#92

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #92 | 3211 words |

JAUH SEBELUM masa Fervent, sebelum kedatangan NC, bahkan sebelum aku lahir, beberapa orang sudah mengotori tangannya dengan darah. Manusia sudah mengenal perang bersamaan dengan terbentuknya peradaban, beberapa tempat begitu akrab dengan harumnya asap mesiu seperti menghirup udara pagi, segelintir orang kehilangan sesuatu yang memaksa mereka merebut milik orang lain, dan ada tangan-tangan yang lebih memilih mengangkat senjata meski dia menggenggam bunga di tangan lain. Manusia tidak perlu kekuatan super untuk saling bantai.

"Bahkan di saat batas kemampuan kita sudah ditetapkan, manusia masih mampu melewati batas itu untuk mencapai sesuatu." Nenek berucap sambil menepuk-nepuk lututku. Aku, yang duduk nyaman di pangkuannya, hanya mendongak mengagumi dagu keriputnya tanpa paham beliau bicara apa. "Kau paham, Leila? Setiap orang digerakkan motivasi tertentu. Suatu hari, kau pun akan mengalaminya. Mari kita berharap, motivasi itu takkan membawamu ke jalan yang sama seperti yang ditempuh olehku atau ayahmu."

"Aku tidak masalah kalau jadi Nenek," ceplosku. Aku menuding kaca jendela, di mana kami bisa melihat Ayah sedang bicara dengan Sir Ted. "Aku juga tidak masalah jadi ayah, asalkan aku tidak berjanggut seperti itu."

"Ayahmu tidak bisa mencukur tanpa memotong jarinya sendiri kalau tidak ada ibumu."

Aku mengangguk setuju.

Nenek melanjutkan ceritanya—sesuatu tentang seorang anak yang dibutakan oleh motivasinya, hingga anak itu membuang semua yang disayanginya demi mewujudkan tujuannya. Meski tak paham bagaimana bisa motivasi bikin mata orang buta, aku angguk-angguk saja.

Dari pangkuan Nenek, aku meraihkan satu tangan ke meja di sampingnya, mencoba menjangkau sepiring biskuit cokelat dan segelas air putih di atasnya.

Saat itulah tirai-tirai bergeser menutup sendiri, menghalangi akses cahaya senja dari kaca jendela. Suhu ruangan turun drastis bersamaan dengan kegelapan yang menyapu. Air putih di gelas mengeras, membentuk bunga es di kaca gelasnya, lalu membatu. Biskuit cokelat meloncat keluar dari piring, menimpuk mukaku dan berhamburan ke lantai seperti kerasukan kodok gila. Barang-barang dari laci Nenek—perhiasan mahalnya, manik-manik murahan koleksinya, pena-pena, bola kaca pajangan berisi malaikat mini, gantungan kunci, sampai batu baterai—berlompatan keluar seperti berondong jagung masak.

Aku menjerit dan mencengkram sweter Nenek erat-erat. Nenek sendiri menaikkan selimut di pangkuannya untuk menyelubungiku.

Kertas dinding bermotif bunga-bunga ungu tampak luntur seperti kertas biasa yang tersiram air. Dari pojok ruangan, seolah dibentuk dari warna lumer kertas dinding, muncul sesosok pria tinggi besar—lebih tinggi dari Ayah, padahal kukira Ayah sudah sangat tinggi. Pria itu punya mata biru yang menyala dalam gelap, rambutnya pirang, rahangnya tegas, dan dia mengenakan setelan serba hitam.

"Lihat dirimu," desis pria itu kepada Nenek. "Tua dan menyedihkan."

Nenek tidak menyahut, tidak pula mengangkat kepala. Matanya yang letih hanya mengamatiku, yang balas menatapnya ketakutan. Nenek bersikap seakan dia tidak melihat siapa-siapa di pojok ruangannya, tetapi mustahil dia tidak melihatku yang amat ketakutan di pangkuannya.

Pria itu menyeringai. Langkahnya tak berbunyi sama sekali saat dia mendekati kami. "Andai kau menerima saja kekuatan itu, kau pasti masih luar biasa. Tapi aku mengerti—kau tidak mau tersesat sepertiku."

Si pria asing berlutut di depan Nenek. Tangannya menyentuh rambutku. Aku hampir menjerit, tetapi suaraku tidak bisa keluar.

"Gadis manis ini akan datang sendiri padaku suatu hari nanti," ujarnya dengan senyum kalem. "Sebagai pengganti nenek dan ayahnya."

"A—" Aku mencoba bersuara, tetapi tenggorokanku seperti disumbat. Setelah berusaha lebih keras, akhirnya aku mampu berteriak, "Ayaah! Ibbuuu!"

Raven menampakkan ekspresi terluka. Sosoknya kemudian berkedip, seperti layar televisi yang berganti saluran dengan cepat. Wajahnya berubah-ubah. Dari seorang pria bermata biru, sosoknya kini menjadi seorang wanita berbadan kuyu dan bertampang sedih. Dia memakai seragam militer serba hitam dan sepatu bot besar di kakinya. Sekilas, bibirnya yang terkatup menyenandungkan melodi lagu anak-anak.

Sosok itu kemudian berubah lagi menjadi sesosok wanita jangkung bergaun sutra panjang merah darah, sewarna dengan bola mata dan bibirnya. Sepatu bot hitam besarnya menjadi sandal bertali. Aku menangis jeri saat melihat wajahnya yang dipenuhi tato dengan puluhan motif aneh menakutkan. Dari bibirnya yang terbuka, asap pekat keluar dan memanaslah suhu ruangan di sekitar kami. Batu es dalam gelas mencair, lalu menggelegak sampai mendidih. Bola kaca pajangan dengan malaikat mini menggelinding di lantai dan pecah berkeping-keping.

"Aku akan selalu kembali." Suara tiga orang terdengar berbicara bersamaan di sepenjuru ruangan. "Bahkan jika aku bisa pulang nanti, manusia akan mengulangi sejarahnya dan memanggilku kembali. Kalian tidak bisa memungkirinya bahwa kalian butuh kekuatanku. Hanya dengan kehadiranku di sinilah roda dunia kalian bisa berputar."

Aku bersembunyi di pelukan Nenek, merengek dan menangis sesenggukan.

"Sudah, tidak apa-apa ..." kata Nenek dengan suara serak. Saat aku mengangkat wajah dan membuka mata, cahaya senja kembali masuk memenuhi ruangan yang kembali seperti sedia kala seolah tak terjadi apa pun. Kue-kue di piring bahkan masih utuh dan kertas dinding masih bagus. Nenek menatap jendela dengan mata menerawang. "Kenapa kau menangis, Leila? Sudah, sudah ...."

Pintu terbuka. Ayahku dan Sir Ted menghambur masuk dengan wajah panik. Satu tanganku mencengkram sweter Nenek, tangan lain meraih-raih ayahku. Aku menangis keras-keras, merengek ingin ibuku, tetapi Sir Ted yang mendekatiku.

"Dia datang lagi," kata Nenek, "tiga-tiganya."

Wajah Ayah pucat pasi. Dia menyandar ke kosen pintu, matanya merah. Ayahku menangkupkan punggung lengan ke mulutnya seperti menahan tangis.

"Tadi ada monster!" jeritku bersimbah air mata saat Sir Ted menurunkanku dari pangkuan Nenek. "Ibu! Aku mau Ibuuu!"

"Tadi kau bilang ada monster, Leila?" tanya Sir Ted dengan suara tenang meski kepanikan mengisi matanya. Tangannya menekan bahuku, memaksaku menatapnya. "Leila, apa kau tahu, selain monster jahat, ada juga ...." Tangannya meraih ke dalam laci, mengeluarkan bola kaca pajangan berisi malaikat mini yang berpose merentangkan sayap. "Ada juga peri baik—"

"Itu malaikat!" isakku tidak terima.

"Iya, malaikat, dan peri, dan ... makhluk-makhluk baik." Sir Ted mulai mengambil alih kendali. Suara dan raut wajahnya makin stabil. Ketenangannya mulai menulariku. "Mereka akan menjagamu. Monster-monster takkan kembali."

"Jadi, yang tadi benar-benar monster?" kataku sesenggukan.

"Bukan," kata Sir Ted cepat. Dia melirik Ayah hati-hati. "Dia harus tahu."

"Tidak," tukas Ayah tanpa mau memandangku. "Hapus saja yang barusan dari kepalanya."

Bahu Sir Ted merosot. Selama beberapa detik, pria itu terdiam seperti sedang mengambil keputusan berat—kadang aku memasang ekspresi seperti itu kalau disuruh memilih antara es krim atau kue cokelat.

"Leila," kata Sir Ted seraya mengangkat bola kaca pajangan. Malaikat kecil di dalamnya mulai terdistorsi, meliuk dalam asap, dan sayapnya terbakar dalam kobaran api kecil. "Ada sebentuk kekuatan yang bekerja di semesta kita."

Ayah tercekat. "Timothy—"

"Nantinya, kau akan mengingat ini sebagai mimpi indah alih-alih mimpi buruk," lanjut Sir Ted. Cahaya api di dalam bola kaca terpantul di matanya. "Semua bentuk kekuatan ini ... simpanlah mereka dalam laci memorimu. Malam ini ia adalah mimpi indah. Suatu hari, ia akan menjadi bagian dari dirimu."

Dia meletakkan bola pajangan di atas meja yang kacanya mulai memuai, sedangkan malaikat di dalamnya mengeluarkan cahaya merah lembut seolah api yang tersulut di sayapnya telah meresap ke tiap serat bahan pembentuknya.

Sir Ted kemudian meraih segelas air putih di atas meja, lalu menumpahkannya ke tangan. Namun, alih-alih membasahi lantai, air itu mengeras dan membatu ketika jatuh di atas telapak tangannya, membentuk kristal sebesar genggaman tangan.

"Lihat ini, Leila." Sir Ted mencoba melesakkan es batu besar itu kembali ke dalam gelas, tetapi mentok di bibir gelas karena bentuknya terlalu lebar. "Agar ia sesuai untuk dimensi gelas ini, ia harus menyesuaikan diri."

Es batu itu perlahan mencair, menetes sedikit demi sedikit ke dalam gelas. Makin lama, pencairannya makin cepat, dan merembeslah lelehan terakhir ke dalam gelas, mengisinya sampai hampir penuh.

"Beginilah cara kekuatan-kekuatan itu bekerja di semesta kita, termasuk monster yang baru saja kau lihat. Kita juga sama. Kita beradaptasi sebagaimana semesta membentuk kita ke dalam keadaan materi yang sesuai."

"Maksudnya pria monster tadi—Raven—dia cuma es batu?"

"Buat apa kau melakukan itu!" Ayah tampak panik. "Kau baru saja menggunakan Calor dan Phantom di depan anakku!"

"Aga, ini cuma mimpi." Sir Ted menjentikkan kuku-kuku jari tangannya. Cahaya api berwarna merah muda melejit dari ujung-ujung jari itu, membuatku menganga. "Leila bisa melakukan apa pun yang dia mau di dalam mimpinya. Benar, Leila?"

Aku mengangguk, barangkali sambil meneteskan liur di sudut bibir.

"Mimpi anak-anak tidak boleh diisi omelan ayahnya," tegur Sir Ted. "Ia harus berisi peri, unicorn, monster yang dikalahkan neneknya—makin tidak masuk akal, makin bagus!"

Nenek meraihku dan menaikkanku kembali ke pangkuannya. "Menurutku, monster yang dikalahkan oleh neneknya adalah hal paling masuk akal. Benar, 'kan, Leila."

Aku mengangguk lagi.

Ayahku memijat keningnya. "Pokoknya, buat dia melupakan yang barusan."

Sir Ted menghela napas dengan berat. Dia berjongkok di depanku, tangannya menekan bahuku sampai aku berjengit. Menatap matanya selama beberapa saat, kudapati diriku menguap letih, padahal matahari belum lagi terbenam.

Aku bergelung ke pelukan Nenek, menikmati belaiannya di kepalaku dan bisikan Sir Ted, "Ayo, kita berenang di antara bintang kecil, Leila."

"Aku tidak bisa berenang," gumamku dengan mata terpejam.

"Berenangnya di langit," kata Sir Ted. "Kalau tenggelam, jatuhnya ke atas."

"Asyik ...."

"Sampai kapan kau mau menyimpan ini dari anakmu?" Kudengar suara Nenek. "Sebagai orang tua yang sudah beranak berkali-kali, kuberi tahu, ya: menyembunyikan sesuatu dari anakmu hanya akan membuatnya memberontak. Secara langsung atau tidak, dia akan sadar ayahnya menyembunyikan sesuatu."

"Bagaimana dengan Ibu sendiri?" tanya Ayah sengit. "Ibu pernah merahasiakan sesuatu dariku juga, 'kan? Ibu tidak berpikir untuk membawa rahasia itu sampai liang lahat, 'kan? Kalau ada sesuatu yang mau Ibu akui, sekaranglah saatnya."

Aku membuka mata sedikit. Ruangan kamar Nenek rasanya jadi luas sekali dan agak buram—mungkin begini rasanya sadar saat bermimpi. Kulihat Nenek tampak menimbang-nimbang, lalu membuat pengakuan, "Saat kami menyalahkanmu untuk bau busuk di reuni keluarga 20 tahun lalu, sebetulnya aku yang buang angin."

"Bukan itu yang kumaks—" Mata Ayah yang nyalah berubah jadi sorot terluka. "Jadi, Ibu pelakunya?"

"Intinya," kata Nenek, tampak tak sabar mengalihkan pembicaraan, "mau sampai kapan kau biarkan Leila seperti ini? Kami paham kau ingin Leila hidup senormal mungkin, tapi suatu hari nanti pasti akan tiba saatnya ketika dia harus menghadapi apa yang dengan bodohnya kita wariskan."

"Aku—" Ayah tercekat sebentar. Sorot matanya meredup saat menatapku, lalu dia melanjutkan, "Aku tidak mau Leila sepertiku."

Aku menguap lebar-lebar, mengerjap malas, lalu memejam. Aku pun tertidur.

Ketika terbangun nantinya, aku percaya bahwa itu semua hanya mimpi.

Kupandangi diriku yang masih berumur 4 tahun, begitu lugu dan tolol. Gadis naif itu, yang bergelung nyenyak di pangkuan neneknya, suatu hari akan memiliki motivasi untuk membunuh seorang komandan militer yang jelas-jelas berada di luar jangkauannya.

"Lihat dirimu," kata suara di belakangku. "Ekspresi wajahmu itu seolah menginginkan sugesti Timothy Edison benar—bahwa semua ini hanya mimpi."

"Tapi, ini bukan mimpi," kataku.

Aku berbalik dan mendapati seorang pemuda jangkung duduk di kosen jendela Nenek yang terbuka. Mata birunya yang hampir serupa dengan mata Raven tampak pucat saat diterpa cahaya senja.

Entah kenapa aku tak kaget mendapati Raios ada di sini, di hadapanku.

"Kau mestinya sekarat," kataku. "Seharusnya kau masih koma bersama Meredith gara-gara ledakan waktu itu."

"Aku memang sekarat," ujarnya. Dia memandangi telapak tangannya sendiri. "Tapi ini hanya memori, bukan raga fisikku. Lagi pula, aku sedang menyembuhkan diri saat ini. Sebentar lagi aku akan cukup kuat untuk membuka mata. Sayangnya, Meredith tidak. Dia hampir mati. Dia butuh aku untuk bisa bangun lagi."

Di sekitarku, Nenek dan diriku yang berumur 4 tahun tampak bergeming. Ayah dan Sir Ted pun seolah membeku di tempat mereka berdiri, tidak mengerjap atau pun bernapas. Kamar Nenek sunyi. Partikel debu di udara yang terkena sorot cahaya senja berhenti bergerak seolah waktu membeku. Namun, tidak ada yang namanya waktu di sini. Seperti yang Raios bilang, ini hanya memori.

"Selama ini aku terus-terusan mengingat ... seolah-olah benakku sendiri menarikku ke masa lalu, kemudian melemparkanku kembali ke masa kini. Semua itu terjadi terus, silih berganti."

Kujatuhkan diriku ke kursi panjang tua di ujung ruangan dekat pintu, mengingat sensasinya, aroma kayunya. Terakhir kali aku duduk di sini saat umurku 12, barangkali, mengamati Nenek yang mulai sakit-sakitan dan tak bisa lagi bangun dari kursi kesayangannya.

"Mulanya, aku mengira semua flashback ini disebabkan penyangkalanku sendiri." Aku melanjutkan. "Karena aku tidak mau melepaskan kenangan remeh gadis remajaku dengan Ayah, Ibu, Ryan, dan teman-teman lamaku. Lalu, aku melihat memori yang selama ini disembunyikan Sir Ted ... juga memori orang-orang yang kutemui sepanjang jalan. Semua kilas balik yang sesekali kualami ini bukan kebetulan."

Aku mendongak, menatap sekitar. Dimensi ruangan seolah berubah. Atap dan lantai seakan mengerucut.

"Ini Brainware, ya, 'kan?" tanyaku. "Semua kenangan masa lalu yang kulihat secara acak ... semua ini karena Brainware. Aku menjelajahi otakku sendiri."

Aku berjalan ke arah rak pajangan dan buku-buku lama koleksi Nenek. Ibunya Nenek Magen—buyutku—seorang guru dan punya banyak buku sejarah, keagamaan, dan filosofis. Sedangkan nenekku menambahkan beberapa buku fiksi dan biografi. The Art of War, Max Havelaar, The Voyage of the Beagle, Bumi Manusia, The Memory Palace Of Matteo Ricci ....

"Mind Palace," kata Raios dengan mata memaut buku di tanganku. "Konsep yang cukup dekat."

"Aku pernah melihat yang seperti ini—mind palace, maksudku—di film serial detektif ... aku menontonnya dengan Sir Ted. Dia tampaknya berusaha memberi tahu padaku sejak awal tanpa diketahui oleh ayahku."

Aku mengamat-amati sosok Sir Ted yang membeku dalam memoriku. Dia tampak jangkung dan kurus seperti seorang pekerja keras yang lupa makan, rambutnya hitam karena dicat (dia pernah bilang padaku bahwa itu bukan warna asli rambutnya), dan matanya yang cokelat gelap punya pandangan sayu serta letih seolah dia menghabiskan malam hari tanpa tidur.

Lalu, sosoknya dan ayahku lenyap. Nenek dan aku yang berumur 4 tahun pun membuyar jadi debu. Ubin lantai pijakanku berubah warna. Kertas dinding menghilang, digantikan tembok logam. Kursi yang kududuki berubah menjadi sofa. Di sofa lain, Erion memperhatikanku dengan ekspresi menunggu. Di lantai, tepat di hadapan kakiku, Truck dan Alatas duduk menatapku. Truck membuka bibirnya, suara yang keluar darinya terdengar seperti gema: "Kecepatan impuls otak manusia ratusan kilometer per jam."

"Ini kenangan saat kami di bungkermu," kataku pada Raios.

"Tepat sebelum kalian mencoba mengkhianatiku. Kau masuk ke dalam kepalaku saat itu, mengajak mereka pergi, lalu berbohong saat terpergok."

"Karena kau membunuh salah satu teman Alatas dan Truck. Aku harus memperkirakan yang terburuk: kau akan membunuh salah satu dari kami juga, atau kami semua."

"Perkiraan yang tidak sepenuhnya salah," ujar Raios. Matanya memicing dingin. " Tapi seandainya kalian menurut saja, seandainya kalian tidak kabur dan mengkhianati kami, kita pasti sudah berada di Kompleks Sentral sekarang. Aku tak perlu bersekutu dengan ayahku yang menyedihkan, ayahmu tak perlu mati, dan Rav sudah berada di tangan kita."

"Rav," ulangku. "Alatas dan Truck mengira Rav itu adalah sesuatu. Sumber kekuatan Fervor, atau dokumen ... kau terus menyiratkan Rav sebagai benda yang memandumu. Sesuatu yang bisa diambil, ditaruh dalam saku, dibawa lari. Kau tidak pernah memberi tahu mereka bahwa Rav itu adalah seseorang. Raven itu nama orang."

"Aku tidak sepenuhnya berbohong." Raios menukas. Sudut bibirnya terangkat sedikit. "Rav memang memanduku. Dia memberiku nama-nama. Dia memberi tahu padaku bahwa selain aku, ada anak-anak lain yang juga lahir dari Relevia. Leila, anak Aga Morris, dan Seli, anak Juanda Moria ... sedangkan sisanya sudah mati."

"Jadi, saat kau menemukan kami di reruntuhan mall itu bukan kebetulan?" tanyaku. "Kau memang mencariku."

"Iya. Sayangnya, kau ternyata bersama ... teman-teman lamaku." Raios mengucapkan 'teman' dengan nada skeptis. "Bikin repot. Aku jadi harus membawa mereka serta."

"Tapi kau hampir menembakku saat itu."

"Raven tidak berkata apa-apa lagi tentangmu selain nama serta detail kekuatanmu. Sejujurnya, aku terkejut saat tahu anak Aga Morris yang dimaksud adalah perempuan remaja seumuranku. Selama ini, aku menyangka kau anak perempuan seumuran Seli. Siapa sangka, ayahmu senekat itu, memeliharamu seperti anak perempuan normal selama bertahun-tahun."

Memelihara, katanya? Nekat, dia bilang? Memang dengan cara apa dia dibesarkan?

"Jadi," kataku seraya mengamati sekitar. Sekali lagi, waktu seolah membeku. Di dalam bungker bawah tanah Raios, Alatas dan Truck masih mengamatiku. Erion mematung dengan tatapan mengantuk. "Apakah tempat ini nyata? Maksudku, mind palace atau apalah, ini—"

"Tempat ini hanya ada dalam kepalamu," jawab Raios. "Dan kepala kita—para pengguna Brainware. Ibuku menyebutnya Kastel Memori—sama saja seperti mind palace. Tapi mind palace yang itu adalah sebuah metode atau teknik mengingat. Sedangkan Kastel Memori yang ini memang sebuah tempat—dimensi—yang hanya ada di dalam kepala kita, di mana para Brainware bisa terhubung satu sama lain. Kau bisa menjelajahi pikiranmu sendiri atau pikiran orang lain di sini—ingatan, perspektif, cara berpikir, segala hal yang membentuk seorang manusia sejak ia dilahirkan."

"Ibumu juga Relevia," cetusku. "Giok bilang, kau sempat memiliki ingatan palsu, di mana kau mengira bibimu adalah ibumu. Kenyataannya, ibumu sudah mati dari lama."

"Giok tidak salah, tapi dia juga tidak benar. Ibuku menolongku—dia yang mengajariku memasuki Kastel Memori sebelum dia mati." Raios melambaikan tangan ke sekitarnya, meluruhkan dinding-dinding dan melunturkan pemandangan di sekitar, mengubah tempat ini menjadi sebuah ruangan putih polos. "Di sinilah aku memodifikasi ingatanku sendiri. Aku meyakinkan diriku sendiri kalau bibiku adalah ibuku. Maka, saat seorang Brainware bawahan ayahku datang, dia sama sekali mengabaikanku—dia mengira aku hanya salah satu dari produk cacat lainnya karena bibiku hanya manusia normal."

"Jadi, kau sengaja."

"Aku harus melupakan wajah ibuku yang asli. Aku harus melupakan bahwa aku ini anak dari dua orang Relevia. Kalau tidak, ayahku akan sadar bahwa akulah yang dicarinya. Ayahku punya banyak sekali Brainware dan Detektor yang dipeliharanya di Kesatuan Pemburu, dan mereka tersebar di mana-mana. Aku harus menekan kerja Fervor-ku sendiri agar tak terdeteksi Detektor. Aku harus melupakan siapa diriku agar para Brainware itu tidak menemukanku."

Pemandangan baru terbentuk. Kami berada di ruangan kecil yang mirip kamar anak-anak—tempat tidur kayu, sekeranjang mainan di pojok, lemari berlaci seukuran pinggang orang dewasa, mobil-mobilan menggelimpang di lantai, dan foto hewan-hewan yang tersenyum menggantung di belakang pintu. Raios membuka salah satu laci, mengeluarkan bola karet seukuran genggaman tangan.

Aku mengerjap. "Bukankah Brainware-mu cacat? Cyone-mu juga. Fervor-mu banyak yang tak berfungsi dengan benar karena gen turunan Bintara."

"Kata siapa? Kata Giok? Kata Timothy Edison? Kata ayahmu? Atau kata ayahku?" Raios menggelindingkan bola karet ke bawah kakinya, menginjaknya sampai penyet untuk sesaat, lalu bola itu memental dan menabrak dinding sebelum kemudian memantul kembali ke tangkapan tangan Raios. "Cara terbaik untuk menang adalah tipuan. Perlihatkan kelemahan yang tak kau miliki, tapi tetaplah berlagak kau punya senjata rahasia. Seharusnya kau paham—kau juga seperti itu."

"Jadi, Brainware-mu tidak cacat?" tanyaku. "Atau kau sengaja menahan dan tak menggunakannya ... menyimpannya untuk saat seperti ini?"

"Sudah kubilang, bukankah kau juga pandai melakukan itu, Leila? Membohongi orang-orang, kadang membohongi dirimu sendiri, berlagak berani saat kau sebenarnya takut, lalu menampilkan sosok gadis lemah yang tak bisa apa-apa dan tiba-tiba kau datang dengan pukulan yang meledak. Kau dan aku sama."

"Apa maumu sebenarnya, Raios?"

"Rav," jawabnya. "Terakhir kali dia datang padaku, ketika dia memberi tahu tentang kehadiranmu dan Seli. Dia ingin ditemukan, Leila. Sekarang, tidak seorang pun pernah melihatnya lagi. Aku bisa saja mencarinya ... masalahnya, aku tidak bisa mencapainya sendirian. Kau juga tidak. Kita butuh setidaknya 3 orang keturunan Relevia jika ingin mencapai Rav."

"Aku bukan Relevia."

"Aku bilang keturunan Relevia. Tidak masalah meski kau hanya Multi-fervent. Ayahmu Relevia, dan kita bisa ubah kau jadi Relevia juga jika berhasil menemukan Rav."

Aku mengerjap saat melihat sesosok anak laki-laki yang berjongkok di samping pintu. Umurnya mungkin 4 tahun. Matanya biru pucat, jari tangannya tengah menotol-notol berekor-ekor semut yang melintas di depan kakinya. Semut-semut itu dia tekan sampai rata dengan lantai, lalu dengan satu tunjukan jarinya, semut-semut yang mati kembali bergerak. Semut-semut yang hidup kembali itu ditekan sekali lagi oleh jempol si bocah sampai penyek. Si anak lelaki mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar, seperti puas pada tindakannya. Kurasa, aku tengah melihat Raios kecil.

Di sebelahnya, seorang wanita berambut pirang dan mata biru yang sama dengan Raios tengah menangis, kepalanya terkulai ke dinding. Kurasa, wanita itu dulunya cantik, dengan wajah tirus dan bulu mata lentik. Kini dagunya meruncing, kulitnya seperti ditarik mengetat ke sekitar wajah dan tangannya yang tinggal tulang. Sorot matanya dipenuhi keputusasaan.

"Bukan yang seperti ini ...." Wanita itu berkata dengan pedih. Darah mengalir keluar dari salah satu lubang hidungnya. "Bukan ini yang kumaksud, Sayang ...."

Pintu terbuka, dan seorang wanita lain dengan rambut cokelat gelap menerobos masuk. Dia adalah versi lebih tua sekaligus lebih sehat dari wanita pirang yang tengah meringkuk di sisi Raios. Aku ingat wanita yang ini. Aku pernah melihatnya saat belanja es krim dengah Ayah.

Dengan kasar, wanita baru itu membentak, "Cukup, Nava! Jangan dekati anak itu lagi!" Dia menarik si wanita pirang di ketiak, menyeretnya keluar kamar sambil masih menggerutu, "Aku punya banyak pekerjaan! Perhatikan kesehatanmu—tolong, tidurlah di kamarmu saja dan jangan pikirkan anak ini lagi!"

Nava—ibu Raios—tersedu-sedu dengan darah yang masih menetes-netes di dagunya. "Bukan yang seperti ini ... anakku, jangan—"

Setelah membawa pergi ibunya Raios, si wanita kasar kembali lagi. Dia menerjang ke kamar, kakinya menginjak Raios kecil di kepala.

"Ini gara-gara kau, anak iblis!" Wanita itu menjerit sambil terus menginjak sementara Raios kecil mengangkat lengan untuk melindungi kepalanya. "Pria jahanam itu padahal sudah melihatmu semalam! Tapi, kenapa—kenapa dia tidak membawamu?! Dia bilang bukan kau yang dicarinya! Kenapa?! Kau seharusnya lenyap dari sini! Gara-gara kau lahir, adikku ... adikku—"

Raios asli melemparkan bola karet ke wajah bibinya. Sosok bibinya dan Raios kecil pun berdenyar lenyap dari ruangan, meninggalkan gema tangisan dan jeritan.

"Bukan yang seperti ini ..." gumam Raios seraya mengamati bekas adonan semut yang dibantai oleh sosok bocahnya. "Hanya menghidupkan semut-semut—ini sama sekali bukan potensi terbaik Relevia. Kita seharusnya bisa lebih dari ini, Leila. Tapi manusia adalah makhluk lemah yang mewariskan hal-hal lemah pula."

"Jadi, Fervor memang diturunkan," kataku seraya mengamati pintu kamar yang tertutup. "Kau tidak mewarisi gen cacat ayahmu. Kau Relevia sempurna dari gen ibumu." Aku menoleh ke Raios. "Lantas bagaimana dengan 'Ledakan Fervor'? Bagaimana dengan Meredith yang Cyone-nya tak berfungsi untuk manusia, melainkan tumbuhan? Bagaimana dengan Alatas? Tak seorang pun di keluarganya adalah Fervent. Orang tua dan semua kakaknya manusia normal."

"Ledakan Fervor adalah sebuah kode yang dibuat NC untuk membicarakan kedatangan Rav, Leila. NC selalu menyambut Rav selama ratusan tahun. Dengan kekuatannyalah manusia berevolusi. Pertama kali menciptakan api, pertama kali membuat kapal dan pesawat, awal masa revolusi industri, penemuan teknologi uap hingga nuklir—semua itu ditandai dengan kedatangan Rav yang membangunkan kekuatan-kekuatan Fervent. Dulunya ia bagian dari mitologi, cerita rakyat, lalu menjadi sejarah. Setelah menetap beberapa tahun, Rav seharusnya pergi, tapi di bulan-bulan yang menyulitkan ini, ayahku yang bodoh menahannya di sini." Raios memungut kembali bola karetnya, memantulkannya ke dinding beberapa kali. "Meredith ... dia spesial—cukup itu saja yang perlu kau ketahui. Kalau Alatas, barangkali karena gen resesif."

Sekali lagi, pemandangan berubah. Kami berada di kamar lain, gelap dan lembap. Seberkas cahaya dari lampu di atas meja menyorot seorang gadis kecil yang duduk di tepi kasur rendah, kedua lengannya memeluk bantal usang yang kapuknya jebol.

"Bintang kecil ...." Anak itu menyenandung lemah. "Di langit yang—"

Dia terhenti. Kepalanya mendongak ke langit-langit yang gelap.

"Paman," panggilnya pada seorang pria yang berjaga di depan pintu kaca kamarnya. Pria itu mengenakan seragam hitam NC, dengan bayang-bayang topi menutupi wajahnya, dan tangan yang tak pernah meninggalkan senjata api di sabuk. Si gadis kecil bertanya padanya, "Apa warna langit?"

Pria itu meliriknya singkat, tetapi tak menjawab.

"Seli ...." Raios berlutut di hadapan si gadis kecil, tetapi anak itu tampak tak menyadari kehadiran kami. "Kami akan mengeluarkanmu dari sini. Kita akan mencari Rav bersama-sama."

Seli melanjutkan nyanyiannya dengan lirik yang tak pernah selesai.

Aku menggertakkan gigi. "Bagaimana kalau aku tidak mau ikut denganmu mencari Rav, Raios?"

"Leila ...." Raios menyunggingkan senyum yang membuat sekujur tubuhku menggigil. "Tidakkah kau ingin menghidupkan ayahmu lagi?"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Fanart super kiyowo kiriman dari Hamba Allah, thank u yaaaa (ノ'ヮ')ノ*: ・゚



Fanart Raios super tamvan yang jahatnya ilang entah ke mana kiriman lostvlueberry terima kasiih banyaak 。゚(TヮT)゚。






FYI: Istilah mind palace bisa kalian temukan di serial Sherlock Holmes di BBC (bukan novelnya yaaa; kalau di novelnya, Sherlock Holmes menganalogikan otak manusia dengan attic atau loteng). Mind palace berasal dari konsep Method of Loci pada masa Yunani dan Romawi kuno.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro