#93

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #93 | 6708 words |

Warning: disturbing content

TRUCK MULANYA memunculkan inisiatif super tega seperti dirinya yang biasa: tinggalkan Neil, cari cara lain untuk menghubungi T. Ed. Aku sendiri hampir setuju karena setelah apa yang terjadi, kami tidak seharusnya mengambil risiko. Namun, aku mengingat potensi Neil sebagai Teleporter terbaik kedua dengan kadar menyebalkan jauh di bawah Op, maka aku memaksa Truck untuk mengikutiku.

Massa berkumpul menyoraki Neil, melemparinya dengan batu dan sepatu, kemudian meludah ke jalan yang dilalui Neil saat digiring para petugas.

"Membungkuk! Membaur dengan betul!" Aku menarik lengan Truck.

"Yeah," kata seseorang di sebelahku, "kita tak mau ikut ketahuan, 'kan? Jadi, apa rencananya?"

Aku hampir melompat ke gendongan tangan Truck saking terkejutnya. Rasanya tak jauh berbeda dengan melihat kecoak hitam terbang besar saat mendapati Op di sebelahku, beringsut-ingsut dengan gugup. Di bawah jubah hijau lusuh, matanya mengamati Neil. Aneh sekali rasanya melihat Op juga bisa cemas.

"Kau—" Aku hampir mempertanyakan bagaimana bisa dia ada di sini, tetapi kemudian teringat dua hal: dia ini Teleporter; dan Neil sudah bilang bahwa dia sering datang ke Kompleks ini bersama Op untuk 'senang-senang'. Lalu, aku menyadari hal ketiga: "Kau yang membuat Neil terciduk."

"Kau yang membuatnya terciduk!" Op menukas. "Buronan nasional terlihat di Kompleks 18? Beritanya menyebar dengan cepat, tahu? Aku langsung diutus ke sini!"

"Tapi bukan kami yang menyebabkan itu!" Aku menunjuk ke arah Neil yang masih diarak di jalanan. Petugas tampak kesulitan, berusaha lewat di antara orang-orang yang saling dorong dan berteriak-teriak. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Bukan salahku!" Op bersikeras. Aku mencengkram kerah jubahnya, menginjak kakinya agar dia tidak kabur (mustahil dia berteleportasi di tengah keramaian), dan mengancam akan menarik tudung kepalanya. Op menggeliat berusaha melepaskan diri, tetapi Truck mencegat di belakang punggung lelaki itu. Sekarang, si Teleporter terjepit. "Oke—oke! Aku hanya datang seperti biasa, lewat jalur biasa yang tidak ada Peredam-nya, dan aku tahu Neil bakal ada di bar yang biasa, jadi kupikir aku mesti mampir sebentar sebelum menyeret kalian, para berandalan kecil, pulang ke T. Ed—"

Aku menginjak kakinya lebih keras agar Op mempersingkat cerita.

"Kami terlibat perkelahian dengan seorang pria sebesar Truck," lanjut Op. "Aku menyelinap kabur—soalnya aku pintar. Neil, entah refleks atau goblok, menghindari pukulan dengan berteleportasi ke meja seberang. Orang-orang melihat itu. Betul-betul bukan salahku!"

Itu salahmu! Aku ingin menuliskan kalimat itu di jidatnya dengan spidol permanen, tetapi aku tidak bawa spidol. Jadi, aku melepaskannya.

Truck berkata, "Kita bisa mundur untuk sementara—"

"Mundur?!" Op mendesis. "Teleporter dapat hukuman mati di sini! Kalau Neil masuk ke mobil itu—" Op menunjuk lahan parkir yang dipenuhi mobil-mobil sehingga aku tak tahu mobil mana yang dia tunjuk. "Habis sudah! Arka di mana-mana, Peredam berjaga di tempat eksekusi—kita takkan bisa mengeluarkannya kalau tidak sekarang!"

Aku memutar otak. Kuamat-amati para penjaga—Arka di sabuk, senjata api di bahu. Dua pria di belakang Neil mengacungkan senjatanya ke punggung si Teleporter yang babak belur dihajar massa. Aku tak melihat ada Arka di sekitar badan Neil—barangkali karena Neil sudah tampak terlalu semaput bahkan untuk sekadar berjalan, tak ada yang menganggapnya ancaman.

Aku menunduk, menatap tanah lembek berbatu. Aku berkonsentrasi dan membuat salah satu kerikil meletup kecil seperti berondong jagung. Tidak ada yang menyadarinya, tetapi bagiku ini cukup. Peledakku masih berfungsi, berarti cakupan Arka para petugas tidak mencapai ke kerumunan ini.

Truck mendesis memperingatkanku saat aku menyeruak di antara orang-orang, memisahkan diri darinya dan Op.

"Teleporter terkutuk! Keluar dari tanah kami!" Aku meneriaki Neil, meniru sumpah serapah orang-orang di sekitarku. Aku mengambil batu, melemparkannya ke jalan sampai mengenai kepala salah satu petugas NC di belakang Neil, tetapi si penjaga tidak bisa menemukanku di antara kerumunan. "Fervent tercela! Pembunuh! Titisan iblis! Kaum kalian dilaknat—argh! Apa itu?!" Aku menunjuk ke atap bar, membuat letusan yang lumayan sampai susunan batanya meledak. Segera saja orang-orang melihat ke atas dengan paras terkejut.

Sambil membelalak ke arah atap bar, salah satu pria di seberang jalan menjatuhkan batunya dan berteriak, "Peledak!" seolah-olah dia melihat sesosok Fervent Peledak di atas sana dengan matanya sendiri. Bahkan tanpa Brainware, benak manusia yang ketakutan sangat efektif menciptakan ilusi mata macam itu.

Ini memperingan pekerjaanku. Tak butuh waktu lama sampai jeritan-jeritan pecah dan kepanikan menyebar. Semua orang berlarian menjauhi bar. Para petugas bersiap membidikkan senjata, tetapi mereka sendiri kebingungan karena tak melihat apa-apa di atas sana. Aku yang terseret arus mati-matian mempertahankan diri sambil menunjuk-nunjuk dan meledakkan batu-bata di atap bar.

"Peledak!" pekikku. "Peledak gila! Selamatkan diri kalian!"

Op dan Truck berusaha menyusulku, tetapi terdorong oleh orang-orang yang berlarian. Maka, hanya aku yang mencapai Neil yang tersingkir ke emperan jalan.

Keadaannya parah—luka robek di atas alis, kelopak mata bengkak, rahang biru, darah membasahi rambutnya, dan beberapa jari tangannya terpuntir sampai membuatku mual. Neil menggigil dan tidak bisa berdiri. Aku mencoba menyeretnya, tetapi bobotnya malah membuatku terjerembap.

Kudengar suara berkelotak di belakang kepalaku. Aku berbalik, spontan mengangkat kedua tangan, mendapati salah satu prajurit menyadari tipuanku. Tangannya mendorong moncong senapan ke dahiku. "Ternyata kau—si buronan."

"Iya, saya." Aku melirik ke samping. Truck hampir sampai. "Anda siapa?"

Petugas itu menyeringai dan menekankan senjatanya ke kepalaku. "Jangan banyak bicara. Aku bawa Arka dan aku terlatih menghadapi Brainware—"

Lalu, pria itu tersungkur ke sisi saat Truck menubruknya dari samping. Pria itu jelas tidak terlatih menghadapi terjangan Truck.

"Sini! Cepat!" Op melambai-lambai di tikungan jalan, tak menyadari seorang pria mengendap di belakangnya dengan tongkat pentungan di tangan.

Di belakangku, Truck masih berupaya membuat si prajurit NC pingsan. Aku terpaksa meninggalkan Neil yang masih menggeletak, lantas buru-buru berlari ke arah Op. Si bolot itu tampak tak menyadari bahaya di belakangnya.

Op masih memekik-mekik, "Sini! Lekas! Tidak ada Arka di sini!"

"Ah! Teleporter tolol!" Aku tak sempat memperingatkannya dengan benar, tetapi Op sepertinya mendeteksi bahaya dari ekspresi wajahku, atau dari gestur tanganku yang terangkat. Op berjongkok sambil memegangi kepalanya saat aku menembakkan gelombang kejut, mementalkan petugas NC di belakangnya.

"Tembakan jitu ...." Op menoleh dan menyunggingkan cengiran gemetar saat aku mencapainya. "Tadi itu ... kau sudah memperkirakan kalau bidikan Peledakmu takkan mengenaiku, 'kan? Ya, 'kan?"

Aku tak bisa menjawabnya karena kehabisan napas. Mataku berkunang-kunang, kakiku membeku, perutku dingin, dan wajahku kebas.

"Ayo—" sengalku. Aku menoleh ke belakang. Truck tengah membopong Neil susah payah. Mereka masih sangat jauh dan lamban, sedangkan orang-orang telah menyadari perbuatanku. Para prajurit NC sudah mengendalikan situasi dan mulai mengepung kami. "Cepat—"

Salah satu senjata terarah ke kepala Truck. Aku hampir menjerit, ketakutan melumpuhkanku, tetapi kepala pria NC yang memegangi senjata itulah yang meletup—meledak seperti botol air mineral yang dicengkram keras-keras. Keterkejutan membekukan semua orang, bahkan Truck sendiri yang bagian kanan wajahnya berlumuran darah si prajurit.

Kerusuhan kian pecah setelah sedetik keheningan yang mematikan. Para prajurit tak tahu mesti membidik ke mana karena mendadak saja satu demi satu rekan serdadu mereka berakhir dengan leher buntung.

Pemandangan itu membuat kakiku lemas. Perutku teraduk-aduk.

"Kau yang melakukan itu?" Op bertanya. "Kenapa tidak dari tadi?!"

"Bukan aku!" jeritku histeris saat salah satu tubuh tanpa kepala menggelinding ke dekat kakiku. Bau busuk di mana-mana. Penglihatanku memburam karena rasa ngeri. Aku mencoba meraih ke arah Truck di balik hujan darah, tetapi jarak kami terlalu jauh.

Yang menyebabkan ini bukan aku. Aku bukannya setakterkendali itu. Aku tahu rasanya meledakkan sesuatu, sensasi panas dan hilangnya udara di sekitar—aku sadar secara penuh saat mengaktifkan Peledak. Jadi ... siapa?

Saat itulah seseorang menarikku. Kupikir itu Op, maka aku nyaris tidak melawannya. Lalu, saat badanku dilemparkan ke tanah becek berlumpur di gang sempit, Op menjerit karena pantatku jatuh di atas kakinya. Di depanku, seseorang yang menyeretku berdiri menjulang—bukan Op. Malah, dia bukan laki-laki.

Umurnya tidak mungkin lebih tua dariku. Rambut hitamnya berpotongan bob, matanya yang berlainan warna—cokelat di kiri, kuning keemasan di kanan—berkilat dalam gelap. Luka gores horizontal melintangi hidungnya.

Fervent. Perempuan. Seumuranku. Tapi ....

Itu mustahil.

Op ikut terduduk di sisiku. "Fe-Fervent gila—"

Gadis itu membungkuk, tangannya menyambar tanganku. Sesaat, aku ketakutan, lalu bayangan samar melintas di balik mataku seperti ingatan samar. Sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi dan kawat tajam di atasnya, sorot cahaya lampu, orang-orang berseragam hitam berjaga di luar pintu sel ....

"Kau dari Herde yang runtuh dekat pekuburan itu," kataku takjub saat melihat ingatannya. Gadis ini membiarkanku melihat ke dalam pikirannya dengan mulus. "Kau salah satu anak yang selamat ... kau diselamatkan oleh mendiang Aria?"

Gadis itu mengangguk. Dia membuka bibirnya ragu-ragu, tetapi kemudian menutupnya lagi. Wajahnya muram.

"Mereka memotong lidahmu di Herde," kataku lagi, menyuarakan pikirannya dengan lancar. Dia menunjuk ke jalanan di luar gang yang masih dipenuhi kepanikan. "Teman-temanmu di sana, sedang mengurus para prajurit ... tunggu! Maksudmu, masih ada yang lain? Ledakan kepala itu ... perbuatan kalian?"

Dia mengangguk lagi. Tangannya melepaskanku, tetapi aku menyambarnya kembali. Lebih banyak memorinya masuk membanjiri kepalaku.

Mereka berenam. Selama ini mereka bersembunyi di reruntuhan Herde, tempat yang dulunya memenjara mereka. Tak ada yang berani pergi ke sana karena tempat itu pernah menjadi lahan radioaktif dan ladang tragedi, ironisnya, hanya di sanalah gadis-gadis Fervent ini aman sekarang. Dalam kegelapan dan persembunyian, mereka hidup dalam belas kasih orang-orang tertentu yang mengetahui keberadaan mereka—seperti Yohannes, si penjaga makam itu, yang sesekali menyelundupkan sesuatu untuk dimakan dan dikenakan. Setidaknya sampai malam ini, ketika melihat seorang pria duduk meratapi makam Aria, mereka memutuskan untuk keluar. Mereka pergi kemari karena Truck.

"Kalian ingin ... membalas budi?" tanyaku, yang dibalas anggukan lagi. "Karena Aria menyelamatkan kalian, selama ini kalian menunggu kakaknya? Kalian menunggu Tru—maksudku Timothy."

"Nama Truck itu Timothy?" Op berjengit. Aku lupa dia masih di sini. "Kayak ... keluarga Timothy di T. Ed? Tunggu dulu, kenapa cewek-cewek ini belum membunuh kita?"

"Tampaknya, berbulan-bulan tanpa suplai PF13 dan terapi-terapi di Herde, mereka menyembuhkan diri," kataku. Yah, meski tak bisa benar-benar dibilang sembuh. Masih ada sisa kegilaan di matanya, terukir dari bertahun-tahun menjadi tahanan Herde, dan mereka baru saja meledakkan banyak kepala manusia seolah itu bukan apa-apa.

"Siapa namamu?" tanyaku. Sejak tadi aku membaca pikirannya yang abstrak, gambaran-gambaran dari ingatannya, dan keinginannya, tetapi tak sedikit pun aku mendengarnya bicara dalam benakku seperti aku mendengar Erion. Tak ada kata-kata utuh dalam benaknya. Gadis itu hanya menarik bahu bajunya, menampakkan tato "Jara ST-13-779". Aku berjengit. "Jara—itu bukan namamu. Itu nama bangsal tempatmu tinggal di Herde."

Namun, gadis itu tak punya jawaban. Dia sudah lupa namanya sama sekali.

"K-kau bisa menolong Truck?" tanyaku. "Tolong dia. Dia terjebak bersama seorang Teleporter yang babak belur—"

Tanpa menjawabku, Jara ST-13-779 berderap keluar dari gang. Besi-besi pipa yang mengular pada dinding bangunan berderak seolah merespons kekuatannya.

"Itu ... seram, tapi keren," ujar Op sambil menggaruk kepala belakangnya.

"Yang mengingatkanku ...." Aku menatap Op. "Apa yang terjadi dengan cewek-cewek dari bangsal Tarok di koloni kalian?"

Op berdecak-decak. "Kami tinggal di markas lama. Buat apa kau kasihan sama mereka? Mereka tidak ada bedanya dengan perempuan-perempuan kanibal lain, cuma lebih jinak sedikit, tapi tetap saja susah dikendalikan—"

"Tapi mereka sakit," tukasku. "Buat apa kau mengendalikan orang sakit?"

"Sakit?" Op balas menukas. "Mereka stres!"

"Itu namanya sakit, Op. Seperti Neil yang babak belur, cewek-cewek itu punya memar yang sama di jiwa mereka." Aku menekankan. "PF13 dan Agen Herde melakukan itu pada mereka. Cuma karena kau tidak bisa melihatnya, bukan berarti lukanya tidak ada di sana."

"Kau boleh mengasihani mereka di sini. Aku mau cari Neil dan Truck."—Dan si Teleporter menghilang begitu saja.

Aku duduk meringkuk selama lima menit. Aku sudah pernah melihat mayat, satu atau dua jari kaki yang terpisah, orang tertembak, luka-luka di tempat yang membuat gigi ngilu, dan tulang yang patah. Namun, kepala meledak dan hujan darah adalah mimpi terburuk di antara semuanya. Bahkan, rambut serta bahu jubahku masih dibasahi cipratan darah seseorang.

Setelah lebih tenang, kupaksakan diriku untuk bangkit. Namun, saat aku keluar, kerumunan yang panik dan berdarah-darah menyeretku ke satu arah. Kami menjauhi area hiburan malam, lalu kerumunan mulai terpencar saat memasuki wilayah pertokoan. Aku akhirnya berhasil memisahkan diri, tersingkir ke emperan toko yang kacanya pecah dan tak lagi berpintu. Sebilah beling menggores lenganku. Tertatih-tatih, aku bersembunyi ke antara rak pakaian anak-anak.

Tenang, kubisiki diriku sendiri. Truck pasti di dekat sini. Neil dan Op juga

"Jangan bergerak." Seseorang memberitahuku, membuatku terduduk di antara gantungan baju yang berserakan. Saat aku mendongak, hal pertama yang kulihat adalah moncong senjata di antara kedua mataku. Di baliknya, seorang pria berjaket parka dan celana jins berdiri menjulang. Matanya melirik sebentar ke arah toilet, seolah mencemaskan sesuatu di dalam sana, tetapi dia kemudian kembali memerintah, "Angkat tanganmu sejajar kepala."

Aku memandangi pakaian warga sipilnya, lalu mengangkat tangan ragu-ragu.

"Berbalik—menghadap dinding!" desaknya. "Cepat! Meski tak sedang bertugas, aku dari Kesatuan NC! Jangan melawan!"

Dia mungkin bermaksud membuatku takut, tetapi betapa salahnya itu. Ancamannya justru membuat perutku mendidih. Andai dia diam saja dan terus membuatku mengira dia hanya warga sipil yang kebetulan pegang senjata, aku akan kabur saja. Namun, mendengar frasa Kesatuan NC memancing dendam kesumat yang tak pernah bisa kulepaskan pada Komandan, membuatku berbalik mendadak dan menendang moncong senjatanya.

Senapan itu terlempar ke rak pakaian. Kami berlomba meraihnya—dia menarik rambutku, aku menendang dagunya—tetapi aku berhasil mendapatkan senjata itu lebih dulu karena jarakku lebih dekat.

Magasinnya terpasang, pelatuk siap ditarik, pria itu berada dalam jarak tembak, dan aku terpojok. Telunjukku bergerak, tetapi di saat-saat terakhir aku seolah mendengar suara Truck: Kuharap aku punya nyali waktu itu.

Nyali untuk apa?

Membunuh orang-orang yang mengejarku

Itu penyesalan yang Truck ucapkan di hutan saat kami bersembunyi tadi. Dia bilang, regu lamanya terpencar dan mati satu per satu karena dia tidak bernyali membunuh para pengejarnya. Alatas pernah bilang, Truck hanya seram di badan, tetapi dia tidak pernah membunuh siapa pun. Itulah salah satu pembeda mereka—Alatas pernah mengotori tangannya, menarik pelatuk untuk melindungi kami.

Aku tidak mengerti. Pada saat itu aku betul-betul tidak paham—kenapa dibutuhkan nyali? Kenapa harus berpikir dua kali? Orang-orang ini duluan yang mengancam kami!

Lagi pula, tanganku sudah kotor—saat si gadis Icore mati ditembak Raios, dia tak bisa melawan karena aku masuk ke dalam kepalanya, sama saja seperti aku menyebabkan kematiannya. Saat aku kabur ke Garis Merah dan mengabaikan peringatan seorang anak bernama Aaron, aku juga secara tak langsung membunuh anak itu—dia mencariku hingga dia dan keluarganya tak sempat kabur dari para Icore yang menginvasi pesisir pantai.

Semua ledakan yang kuhasilkan, tembakan senjata yang meleset kubidikkan, dan kerusuhan yang barusan kusebabkan—pasti ada seseorang terluka dan terbunuh di antara itu semua. Tidak akan ada bedanya kalau aku menarik pelatuk ini.

Maka, aku melakukannya. Aku menembak. Untuk pertama kalinya, dari belasan kali aku memegang senjata api berbulan-bulan ini, aku mengenai sasaran. Untuk pertama kalinya, setelah sekian tembakanku selalu meleset dari kepala, aku membidik dengan tepat.

Dan rasanya seolah kepalaku ikut terpelanting lepas. Lalu, hening.

Darah pria itu menggenangi lantai. Badannya tidak bergerak. Aku menjatuhkan senjata. Dalam diam, aku meraba jauh ke lubuk hatiku, mencoba mencari penyesalan, ketakutan, atau apa saja.

Tidak ada. Aku hanya merasa kosong.

Aku berdiri, dengan lunglai menyusuri rak-rak pakaian. Mataku menerawang jauh, tidak tahu apa yang kutuju dan kucari. Beberapa orang melintas dan bertabrakan bahu denganku, mencari tempat bersembunyi di dalam butik dari kerusuhan di luar sana. Api sudah menyala terang di tengah jalan.

Setelah berputar-putar dengan kepala kosong, aku kembali ke tempat tadi—di mana mayat pria yang kutembak masih menggeletak. Namun, ada yang berbeda ....

Ada seorang anak perempuan di sana, lebih kecil dari Erion, duduk bersimpuh di samping jasad si pria yang baru kuhabisi. Sepatu anak itu basah, pintu toilet terbuka di belakangnya—toilet yang terus dipandangi dengan cemas oleh pria yang kubunuh. Pipi anak itu tergores sesuatu, baju terusannya kotor, ingus dan air mata meleleh ke dagunya. Si anak perempuan menjerit tanpa henti: "Ayaaaah!"

Aku mematung di sana. Kekosongan dalam benakku perlahan mulai terisi, tetapi aku tak sempat merenunginya ketika lebih banyak gerombolan pengungsi yang berlarian ke dalam butik. Mereka semua histeris, saling dorong dan menginjak-injak orang yang jatuh di hadapan mereka. Gelombang manusia yang panik itu nyaris meratakan si gadis kecil ketika aku menyambarnya, menariknya ke sisi rak pakaian anak-anak, dan mendekapnya erat-erat.

Jantungku berdentum gila-gilaan saat anak itu berteriak. Matanya nyalang memandangi jasad ayahnya yang diinjak-injak. Beberapa orang terpeleset di atas jenazah si pria, tetapi itu justru membuat mereka bangkit dan berlari lebih cepat karena ngeri. Aku mencoba menutupi matanya, tetapi anak perempuan itu berkelit.

"Ayah janji membelikanku baju baru!" isak si gadis kecil. Tubuhnya terguncang. "Ayah janji tidak akan mati! Ayah janji akan melindungiku dari Fervent jahat!"

Selama beberapa menit, aku bertahan seperti itu—memeluk anak perempuan yang ayahnya baru kubunuh, mendengarkan jeritannya pecah, merasakan tiap tetes air matanya jatuh ke lenganku.

Saat akhirnya keadaan lebih sepi, anak itu sudah tenang. Atau lebih tepatnya membisu. Tangisannya berhenti, sorot matanya kosong, dan bibirnya terkatup rapat, tetapi wajahnya menggembung merah seolah menahan ledakan emosi lainnya di dalam sana. Aku berdiri sambil membawanya, tak melirik dua kali pada jasad si pria NC. Aku berjalan di antara sisa-sisa kerusuhan sampai menemukan Op di seberang jalan.

Ketika Op menanyai di mana rumah dan keluarganya, anak itu butuh waktu lama untuk menjawab.

"Sini, Om antar," ajak Op, tetapi tangan anak itu mencengkram bahuku erat-erat. Wajahnya tenggelam di rambut dan leherku.

Aku memeluk lebih erat dan menutupi mata anak itu saat Op meneleportasikan kami berdua ke wilayah perumahan. Suasananya hening, tetapi samar-samar kami mendengar suara orang-orang di jalan, bertukar kabar tentang kerusuhan di sisi lain di Kompleks mereka.

"Yang mana rumahmu?" tanya Op setelah kami melalui beberapa rumah.

Aku membuka mata anak itu, dan dia mengernyit sebentar—barangkali bertanya-tanya bagaimana kami bisa tiba secepat ini, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia menunjuk sebuah rumah semi-permanen dengan pagar kayu. Di depannya, seorang wanita berdiri tanpa alas kaki, bersimbah air mata. Ketika melihat kami, wanita itu menutup mulutnya dengan tangan dan menangis keras.

Aku tak yakin rambut kusut dan tudung lusuh berdarah menyembunyikan wajahku, tetapi ibu dan anak ini terlalu berduka untuk memerhatikan. Berpelukan, menangis, saling bertanya dan menjawab—di mana ayahmu, apa yang terjadi, kau baik-baik saja? Ayah tertinggal, banyak darah, orang-orang menjerit ....

Persis seperti saat aku dan ibuku baru bertemu lagi setelah sekian bulan terpisah. Kelegaan dan keputusasaan menyelimuti keduanya dengan brutal.

"Ayo," bisik Op, "sebelum mereka curiga."

"Tunggu!" Si wanita mencoba menahan kami, tetapi kami mengabaikannya.

"Kakak!" Si anak perempuan mengejarku, membuat jantungku melompat ke telinga. Ketika dia mencengkram tanganku, sekujur tubuhku membatu. Tangannya sendiri gemetar. Saat aku menatapnya, kulihat sorot matanya yang nyaris hampa karena syok. Katanya, "Terima kasih ... sudah menyelamatkanku."

Yang selanjutnya terjadi terasa amat samar bagiku. Kesadaranku tidak benar-benar utuh ketika Op meneleportasikan kami ke hadapan Truck dan Neil.

"—jadi kita mesti antar Neil sebentar," kata Op di tengah-tengah lamunanku. "Luka-lukanya butuh diurus. Truck—kau jangan menjauh darinya. Cyone-mu keren. Oke, aku harus melapor ke Pak Timothy tentang para cewek misterius itu—mereka tahu-tahu hilang begitu saja setelah menyelamatkan kita! Leila, kau mau ikut Truck, ikut aku, atau langsung ke ... eh, kau dengar aku?"

Entah ekspresi macam apa yang kupasang. Para lelaki mengernyit.

"Tidak sama ..." gumamku. "Aku baru paham kenapa kau bilang butuh nyali. Ternyata selama ini aku yang buta."

"Leila, kau bicara apa?"

"Tidak sama, Truck." Aku berkata lagi. "Si gadis Icore, Aaron, Fervent liar dan manusia normal yang mati secara tidak langsung gara-gara aku ... ternyata tidak sama dengan saat aku menarik pelatuk sendiri."

Mereka berdengap, barangkali mengerti apa yang tengah kubicarakan. Op berbisik ke Truck, menceritakan seorang gadis kecil yang baru kami antar pulang.

Truck memucat, matanya menelaahku dengan nanar.

"Kau butuh menenangkan diri," cetus Truck. Dia mengatakan sesuatu pada Op yang tak bisa kudengar, lalu kembali menoleh padaku. Tangannya di bahuku. "Kita bertemu lagi dalam satu jam."

Op menyentuh lenganku dan kami berteleportasi ke sebuah ruangan tertutup bercat putih-kelabu. Suasananya hampir gelap, hanya ada satu lampu emergency redup yang menyala di tengah ruangan, diletakkan di lantai. Mataku menangkap beberapa perabot yang sudah lapuk seperti meja-meja kerja dan lemari berlaci. Kursi-kursi beroda menggelimpang di lorong yang diapit etalase-etalase kaca, benda-benda remeh semacam lembaran kertas, alat tulis, dan map berserakan di lantai keramik retak-retak. Tempat ini mirip wilayah perkantoran.

Seorang lelaki duduk di atas salah satu meja kerja, tangannya yang diselubungi sarung tangan tengah mengutak-atik sebuah ponsel. Dia melirik kami sebentar, dan hanya mengangguk saja saat Op berkata, "Titip cewek ini dulu, ya. Nanti aku balik menjemput kalian."

"Bisa kau bawakan seorang Calor ke sini?" pinta lelaki itu tanpa mengangkat wajah dari gawainya. "Cyone saja tidak cukup buat kami."

Op mendengus, lalu melirikku. Katanya, "Kau pulihkan dirimu di sini dulu. Kau tidak asyik kalau tidak barbar—kau mirip mayat."

Setelah berkata begitu, dia berteleportasi meninggalkanku.

Aku memicingkan mata, merasa mengenali lelaki di atas meja. Kurus, ceking, bungkuk, kacamata tebal, baju longgar, kesannya bakal terbang kalau aku bersin di telinganya ....

"Giok," kataku.

Lelaki itu awalnya acuh-tak-acuh meski menyadari kehadiranku, tetapi akhirnya dia mendongak. Sebelah alisnya terangkat. "Kau ...? Oh, si cewek Brainware," kata Giok tersadar. Tampaknya dia sudah mengenaliku juga. Dia kembali bersikap cuek dan memainkan ponsel di tangannya. Jari tangannya menuding pintu kaca yang tertutup tirai di sampingnya. "Teman-temanmu di dalam, tapi kau tidak boleh masuk dengan badan berdarah seperti itu—ayahku bisa kena penyakit."

Aku menegakkan punggung. Alih-alih senang, entah kenapa aku merasa ketakutan. "Erion dan Alatas di sini? Ta-tapi mereka harusnya di Kompleks 1. Kau juga—kau sedang menginfiltrasi Kompleks 1 untuk T. Ed."

"Aku mengunjungi ayahku, nebeng Op karena dia diutus ke sini buat menjemputmu. Mendengar kami ke sini, kau kira dua orang itu tak bakal mendesak untuk ikutan?" Giok meraih sebuah tas tenteng besar di kakinya, mengeluarkan kemeja hitam dan jaket kamuflase seragam T. Ed, lalu mengoperkannya padaku. "Tuh. Kamar mandi di sudut sana. Kurasa airnya sudah menyala—kami baru saja melelehkan es yang membekukan pipanya."

Menyeret langkah ke dalam, aku mengunci pintu kamar mandi dan bengong selama beberapa detik. Aku membuka mantel, mengeluarkan map berisi berkas informasi Aria, menyalakan pancuran, dan berdiri di bawah semburan air. Air memerah gelap saat larut di lantai ke lubang pembuangan.

Aku membuka tudung, mencuci muka di wastafel, lalu mengusap embun pada cermin yang retak-retak. Pantulan wajahku terlihat asing. Kantung mataku gelap, kulitku kusam, dan ada sesuatu yang lain di sana ... rasanya seperti bukan wajahku.

Selain tanda-tanda keletihan dan belum tidur dua hari, ini adalah wajah seseorang yang baru saja melek akan dunia. Kukira, aku sudah tahu cukup banyak saat Alatas mengeluarkanku dari reruntuhan hari itu. Rupanya, aku masih dungu.

Ada alasannya Alatas tampak hancur-lebur setelah menembak mati seorang Brainware di Kesatuan Pemburu yang hampir mencelakakan kami. Ada alasannya Truck selalu mundur di saat-saat terakhir sebelum dia membuat seseorang terbunuh.

Selama ini aku cuma merasa marah. Aku marah pada ayahku, lalu kabur dari rumah. Aku marah pada NC, maka aku tak pernah ragu saat menyerang mereka. Aku marah pada Sir Ted, lantas aku terus curiga padanya. Aku marah pada seragam-seragam hitam itu, sepatu bot mereka, emblem sayap NC yang mereka sematkan di mana-mana, senjata yang mereka tenteng-tenteng ....

Bagiku, orang-orang NC cuma pembunuh—tidak lebih. Rasanya seperti melihat sosok dua dimensi yang tidak punya kepribadian, hanya mengancam dan membahayakan. Bodohnya aku—mereka manusia. Mereka punya nama, keluarga, kerabat, anak, istri, suami, saudara. Mereka seperti ayahku.

Ayahku yang juga pernah memburu para Fervent, bekerja untuk NC, lalu pulang ke rumah untuk memeluk dan menggendongku seolah tak terjadi apa-apa—tak ada bedanya dengan orang-orang yang menodongkan senjata padaku selama ini.

Aku tak pernah bisa membayangkannya—seseorang yang mengecup anak dan istri mereka saat di rumah, lalu pergi keluar untuk memburu manusia lain di Garis Merah. Aku tak pernah menemukan koneksinya—seseorang yang berusaha pulang sambil membawa makan untuk keluarganya, hasil dari menembaki anak lain yang tak dikenalinya. Orang-orang itu, salah satunya ayahku.

Kenapa aku menarik pelatuk begitu mudahnya? Kenapa aku menolak kenyataan bahwa orang-orang jahat itu adalah orang baik bagi mata yang lain? Kenapa aku baru menyadarinya setelah menarik pelatuk? Kenapa—

Air mataku akhirnya berjatuhan. Lantas, ia tak berhenti mengucur. Sesenggukan, aku menyentuh kaca retak, meraba pantulan wajahku di sana. "Siapa kau ....?"

Melihat tanganku sendiri, jari yang telah menekan pelatuk, aku mendapat dorongan kuat untuk menggigitnya sampai putus. Sempoyongan, aku berjalan ke kloset, lalu muntah.

Aku membunuh orang.

Aku melihat tepat ke matanya, menarik pelatuk, dan menyaksikan nyawanya tercerabut.

Aku merenggut ayah seorang anak perempuan, membuatnya bernasib sama denganku sekarang.

Aku tidak seharusnya menembak—pria itu belum akan menembakku, dan barangkali takkan pernah menembakku kalau aku langsung kabur. Dan gadis kecil itu akan masih memiliki ayahnya sekarang.

Barangkali, aku menghabiskan waktu selama setengah jam—muntah, menangis, mengguyur badan dengan air, merasa jijik dengan diri sendiri ....

Aku hampir meringkuk di pojokan dan meratap selamanya, lalu pintu kamar mandi diketuk. Suara Alatas yang lembut, yang penuh kekhawatiran, agak tidak sabar tetapi tetap menanti, terdengar memanggilku. "Leila? Kau di dalam?"

Samar, aku mendengar suara benak Erion: Mungkin Leila ketiduran di dalam.

Aku menatap cermin kembali, mereguk pemandangan wajahku cukup lama. Membayangkan sosok Erion dan Alatas tepat di belakangku, terhalang selapis pintu, membuatku merasa kebas lagi.

Aku tidak mau Leila sepertiku. Suara ayahku mengiang. Saat Nenek memojokkannya, menuntutnya untuk berhenti berbohong padaku, Ayah mengatakan, Aku tidak mau Leila sepertiku.

Tadinya aku marah karena aku tidak mengerti motifnya. Sekarang aku mengerti. Kali ini, mungkin ayahlah yang akan marah padaku andai dia masih hidup.

Karena, Ayah, tampaknya aku akan menjadi persis sepertimu. Aku telah menembak mati seseorang, dan aku akan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Aku keluar dengan pakaian baru, bersih di luar, berbeda di dalam. Map berisi rekam jejak Aria di tanganku, sudah penyet terlipat-lipat.

Alatas seketika menyerbu ke arahku, tangannya melingkari leherku. Di belakangnya, Giok mengeluh, "Aku bawa kau ke sini buat bekerja sebagai Cyone untuk ayahku, bukan buat pacaran, Alatas."

Aku mencoba menenangkan Alatas yang tampaknya sungguhan terguncang. "Alatas—"

"Kita baru pacaran sehari dan kau sudah membuatku jantungan!" Alatas meremas bahuku. "Kenapa kau memisahkan diri waktu itu? Kau tahu kau tidak bisa berenang! Kalau tidak ada Truck, kau pasti sudah—"

Aku menjerit saat merasakan punggungku ditepuk keras. Saat menoleh, kudapati Erion yang tersenyum simpul dengan kedua tangan saling terkait di belakang punggungnya. Sudut mataku melihat secarik kertas yang ditemplokkan ke punggungku. Aku berusaha menyingkirkan kertas itu, tetapi lemnya merekat kuat ke kain baju sampai belikatku terasa panas.

"Tidak apa-apa, aku juga kena," ujar Alatas sembari membalikkan badannya, memamerkan kertas dengan tulisan yang sama.

Babu Erion.

Tulisan tangan Erion lucu. Tampak kaku, huruf-hurufnya terpisah dalam jarak yang lumayan jauh, dan lekuk huruf E pada namanya entah kenapa mengingatkanku pada mulut naga dengan lidah bergelombang.

"Aku bersyukur batal mengambil anak itu," komentar Giok sembari memandangi kami.

"Kau masih mengingat taruhan konyol itu," kataku mendesah. "Jadi, aku harus bertahan 24 jam ... dengan ini?"

Erion mengangguk puas.

Alatas menatap berkas-berkas Aria di tanganku. "Ini ...."

"Adiknya Truck." Aku mengoper berkas itu padanya. "Sudah meninggal."

"Bagaimana Truck menerimanya ...?"

"Entahlah." Aku mengakui dengan muram. "Dia mencoba bersikap biasa, tapi aku tahu kematian Aria memberinya pukulan telak."

"Bagaimana denganmu?" tanya Alatas seraya mengamatiku.

"Aku? Aku tidak apa-apa. Maksudku, aku ikut sedih buat Truck, tapi—"

"Kau kelihatannya habis menangis."

Bibirku terkatup rapat. Aku mesti menjawab apa?

"Ada segerombolan perempuan Fervent mengintervensi saat Op mencoba mengevakuasi mereka," ujar Giok. "Beritanya langsung menyebar cepat—mereka meledakkan kepala orang-orang NC. Kesatuan NC sedang melacak para perempuan itu, yang diduga merupakan penyintas Herde di Kompleks 18."

Alatas meraih tanganku. "Pasti buruk sekali. Kau benar-benar tidak apa-apa?"

"Aku sungguhan baik-baik saja," dustaku. "Kepalaku masih utuh, Alatas. Mereka menolong kami."

Kami bertukar cerita masing-masing—tentang Erion dan Alatas di Kompleks 1, juga aku dan Truck di Kompleks 18. Menurut Alatas, Sir Ted mampu menghasilkan medan energi yang bahkan lebih luas dan kuat ketimbang milik Erion (membuat anak itu memberengut tersaingi). Hanya karena itulah mereka belum tertangkap meski pasukan Bintara melancarkan pencarian besar-besaran.

"Mereka terjebak di Kompleks 1, kecuali kita bisa menyelundupkan para Teleporter ke Kompleks Sentral," kata Alatas. "Kalau bisa, para Teleporter akan langsung meneleportasikan kita ke sana. Nah, masalahnya, Kompleks Sentral ternyata tidak ada di permukaan tanah seperti Kompleks lain—ia mengambang kayak kota di atas langit, dan aksesnya sulit. Orang NC atau T. Ed yang akan ke Kompleks Sentral mesti mengirim semacam pesan ke sana dan harus dapat izin, sedangkan kalau kita melakukan itu, Komandan bakal langsung mengetahui lokasi kita. Jadi, kita butuh seseorang yang punya akses ke sana—seorang Teleporter."

Dari dalam tas selempangnya, Erion mengeluarkan sebungkus biskuit untuk dicamil. Coba tebak, siapa satu-satunya Teleporter yang punya akses ke sana.

"Siapa?" tanyaku.

"Ada satu orang," timpal Giok. "Sekarang, Op sedang mencoba melacaknya."

Alatas mengerutkan bibir. "Kita sial sekali mesti berurusan dengannya lagi."

"Lagi? Teleporter yang pernah kita temui ... tapi tidak termasuk koloni Op ... tunggu dulu." Aku tersadar. "Kita tidak sedang membicarakan wanita yang ...."

Alatas mengangguk. "Cliquoz—salah satu dari ketiga wanita di Kompleks 4 yang hampir menjadikan kita santap malam. Memang dia. Dia pernah bekerja untuk Komandan, tapi sekarang tidak lagi. Tampaknya, dialah satu-satunya harapan kita sekarang untuk pergi ke Kompleks Sentral. Jalur darat dan udara sudah jelas mustahil karena Komandan menguasai semuanya."

Mustahil aku melupakan mereka bertiga: Alle, si Peledak, tapi dia sudah mati; Daile, si Brainware, terakhir aku melihatnya di fasilitas yang tenggelam di Kompleks 1; dan Cliquoz, wanita Teleporter yang menganggap Truck cocok sebagai daging rebusan.

"Rumah mereka di Kompleks 4 dihancurkan Binta saat aku tertembak, 'kan," ujar Alatas. "Tampaknya Cliquoz pergi ke dalam kota setelahnya, meneror pusat Kompleks 4. Tapi sulit sekali melacak posisi persisnya."

Aku merenungi kakiku, mencoba berpikir. Kalau aku bisa kembali ke pesisir danau itu, aku mungkin bisa mencari Daile. Daile mungkin tahu di mana Cliquoz ... dengan asumsi keduanya mau bekerja sama.

"Aku lega kau tidak apa-apa." Alatas tiba-tiba meremas tanganku, membuat pikiranku buyar. "Dan Truck juga—walau pun dia kehilangan adiknya, tapi setidaknya dia hidup."

Alatas menarikku ke arahnya dan hampir menciumku saat Erion menggigit biskuit dengan suara kraus yang keras. Aku menarik diri dari Alatas sementara pemuda itu melihat Erion dengan tatapan kosong.

"Erion." Alatas menggosok matanya dengan frustrasi. "Bisa kau balik badan sebentar?"

Buat apa? Erion mengerutkan alis. Remah biskuit menghiasi wajahnya, menghujani pangkuannya.

"Kalau kalian berciuman di sini," kata Giok, masih sibuk dengan ponselnya, "kutendang kalian keluar. Kau mesti berada di sisi ayahku, Alatas. Jangan lupakan tugasmu di sini. Cyone-mu tidak efektif jika jarak jauh."

Alatas menghela napas, dengan enggan melepaskan tanganku. Dia kembali masuk ke dalam ruangan berpintu kaca di mana ayahnya Giok berada.

"Sementara Op masih mencari Calor yang menganggur," kata Giok seraya melemparkan sekotak korek api ke tangan Erion, "hangatkan ayahku di dalam. Terserah kau—mau dabus dengan menyemburkan api lewat hidung, membakar Alatas, apa saja. Asal jangan bakar perabot di dalam."

Aku akan membakar komputernya. Erion bertekad seraya berderap ke dalam. Giok tak mendengarnya.

Aku duduk di hadapan Giok dan menatap pintu kaca tertutup di sampingnya.

"Kau," kataku pelan, "bukan Fervent."

"Pasti gara-gara memori Meredith," ujar Giok, matanya masih fokus pada layar gawainya. "Kudengar kau mengakrabkan diri dengan cewek itu. Kau sudah memberi tahu seseorang tentang itu?"

"Belum." Aku mengakui. "Tapi cepat atau lambat, aku pasti bakal bilang."

"Kalau begitu, biar kuberi nasihat bagus." Giok mendorong kacamatanya yang melorot. "Keluargamu, teman-teman lamamu—mereka orang normal sepertiku. Kalau kau peduli dengan mereka, kau bakal tutup mulut tentang identitasku."

Rahangku mengejang. "Itu ancaman?"

"Itu nasihat." Giok menekankan. "Kau pasti sudah dengar, 'kan? Sejak PFD bubar, Pusat Karantina runtuh, dan program Herde berakhir jadi bencana, sudah jelas sekali bahwa era 'manusia normal' akan berakhir, terutama dengan meluasnya pengaruh Komandan Binta. Para Cyone dikumpulkan untuk membalikkan efek samping PF13, banyak Fervent menginfiltrasi Kompleks, dan manusia normal mulai tersingkir. Mereka akan membuat zaman baru manusia Fervent. Artinya, orang-orang yang akan tersingkir itu termasuk ibu dan teman-temanmu. Dan aku."

"Dan kau mencoba menghentikan itu?" tanyaku. "Bagaimana?"

"Dengan melenyapkan senjata yang bakal menghabisi kami pelan-pelan." Giok menatapku dari balik kacamatanya yang berkilat di sorot lampu redup. "Dan saat aku bilang senjata, aku tidak membicarakan senjata biologis atau bom nuklir—walau, NC juga punya itu semua di Kompleks Sentral. Tapi tidak. Ada senjata lain, yang malah sudah terpasang jauh-jauh hari."

Aku mendekati jendela. Dari celah tirai, kulihat sorot lampu drone patroli di jalanan kumuh, terbang setinggi dua lantai, diiringi gonggongan anjing liar. Tampaknya kami berada di lantai tiga, masih Kompleks 18. Cahaya berseliweran, meninggalkan bayang-bayang karena seluruh tempat diselimuti kegelapan total.

"Artificial night," kataku. "Langit malam yang tidak berkesudahan ini yang akan membunuh manusia normal pelan-pelan."

"Bagus kalau kau paham." Dia mendorong naik kacamata yang melorot di hidungnya. "Kalau kau tak bisa membantu, cobalah untuk tidak menghalangiku."

"Kukira kau bekerja sama dengan Raios."

"Saling memanfaatkan lebih tepat," tukas Giok. "Belakangan ini kami kehilangan kontak satu sama lain. Artinya, dia sudah tidak membutuhkanku."

"Dia mengontakku."

Aku menceritakan sedikit dari apa yang baru saja melanda otakku—Raios yang menyusup ke dalam kepalaku dan kebohongannya tentang kondisi 'cacat'-nya selama ini. Namun, aku tidak memberi tahu Giok tentang Seli, tujuan Raios, atau tawaran lelaki itu. Giok tidak terlihat seperti orang yang bisa dipercaya, tetapi hanya dengan beberapa detik percakapan ini aku bisa tahu dia adalah orang yang buruk untuk dijadikan musuh. Dan, dia satu-satunya orang yang bisa bertahan hidup bersama Raios selain Meredith—barangkali aku bisa dapat sesuatu darinya.

"Kau tidak kelihatan terkejut," kataku setelah selesai bercerita.

"Tidak." Giok melepas kacamatanya, mengelap lensanya ke kain bajunya. Matanya hitam legam, tetapi aku tahu dia memakai kontak lensa di sana—Lenx. Kacamata itu cuma samaran. "Aku tidak kaget kalau Raios memang balas menipuku. Aku sendiri sering menipunya. Tapi tidak bisa kupungkiri aku kecewa. Relevia-nya ternyata sempurna, dan selama ini rupanya dia bisa saja membunuhku kapan pun dia mau. Kurasa, justru hal yang bagus sekarang dia mengabaikanku."

"Tapi dia masih belum mengabaikan Meredith," kataku. "Meredith akan terjebak dengan Raios seumur hidupnya."

Giok memasang kembali kacamatanya. "Itu masalah Meredith."

"Bagaimana bisa kau berkata begitu—"

"Meredith bukan tipe manusia yang pintar bertahan hidup walau punya kekuatan super—cewek itu sudah akan mati belasan kali kalau bukan karena berada dalam lindungan Raios." Giok mengangkat ponselnya seperti mencari sinyal sambil berdecak-decak. "Inilah kelemahan sinyal primitif—kalian para Fervent seperti sekumpulan microwave berjalan yang mengganggu. Tapi, setidaknya mengurangi risiko NC yang meretas—aha!" Dia berseru ketika terdengar suara dering singkat dari ponselnya—sudah lama sekali aku tak mendengar bunyinya, tetapi aku yakin itu tanda sesuatu yang berhasil terkirim. "Baiklah, rencana tahap 2-ku selesai."

"Tahap 2?" tanyaku.

Giok mengangkat tangannya untuk menahan pertanyaanku. Dia mengetikkan sesuatu pada gawainya, lalu mengangkat wajah. "Apa katamu tadi?"

"Rencanamu." Aku berkata dengan alis mengerut dalam. "Alatas pernah bilang padaku bahwa kau dan beberapa Fervent lain menginfiltrasi Kompleks 1 selama ini. Padahal, menurut Embre, masuk ke Kompleks 1 sama dengan bunuh diri. Kau juga bekerja buat Raios dan sebagainya, tapi tiba-tiba berbalik ke T. Ed. Kenapa?"

"Alatas itu selugu kain lap—dia cuma tahu apa yang ada di permukaan tanpa mempertanyakan lebih." Giok mengangkat bahu. Entah pintu kaca ini tebal sekali atau Giok memang tidak peduli kalau Alatas mendengar kami. "Aku ke Kompleks 1 dengan memanfaatkan Teleporter dan koneksi yang kudapat dari Raios. Lagi pula, siapa bilang aku tiba-tiba berbalik ke T. Ed? Sejak awal aku memang bersama mereka."

"Tapi, kau bersama Raios, dan Raios itu—"

"Anak emas NC." Matanya berkilat girang. "Itulah intinya! Risikonya besar, tapi layak diambil. Aku bertahan hidup dengan bantuan T. Ed Company. Tapi saat nyawaku terancam oleh NC, aku tinggal menunjukkan loyalitasku ke Raios. Lagi pula, dalam data base NC, aku ini hanya Detektor tak berbahaya. Nah, sementara aku menginfiltrasi Kompleks 1, aku sudah menjalankan dua rencana. Rencana 1: membuat retak hubungan T. Ed Company dengan NC. Aku memanipulasi beberapa laporan pemakaian sumber daya dan pembayaran antara NC dan T. Ed, lalu membocorkan beberapa kecurangan yang dilakukan keduanya."

Aku berdengap. "Jadi gara-gara kau!"

"Mudah saja. Oknum NC memang pernah menyalahgunakan fasilitas milik T. Ed—tak sesering itu, tapi aku bisa membuatnya tampak parah. Dan T. Ed mengeksploitasi Fervent di luar prosedur yang ditetapkan NC. Aku cuma mengangkatnya ke permukaan. Dan, rencana 2, yang baru saja sukses kujalankan, adalah ini." Giok membalikkan layar ponselnya ke arahku, menampakkan daftar panjang yang tampaknya adalah judul artikel berita. "Menghancurkan NC dari dalam. Pecah belah mereka dengan membocorkan kejahatan perang yang dilakukan Komandan Binta. Apa kau tahu, komandan menurunkan perintah-perintah tak manusiawi untuk mengeksekusi banyak Fervent di tempat tanpa penyelidikan?"

"Tentu." Aku menurunkan suara, membayangkan tubuh seorang pria yang tergenang darah setelah kutembak. "Yang mereka lakukan saat melihat kami cuma menembak."

"Itu namanya kejahatan perang. Tanpa penyelidikan, prosedur hukum, atau kesempatan terduga untuk membela diri—tak ada prajurit yang boleh menjalankan eksekusi macam itu. Dan tampaknya, banyak warga Kompleks yang belum tahu tentang ini—mereka hanya berasumsi NC menjalankan tugas mengendalikan Fervent liar. Ini membawa kita pada kasus lain: NC telah mengeksekusi sekitar 400 terduga Fervent di bawah kepemimpinan Binta, yang hampir setengahnya ternyata adalah manusia normal—yeah, mereka salah mengenali karakteristiknya, berujung pada salah sasaran. Belum lagi kasus pembantaian anak-anak di Pusat Karantina dan eksploitasi perempuan di Herde—aku baru membocorkan itu juga. Warga Kompleks akan menggila karena ini. Dan,"—telunjuknya yang panjang menunjuk hidungku, "berkat kau, aku bisa menambah minyak dalam bara api."

"Aku?"

"Cuma segelintir pihak yang tahu ayahmu itu Aga Morris, dan segelintir yang kumaksud adalah Kesatuan Pemburu di Kompleks 1. Kau tahu, ayahmu pernah bekerja di sana? Nah, karenanya, ayahmu termasuk orang penting di NC. Beberapa pihak tidak terlalu suka sepak terjangnya, termasuk Binta—jadi, NC memang sudah retak sejak dulu. Yang kulakukan hanya memanas-manasi. Waktu mukamu terpampang di mana-mana sebagai buronan, mudah sekali buatku untuk menyebar isu dari dalam: 'anak perempuan Aga Morris yang selama ini disembunyikan, muncul untuk mengakhiri kekuasaan NC'. Yah ... sori tentang itu."

Rahangku bisa saja membentur lantai sekarang. Aku terlalu terkejut untuk sekadar bersuara.

"Kalau kau mau marah, marahlah pada Pak Timothy. Dia yang menyokong semua rencanaku. Malah, pria itu sendiri yang dengan tegas memintaku memecah T. Ed dari NC." Giok memasukkan ponselnya ke saku belakang celananya. "Wajah dan umurmu cocok sekali. Aku merancangnya seolah-olah kau dan Raios membantu ayah kalian masing-masing. Raios di pihak Bintara; kau di pihak ayahmu—itu cerita yang sempurna."

Ular—aku teringat kesan yang Meredith miliki untuk Giok. Cowok ini ular.

Dan Sir Ted memelihara ular ini dengan senang hati—fakta ini bak tinjuan untukku di ulu hati.

Tanganku bergerak saking marahnya, mencengkram kerah baju si lelaki ceking. Mudah sekali bagiku untuk menggepengkannya. Namun, Giok berkata lagi, "Kenapa kau marah? Yah, kau mungkin bakal dikejar-kejar pengikut Binta setelah ini, tapi apa bedanya? Kau sudah jadi buronan sejak awal karena keteledoran kalian sendiri, aku hanya secara kebetulan mendapat untung dari sana."

"Omong kosong—"

"Siapa para idiot yang mendesak masuk Kompleks 4 dengan frontal?" tanyanya, membuatku bungkam. "Siapa yang mengacau di Kompleks 12? Siapa yang membantai koloni Icore di pesisir? Siapa yang merekrut sekoloni Teleporter dan menaklukan Pyro di koloni Calor? Aku? Bukan, 'kan? Kau, Erion, Alatas, dan Truck yang melakukan itu semua."

Wajahku pasti merah mendengar itu semua. Dengan jengkel, aku melepaskan cengkramanku darinya.

"Yang tersisa sekarang adalah proyek artificial night ini." Giok membenarkan kerah bajunya yang kubuat kusut. "Inilah rencana tahap 3-ku. Nah, kalau dipikir-pikir, kau mungkin bisa membantuku. Tapi kita butuh Raios. Dan ada kemungkinan kita mati kalau terlibat dengan Raios sekarang."

Aku merasakan wajahku kebas. "Apa yang bisa kubantu?"

"Intinya, aku hanya butuh Relevia." Giok melepas kacamatanya lagi yang berembun. "Nah, kau tahu limbo?"

Aku mengernyit, berusaha mengingat. "Op pernah mengatakan sesuatu tentang limbo."

"Maksudnya dimensi 'antara'. Tiap Teleporter melakukan lompatan, mereka bakal singgah di dimensi itu sebelum muncul di tempat tujuannya. Yang bisa bertahan meski bolak-balik di Limbo hanya Teleporter dan Relevia. Manusia normal atau Fervent lain yang pergi ke Limbo bakal terjebak di sana selamanya."

"Seperti lubang hitam?" tanyaku.

"Bagi kita, Non-Teleporter, iya, seperti lubang hitam. Bagi Teleporter dan Relevia, seperti lubang cacing karena mereka bisa keluar seenaknya."

Truck pernah membahasnya, tetapi aku tidak menyimak dengan benar. "Dan hubungannya dengan artificial night adalah ...?"

"Lihat ke luar sekali lagi." Giok menyibak tirai sedikit. "Katakan padaku, apa yang kau lihat di atas sana."

Aku menurutinya. "Kubah langit malam ...?"

"Kubah itu bukan kubah." Giok mengerjap ke luar, ke kegelapan langit malam yang tak berujung. "Yang di atas sana itulah Limbo, terbentuk sekitar 10 kilometer dari permukaan bumi. Bahkan, sudah belasan pesawat udara seperti Specter dari T. Ed Company dan drone milik NC yang menghilang karena terbang terlalu tinggi."

Aku melangkah mundur saar salah satu drone menyorotkan cahaya ke jendela bangunan di seberang. "Jadi ... itu bukan kubah atau semacam atap?"

"Jika memang kubah fisik yang membentang di atas sana, kita takkan punya lapisan atmosfer—kita bakal kehilangan bunyi, udara, awan, dan sinyal radio sama sekali." Giok berdecak. "Tidak. Itu Limbo—itu jalur, sebuah dimensi lain, yang entah bagaimana masih menghubungkan permukaan bumi dengan lapisan atmosfer terluar. Sama sekali bukan kubah fisik yang bisa kau hancurkan pakai palu."

Aku baru akan membuka mulut lagi dan bertanya lebih banyak saat Op muncul mendadak di tengah ruangan. Pascal bersamanya, membuatku membelalak lebar-lebar. Terakhir kami bertemu, aku memukul kepalanya, lalu menancapkan belati ke pahanya.

"Siapa yang pesan Calor?" seru Op. "Nah, tidak perlu apa-apa lagi? Om Op harus pergi untuk mencari cewek Teleporter teroris di Kompleks 4. Satu jam lagi, bakal kujemput kalian."

Dia menghilang. Kadang aku iri pada kemampuannya itu.

"Pascal, bukan?" Giok memasang kembali kacamatanya. "Nah, tugasmu—"

Bunyi deru kencang terdengar, ruangan kaca bertirai tampak menyala terang. Dari dalam, Alatas memekik jeri, "Erion! Itu laptop—"

"Bocah kurang ajar!" Giok berderap masuk. Suara seorang pria tua terdengar menenangkannya di dalam sana. Barangkali itu ayahnya.

Aku baru akan mengekorinya, tetapi Pascal mencegatku. Aku menelan ludah saat Pascal menjulang di hadapanku. Untungnya, dia tidak tampak marah sama sekali. Pemuda itu justru menyengir dan berujar, "Kita ketemu lagi. Jodoh memang tidak ke mana."

"Coba katakan itu di depan muka Alatas."

Pascal mengerutkan muka. "Aku tidak mau berjodoh dengannya."

Tanpa sadar, aku mengangkat kedua telapak tanganku menghadap Pascal selama dia bicara, memperlakukannya seperti perapian. Badannya memancarkan aura hangat. "Anu, sori tentang yang waktu itu ...."

"Akulah yang seharusnya meminta maaf, Leila." Bahu Pascal merosot. "Saat kita pertama bertemu di penjara waktu itu, dan kau menemukan ayahmu di bawah sumur ... seharusnya aku tinggal. Seharusnya aku membantu kalian. Malah, seharusnya aku melihat ke dalam sumur itu. Kalau saja aku tahu ayah yang kau cari itu Pak Morris, kalau saja aku tahu yang ada di dalam sana adalah dia ... sumpah, aku takkan pernah meninggalkan kalian seperti itu—"

"Keadaannya kacau waktu itu," kataku cepat-cepat. "Kita ditembaki dan dikepung. Aku sendiri hampir tak mengenali ayahku saat itu andai aku tidak menatapnya lekat-lekat. Kau juga telanjur kembali ke wujud apimu tanpa baju khusus ini."—Aku menarik-narik lengan jaketnya. "Justru, Pascal, aku bersyukur kau pergi lebih dulu saat itu. Yang terjadi di bawah sumur itu terlalu mengerikan. Kalau tidak, kau mungkin akan mati juga di sana. Aku masih hidup sampai sekarang karena ... ayahku." Aku berusaha melanjutkan, tetapi suaraku tercekat sampai sana.

"Ayahmu pahlawan, Leila." Pascal berkata pelan. Aku mesti menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan air mata. "Ayahmu menyelamatkan nyawaku saat keluargaku dibantai. Aku tidak akan bisa membalas jasa itu padanya, tapi aku bisa melakukannya padamu. Aku bersumpah, ke mana pun kau pergi, aku akan—"

"Hei, kau!" Pintu kaca terbuka lagi, tangan Giok terjulur menarik Pascal. "Bereskan ini! Anak ini hanya membesarkan apinya tapi tidak bisa memadamkannya!"

Alatas berderap keluar dengan rambut berasap, menggendong seorang pria tua yang teramat kurus, kecil, dan tampaknya bisa patah jadi dua kalau aku salah menyenggolnya. Kedua kakinya terkulai seperti dua ranting keriput dari tangan Alatas. Matanya mengerjap-ngerjap ke arahku.

"Giok?" tanya si pria tua dengan terbatuk-batuk. "Kenapa rambutmu memanjang?"

"Saya bukan Giok," kataku lembut seraya membantu Alatas mendudukkan si pria tua di sudut ruangan yang tidak tercapai asap.

Si pria tua mengembuskan napas lega. "Untuk sedetik, aku menyangka kalian para Fervent bisa memanjangkan rambut keinginan."

Rupanya, ayahnya sendiri pun menyangka Giok adalah Fervent.

Aku berhasil tertawa kecil setelah ketegangan yang kualami berjam-jam belakangan. "Bukan begitu cara kerjanya, Pak."

"Apakah kau teman anakku juga? Ah ... anakku punya begitu banyak teman yang baik. Salah satu temannya itu rajin sekali mengunjungiku."

"Jadi, Meredith sering mengunjungimu?"

"Meredith juga. Sungguh anak berhati malaikat." Si pria tua mengangguk. "Tapi, yang kubicarakan sebelumnya adalah yang laki-laki."

Aku terdiam sesaat. "Raios?"

"Benar." Pria itu tersenyum. Bola matanya yang kelabu hampa menatap lurus ke sudut ruangan. "Anak yang sangat baik. Dia bilang, dia selalu mengawasiku."

Hatiku mencelus, rasa ngeri membuncah dan mengaduk-aduk perutku. Bahkan Alatas tampak ngeri. "Raios bilang begitu?"

"Dia juga selalu mengawasi anakku yang canggung ini." Si pria tua meraba-raba udara, tepat saat Giok berjalan ke arah kami. Tangan si pria tua menemukan lutut anaknya dan menepuk-nepuknya. "Raios menjaganya. Raios juga rutin menengokku."

"Ya," kata Giok tanpa ekspresi, "terutama saat aku membuatnya marah."

"Apa, Nak?" Ayahnya mendongak. Matanya yang setengah buta mencari-cari. "Tadi kau bilang sesuatu?"

"Aku bilang, Raios sangat ramah," dusta Giok dengan wajah menghina, tetapi tentu saja ayahnya tak melihatnya. "Tiap kali terjadi sesuatu padaku, Raios mengunjungimu—begitu, 'kan, Yah?"

Ayahnya Giok tertunduk. "Sayang sekali, belakangan ini dia tak pernah datang lagi. Meredith juga. Aku merindukan anak-anak baik itu."

Giok membuang muka dengan ekspresi muak.

"Aku akan mencari sinyal ke lantai atas." Giok mengeluarkan ponselnya lagi. "Leila, ikut aku."

"Kenapa?" Alatas meraih tanganku saat aku berdiri. "Tidak bisa di sini saja?"

"Terlalu banyak Fervent mengganggu sinyal," gerutu Giok. "Dan aku butuh Leila untuk melakukan sesuatu dengan Brainware-nya. Kau jaga saja ayahku di sini sementara si Calor dan Phantom kecil itu memadamkan api di dalam. Cepat, Leila!"

Aku melepaskan tangan Alatas dan mengecup bibirnya singkat sebelum menyusul Giok ke arah tangga. Di belakangku, si pria tua mengerjap-ngerjap ke arah punggung anaknya, tampak sedih.

"Kukira ayahmu punya pelayan," kataku ke Giok saat kami mendaki undakan.

"Meninggal. Paru-paru basah. Sejak Raios mengabaikanku, aku mesti mencari Cyone sendiri, tapi hanya cukup untuk mempertahankan nyawa ayahku."

Aku mengernyit. "Kedengarannya seolah kau dipaksa memilih—"

"Aku memang memilih." Giok memotong. "Antara ayahku atau si pelayan. Saat ada dua orang sakit, energi Cyone itu akan terbagi. Aku mengeluarkan si pelayan dari rumah agar ayahku mendapat dampak Cyone yang lebih besar—di tengah badai salju beberapa hari yang lalu."

Kakiku berhenti di tengah undakan.

"Kenapa?" tanyanya. "Mau memandangku sebelah mata? Kau hipokrit kalau begitu. Kau pasti melakukan hal yang sama."

"Barangkali." Aku menatap tanganku di susuran tangga. "Kau bilang ingin melenyapkan artificial night ini, 'kan? Apa yang akan terjadi setelahnya? Manusia normal bisa tetap hidup dan melanjutkan perburuan Fervent? Atau Fervent yang menemukan cara lain untuk mendominasi di atas manusia normal? Apa yang bakal kita lakukan setelahnya?"

"Aku tidak tahu tentangmu, tapi aku sudah siap mati kalau semua ini berakhir." Giok melepaskan kacamatanya, melipatnya ke kerah bajunya. "Tentang apa yang akan terjadi setelahnya, kurasa apa pun bisa saja terjadi. Mungkin benar katamu—perburuan Fervent bisa saja berlanjut dan manusia normal mungkin akan berada di rantai makanan terbawah. Tapi menurutku, kesimpulanmu tidak adil. Orang normal memburu Fervent dan Fervent menginjak orang normal? Sesama Fervent bisa memburu temannya sendiri, dan manusia normal memang sejak dulu saling injak."

Saat aku balas menatapnya, aku merasa Giok seolah mampu melihat apa yang telah kulakukan—penyesalanku saat menarik pelatuk, tindakan munafikku saat menyelamatkan anak perempuan itu ... seolah dia sendiri pernah melakukan semuanya dan memahami bahkan tanpa mengetahui tindakanku.

"Itu, 'kan, masalah kita selama ini?" lanjutnya. "Kita menyamaratakan NC—padahal mereka hanya sekelompok serdadu militer yang melakukan perintah komandannya, beberapa dari mereka menyesal dan berhenti, sisanya tetap melanjutkan perburuan karena hanya dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup. Kita menyamaratakan manusia normal, tapi menolak memahami alasan mereka takut pada Fervent—seolah-olah mereka harus menerima saja berdiri bersisian dengan seseorang yang bisa meremas mereka sampai mati kapan saja. Kita menyamaratakan Fervent sebagai makhluk yang punya kekuasaan besar dan bisa melakukan pembunuhan massal semaunya—padahal Alatas di bawah sana sedang mempertahankan hidup seorang pria tua, Pascal menjaga bangunan ini agar tidak terbakar, dan Erion hanya memakan biskuit."

Aku melangkah naik satu undakan. "Bagaimana denganku? Aku Fervent yang bisa meledakkan organ dalammu kapan saja, dan kau hanya manusia normal yang tidak berdaya sekarang. Kau tidak punya prasangka apa-apa padaku? Membawaku naik ke atas sini, hanya kita berdua?"

"Aku punya banyak prasangka padamu." Giok meraba saku celananya, mengeluarkan sebuah pistol dan magasin yang terpisah. "Seperti halnya kau yang pasti juga punya banyak prasangka padaku saat ini."

Dia mengoperkan pistol dan magasin itu ke tanganku. Jari-jari tanganku terasa kebas, merasakan permukaan logam senjata api yang dingin sekali lagi. Padahal, aku berharap dia menembakku saja sekalian.

"Pelurunya hollow-point, cocok untuk membela diri—terutama terhadap Raios." Giok memberi tahu. "Dibandingkan peluru lain, senjata itu akan memperlambat gerakan dan Cyone-nya, tapi tentu takkan cukup membunuhnya."

Tanganku gemetaran, nyaris menjatuhkan magasinnya. "Aku habis menembak orang setengah jam yang lalu," cetusku begitu saja. Mataku terasa panas. "Aku bisa menembakmu. Kau tidak seharusnya memberikan ini padaku."

Dia berbalik membelakangiku dan melanjutkan menaiki anak tangga. "Setelah menghabiskan bertahun-tahun dengan Raios, aku tidak takut pada apa-apa lagi."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Fanart kiriman nagata_enda yang epic, timakacii yaaa (人 •͈ᴗ•͈)❤

Art 1, bertajuk:
"Tim Pembully Alatas"



Art 2, bertajuk:
"Lelila dan Dasternya"



Art 3, bertajuk:
"Erion (Calon Adek Ipar)"




Art 4, bertajuk:
"Truck dalam Pikiranku Sesudah Nonton True Beauty"



Sekilas meme

Tapi meme dari cerita cuma akan saya post di ig, nggak di sini, soalnya nanti nggak cukup buat fanart ._.


Ingin lihat lebih banyak meme RavAges (dan mungkin cerita lainnya juga kalau saya ada ide)?

Kepoin sini:



Teruuuuuuuus RavAges kemarin ada di Shopee, tapi ....

Barusan habis ._.)7


Wait, tapi masih bisa pesan lho ke penerbitnya lewat:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro