperti itu. Biasanya, paranoid yang menyerang Truck cuma kecemasan atau kecurigaan berlebihan, tatapan skeptis dan sikap menolak terhadap sesuatu yang tidak dikenalnya, yang menurutnya tidak aman—saat aku pertama kali muncul di depannya, misal. Namun, kali ini berbeda. Dia hampir seperti anak 10 tahun yang habis menonton film horor, lalu dipaksa tidur di basement tanpa lampu.

"Ya ... oke." Aku melepaskan cengkraman Truck perlahan. Kutepuk-tepuk punggung tangannya sampai bahunya merileks. Napasnya memelan. Aku jadi teringat saat dulu di Kompleks 44 di peternakan, Pat—temannya Ryan—mengajariku menenangkan salah satu kudanya yang mendadak jadi liar. Kurasa Truck tak bakal senang kalau tahu aku menyamakannya dengan hewan tunggangan.

Karena pakaianku dan Truck masih agak basah, Neil meneleportasikan kami ke halaman belakang sebuah rumah dan menjanjikan pakaian kering. Aku berdengap saat dia menjumputi pakaian dari tali jemuran seseorang.

"Jangan merasa bersalah," kata Neil seraya mengoperkan rompi dan kemeja ukuran jumbo padaku dan daster merah jambu pada Truck. "Suami-istri yang punya rumah ini pernah menjual belasan anak ke Pusat Karantina dan beberapa remaja ke Herde. Aku dan Op kemari tiap bulan untuk mengambil sandalnya dan menjebol seng atap WC-nya buat senang-senang."

Aku dan Truck sempat rebutan rompi dan kemeja karena tak seorang pun dari kami sudi pakai daster merah muda. Namun, akhirnya aku mengalah karena Truck pakai daster pasti bukan tontonan yang menyehatkan mata.

"Ambil yang mana saja," ujar Neil baik hati. Dia sendiri sudah memakai sepatu bot selutut dan jaket pendaki curian meski pakaian lamanya tidak bermasalah. "Kompleks 18 tidak punya Calor atau pun Icore—dinginnya minta ampun di sana."

Aku memutuskan untuk meminjam blus dengan lengan tanggung, mantel bertudung kebesaran, celana yang kepanjangan hingga mesti kulipat ujungnya, dan sepatu bot kulit setinggi mata kaki, lalu berganti di balik pagar seng setinggi kepala.

Aku membuat ledakan kecil yang cukup untuk menghasilkan pijar api untuk membakar pakaian bekas kami agar tidak terlacak Detektor. Begitu Truck memadamkan apinya, aku mendengar suara pagar besi yang diseret terbuka dari depan. Kami lantas bergegas-gegas. Tepat sebelum Neil meneleportasikan kami, aku melihat siluet seorang pria kekar pendek tergopoh-gopoh dari pintu belakang yang berteriak, "Pasti anak tak tahu diuntung itu lagi!"

Teleportasi Neil kurang nyaman. Mungkin aku terlalu terbiasa dengan Op yang teleportasinya terlampau mulus. Begitu sampai, aku merasa seolah baru dijatuhkan dari atas pohon dan dipaksa mendarat dengan kaki tegap—aku tahu rasanya karena Ryan pernah melakukan itu padaku (risiko pacaran dengan begundal kampung).

"Jangan bilang yang tadi itu rumah orang tuamu sendiri!" Aku terpekik karena teringat wajah si pria kekar pendek yang menyerupai Neil. Neil tidak menjawab.

Udara menggigit mendera tulang belakangku, merayap sampai tengkuk ke ubun-ubun. Segera saja seluruh telapak tangan dan kakiku terasa membeku, wajahku kebas, dan rahangku menggertak kedinginan. Truck bahkan sudah menggigil di sampingku sambil mengamati sekitar dan menilai, "Terowongan .... Jadi, kuduga, kota yang satu ini penuh Arka atau Peredam hingga kau tidak bisa langsung membawa kami ke tengah pemukiman?"

"Kompleks 18 bukan perkotaan besar," jawab Neil. Napasnya beruap. Sambil membimbing kami menelusuri jalan beraspal yang retak-retak dan diterangi lampu redup terowongan, dia terus bicara. "Mereka seperti kumpulan distrik kecil dan pusat kotanya masih dibawah pengaruh kuat NC. Tentu saja Peredam ada di mana-mana ... pokoknya, lihat saja nanti."

Kami mencapai ambang terowongan dalam lima menit, menyusuri sisa jalan sampai ke jembatan yang membelah bantaran sungai yang membeku—lapisan tipis es bercampur dengan lumpur kotor. Beberapa ratus meter di depan, kulihat atap-atap asbes dan dinding-dinding batako perumahan yang tak beraturan, diterangi pancaran cahaya kekuningan seolah sedang ada kebakaran besar di tiap ruas jalan.

"Naikkan tudung kepala kalian," beri tahu Neil. Lalu, dia memelototiku. "Dan buat rambut panjang itu berguna buat menutupi mukamu—poster wajahmu sudah di mana-mana sejak insiden terakhir kalian di Kompleks 12."

Aku mengurai rambutku sampai menutupi sebagian wajah. Awalnya aku cemas samaran macam ini bakal tampak mencurigakan, terutama karena aku baru dimandikan air danau tanpa keramas dan berpotensi menyerupai seperti hantu wanita, tetapi kemudian kulihat keadaan di pemukiman itu dan memutuskan bahwa kami malah bisa membaur dengan baik.

Duduk dalam kelompok-kelompok kecil, berimpitan mengelilingi api unggun dalam tong, para wanitanya mengenakan daster lusuh dengan kardigan bolong-bolong, sedangkan para prianya memakai jumpsuit kotor atau jaket gembung yang mirip jas hujan robek-robek. Kulit asli mereka barangkali kecokelatan atau lebih gelap, tetapi terkungkung langit malam 24 jam penuh dan kedinginan membuatnya lebih pucat hingga hampir kelabu seperti kulit orang tua. Rambut mereka berpotongan tidak rata, beberapanya menggumpal seolah pernah diikat jadi simpul mati dan lupa diurai bertahun-tahun. Mayoritasnya menggunakan sarung tangan kumal, segelintir hanya bisa melilitkan kain yang sudah dekil ke sekitar tangan seperti perban. Dalam kelompok-kelompok kecil itu, mereka mengobrol serius, tertawa-tawa, sesekali ditimpali suara batuk, tangisan bayi, gemuruh tawa anak-anak yang berkejar-kejaran, atau petikan gitar seseorang.

Salah satu bocah dengan ingus di bawah salah satu lubang hidungnya mendekatiku dan mengulurkan tangan. "Kakak, punya receh, tidak?"

"Tidak ada!" Neil yang menjawab seraya mengibaskan tangan. "Pergi sana!"

Namun, makin banyak anak-anak yang muncul seperti banjir bandang, menggelayuti kami. Salah satu anak dengan lancangnya meludah ke sepatuku sambil tertawa, beberapanya mulai menaiki badan Truck seolah pria itu adalah patung panjat-panjatan, dan seorang bocah laki-laki yang seharusnya masih menghitung pertambahan pakai jari hampir berhasil mencuri segepok uang yang Neil bawa di kantung kulit sabuknya. Neil berkelit dan meraup beberapa keping koin dari dalam kantung kulit itu, lantas melemparkannya ke jalan, yang kemudian dikejar oleh semua anak. Kami berlari menjauhi kekacauan.

"Setahuku koloni kalian tidak pernah menimbun uang sebanyak itu," sergah Truck sementara kami terus mempercepat langkah. "Kalian, 'kan, hanya hidup untuk hari ini tanpa memikirkan hari esok."

Neil mencengkram kantung kulitnya defensif seolah takut dicopet Truck. "Kaukira kami mau berada di bawah kaki T. Ed secara gratis?"

Tersengal-sengal, kami memilih jalan yang lebih sepi dan menyelinap ke gang-gang. Satu kali aku melihat pria tua yang bergulat dengan anjing liar, berebut sebungkus mi basi dalam tong sampah. Kali berikutnya aku melihat tiga pria berseragam serba hitam membawa-bawa pentungan, seperti penjaga keamanan, tetapi mereka sedang memalak dua orang gadis yang lebih muda dariku.

Neil membawa kami ke sebuah bangunan kecil dengan halaman luas berkanopi yang dipenuhi mobil sedan—pangkalan taksi. Tampaknya jarang ada yang memesan taksi karena sopir terdekat meloncat keluar cepat sekali saat melihat kami masuk. Alih-alih pendingin, mobil itu dilengkapi pemanas udara. Sopirnya tidak mau berhenti bicara meski kami mengabaikannya—dia menceritakan anak sulungnya yang direkrut NC bulan lalu, anak bungsunya yang akan dikawini seorang direktur perusahaan mobil (yang memproduksi mobil-mobil jip NC untuk mengejar Fervent) dari Kompleks 4. Dia menuturkan itu semua dengan nada bangga sampai-sampai aku merasa muak.

Karena hanya Neil yang tahu daerah ini, kubiarkan dia memegang rekam jejak Aria. Sepanjang jalan, Truck sibuk menonton kakinya dengan tatapan kosong, sedangkan aku menelaah sekitar.

Sebagian besar rumah begitu gelap seakan-akan mereka tidak tahu apa itu listrik. Namun, satu kali kami melewati perumahan yang lebih besar, benderang, dan ditumbuhi pepohonan rimbun, gerbang masuknya dijaga satu atau dua orang petugas berseragam NC. Tampak seperti lapisan-lapisan yang kontras satu sama lain—distrik-distrik miskin tampak suram dan kumuh, tetapi ramai karena kebanyakan orang berkumpul di luar di tempat umum. Lingkungan yang lebih sejahtera sunyi karena orang-orang itu memiliki segalanya di dalam rumah mereka.

Satu kali, kami melewati bangunan setinggi tiga lantai, penuh pilar-pilar dan cahaya dari dalam, tampak hangat. Halamannya dipenuhi tenda-tenda dan gelaran tikar. Puluhan orang menongkrong seperti di rumah sendiri, beberapanya berjualan aksesoris dan jajanan dari gerobak yang mengepulkan asap hangat. Tungku pembakaran, kata si sopir, tempat mayat-mayat yang tak dikebumikan dibakar demi menghindari wabah penyakit. Ironis sekali orang-orang justru paling nyaman di sana.

Kami menepi dan berhenti di ambang jalan setapak berbatu yang tidak bisa dilalui mobil. Neil membayar si sopir yang membuat pria itu girang setengah mati sampai-sampai menawari apakah kami perlu ditunggu. Tentu saja jawabannya tidak, karena setelah ini semua, kami hanya perlu mencari tempat sepi tanpa penghuni, tanpa cakupan Peredam, dan berteleportasi kembali ke T. Ed.

"Ikuti saja jalan ini dan kalian bakal menemukan tempatnya." Neil melambai ke jalan setapak sementara kakinya sudah menghadap ke salah satu bar di ujung jalan beraspal. "Pagar besi yang dirayapi tumbuhan sulur dan berplang Mossel Hill—tempat itu lumayan terkenal di sini. Kita bertemu lagi di sini sejam lagi."

Tanpa menunggu persetujuan kami, si Teleporter mengembalikan berkas Aria padaku, lalu masuk ke dalam bar.

"Setidaknya," kataku, "dia lebih gampang dimintai tolong daripada Op."

"Kau salah memilih Op jadi musuhmu," celetuk Truck. "Kalau disuruh memilih, aku mending berkelahi dengan para Calor sekalian. Sejak kau menyeret seluruh koloninya ke T. Ed, Op memandangimu seperti tikus mencari celah."

"Risiko yang layak diambil," kataku. Kumasukkan berkas Aria ke balik mantel. "Kalau tidak begitu, kita tidak bisa mengungguli NC."

"Sejak kapan kau tertarik mengungguli NC?"

Sejak komandannya menjebak ayahku dan membuatnya mati, tetapi kuputuskan untuk tidak menjawab. Kusibakkan rambutku karena tidak ada orang di sekitar. Kuturunkan tudung kepalaku dan menarik napas dengan susah payah. "Udara di sini buruk sekali."

Truck membesut hidung. "Jumlah Fervent di sini sedikit, mau bagaimana lagi."

"Apa hubungannya?"

Truck menunjuk ke atas. "Menurutmu, malam 24 jam sehari hanya berdampak pada ketiadaan cahaya?"

"Karena kau bertanya, berarti jawabannya tidak," kataku.

"Tidak ada cahaya matahari, tidak ada fotosintesis, artinya penipisan oksigen." Truck berpindah ke mode pelajar teladannya lagi. "Dan, menurutmu kenapa Raios sering menggunakan bungker bawah tanah? NC dan T. Ed juga melakukannya—bahkan penjara mereka juga di bawah tanah. Karena permukaan membeku, bawah tanah lebih hangat dengan panas dari inti bumi. Kenapa tumbuhan di Garis Merah lebih kurus, tinggi, dan menguning? Itu etiolasi—tumbuhan mencoba tumbuh lebih cepat untuk mencapai sumber cahaya. Generator dan Pemicu yang disemai dari Icore tidak cukup, tiap Kompleks setidaknya butuh Calor dan Peledak untuk bertahan tanpa cahaya matahari."

Dulu, aku sering terkesima kalau dia mendadak melontarkan sesuatu yang terdengar pintar. Sekarang, setelah melihat masa lalunya, aku jadi sedikit mengerti.

"Jadi, Kompleks butuh Fervent untuk bertahan, tapi tidak menginginkan kita bersama mereka." Aku menendang sebuah kerikil, yang kemudian bergulir ke depan Truck. Kakinya menendang balik kerikil itu untuk kusepak. "Kalau saja artificial night ini tidak ada, mereka pasti sudah membantai Fervent—"

Perkataan dan langkahku terhenti. Bahkan Truck juga membeku.

"Langit malam buatan ini," kataku, "kalian pernah bilang NC menciptakannya untuk menghambat Fervent ..., 'kan? Untuk mempermudah mereka memburu kita?"

Truck mengernyit, tampaknya memikirkan hal yang serupa denganku. "Ya ... atau itulah yang mereka beritahukan pada kami."

"Tapi langit malam ini jadi alasan terbesar mereka mempertahankan keberadaan Fervent."

"Benar ...." Truck mengerjap.

"Tapi, kalau dibilang artificial night menghambat pergerakan kita pun ... tidak bisa dikatakan benar," lanjutku. "Kegelapan ini juga menyulitkan pergerakan Kesatuan Pemburu. Mereka tidak bisa memburu kita tanpa Lenx yang disemai dari X. Jadi ... di mana untungnya untuk mereka?"

Truck mendongak ke atas seolah tengah mencari celah pada langit hitam. "Sebetulnya, dulu ada anggapan bahwa Calor dan Peledak mendapatkan kekuatan mereka dari cahaya matahari."

Aku ingat itu dari memori Alatas yang pernah kulihat. "Beberapa anak berjemur di bawah cahaya matahari berjam-jam tanpa bergerak dan meminum bahan bakar minyak?"

"Ya. Jadi, saat artificial night dibuat, alasannya terasa masuk akal. Tapi sudah berbulan-bulan langit malam buatan diturunkan, Calor dan Peledak masih berfungsi. Kau bahkan masih meledakkan ini-itu tanpa perlu faktor pendukung seperti panas matahari. Artinya, tindakan Calor dan Peledak yang berdiri di bawah cahaya terik dan mengonsumsi bensin hanyalah salah satu 'gejala' penyimpangan yang timbul dari PF13. NC seharusnya sudah mengetahui itu sekarang, tapi—"

"Tapi, mereka tidak kunjung menyetop proyek artificial night," pungkasku. "Padahal ketiadaan siang hari saat ini berakibat krisis pada semua pihak, bukan hanya Fervent. Tapi mereka tidak kunjung menghentikannya."

"Barangkali mereka tidak bisa menghentikannya," duga Truck dengan wajah sepucat hantu. "Kalau benar demikian, tamatlah sudah. Bahkan dengan keberadaan Fervent, cepat atau lambat permukaan bumi bakal diselimuti es."

"Atau tujuan mereka tidak pernah untuk menghambat kita," timpalku.

"Untuk menghambat siapa, kalau begitu?"

Tak seorang pun dari kami punya jawaban, jadi kami terus berjalan dalam keheningan. Kunaikkan lagi tudungku karena telingaku mulai membeku. Kelopak mataku terasa berat. Kakiku mulai mati rasa dan sesekali aku menyangka bahwa aku tengah tertidur—mungkin sekarang aku sedang bermimpi.

Truck menjentikkan jarinya di depan mukaku sampai dua kali untuk menyadarkanku. Dia juga tampak kedinginan, tapi hanya itu. Dia tidak tampak merasa sesak atau letih, padahal aku hampir tidak bisa membuka mata. Berjalan kaki hanya dengan selapis mantel dan rompi di udara sedingin ini, di antara dedaunan yang dipenuhi kerak es dan genangan air yang membatu, manusia normal pasti akan jadi jasad di jalanan dalam beberapa jam.

Begitu kami menemukan pagar besi yang dirayapi tumbuhan sulur beku, dengan plang Mossel Hill berukiran mawar merah di atasnya, Truck jadi pucat pasi lagi. Bahkan aku pun merasa mual ....

Karena yang ada di dalam sana adalah tanah pemakaman.

"Mungkin ...." Aku berusaha berucap meski tercekat. Kudapati tanganku menggamit lengan Truck. "Mungkin ada rumah sakit dekat sini. Mungkin Aria hanya bekerja di sana atau apalah. Kau lihat tungku pembakaran tadi ... kalau dia sudah—kau tahu, 'kan—jasadnya tidak dikebumikan. Maksudku, kuburan ini tampaknya buat orang kaya, dan ... dan—"

Truck tidak merespons. Badannya sekaku pohon pinus berlapis es di sekitar kami. Matanya yang gelap terus terpancang pada barisanan nisan di balik pagar.

Aku membuka pagar dan menarik Truck ke dalam. Aku praktis menyeret Truck agar dia bergerak. Dengan cemas, aku memindai tiap nisan. Tidak ada nama Aria sejauh yang kulihat, tetapi dia bisa saja mengganti namanya seperti Truck.

Lalu, di bawah pancaran cahaya lampu taman makam, berdirilah sebuah pondokan kecil—bertembok bata, atapnya ditumpuki lapisan es setebal dua sampai tiga jari. Dengan lega, aku membawa Truck ke sana dan mengetuk pintu kayunya.

"Aria pasti di sini," kataku penuh keyakinan.

Namun, saat pintu mengayun terbuka, yang menyambut kami adalah seorang pria kerempeng usia 30-an. Mungkin lebih muda dari itu, tetapi posturnya hampir seperti orang tua, berdiri timpang dengan disangga tongkat bantu jalan. Perapian menyala di belakangnya, perabot sederhana memenuhi ruangan kecil itu, tetapi tidak ada seorang pun di dalam kecuali si pria kurus.

"Maaf, emm, Pak ...."

"Yohannes." Pria itu memberi tahu namanya. Dari suaranya, kuputuskan dia hanya dua atau tiga tahun lebih tua dari Alatas.

"Yohannes," kataku seraya berusaha menelaah bagian dalam pondoknya seolah-olah Aria bersembunyi di suatu tempat di dalam sana. "Kami mencari seseorang ... hmm, Aria?"

"Ah, ya ...." Yohannes mengangguk. "Si gadis Cyone, benar? Salah satu pengungsi yang datang 3 tahun lalu?"

Aku mengerjap. "Pengungsi?"

"Ya, dari kapal ilegal yang menjual para Fervent. Tunggu sebentar." Yohannes mematikan perapiannya, mengenakan mantel dan topi rajut, lalu keluar tertatih-tatih. Saat itulah aku menyadari ruam-ruam keunguan di punggung tangan kanannya yang memegangi tongkat bantu jalan.

Pria itu membimbing kami entah ke mana, masih di area pekuburan. Truck masih sediam batu gunung dan sepucat batako jalan yang kami pijak. Untuk mencairkan suasana, aku bertanya, "Saya tidak tahu ada pemakaman di sini. Saya kira semua jenazah dibawa ke tungku pembakaran."

"Mossel Hill adalah tanah pemberian Anna Mossel, Nona. Sudah puluhan tahun menjadi tanah pekuburan sejak Anna Mossel sendiri wafat dan dimakamkan di sini. Saat NC menggusur hampir semua lahan, bahkan tanah kuburan, cucu Mossel—Nona Juanda—mempertahankan tanah ini. Nona Juanda dan suaminya menyokong sebagian besar tempat di sini sampai akhir hayat mereka. Semua jenazah keluarga yang berpengaruh, pahlawan militer, dan bahkan beberapa prajurit NC yang berasal dari daerah ini pun dimakamkan di sini."

Kami berhenti di depan sepetak kuburan dekat batas pagar dengan nisan tanpa nama, pohon mawar kecil menaunginya.

"Ini dia," kata Yohannes. "Aria."

Aku menunggu seorang gadis melompat keluar dari balik pohon mawar atau melongok dari balik pagar, tetapi tidak ada. Aku menelan ludah, mereguk kenyataan bahwa kuburan inilah Aria.

Aku tidak sanggup melihat wajah Truck.

"Ma, maaf." Aku terbata. "Tapi, bagaimana Aria bisa ... meninggal?"

Bertumpu pada tongkat bantu jalannya, Yohannes menunjuk ke balik pagar. Di balik bebukitan di luar sana, ratusan meter jauhnya, tampak puing-puing bangunan tinggi yang menyaru dalam kegelapan. Cahaya dari lampu jalanan di dekatnya menampakkan siluet pagar bata dengan kawat di atasnya, menjulang mengelilingi reruntuhan bangunan. Tampaknya bangunan itu pernah kebakaran.

"Herde pertama di tempat ini," tutur Yohannes, "runtuh sekitar setengah tahun yang lalu. Saat bangunan itu masih berfungsi, selalu terdengar jeritan tiap malam, bahkan kedengaran sampai ke sini. Semua orang tahu ada dua ratus gadis remaja saling siksa di dalam sana, menganibal satu sama lain karena para sipirnya membiarkan mereka kelaparan, tapi semua orang tutup telinga ... sampai semuanya terlambat. Saat sistem Herde gagal, semua petugasnya dibebastugaskan. Mereka mencoba memindahkan semua penghuninya, atau hendak mengeksekusinya, tapi para gadis itu telanjur mendapatkan kendali dan ... lepas."

Aku menggosok leher belakangku. Hanya dengan memandangi tempat itu dari kejauhan, suhu yang sudah luar biasa dingin pun terasa terus turun.

"NC membombardir tempat itu, tetapi tak semua Fervent yang menggila tertangkap—beberapanya bersembunyi di hutan, yang lainnya disembunyikan oleh keluarganya yang menghuni Kompleks ini. Tidak ada yang berani mendekat, jadi tidak ada yang membereskan mayat yang menumpuk kala itu, sampai akhirnya wabah melanda tempat ini. NC berjanji akan bertanggung jawab, tetapi mereka hanya mengirimkan truk pengeruk, tabung drum ... semua perlatan itu, seolah menyuruh kami membersihkan semuanya sendiri." Yohannes menatapku dengan matanya yang sendu seolah dia baru saja menyaksikan kejadian itu sekali lagi. "Akhirnya semua orang setuju untuk menurunkan lima orang Fervent pengungsi ke sana untuk membereskan kekacauan radioaktif, dan sebelas lainnya untuk menangani gadis Fervent gila yang lepas. Semua mantan penghuni Herde yang kabur berhasil ditangkap dan diserahkan pada NC, tapi dari kesebelas Fervent pengungsi itu, hanya dua yang pulang, membawa sembilan lainnya dalam kantung jenazah, termasuk Aria."

"Kenapa—" Aku tercekat.

Yohannes menangkupkan kedua tangan di puncak tongkatnya. Matanya menghindari kami. "Tak ada yang tahu. Dua Fervent yang selamat menolak bicara dan pindah ke Kompleks lain."

Tidak ada yang berucap lagi setelahnya. Bahkan Truck hanya terpaku di sana seperti patung batu.

"Silakan mampir ke gubuk saya setelah kalian selesai melayat," ucap Yohannes mafhum, "akan saya buatkan teh hangat."

Setelah kami tinggal berdua, aku mencoba menyentuh lengan Truck, tetapi dia berkelit. Aku mendongak untuk menatapnya, tetapi ekspresinya kosong.

"Bisa kau pergi dulu?" tanyanya datar. "Aku butuh menjernihkan kepala. Di sini. Sendirian."

Meski enggan, akhirnya aku berkata bahwa aku akan menunggunya di pondok tadi, lalu melangkah menjauh. Saat jarak kami terpaut sepuluh meter, aku berhenti dan menoleh untuk memastikan keadaannya. Truck masih berdiri menghadap makam itu, tidak bergerak sedikit pun. Aku menunggu sampai akhirnya Truck duduk perlahan, bersila menghadap nisan Aria, kepalanya menunduk. Saat punggung dan bahunya bergetar, aku membalikkan badan dan meninggalkannya, berpura-pura tak melihat apa-apa karena kurasa itulah yang Truck inginkan.

Di pondok Yohannes, aku membantunya menyeduh teh. Bisa kurasakan tatapannya, tampak penasaran dengan hubungan kami dengan Aria, tetapi terlalu sopan untuk bertanya, jadi aku berkata seadanya, "Laki-laki tadi Timothy, kakaknya Aria," kataku, karena nama 'Truck' pasti sudah tercatat jadi buronan juga akhir-akhir ini, "dan aku teman mereka ... hmm, namaku Abiar."

"Ah, begitu ...." Yohannes mengangguk-angguk. "Jadi, lelaki tadi pun Cyone? Saya bisa mengerti kesedihannya. Dan Anda ...."

"Manusia normal," dustaku sembari mengangkat gelas teh. "Saya perempuan. Kalau saya Fervent, saya pasti tidak akan ada di sini, bicara normal dengan Anda."

"Masuk akal," ujar Yohannes, "tapi, Nona, saya seorang Detektor. Dan aura Fervor Anda kuat sekali."—Aku tengah menyeruput teh dengan kasual di tengah ucapannya, jadi aku menyemburkannya kembali saat kalimat Yohannes rampung.

"Tidak apa-apa," kata Yohannes buru-buru. Tangannya menyodori serbet sementara aku terbatuk-batuk. "Di antara kita saja. Ada beberapa Teleporter dan Phantom juga di perkampungan ini, tapi kami para Detektor sepakat untuk tak mengucapkan apa-apa—solidaritas sesama Fervent. Jadi, jangan khawatir."

"Terima kasih," isakku seraya mengelap wajah. Air mataku masih mengalir karena tehnya panas sekali. Setelah menormalkan pernapasan dan berhasil menyeruput teh tanpa semburan, aku berucap setulus hati, "Teh Anda enak sekali."

Yohannes menyunggingkan senyum. "Jadi, kalian dari Herde?"

"Timothy dari Herde," kataku. "Saya ... saya dari Kompleks." Aku memutar otak, mencoba merancang kebohongan. Normalnya, anak-anak perempuan yang berasal dari Herde tidak cukup waras untuk duduk tenang minum teh. Aku tidak punya pilihan selain berdusta lagi. "Saya pura-pura jadi manusia normal."

Yohannes tidak bertanya lagi—syukurlah. Selama dia tidak tahu aku buronan NC, kurasa aku aman. Kutundukkan lagi kepalaku sampai lebih banyak helaian kusam rambutku berjatuhan menutupi wajah.

"Tentang wabah itu," kataku, "apakah sudah berakhir?"

"Penyebarannya sudah berhenti." Yohannes menggulung lengan bajunya, menampakkan bilur-bilur kebiruan yang sejak tadi ditutupinya. "Atau setidaknya itulah yang dikatakan tim medis utusan NC. Mungkin mereka jujur. Mungkin juga mereka hanya tidak mau berurusan dengan kami lagi."

"Apakah Anda pernah masuk Herde?" tanyaku.

"Tidak. Pria seusiaku diberi pilihan—PF13 atau 3 tahun pengabdian di NC."

Aku hampir menyemburkan tehku lagi. "Anda pernah bekerja untuk ...."

"Untuk mereka. Iya. Aku sendiri tidak bangga dengan itu." Yohannes mengisi ceretnya lagi. "4 bulan sebagai Pemburu, tapi aku tidak betah—harus menangkapi anak-anak remaja Fervent yang kabur, mendengar mereka menangis sepanjang perjalanan aku membawa mereka ke Herde. Aku minta dipindahkan. Akhirnya aku ditempatkan di salah satu cabang Pusat Karantina. Setelah kewajiban 3 tahunku habis, aku pulang ke sini, tapi tahu-tahu tempat ini sudah berubah dan rumahku kena gusur."

Aku berjengit, teringat memori Erion tentang kurungan dan terapi sinar. "Bukankah tempat itu lebih buruk?"

"Kudengar Pusat Karantina yang lain buruk, dengan sel kurungan hewan dan perlakuan kasar. Tapi Pusat Karantina tempatku bekerja dulu tidak terlalu besar dan hanya menampung 30 anak—mereka semua punya kamar yang lebih layak. Lebih menyerupai asrama anak-anak."

Saat mengisi cangkirku dengan teh baru, Yohannes mengerutkan keningnya, seperti teringat sesuatu.

"Yah, memang ada pengalaman buruk saat aku di sana," lanjut pria itu saat duduk lagi di depanku. "Saat ada pertukaran pengawas, salah satu petugas baru bersikap terlampau akrab dengan anak-anak hingga mereka memanggilnya 'Mama'. Tiap malam, petugas baru itu akan menyanyikan lagu tentang bintang-bintang di langit sampai anak-anak menghafalnya. Suatu malam, salah satu bocah Icore masuk ke kamar kami. Dia seperti mengigau, menyanyikan lagu tentang bintang itu, lalu menusuk mata salah satu temanku yang sedang tidur dengan garpu." Yohannes menyingsing kain celananya, menampakkan sebelah kakinya yang agak pengkor di bagian betis. "Dan membuat gempa, menjatuhkan lemari kayu ke atas kakiku."

Aku mengerjap. "Lagu bintang—"

"Bintang kecil," sahut sebuah suara yang membuat kami berdua terlonjak. Di sisiku, Truck mengambil tempat duduk dengan santai. Hebat sekali dia bisa mengendap-endap masuk pondok dengan ukuran badannya itu, mengejukan kami berdua. "Salah satu guruku di PFD pernah menceritakan hal yang serupa saat dia masih bekerja sebagai penyuplai barang ke Pusat Karantina—anak-anak yang menyanyikan lagu bintang kecil, lalu menampakkan sikap aneh setelahnya."

"Akan saya tambah lagi tehnya," kata Yohannes, beranjak membawa ceret.

"Kau tidak apa-apa?" bisikku pada Truck.

Dia hampir seperti Truck yang biasa, tetapi wajahnya terus menunduk, seperti hendak menyembunyikan tatapan matanya dari dunia. Tidak ada tanda-tanda dia habis menangis atau mengamuk mencabuti nisan orang, tetapi tetap saja aku merasa sesuatu berubah dalam diri Truck. Dia sepertinya jadi lebih ... tenang. Terkendali.

Terlalu terkendali. Seolah-olah dia sedang menyimpan semua emosinya di satu ruangan khusus dalam dirinya, menunggu saat yang tepat untuk meledakkannya.

Aku mengenali perasaan macam itu—tepatnya sehabis menyaksikan ayahku mati. Saat itu aku menyimpan jeritan dan tangisan paling keras, habis-habisan mencoba bersikap normal, lalu melampiaskan segalanya pada Truck dan Alatas di wilayah para Steeler, hampir membahayakan kami semua.

"Tidak apa-apa," jawab Truck, yang kedengarannya terlalu biasa. Dia menyandar ke kursinya, tidak menampakkan ekspresi apa pun yang menunjukkan kesedihan atau kemurkaan. "Kita harus mencari Neil sebentar lagi."

Aku melirik ke dekat konter, di mana Yohannes masih sibuk menjerang ketel. Kudekatkan posisi dudukku ke Truck. "Kau sungguhan tidak apa-apa? Tidak merasa kepingin mengamuk atau menonjok orang, 'kan?"

"Sekali lagi kau bertanya, akan ada tonjok-tonjokan sungguhan."

"Oke ...." Kubenarkan letak tudung kepalaku dan berbisik, "Tapi tadi itu berbahaya, Truck. Kau bilang kau dari PFD di hadapan Yohannes. Bagaimana kalau dia mulai tanya-tanya apa itu PFD!"

Truck menegakkan badannya seolah baru terpikir akan hal itu juga. Padahal, dialah yang biasanya paling berhati-hati dalam mengatakan informasi pribadi. Kurasa, keadaan pria itu sekarang lebih parah yang kutakutkan.

Yohannes kembali dengan cangkir teh baru untuk Truck. "Jadi, tadi Anda bilang guru sekolah Anda pernah bekerja di Pusat Karantina juga?"

Aku melirik Truck, memberinya peringatan untuk hati-hati kali ini. Yohannes tampaknya masih mengira PFD cuma sekolah swasta atau sejenisnya, mengingat eksistensi PFD memang jarang diketahui orang awam.

"Ya," ujar Truck lebih pelan seperti takut salah bicara. "Saat kami mengadakan kegiatan ... berkemah. Kami bertukar cerita seram malam-malam. Guru pembimbing reguku menceritakan tentang anak-anak di Pusat Karantina." Truck memandangi tehnya dengan tatapan mengenang. "Beliau bilang, anak-anak itu seperti kena cuci otak oleh seorang wanita yang mengajari mereka lagu bintang kecil. Selain lagu, tampaknya wanita itu mengatakan hal-hal lain juga ... sesuatu tentang kelahiran dan kematian, kebebasan, pulang ke rumah, dan petunjuk dari bintang-bintang. Entah apa artinya. Tak berapa lama kemudian, anak-anak itu membebaskan diri dari kurungan dan membantai semua petugas."

"Hmm ...." Yohannes mengernyit dalam sekali sampai alisnya hampir bertemu. "Aneh sekali ... maksudku, gurumu menceritakan tentang anak-anak Fervent dalam Pusat Karantina? Apakah dia sendiri Fervent ... atau memang ada sekolah untuk Fervent—"

"Sekolah alam di Herde," timpalku cepat-cepat. "Yah, seperti Pusat Karantina tempat Anda bekerja, yang lebih mirip asrama—Herde tempat Timothy berasal juga adalah tempat kecil. Salah satu Herde yang tidak terlalu buruk. Mereka di sana ... bersekolah! Iya, dan nama program sekolah Herde itu adalah PFD!"

"Ya." Truck mengangguk-angguk, membumbui kebohonganku. "Kami ... sering berkemah, belajar ..., dan berkemah lagi."

Truck jelek sekali dalam berbohong.

Sesuai yang kutakutkan, Yohannes menyipitkan matanya curiga. "Saya mungkin hanya pendeteksi Fervor, bukan pendeteksi kebohongan, tapi saya tahu cerita kalian aneh."

Pintu diketuk, menginterupsi obrolan menegangkan kami. Awalnya aku hendak menarik napas lega karena Yohannes harus berdiri untuk menyambut tamu lain, tetapi kami kembali menegang saat gedoran di pintu mengeras, diikuti suara mendesak yang terdengar geram, "Yohannes! Cepat buka!"

Yohannes melambai ke sudut pondoknya, memberi kami isyarat untuk bersembunyi. Truck dan aku berjejalan ke samping lemari berlaci setinggi pinggang. Kami berjongkok rendah-rendah sementara Yohannes membuka pintu.

"—Fervent seperti dia pasti menyembunyikan Fervent lain!" kata sebuah suara saat pintu dibuka.

"Ada apa ini?!" Yohannes meninggikan nada suaranya dengan defensif.

Aku memberanikan diri untuk mengintip ke jendela di atas lemari berlaci. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita jangkung dengan kardigan dan rok panjang yang berkacak pinggang, seorang pria berjanggut dan berjaket lusuh yang masih menuduh Yohannes ini-itu, dan seorang pria lain dalam seragam serba hitam ....

Perutku mencelus. Itu seragam NC.

"Beberapa saksi di jalan melihat dua buronan yang belakangan kami buru." Si pria NC menyerahkan dua selebaran ke tangan Yohannes, yang kurasa adalah foto wajahku dan Truck. "Mereka berbahaya. Menyalahi regulasi memasuki Kompleks 4, meledakkan dua fasilitas NC, membuat kerusuhan Kompleks 12, dan memimpin sekoloni Calor untuk meneror Kompleks 1. Saksi terakhir di sini melihat mereka menuju ke arah tanah pemakaman. Anda mengenali wajah keduanya?"

Aku gemetaran di samping lemari, terutama saat Yohannes memandangi kertas-kertas itu dengan tampang syok.

"Ya, me-mereka memang ke sini." Yohannes terbata.

Kurasakan Truck mencengkram lenganku. Pesannya jelas: lari dan lawan.

Lalu, Yohannes menunjuk ke arah tanah pemakaman sambil berteriak, "Ke sana! Mereka telah pergi ke arah sana!"

Truck dan aku membeku.

"Lekaslah! Nanti mereka keburu jauh!" Yohannes masih menunjuk-nunjuk ke luar, membuat para tamu barunya terdorong. Suaranya bergetar hebat dan ketakutannya terdengar nyata sekali sampai-sampai si wanita jangkung dan pria berjenggot mundur kelabakan darinya. Si pria NC sendiri langsung memegangi earpiece di telinganya, memanggil kawanannya. Yohannes mulai mengayun-ayun tongkatnya dengan histeris. "Di sana! Aku tak yakin mereka menuju ke mana, tapi tadi mereka ke arah sana! Cepat!"

Yohannes menggiring para tamunya menjauhi pondok, tetapi aku dan Truck terlalu syok untuk bergerak. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan detak jantung. Saat kami berdiri, sikuku menyenggol sesuatu di atas lemari, nyaris menjatuhkan pigura foto di atasnya. Aku mengerjap menatap potret itu—Yohannes, tampak jauh lebih muda dengan rambut gondrong, tangannya merangkul bahu seorang gadis seumuranku. Aku teringat ucapan Yohannes saat aku mengatakan bahwa Aria adalah adik Truck: Saya bisa mengerti kesedihannya.

"Kalau kita keluar sekarang," kata Truck tersengal, "dan mereka melihat kita, celakalah pria itu."

Maka, kami menunggu.

Saat pintu terbuka lagi, Truck dan aku terlompat kaget. Yohannes berdiri menghalangi daun pintu depan dengan badannya. Matanya goyah dan suaranya serak saat berkata, "Pergilah dari pintu belakang. Gerbang depan sudah dipenuhi oleh mereka."

"Kenapa menolong kami?" Truck bertanya pahit.

"Kalian bisa saja mencelakai pria cacat sepertiku sejak tadi jika tuduhan-tuduhan itu benar." Yohannes mengayunkan tongkatnya seperti mengusir. Hilang sudah keramah-tamahannya. "Jangan buat aku menyesal! Pergi!"

Kami terbirit-birit ke pintu belakang, tetapi aku berhenti saat Truck sudah membuka pintunya. Aku menoleh kembali menghadap Yohannes yang gemetaran.

Tak semua Fervent yang menggila tertangkap, katanya tadi saat menceritakan ulang runtuhnya Herde Kompleks ini setengah tahun yang lalu. Beberapanya bersembunyi di hutan, yang lainnya

"Yang lainnya disembunyikan oleh keluarganya yang menghuni Kompleks ini," ulangku. "Salah satu Fervent yang lepas dari Herde ... saya tebak, adik Anda?"

"Adikku bukan kanibal." Yohannes menampik dengan getir. "Adikku hanya ... lapar. Mereka membuatnya kelaparan. Mereka memaksanya— me-menyiksanya ... aku tahu perlakuan macam apa yang didapatnya saat melihat dia mencoba meminum air seninya sendiri. Bahkan setelah akhirnya dia bisa pulang padaku, aku tetap gagal menyembunyikannya."

Truck menarik tanganku. "Leila, ayo—"

"Kalian berbohong, tapi aku juga tak sepenuhnya jujur pada kalian," kata Yohannes lagi. "Adikmu—Aria—dan Fervent pengungsi lainnya yang ditugaskan untuk menjaring para pasien Herde yang lepas ... mereka tidak mati karena bertarung dengan para pasien Herde itu. Mereka mati karena mencoba membantu adikku dan gadis lainnya kabur."

Tangan Truck merosot dari tanganku. "Apa?"

"Para Fervent pengungsi mencoba menyelundupkan adikku dan gadis lainnya keluar dari neraka ini dengan mobil minivan. Sepasukan Pemburu menghadang dan menembaki mereka, meledakkan mobil, bersama adikmu dan adikku di dalamnya. Karenanya mereka pulang dengan keadaan gosong dan terpotong-potong dalam kantung mayat. Aku yang menguburkan mereka di sini, dengan tanganku sendiri, sebelum mereka dibawa ke tungku pembakaran Dua Fervent yang selamat menceritakan itu pada kami, lalu pindah sebelum NC menutup mulut mereka juga.."

Truck dan aku berbalik pergi melalui pintu belakang, meninggalkan Yohannes sendirian di pondok kecilnya, merenungi tehnya yang sudah mendingin.

Kami menyusup ke hutan pinus, mencapai bar tempat Neil singgah melalui jalan belakang. Namun, tempat itu terlalu sesak oleh orang-orang. Maka, kami tak punya pilihan selain menunggu Neil keluar sendiri dari sana kalau jatah satu jam dari perjanjian habis. Kami meringkuk di bagian hutan paling rimbun, tetapi masih tampak pintu bar dari sini. Napasku beruap dingin, dan kudapati diriku mengisak seraya membesut hidung.

Truck awalnya diam saja, tetapi kemudian dia menoleh dan berkomentar, "Akulah yang harusnya menangis sekarang ini. Kenapa lagi denganmu?"

"Kau dengar dia tadi," kataku sesenggukan. "Gadis-gadis itu, yang selama ini kita labeli 'gila'. Mereka tidak gila. Ya, 'kan? Gadis Icore yang dulu mengejar-ngejar kita, yang mati ditembak Raios, dia juga pernah punya keluarga. Fervent di Kompleks 4 yang hampir memasak kita, entah apa yang pernah menimpa mereka."

"Kau mulai bersimpati pada orang-orang yang mau membunuh kita?" Truck melirik ke arah hiruk-pikuk bar. "Hidup seperti ini sudah risiko. Kita tidak punya pilihan selain terus bergerak—mereka menyerang kita, kita tidak bisa diam menerimanya saja."

"Itulah masalahnya," kataku lagi. "Kita harus terus bergerak, tapi tidak seorang pun dari kita yang tahu kita bergerak ke arah mana. Fervent digerakkan kekuatannya untuk bertahan hidup, orang normal digerakkan ketakutannya untuk mengusir Fervent, T. Ed dan NC digerakkan kekuasaan untuk tetap mengontrol. Dan kau—kau digerakkan mantan-mantan rekanmu yang menghantuimu."

Truck menggertakkan rahangnya, tampak marah. "Aku tidak dihantui—"

"Aku dihantui seorang bocah laki-laki pengidap autisme yang mati karena dia mencoba menolongku," rengekku pelan. "Aku memanggilnya 'Anak Jaring' dan mengabaikan peringatannya untuk tidak memasuki Garis Merah—akhirnya aku terkubur di dalam reruntuhan itu. Aku dihantui si gadis Icore, karena alasannya mati ditembak Raios barangkali gara-gara aku masuk ke kepalanya dan membuatnya tak bisa mengelak dari tembakan. Aku dihantui ayahku karena dia mati tepat di depan wajahku. Dan aku tidak bisa mengenyahkan pikiran bahwa barangkali Alatas, Erion, atau kau bakal jadi yang selanjutnya."

Aku mendongak dan melihat wajah Truck yang memucat seolah aku baru saja menyodok ulu hatinya.

"Kau juga sama," lanjutku terisak-isak. "Kau dihantui bocah yang tertembak di leher saat kau berpaling, dua anak yang hilang di hutan begitu kau pergi untuk sesaat, anak lelaki yang tertusuk cabang pohon di jok depan mobil, dan adik perempuanmu yang dibawa saat kau meninggalkannya di bak belakang truk. Dan kau juga bertanya-tanya siapa selanjutnya—apakah Alatas, Erion, atau aku. Kau bisa ganti namamu sesukamu Truck, tapi kau tidak bisa mengganti masa lalumu."

Semak bergemerisik. Seorang pria berseragam NC muncul dengan wajah terkejut mendapati kami. Sambil berurai air mata, aku memandanginya dan berucap, "Kau tidak melihat kami di sini. Tidak ada siapa-siapa."

"Tidak melihat ..." ulangnya linglung sebelum berbalik pergi. "Tidak ada siapa-siapa."

Kusadari mata Truck menyala-nyala penuh amarah memandangiku. "Yang kau lakukan barusan ... persis seperti si perempuan Brainware yang mengendalikanku di bak belakang truk waktu itu."

"Memang," kataku sambil menyedot hidung. Rasa dingin dan kebas membantuku mengambil alih kendali atas emosi yang barusan kuledakkan. "Aku belum mau mati, jadi aku harus melakukannya. Kau yang bilang: kita tidak punya pilihan selain terus bergerak—mereka menyerang kita, kita tidak bisa diam menerimanya saja"

Truck menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. "Kau membuatku muak."

"Bagus."

"Mendengar suaramu saja, aku merasa harus mencekikmu. Kau lelet, sok berkuasa, menyebalkan, dan apa pun yang kukatakan kau selalu punya balasannya. Sudah berkali-kali aku meyakinkan Alatas buat meninggalkanmu di hutan."

"He-eh." Aku mengelap hidung dengan punggung tangan. "Sudah tenang?"

Truck masih menggosok-gosok wajahnya yang memerah di balik telapak tangannya, tetapi dia mengangguk. "Hmm."

Aku menepuk-nepuk bahunya. "Keluarkan saja."

Dengan siku bertumpu ke lututnya yang menekuk, Truck menjatuhkan wajah ke lengannya.

Dua pria NC yang berkeliaran mencari kami lagi-lagi menemukan kami. Aku melambaikan tangan mengusir keduanya. "Kami hanya anjing hutan."

"Anjing." Salah satunya menyetujui, lalu berbalik pergi.

Pria satunya sempat mengerjap, berusaha melawan pengaruh Brainware, tetapi kemudian aku menggeram ke arahnya. Pria itu lantas berjengit menjauh dan melapor melalui earpiece-nya, "Hanya hewan liar sekarat."

"Kau Brainware busuk, Leila." Truck menyumpah lagi di balik tangannya. "Peledakmu bencana, Cyone lancung—sama buriknya dengan Alatas."

"Kami memang beban, Truck. Tapi kau juga sama bebannya. Yang tidak beban di antara kita cuma Erion."

Kurasa aku mendengar Truck menyedot ingus, tetapi bisa saja aku salah dengar karena wajahnya masih tersembunyi. "Aku tidak bisa gagal lagi ...."

"Gagal apa?" tanyaku. "Truck, jangan lupa, kau sudah bukan ketua lagi. Kau bukan pimpinan kami, kau itu bagian dari kami. Kau tidak perlu bertanggung jawab apa-apa kalau terjadi sesuatu pada kami. Kalau kami berbuat bodoh, cukup tolong kami saja, tapi kau tidak usah ambil tanggung jawab atas kesalahan kami. Kalau aku, sih, ogah disuruh bertanggung jawab saat kau mengacau."

Truck mengangkat kepalanya kali ini. Matanya memelotot. Hidungnya merah. "Kapan aku mengacau?"

"Waktu kau hampir diledakkan dua orang Peledak di Garis Merah." Aku mengabsen dengan senang hati. "Waktu di koloni Teleporter kau sempat lengah dan bekal kita dicopet. Waktu aku hampir berhasil membohongi Raios, kau malah menambahkan kalimat-kalimat yang tidak perlu dan membuatnya curiga—"

"Sudah." Dia menyetopku. "Padahal kau mengacau lebih sering daripada aku."

"Tidak benar," sanggahku.

"Benar."

"Tidak!" Aku merapatkan mantel dan mendengus-dengus. "Kok bisa-bisanya Alatas cocok berteman denganmu."

"Kok bisa-bisanya Alatas naksir manusia seperti kau."

"Alatas seleranya memang aneh."

"Benar."

Selama beberapa detik, kami berdiam diri, memulihkan napas, menunggu sampai adrenalin dan duka menyurut dengan sendirinya. Kugosok-gosokkan telapak tanganku yang mulai mati rasa.

"Jadi, sekarang apa?" tanyaku. "Kembali ke T. Ed?"

"Kukira kau senang memihak mereka."

"Tidak juga." Aku mengakui. "Kau benar—NC dan T. Ed itu sama. Aku lebih memilih T. Ed hanya karena aku mengenal beberapa orang di sana, dan ibuku bersama mereka. Tapi pada dasarnya, keduanya tidak berbeda."

"Kalau begitu kita cuma bisa bergerak seperti ini—cuma ini yang bisa kita lakukan," sahut Truck. Matanya menelaah sekitar dengan tatapan elang, memindai suasana dengan waspada seolah-olah Bintara bisa melompat dari balik berduri atau terjun dari pohon pinus kapan saja. Ini baru Truck yang kukenal. Sambil lalu, dia berkata, "Kuharap aku punya nyali waktu itu."

"Waktu apa?"

"Waktu kami terjebak di hutan—kau pasti sudah melihatnya, kau Brainware tukang intip kurang ajar."

Kusadari dia sedang membicarakan saat dia dan regu lamanya terpencar-pencar di hutan. Dia dikejar orang NC, Aria mengejar Vida yang dibawa, Erill berjalan sendirian karena halusinasi, sementara Mada meringkuk karena pengaruh Brainware Erill yang terluka. "Nyali untuk apa, maksudmu?"

"Membunuh orang-orang yang mengejarku," katanya dengan mata menyala-nyala. "Saat aku mencuri obat-obatan itu, posisiku bagus—aku melihat mereka lebih dulu. Aku bisa saja melakukan sesuatu dan membunuh mereka duluan, tapi aku malah lari. Gara-gara keputusan itulah akhirnya aku malah membimbing pengejarku ke tempat persembunyian kami. Seharusnya itu tugasku—untuk membunuh mereka sebelum mereka membunuh kami."

Aku terdiam sambil bertopang dagu, tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku mengambil Lenx dari Mada," katanya lagi, "karena aku takut dia menggunakannya serampangan—aku tidak pernah bisa memercayai anak itu. Akhirnya dia mati dihantam kayu gelondongan. Seandainya dia mampu berteleportasi dua meter saja ke kiri, dia akan selamat. Tapi dia buta arah. Dan dia nyaris tak pernah berteleportasi atas keinginannya sendiri kecuali atas perintahku. Dan orang-orang di bak belakang mobil truk itu, harusnya aku bisa membunuh setidaknya salah satu dari mereka, tapi tidak—insting pertamaku cuma menyerang dengan pertahanan, bukan membunuh. Aku selalu kehilangan nyali di saat-saat terakhir. Dan kalau dipikir lagi, semuanya tidak bakal terjadi kalau kami kabur dari PFD lebih awal, tapi aku terlalu keras kepala untuk menerima masukan Aria."

Kukerjapkan mataku saat butiran es jatuh ke bulu mataku. "Lihat kita—17 tahun, bukannya sekolah, malah mengocehkan orang-orang yang kita percayai terbunuh gara-gara kita. Waktu aku 13 tahun, berhenti sekolah dan pindah-pindah rumah gara-gara kedatangan NC, aku keranjingan film-film lawas karena hanya itu yang bisa kulakukan—aku mungkin sempat punya khayalan bocah untuk punya superpower, menghajar NC dan membela kebenaran." Kupandangi telapak tanganku yang pucat, membayangkan ledakan-ledakan yang kuhasilkan. Saat aku meledakkan tanggul, aku mungkin menyebabkan warga sipil ikut kesusahan. "Tapi bukan yang begini. Aku maunya jadi superhero, bukan remaja kelabakan putus asa yang melawan orang-orang supaya bisa makan hari ini."

Truck mengangkat satu alisnya ke arahku. "Kau terdengar seperti Alatas."

Aku membuang muka dengan jengkel. Kurasa, aku memang terlalu sering main ke dalam kepala Alatas. Aku jadi kepikiran ... Alatas dan Erion sedang apa, ya?

"Tidak ada yang namanya pahlawan super, Leila," ujar Truck lagi. "Hanya ada kita, manusia yang punya kekuatan super, dan kita menggunakan kekuatan ini buat keuntungan kita sendiri."

Truck mendadak menegang. Matanya menelaah bar. "Itu Neil."

"Mana?" Aku mencoba berdiri, tetapi Truck menarikku untuk tetap merendah.

Lalu, kusadari di jalanan depan bar yang benderang itu, orang-orang berkerumun. Keriuhan malam berganti jadi kekacauan. Orang-orang menyoraki dan menyumpahi Neil, yang tangannya terikat di belakang, di dorong seorang pria NC yang mengarahkan moncong senjata ke punggungnya.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Sweet fanart that bless my eyes

Thank uu  Maple_Orange ('。• ᵕ •。') ♡



Beautiful fanart of the beautiful Leila

Thank uu Anonym-san ('♡‿♡')



Cute pic of Leila-Meredith cute friendship
Alatas & Raios as Cameo

Thank uu seirin11_04 ( ' ▽ ' ).。o♡

Masih dari seirin11_04  (♡°▽°♡)

Keempat heroine dari empat cerita yang berbeda

Leila (RavAges)
Nila (Indigenous)
Cal (Escapde)
Olive (Iridescent)


Makasihh Mak Jah
♡\( ̄▽ ̄)/♡

Let's all be a female lead in our own world
♡╰(*'︶'*)╯♡╰(*'︶'*)╯♡╰(*'︶'*)╯♡




Terruuuuus

Bukunya sudah selesai cetak dan siap dikirim hari Senin, berarti hari ini udah dikirim-kirimin
σ(≧ε≦σ) ♡

Yang belum sempat, silakan nabung terus yaaw sampai next PO atau bukunya muncul di olshop
Atau, kalau kalian banyak yang doain, bukunya muncul juga di toko buku macam gramed
 (*˘︶˘*).。.:*♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro