#94

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita sebelumnya (karena saya kelamaan nggak update):

- Pascal ngamuk ke Bintara setelah Leila ngasih tahu bahwa Pak Aga mati

- Op nepuk kepala Binta di Kompleks 1

- Truck sama Leila ke Kompleks 8 dan mendapati Aria (adiknya Truck) sudah mati

- Leila menyadari flashback yang selama ini dia alami itu adalah salah satu kemampuan Brainware

- Raios memperkenalkan "ruang benak" ke Leila, tempat imajinatif dalam kepala Brainware di mana mereka bisa masuk ke kepala satu sama lain sesama Brainware dan mengeksplor ingatan siapa pun di dalamnya

- Leila bikin kerusuhan di Kompleks 8, menembak mati satu prajurit NC yang padahal lagi off-duty, dan sekarang anaknya mengira Leila menyelamatkan dia

- Selama kerusuhan, Leila, Truck, Op, dan Neil diselamatkan sekumpulan perempuan Fervent (korban Herde) yang pernah diselamatkan Aria dan selama ini bersembunyi di Kompleks 8

- Leila diungsikan Op ke tempat Giok dan dipertemukan kembali dengan Erion, Alatas, dan Pascal

- Giok memberi tahu Leila tentang proyek Artificial night.

- E-Jazzy mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan


| RavAges, #94 | 4637 words |

"AKU TIDAK ingin Leila sepertiku."

Mulanya, aku mengira Ayah tidak ingin aku memiliki kekuatan super seperti dirinya. Baru kemudian aku menyadari, yang tak diinginkannya adalah aku yang menggunakan kekuatan ini seperti dia pernah menggunakannya.

Di belakangku, sebuah pintu terbuka lebar, dan ruangan di dalamnya menampakkan seorang pria di antara rak pakaian anak-anak. Matanya membelalak saat tangan seorang gadis remaja menodong wajahnya dengan senjata api. Hanya rasa ngeri dan sekelebat penyesalan yang terpampang di sana, mengetahui bahwa semuanya sudah terlambat—pelatuk ditarik, dan aku mengakhiri nyawanya.

Aku berusaha melarikan diri dari ingatan itu. Di depanku, terbentang lorong putih panjang tak berkesudahan. Pintu-pintu yang terbuka memenuhi kedua sisi dinding lorong. Salah satu pintu menampakkan diriku yang menyusuri pasir pantai, mengabaikan teriakan Aaron—dia mencoba memperingatkanku untuk tak masuk ke Garis Merah, dan aku membentakkan cemoohan "Anak Jaring" padanya. Pintu lainnya menampakkan Amy si gadis Icore yang tersungkur di bawah eskalator, mencengkram rambutnya kuat-kuat, karena aku telah menggali keluar ingatan masa lalunya, yang kemudian berakhir dengan peluru melesat dari senjata Raios menembus kepala gadis itu.

Aku mati-matian mengabaikan memori lainnya yang tak kalah menyiksa—Erion di dalam kurungan, Alatas yang sekarat, kematian ayahku, ekspresi ibuku saat aku meninggalkannya dua kali, dan sorot mata Truck yang menyerupai kaca pecah saat mendengar adiknya sudah mati.

Salah satu pintu ingatan terbuka di ujung sana. Untuk kabur dari semua kenangan buruk ini, aku berlari lurus dan memasukinya.

Kututup pintu di belakangku begitu aku masuk lalu memekik terkejut saat mendapati seorang gadis kecil menghadang di hadapanku.

Dia mengenakan gaun tidur ungu selutut, sebelah tangannya mendekap bantal kapuk usang dan robek-robek. Bola matanya sewarna buah anggur.

"Seli," kataku tersengal. Di sekitar kaki kami, mainan anak-anak dan boneka hewan menggelimpang berantakan di lantai. "I-ini ruang benak-mu, atau ...?"

Aku menoleh kanan-kiri, cemas Raios muncul mendadak seperti setan lagi.

"Ini bukan ruang benak-ku. Tempat ini punyamu." Seli menarik tanganku, membimbingku berjalan ke sisi lain kamar yang lebih gelap. "Aku mau mengobrol, jadi aku masuk. Boleh, 'kan?"

Anak itu jauh lebih kecil daripada Erion, dan lebih lincah juga. Tungkainya amat kurus dan membuatnya tampak memelanting tiap dia bergerak, tulang siku dan selangkanya menonjol dari balik baju tidurnya. Masih menarikku berjalan lebih jauh, dia bergumam lirih, menyenandungkan lagu bintang kecil.

"Aku pernah melihatmu dalam memori Erion. Kuru—" Aku hampir mengatakan kurungan, tetapi kurasa itu akan jadi kosakata sensitif baginya, maka aku meralat, "kalian ditempatkan bersebelahan di Pusat Karantina."

Jari-jari tangannya mengerat di gandenganku. "Erion tidak suka aku. Aku sering mengajaknya mengobrol, tapi dia tidak pernah mau menjawab."

Sebetulnya Erion memang tidak suka semua anak seumurannya, tetapi kuputuskan untuk berkata, "Erion kesulitan bicara. Dia bukannya tidak mau, tapi tidak bisa menjawab."

"Betulkah? Jadi, bukan karena dia sebal padaku?" Seli melebarkan matanya. Sepasang bola matanya yang keunguan berpendar untuk sesaat, membuatku terkejut setengah mati. "Oh, jalurnya jadi jelas!"

"Jalur?" tanyaku.

"Bakal ada yang mati," ucap si gadis kecil. Mata keunguannya berkilat. "Bakal ada yang berkorban. Bakal ada yang hilang juga."

Aku terpaku. Rasa dingin menjalari perutku sampai kerongkongan. "Apa?"

"Kalau yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi. Karena keempatnya berhubungan."

"Seli," kataku seraya menatap matanya yang berpendar lekat-lekat, "apa yang sebetulnya kau lihat?"

Seli menunjuk ke langit-langit. Aku tidak melihat apa pun kecuali kegelapan di atas sana, tetapi tampaknya Seli melihat melampaui itu semua. Dia berkata dengan ceria, "Kata ibuku, jika kita melihat ke bintang, kita melihat ke masa lalu." Seli menarikku lagi sampai kami berlari. "Sini, kukasih lihat ibuku."

"Dia di sini?" tanyaku resah. Masalahku dengan Raios belum selesai. Aku tidak mau hidupku kedatangan satu Relevia lagi.

Namun, alih-alih menemui ibunya, Seli semata membawaku ke satu lagi pintu memori masa lalunya. Kulihat seorang wanita berambut pendek, berkemeja putih dan rok panjang semata kaki, duduk di atas bentangan rumput basah sambil memangku seorang balita yang masih menggigiti boneka karet—barangkali balita itu Seli, masih berusia satu atau dua tahun.

Lalu tatapanku jatuh ke tanah di sekitar kami, di mana seonggok batu ... oh, ternyata ada dua batu. Tiga, empat, lima ..., enam—dan aku pun tersadar. "K-kau dan ibumu nongkrong di lahan kuburan? Malam-malam?"

"Cuma di sini kami bisa lihat bintang kecil." Seli menunjuk ke langit-langit lagi. Kami mendongak, menatap langit luas di atas kepala. Bintang-gemintang tersebar, membentang membentuk jalur, berserakan seperti debu bercahaya, membuat lahan kuburan ini benderang. Begitu lama terjebak di bawah langit hitam abadi, aku hampir melupakan rupa langit malam yang asli.

Di hadapan kami, berupa rekaan memori, ibu Seli berucap, yang kemudian ditiru oleh Seli di sisiku, "Karena jarak yang harus ditempuh cahaya, saat kau menatap suatu bintang nan jauh di sana, kau tengah menatap masa lalunya."

"Lihat—Betelgeuse di rasi Orion." Ibunya menuding entah bintang yang mana. Semuanya tampak sama di mataku. Rasanya sama saja kalau seseorang menghamburkan biji beras ke lantai dan menunjukkan kepadaku, Ini Ferguso, dan yang itu Remi, kalau yang ini kutu beras albino—aku takkan tahu bedanya mereka semua. "650 tahun cahaya jauhnya. Cahayanya menempuh jarak itu untuk sampai kemari. Yang kita lihat malam ini adalah cahayanya 650 tahun yang lalu."

Seli yang masih balita di pangkuan ibunya menjerit tertawa seolah hal itu lucu.

Aku merenungi pekuburan dan teringat Mossel Hill yang habis kukunjungi dengan Truck. "Lahan kuburan ini ... apa ini tanah milik ibumu, Seli?"

"Iya!" Seli menjawab gembira dan menarikku sekali lagi. Kami berjalan melewati makam demi makam. Langit seolah meluruh di sekitar kami. Kudengar suara mirip detak jarum jam yang dipercepat, lalu kudapati makam Aria di hadapan kami. Di sisi batu nisannya, Truck sedang duduk terpaku dengan ekspresi kosong dan sorot mata hampa—kurasa pemandangan ini berasal dari memoriku sendiri sesaat sebelum aku meninggalkan Truck berduka sendirian.

"Siapa itu?" tanya Seli.

"Temanku." Aku menjawab. "Dia baru saja kehilangan adiknya—Aria."

Seli mengerjap. "Aria ... perempuan yang dikirim ke Proyek Arasy itu?"

Aku menganga untuk sesaat, lalu buru-buru berlutut di depan Seli sampai wajah kami sejajar. "Kau pernah bertemu Aria?"

"Kami pernah satu kapal saat aku akan dibawa ke Kompleks Sentral."

Pemandangan di sekitar kami berubah mengikuti memori milik Seli—suasana sunyi pemakaman lenyap, digantikan proyeksi ruangan yang tampak bergoyang samar. Dinding logam kelabu mengapit dari dua sisi, lampu kemerahan menyala di atas kepala. Di tengah-tengah lorong, seorang perempuan berdiri dengan postur bungkuk dan gemetaran, separuh wajahnya ditutupi topi hitam dan tubuhnya dibalut seragam NC yang kebesaran dua nomor. Aku nyaris tak mengenalinya karena dia tampak pucat dan sakit, tetapi perempuan itu memang Aria.

Dua orang laki-laki mengapitnya dari depan dan belakang, lantas kukenali mereka dari memori Truck. Mereka adalah para Pemburu Fervent yang memisahkan Truck dan Aria. Salah satu Pemburu menodong belikat gadis itu dengan pisau perak, yang satu lagi tengah menyelipkan lembaran uang ke tangan seorang pria lain yang berseragam petugas NC. Si Pemburu berkata pada si petugas, "Hanya sampai Kompleks 18. Akan ada tambahan saat kami turun nanti."

"Fervent apa di belakangmu itu?" tanya si petugas seraya menyimpan lembaran uangnya di saku.

"Kalau kau tidak banyak tanya, akan ada uang tip tambahan."

Si petugas NC tersenyum samar, lantas membiarkan para penumpang gelap itu lewat sambil masih menyeret Aria.

Jadi, beginilah cara dunia bekerja.

"Kakak itu naik kapalnya bayar." Seli menunjuk dengan lugu. "Padahal aku saja naiknya gratis."

"Kau sempat bertemu Aria?" tanyaku.

Seli mengangguk. "Aku menyelinap malam-malam dan pergi menemuinya, soalnya aku bosan."

Pemandangan berubah lagi dalam sekejap. Kali ini, kami berada di ruangan yang sedikit lebih lebar, tetapi tampaknya masih di dalam lambung kapal. Kaca-kaca jendela tertutup, menampakkan perairan bergelombang yang berbatasan dengan langit mendung di luar sana. Menyandar pada pintu baja yang terkunci rapat, Aria duduk memeluk lutut dengan tangan diborgol dan kaki dirantai.

"Kau Relevia?" tanya gadis itu tidak percaya saat Seli mendatanginya. Kengerian menghiasi mata Aria, barangkali dia teringat tahun-tahun yang dihabiskannya di PFD untuk memburu Relevia. "Tapi kau masih kecil sekali ...."

"Ke mana dia akan dikirim?" tanyaku pada Seli. "Proyek apa?"

"Proyek Arasy Raven. Dia mendengar dari orang-orang yang membawanya kalau dia bakal dibawa ke situ. Saat sampai di Kompleks Sentral, aku sudah tanya-tanya ke orang-orang yang menjagaku, apa itu Proyek Arasy, tapi mereka bilang proyeknya sudah dihentikan, jadi kurasa Kak Aria tidak jadi ke sana."

Karena pertanyaanku, memori Seli akan Aria terpicu kian jelas. Aku bisa mendengar suara Aria bergaung ke dalam kepalaku: "Salah satu Pemburu yang membawaku ke sini seorang Brainware—saat aku bertanya padanya apa itu Arasy Raven, wanita itu malah menceritakan suatu dongeng padaku, entah apa maksudnya. Kau mau dengar?"

"Dongengnya bagus! Tentang Pria Gagak dan Bintang Jatuh." Seli tersenyum padaku. Giginya tidak rata, jadi saat dia tersenyum lebar seperti itu aku bisa melihat gingsul gigi dan taring kecil yang tumbuh berdempetan. Dia menarikku sampai aku terduduk di depan Aria, lalu Seli meletakkan pantatnya ke atas pangkuan kakiku.

"Pada zaman dahulu, hidup seorang pria dan gagak peliharaannya. Ra, nama pria itu, menyayangi gagaknya lebih daripada apa pun di dunia ini, lebih daripada istrinya yang pemarah, lebih daripada anak lelakinya yang bertubuh lemah, lebih daripada anak perempuannya yang tak pandai.

"Suatu malam, gagak kesayangannya memekik ke langit, paruhnya menunjuk bintang-bintang. Ra pun menyaksikan, di antara jutaan kelip cahaya di langit malam, salah satu bintang melesat jatuh ke arah hutan yang sering didatanginya untuk berburu. Gagaknya terbang ke dalam hutan, dan Ra mengejar.

"Jauh di dalam hutan, salju mencair. Sungai yang tadinya membeku sejak musim dingin pun lenyap seolah menguap begitu saja, meninggalkan parit kosong. Hewan-hewan yang biasanya dia buru—rusa, babi hutan, hingga kelinci—menggelimpang di tanah, mati, tanpa luka atau pun tanda-tanda terkena penyakit. Gagaknya berhenti sesekali, mematuki daging-daging bangkai hewan yang masih segar. Ra memeriksa salah satu bangkai beruang di dalam gua dan melihat ke dalam mulutnya—gigi-gigi si beruang bertanggalan, lidah dan langit-langit mulutnya menyatu hingga tampak seperti gumpalan daging yang dipanggang sampai matang. Raven membelah perut si beruang dengan pisau berburunya dan mendapati bagian dalam perutnya pun meleleh jadi lendir."

Aku mengerutkan kening pada Seli. "Tidakkah cerita ini menakutimu?"

Seli mengangkat alisnya. "Kenapa aku mesti takut?"

Lalu aku teringat anak-anak seperti dirinya dan Erion sudah pernah melihat juga mengalami hal-hal yang lebih mengerikan di Pusat Karantina.

"Ra tersesat hingga ke bagian terdalam hutan," lanjut Aria. "Sepanjang perjalanan, dia memunguti bebatuan yang berceceran di tanah—logam mulia platina. Jejak bebatuan itu membawanya ke area terdalam hutan yang tak pernah berani dijamah oleh siapa pun. Pepohonan di sana berubah warna jadi kemerahan, rumput membiru, dan kabut keemasan menyelubungi hutan. Di tengah itu semua, tampak lubang raksasa di tanah. Dari dalamnya, sesuatu memancarkan cahaya teramat terang yang nyaris tak bisa dipandang langsung. Ra menunduk dan menjaga jarak, tetapi gagak kesayangannya terbang menuju lubang bercahaya itu tanpa sempat dihentikannya. Tak berapa lama kemudian, si gagak terbang keluar."

Seli mendongak menatapku. "Kakak tahu tidak? Gagak bisa meniru suara!"

Aku menggeleng.

"Nah, gagak meniru suara, tapi jarang sekali meniru suara manusia kecuali di kandang dan diekspos pada suara manusia terus-menerus—begitulah kata ibuku."

Aria melanjutkan ceritanya, "Sang gagak berkaok, Apa yang kau cari?"

Aku mengerjap sebentar, mencoba memprosesnya. "Maksudmu ... gagak itu meniru suara seseorang ... atau sesuatu di dalam cahaya bintang jatuh tersebut?"

Aria tidak menjawabku. Jelas saja. Ini hanya kenangannya yang disimpan oleh Seli. Aria yang asli sudah mati.

Seli bertepuk tangan, lalu meraih untuk menepuk kepalaku, tetapi tangannya tidak sampai karena terlalu pendek dan hanya mengenai hidungku. "Kakak pintar!"

Rasanya ini terbalik, tetapi ya sudahlah.

Aria masih menuturkan dongengnya—terdengar lirih, agak gelisah, dan sesekali aku menangkap kesedihan dalam suaranya.

"Aku tersesat, jawab Ra, aku sampai ke sini karena mengikuti bebatuan berkelip kecil ini, tetapi kini aku tak tahu jalan kembali karena hutan terlalu gelap dan aku butuh penerangan.

"Maka, si bintang jatuh mengalirkan gelombang misterius pada ujung-ujung jari Ra. Gelombang itu kemudian mengalir pada batu-batu logam mulia yang telah dipungutinya, menjadikannya bercahaya terang, cukup untuk memberi Ra penglihatan dalam hutan. Malam itu, Ra dan gagaknya pulang membawa sebuah cahaya yang bertahan lebih lama daripada lilin dan obor-obor di desa mereka.

"Keesokan malamnya, Ra dan gagaknya kembali lagi ke dalam hutan. Gagaknya terbang ke dalam cahaya, lalu kembali dengan pertanyaan yang sama: Apa yang kau cari?

"Aku mencari kebenaran, pinta Ra. Istriku menemui pria lain tiap aku pergi berburu ke hutan, tapi tak pernah mengatakan yang sejujurnya saat aku bertanya. Aku ingin mengetahui mengapa dia mengkhianatiku dan siapa pria itu, apa yang sebetulnya ada di dalam kepalanya, aku ingin mengetahui segalanya. Maka, Ra pulang dengan sesuatu yang baru di dalam kepalanya: suara-suara yang belum pernah dia dengar. Suara orang-orang yang tak terucap di mulut mereka."

"Biar kutebak," kataku, "dia datang lagi besok malamnya."

"Betul!" Seli menepuk-nepuk hidungku lagi sebagai apresiasi.

"Si gagak kembali masuk ke dalam cahaya si bintang jatuh, lalu keluar dengan pertanyaan: Apa yang kau cari?

"Air, ujar Ra. Kami kekurangan air sejak musim dingin karena sungai dan danau membeku, dan sungai di dalam hutan ini lenyap sejak kedatanganmu. Alasan istriku menemui si pria bangsawan adalah demi mendapat akses air bersih dari kota. Jika aku bisa mencairkan sungai-sungai dan danau, mengeruk berhektare-hektare lumpur dengan tangan kosong, istriku akan meninggalkan si bangsawan dan barangkali berhenti menyebutku suami tak berguna.

"Maka, sejak keluar dari hutan malam itu, Ra dapat mengubah keadaan materi apa pun yang diinginkannya, bahkan tanpa menyentuhnya. Mencairkan es, menerbangkan bebatuan besar dan mengeruk lumpur, menyelamatkan sumber air di desanya dan membuka lahan dalam semalam.

"Keesokan malamnya, Ra datang kembali. Kepada gagak peliharaannya yang meniru suara si bintang jatuh, Ra meminta lebih banyak logam mulia yang dulu pernah dikumpulkannya menuju di bintang jatuh. Karena hewan-hewan buruan tak lagi ada di hutan, ujarnya, keluarga mereka harus menjual sesuatu untuk sepotong roti dari kota. Sang bintang jatuh mengabulkannya, dan segala logam di dunia ada dalam kendali Ra.

"Keesokan malamnya lagi, Ra dan sang gagak datang bersama istri serta anak perempuannya ke dalam hutan. Perang pecah, ujarnya, sedangkan anak lelakinya telah diambil untuk mengabdi pada kerajaan karena sang kepala keluarga sendiri sudah terlalu tua untuk diterjunkan ke dalam perang. Ra memohon agar dia dan keluarganya bisa angkat kaki dari desa yang terlampau dekat dengan zona perang, namun dia tak ingin meninggalkan si bintang jatuh sepenuhnya. Maka, bintang jatuh membuka sebuah jalan yang hanya bisa dilihat dan dilalui oleh Ra—jalan itu akan membawanya ke segala tempat yang pernah disinggahinya. Dia dapat membawa keluarganya serta selama mereka terus bersama.

"Setelah bermalam-malam tak muncul, Ra datang kembali hampir 30 hari kemudian bersama gagak dan anak perempuannya. Desa baru mereka dilanda musim dingin yang lebih panjang dan menyiksa, ujar mereka, hingga sang istri jatuh sakit. Ra tak bisa mencairkan semua es kecuali dia ingin membanjiri seisi desa, dan suhu dingin berdampak pada listrik yang selama ini Ra gunakan untuk menerangi desa. Maka, anak perempuannya mengusulkan kepada sang ayah untuk meminta api yang takkan pernah padam. Malam itu, Ra membawa pulang putrinya yang sekujur tubuhnya berpijar dalam api.

"Malam berikutnya, Ra datang bersama istrinya. Putri mereka membakar desa, tak memiliki kendali lagi atas dirinya. Semua yang disentuh dan dilalui putrinya hangus. Maka sang istri mengusulkan untuk mengakhiri penderitaan putrinya dengan memutus nyawanya. Ra memohon untuk sebuah kekuatan yang mampu menghancurkan apa pun dalam sekejap agar putrinya tak perlu menderita lama-lama, lantas sang bintang jatuh menganugerahi istrinya dengan suatu energi ledakan dahsyat.

"Malam berikutnya, Ra kembali menghadap sang bintang jatuh bersama gagaknya. Putrinya telah tewas, tetapi istrinya kini lenyap tanpa jejak, dan dia mulai melihat kemunculan orang-orang seperti dirinya—manusia-manusia biasa pada mulanya, yang keesokan harinya mampu menggerakkan benda-benda atau membaca pikirannya. Ra meminta, Buatlah aku mampu mengenali orang-orang sepertiku dan melacak istriku.

"Malam berikutnya, Ra merangkak ke hadapan sang bintang jatuh, menggendong anak lelakinya yang dia ikat ke punggungnya. Gagaknya terbang mengiringinya Alih-alih menemukan istrinya yang hilang, Ra justru menyambut kembali putranya yang baru saja pulang dari perang, telah putus sebelah kakinya, dan satu bola matanya hilang akibat pertempuran. Ra berdoa untuk kesembuhan anaknya, yang kembali dikabulkan sang bintang jatuh. Ra mampu mengembalikan kaki anaknya dengan sentuhan tangan, dan anak lelakinya memiliki bola mata baru yang mampu menembus melihat apa pun.

"Apa pun, ujar si gagak, menyampaikan ucapan sang bintang jatuh, yang terdekat, yang terjauh, yang terlampau, hingga yang belum lagi tiba. Kau akan mampu melihat apa pun.

"Malam berikutnya, Ra dan gagaknya muncul kembali ke hadapan sang bintang jatuh. Kali ini, ke mana pun Ra memijak, tumbuhan kemerahan di sekitar cahaya bintang jatuh pun menghijau, tumbuh tinggi dan bermekaran. Ra berujar kepada gagaknya yang selalu menjadi perantaranya dengan sang bintang jatuh, Ada seseorang seperti diriku, sekuat diriku—dialah sang bangsawan yang telah mencuri istriku dariku serta mengutus anakku ke garis terdepan peperangan. Aku harus membunuhnya, tetapi kekuatannya menghalangiku. Aku harus melenyapkan kekuatannya, meski hanya untuk sementara. Maka, sang bintang jatuh kembali memberinya kemampuan untuk meredam kekuatan-kekuatan musuhnya.

"Malam berikutnya, Ra bersimpuh di hadapan sang bintang jatuh. Di punggungnya, dia membawa peti kayu berisi jasad busuk putrinya yang baru saja dia gali keluar dari kuburan. Di kedua tangannya, dia menggendong jenazah istrinya, yang dia temukan di bawah tumpukan salju, telah membiru dan tak lagi bernapas. Di kakinya, putranya tak berhenti menangis dan merengekkan sesuatu yang dilihatnya dengan bola mata barunya; sesuatu yang belum lagi terjadi. Putranya terus-terusan memohon agar ayahnya pulang kembali kepada keluarga kecil mereka.

"Sang bangsawan telah mati di tanganku, tangis Ra. Tetapi aku kehilangan istriku. Aku merindukan putriku. Dan aku tidak kuat lagi melihat putraku yang tak mampu menanggung penglihatannya.

"Gagak peliharaannya hinggap di bahunya, dan tanpa menunggu pertanyaan 'Apa yang kau cari' dari si bintang jatuh, Raven memohon untuk yang terakhir kali, Hidupkan kembali istri dan putriku, kembalikan putraku seperti semula—lebih baik dia buta daripada tersiksa. Limpahkan kutukan mereka padaku. Biarkan aku menanggung semua permintaan serakahku. Biarkan mereka hidup normal, selama yang mampu manusia biasa dapatkan.

"Sang gagak berkaok, Aku akan berikan apa yang kau cari, jika kau memberiku apa yang kucari. Apa yang akan kuberikan kali ini, raga manusiamu takkan mampu menampungnya. Aku punya penawaran untukmu, Manusia. Kau bisa menjadi diriku. Segala bentuk energi di bawah bumi dan di atas langit akan menjadi milikmu, seluruh pemikiran manusia ada di bawah kendalimu, kekayaan dan sumber kehidupan ada dalam genggamanmu, seluruh jalur akan terbuka untuk kau datangi, kemudaan dan siklus kehidupan akan menjadi abadi di dalam dirimu, tetapi kau takkan bisa pulang kembali.

"Ra menyetujuinya. Lantas, mengalirlah sebuah kekuatan dahsyat, meratakan hutan, melontarkan istri beserta anak-anaknya ke ujung dunia, menewaskan mereka seketika—lantaran hanya sampai sanalah batas kehidupan normal mereka berakhir, dan hanya itu cara yang tersisa untuk mengakhiri penderitaan ketiganya. Ra menguap, lenyap, menyatu bersama bintang jatuh, meninggalkan gagaknya sendirian di antara kehampaan, masih berkaok dan mengulang semua percakapan mereka dari awal hingga akhir. Tamat."

Seli mendongak dan memamerkan senyum gigi kecil-kecilnya. Aku tersenyum kikuk dan bergumam, "Hmm ... hore?"

"Hore!" Seli bertepuk tangan. "Setidaknya, gagaknya masih hidup sampai akhir cerita."

"Berkaok sendirian dan meniru percakapan kematian tuannya?" tanyaku kebingungan. "Sangat hore."

"Tapi itu cuma dongeng, jadi Kakak tidak perlu takut."

"Leganya." Aku meringis.

"Yuk, pergi!" ajak Seli. Anak itu berdiri dari pangkuanku dan menarikku lagi meninggalkan kenangan akan Aria. Dia memaksaku berlari mengikutinya, menabrak dinding-dinding dalam lambung kapal karena, toh, semua ini hanya memori. Kelincahannya membuatku kagok—Erion saja tidak pernah menarik-naikku seperti anjing peliharaan begini.

Aku dan Seli memasuki pintu lain yang membawa kami ke memori lainnya. Langit hitam pekat membentang di atas kepala, dua orang berdiri di atas atap bata—salah satunya adalah aku. Itu adalah ingatan milikku, yang baru terjadi beberapa jam yang lalu saat Giok memanggilku ke atas atap bekas bangunan kantornya. Buru-buru kutarik Seli keluar, tetapi dia pasti sempat mendengar saat Giok berucap, "—ada satu cara. Memori manusia bisa ditipu."

Aku buru-buru menutup pintu itu.

"Tidak boleh masuk ke sini." Aku memberi tahu Seli. "Ayo kita ke pintu lain."

"Aku pernah lihat laki-laki yang barusan," ujar Seli sembari mengerutkan kening. "Waktu di Pusat Karantina. Dia yang membebaskan kami dari kurungan bersama Kakak Raios—"

Aku menarik Seli ke pintu lain yang hanya menyimpan ruangan kosong—benar-benar kosong. Tak ada lantai, dinding, atau langit-langit. Kurasa beginilah caranya menciptakan memori baru di ruang benak Brainware ini. Aku berjongkok sampai wajahku dan Seli sejajar, lalu kutekankan padanya, "Lupakan yang barusan, oke? Ini rahasia di antara kita. Tidak ada yang boleh tahu apa yang kau lihat barusan ... Kak Raios juga tidak boleh."

Seli mengangguk sambil menyengir. "Aku pandai jaga rahasia."

"Apa pun yang kau lihat dan dengar tentang laki-laki berkacamata tadi," kataku, "tetap terkunci di sudut ruangan ini, oke? Tidak boleh keluar. Tidak boleh diingat lagi."

"Oke!"

Aku menarik Seli keluar, lalu buru-buru menutup pintu itu dan memutar kuncinya. Kunci itu hancur menjadi debu menuruti keinginanku. Dengan begini, satu lagi memori berbahaya tersimpan—kurasa aku mulai piawai mengendalikan kemampuan baru dari Brainware ini.

Aku memalingkan wajah dari pintu, berbalik, dan nyaris merasakan jantungku meloncat ke kerongkongan saat mendapati Sir Ted berdiri tepat di hadapanku.

"Pak Timmy!" Seli menunjuk. "Tidak boleh masuk ruang benak orang sembarangan!"

Sir Ted tersenyum. "Maaf, Seli. Tapi, bolehkah aku bicara dengan kakak ini sebentar?" Tangannya melambai ke sisi kanan lorong putih, dan terbentuklah pintu ganda baru yang dihiasi pita-pita dan balon. "Di dalam pintu itu adalah kenanganku saat ke taman ria dengan kakak perempuanku. Kau pernah melihat taman ria, Seli?"

Kueratkan peganganku ke tangan Seli, tetapi anak itu tampak terhipnotis dengan suara musik wahana taman ria, tawa pengunjung, dan terompet anak-anak. Bahkan tanpa melirik, Seli melepaskan tanganku dan masuk ke pintu milik Sir Ted.

"Anak malang—hanya bisa melihat taman ria dari ingatan orang lain," ujar Sir Ted setelah kami tinggal berdua. Lalu, dia menyadari tatapanku. "Jangan memandangku begitu, Leila. Aku bisa mimpi buruk malam ini."

"Ruang benak ini," kataku geram. Tanganku mengepal erat hingga kuku-kuku jariku menusuk telapak. "Kau juga bisa menggunakannya! Kenapa tidak kau gunakan dari dulu untuk mencariku? Orang pertama yang memperkenalkan kemampuan ini padaku malah Raios!"

"Aku sudah mencoba," kata Sir Ted. Matanya menghindariku. "Tapi, tidak ada gunanya kalau kau sendiri tidak bisa menguasainya—kita takkan bisa terhubung. Bahkan ayahmu mencoba, Leila. Dia tidak pernah menyukai kemampuannya menggunakan Brainware, tetapi saat kau hilang, dia melakukan segala cara untuk terhubung denganmu. Tak kusangka, saat akhirnya kau mampu membuka ruang benak sendiri ...." Sir Ted menunduk. "Raios mendahuluiku."

Aku ingin sekali menangis. Di hadapan pria ini, yang seumur hidupku selalu ada seperti bagian keluarga inti, aku merasa kembali menjadi anak kecil—menggandeng tangannya, memeluk boneka yang dibelikannya, mendengarkan celotehannya tentang perjalanannya berkeliling dunia ....

Kutekan perasaan kekanak-kanakan itu dan lebih memilih untuk marah. "Aku pernah bertemu dengan Ra, berhadapan dengan Fervent lain, dan melihat kalian bekerja dalam seragam NC—tapi kau menghapus semua ingatan itu! Kenapa?!"

"Ayahmu ingin kau menjalani hidup senormal mungkin."

Di luar dugaanku, Sir Ted tidak berkelit dari semua pertanyaanku. Dia menjawab begitu saja.

"Kenapa ...." Aku menelan rasa sakit hati. "Kenapa kau membiarkan Giok memecah NC dan T. Ed Company? Kau tahu dia memanfaatkan pelarianku dengan Erion, Alatas, dan Truck, membuat kami tampak seperti buronan—kau tidak menghentikannya. Kau malah mengambil untung dari sana. Tapi perbuatanmu sekarang juga membunuh T. Ed Company. Kenapa—"

"Leila." Kali ini Sir Ted mengangkat kepalanya, dan aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. "Sejak awal, aku tidak pernah mau mewarisi T. Ed Company. Aku memang ingin menghancurkannya dari lama."

Di sisiku, memorinya muncul dari udara kosong—saat Sir Ted dan ayahku melayat ke makam Dokter Timothy, pemilik T. Ed Company sebelum Sir Ted.

"Kau tentu tahu aku yatim-piatu sejak kecil, Leila. Keluarga yang membesarkanku adalah keluarga angkat. Kedelapan saudaraku diadopsi oleh Dokter Timothy, dan kami semua mewarisi namanya, tapi sejak awal hanya kepadaku T. Ed Company akan diwariskan. Karena, menurut kedua saudara angkatku yang tersisa, garis keturunanku spesial. Setelah Ra datang padaku dan ayahmu, lalu mengaktifkan Relevia yang ada dalam darah kami, keluarga angkatku dibantai. Kau tahu siapa yang membantai mereka?"

"NC?"

"Tidak." Sir Ted menatap jauh ke balik punggungku, di mana aku bisa mendengar suara pekikan, perkelahian, dan pertumpahan darah. "Malam itu, Dokter Timothy mengumumkan hak warisku atas T. Ed Co pada saudara-saudaraku. Mereka semua menolak. Dua di antaranya—Freya dan Darren—angkat kaki dari rumah, enam lainnya tinggal dan terlibat argumen, mengatakan masing-masing bahwa dirinya lebih berhak. Akhirnya mereka membantai satu sama lain."

Hening sejenak. Suara-suara di belakangku pun lenyap, atau barangkali otakku yang kosong untuk beberapa saat.

"Untuk menutupi kebusukan keluarga kami, Dokter Timothy mengaturnya seolah-olah mereka dibantai oleh orang luar, lalu dia mengakhiri nyawanya sendiri. Pada akhirnya, Freya dan Darren mendesakku mengklaim hak waris karena, jika tidak kulakukan, NC akan mengambil alih. Segera setelah aku melakukannya, Freya dan Darren mengikuti jejak ayah angkat kami: mereka mengadopsi anak-anak Fervent, memberi mereka nama 'Timothy'. Dengan cara itu, jika aku mati, anak-anak yang mereka besarkanlah yang akan mewarisi T. Ed Co. Tapi, Leila, keduanya memiliki ambisi yang sama, dan aku tahu anak-anak angkat mereka akan saling bantai suatu hari untuk mendapatkan T. Ed Co—persis seperti keluarga angkatku." Sir Ted kembali menghindari mataku. "Jadi, aku menyelesaikannya."

Aku teringat memori Truck tentang Timothy Freya, wanita yang membawanya ke Program Fervent Dasar dan memberinya nama Timothy, wanita yang paling mendekati sosok ibu baginya, tewas saat umur Truck 13. Aku pun tersadar. "Kau membunuh kedua saudara angkatmu."

"Aku harus mengakhirinya sebelum anak-anak angkat mereka bernasib sepertiku." Pria itu berbalik, kepalanya mengedik seperti menyuruhku mengikutinya. "Aku minta maaf karena memanfaatkan kesulitanmu untuk tujuan pribadiku, tetapi aku sudah kehabisan akal. Lagi pula sebentar lagi, semuanya akan berakhir. T. Ed Co sudah bangkrut, NC digerogoti pemberontak, dan Raios mulai bergerak. Apa pun hasil akhirnya, baik atau buruk, aku hanya berharap kau bisa pulang pada ibumu, menjalani sisa hidup kalian senormal yang bisa kalian dapat. Karena itulah yang pasti diinginkan ayahmu. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

Aku mengekorinya. "Kalau kau ingin menghancurkan T. Ed, kenapa setuju denganku untuk merekrut koloni Teleporter?"

"Aku hanya memastikan mereka tidak memihak Bintara. Lagi pula, sebentar lagi aku takkan sanggup membayar mereka lagi. Aku akan melepaskan mereka saat itu terjadi. Dan ...."—Sir Ted menoleh ke arahku. Aku tidah bisa menafsirkan tatapan matanya sama sekali. "Kau ingin membebaskan para gadis Fervent di koloni mereka, 'kan? Saat ini markas koloni mereka di pesisir kosong. Aku sudah mengutus beberapa orang untuk menjemput para gadis itu."

"Kau tahu tentang anak-anak perempuan dari bangsal Tarok itu?"

"Aku pernah mendengarnya dari Op, bahwa untuk menyegel kerja sama saat mereka kabur dari Herde, para Fervent lain menyelamatkan sejumlah anak perempuan dari salah satu bangsal—sekumpulan perempuan yang mereka anggap masih terkendali—diperlakukan sebagai upeti agar para Teleporter mau menolong mereka yang kabur ke Pulau Baru. Jadi, saat kau menawarkan lokasi koloni mereka padaku, aku tahu matamu terpancang ke sana juga."

"Kau akan membebaskan mereka?" tanyaku penuh harap, tetapi juga skeptis di saat bersamaan. "Atau kau bakal menganggap mereka peliharaan juga?"

"Dengan keadaan T. Ed Co yang sekarang, aku tidak bisa menjamin kebebasan mereka. Tapi aku bisa menjanjikan padamu bahwa para perempuan Fervent yang terpengaruh PF13 akan berhenti diperlakukan sebagai penjahat." Sir Ted menunjuk sebuah proyeksi dari ingatannya, yang menampakkan bangunan setinggi tiga lantai, berdiri di atas rumput hijau dan dipagari tanaman bonsai. Sebuah plang besar terpasang di bagian atapnya, menampakkan sebuah gelas piala yang dililiti ular—simbol Cyone. "Saat Herde runtuh, aku tidak melakukan apa-apa walau seharusnya T. Ed Company turun tangan. Kubiarkan NC menanganinya sendiri dengan membentuk Kesatuan Pemburu—karena aku sibuk membangun tempat ini."

"Rumah sakit?" tanyaku. "Kau yakin rumah sakit ini tidak akan jadi tempat yang sama dengan Herde? Para Fervent yang sekarang sakit pun mulanya mengira mereka akan dirawat di Herde."

"Herde, Pusat Karantina, dan PFD punya campur tangan Bintara serta kedua saudaraku. Tapi untuk tempat ini, akan kupastikan mereka takkan terlibat. Lagi pula, aku tidak membangun tempat ini sendirian, Leila."

Sir Ted menyapukan tangannya di udara, membawa proyeksi rumah sakit itu lebih dekat dengan kami. Di halamannya yang dibingkai pilar-pilar marmer dan beberapa paviliun kecil, aku melihat ibuku bersama orang-orang yang pernah kukenali dari Kompleks 44. Bahkan, teman-teman lamaku ada di sana; Ryan, Irene, Blec dan kedua orang tuanya, Pat, Sabang ....

"Kau tidak mengira ibu dan teman-temanmu cuma ongkang-ongkang kaki di Kompleks 6 selama ini, 'kan?" Sir Ted menyengir sekilas. "Atau kau masih mengira semua manusia normal membenci Fervent tanpa terkecuali?"

Kurasakan wajahku memanas karena malu—sejujurnya, barangkali memang seperti itulah pikiranku. Saat ibuku bilang Kompleks 6 adalah tempat paling aman dan ingin aku tinggal dengannya di sana, dengan mayoritas penghuninya manusia normal, aku tidak mengira mereka memikirkan Fervent juga.

"Walau kau mengira dirimu sekarang adalah Fervent, Leila, kau memang Fervent sejak lahir. Tidak akan ada bedanya. Kau hidup dengan teman-teman dan tetanggamu yang manusia normal selama bertahun-tahun, tapi itu tidak lantas membuatmu menjadi manusia normal. Kau tetap Fervent, dan mereka semua menerimamu sebagaimana adanya. Kau Fervent atau bukan, mereka pernah dan masih menjadi keluargamu yang menunggumu pulang. Kau tidak perlu membuang ketiga teman barumu untuk pulang ke rumah lamamu, dan kau juga tidak perlu meninggalkan keluarga lamamu untuk terus bersama ketiga teman Fervent-mu. Aku akan memastikan kau bisa mendapat keduanya. Ayahmu pasti mengatakan hal yang sama jika dia ada di sini."

Aku menahan isak tangis dan mencubiti pahaku untuk menguatkan diri. "Kau bilang Ayah ingin aku hidup senormal mungkin. Kenapa bukan dia sendiri yang menghapus ingatanku, kalau begitu?"

"Seperti yang tadi sudah kubilang, ayahmu membenci kemampuan Brainware lebih daripada apa pun."

"Kenapa?"

Sir Ted berhenti di sebuah pintu kayu tua yang sisi-sisinya sudah renggang dimakan rayap. Di dalamnya, aku mendengar suara jeritan.

"Kau sudah membangun ruang benakmu sendiri, aku yakin cepat atau lambat kau akan mengetahui alasan ayahmu. Kau yakin ingin mengetahuinya sekarang?"

"Ya ..." jawabku ragu.

Sir Ted membuka pintu tua di hadapannya. Begitu kami masuk ke dalam, segera saja aku mengenali kenangan milik siapa ini. Ini memori Pascal sesaat sebelum keluarganya dibantai.

Aku memalingkan muka untuk beberapa detik ketika penembakkan dan penggorokan terjadi. Seorang pria berseragam NC tanpa wajah—kurasa Pascal tak mengingat wajahnya—tengah menembaki kakak-kakaknya. Ayahnya terkapar dengan luka menganga di perut, ibunya diseret, dan Pascal sendiri bersembunyi di balik pintu kamar mandi.

Lalu, seolah muncul dari udara kosong, ayahku datang dan menarik Pascal ke dalam perlindungannya. Dia menggendong Pascal yang masih berumur 4 tahun, terisak-isak dan gemetaran.

Aku mencoba mengikuti mereka, tetapi terhenti karena rasanya seperti menabrak dinding tak kasat mata. Sesuatu menghalangiku.

"A-apa ini?"

Sir Ted ikut mengulurkan tangannya menyentuh dinding tak kasat mata itu. "Penyekat, untuk menghalangi suatu ingatan. Penyekat ini muncul akibat seorang Brainware mencoba mengubah memori, tapi berhenti di tengah-tengah."

Kuraba dinding tak kasat mata itu, lalu kudapati ada warna-warna aneh yang luntur dan menempel pada jari-jari tanganku. Dengan penasaran, aku melakukan gerakan mengelap pada dinding tak kasat mata di depanku. Ini bukan dinding ... ini seperti kaca jendela yang berdebu. Sementara aku terus menggosoknya, pemandangan di sekitarku mulai mengabur, lalu kembali jelas. Tanpa kusadari, ingatan Pascal diputar ulang.

Namun, sesuatu berubah. Ayahku tak lagi muncul dari udara kosong. Dan petugas NC yang menembaki ketiga saudara Pascal bukan lagi pria tanpa wajah.

Penembak itu memiliki wajah ayahku.

"Morris, ada satu di balik pintu itu." Salah satu rekannya memberi tahu, sebelum kemudian menyeret ibu Pascal yang menjerit-jerit ke luar.

Ayah Pascal, dengan perut menganga, berkedut dan menggelepar. Dia mengangkat satu tangannya, mencengkram kaki ayahku dengan susah payah. Suara parau keluar dari mulutnya, "Ampuni ... nya-nyawa—anakku. Biarkan ... dia saja—yang ... hi-hidup. Selamatkan ... Pas-cal ... a-ampuni nyawanya—"

Ayahku meletakkan moncong senjatanya pada dahi ayah Pascal, lantas menarik pelatuk dengan mudah.

Di balik pintu, Pascal kecil jatuh terduduk. Dari bawah kakinya, pusaran api meliuk seperti topan mini. Saat ayahku mendekat, api itu mengecil dan mengecil, lalu padam, teredam sepenuhnya.

Aku tahu ayahku bagian dari NC. Aku tahu ayahku pernah mengotori tangannya dengan darah. Aku tahu dia pernah menjadi Pemburu. Namun, melihatnya secara utuh, tampak tegap di dalam seragam hitam dengan setrip jingga dari bahu hingga pinggang, bersenjata lengkap, dan berdiri menjulang di hadapan Calor kecil tidak berdaya ... rupanya aku masih tidak siap dengan kenyataan yang sesungguhnya. Rasanya seolah-olah aku tidak pernah benar-benar mengenali ayahku selama ini.

"Kau lihat yang tadi?" Seorang Pemburu lain menepuk bahu Ayah. "Pola apinya sebelum padam? Coba bawa yang ini—mungkin dia punya potensi."

Mata ayahku tampak kosong. Suaranya terdengar letih saat membalas, "Kurasa, dia lebih baik mati daripada diambil Bintara."

"Kau tahu prosedurnya," geram rekannya seraya mencengkram bahu Ayah. "Kita masih butuh sampel ke Pusat Karantina dan calon murid untuk dikirim ke PFD. Bawa yang berpotensi, eksekusi yang berbahaya. Kalau kau menyalahinya lagi, kau tahu apa yang bakal terjadi dengan rumahmu besok pagi."

Pria itu pergi setelah memberi peringatan terakhir, meninggalkan ayahku yang masih tampak serupa patung pahat tanpa hati dan Pascal kecil yang gemetaran.

Ayah menyimpan pistolnya, lalu mengulurkan tangan untuk menarik lengan Pascal, tetapi si bocah Calor berkelit dan mencoba menggigitnya. Dengan bersimbah air mata, Pascal kecil menjerit, "Kenapa?!" Giginya bergemeretak, tinjunya yang masih begitu kecil menghujam tungkai ayahku, tetapi Ayah bahkan tak berjengit. "Kenapa ...." Bibir Pascal bergetar. "KENAPA MEMBUNUH ORANG TUAKU! SAUDARAKU! KELUARGAKU! MEREKA SALAH APA PADAMU?!"

Masih dengan tatapan kosong, Ayah berlutut di depan Pascal. Untuk satu detik lamanya, mata mereka berserobok, dan pecahlah tameng yang ayahku kenakan. Matanya memerah, kepalanya menunduk untuk menyembunyikannya.

"Aku ... juga punya anak." Ayah berkata dengan suara bergetar. "Anak perempuanku ... seumuran denganmu. Untuk menyelamatkannya, aku membunuh orang tuamu."

Pascal terpaku, tampak berusaha mencernanya. Bocah 4 tahun yang baru saja menyaksikan keluarga dibantai, tengah mencoba memahami perkataan pembantainya.

Sebelum Pascal sempat bereaksi, ayahku meletakkan dua jari tangannya pada kening si bocah Calor. Pupil mata Pascal melebar, dan dia mematung.

Ayahku menggertakkan giginya, lalu menarik kembali tangannya. Matanya memejam erat-erat, entah ketakutan atau menyesal atau keduanya. Beranjak berdiri, ayahku menarik Pascal yang kali ini hanya menurut dengan mulut menganga, air mata bahkan belum kering dari pipinya.

"Pengubahan memorinya tidak sempurna," kata Sir Ted di sisiku. "Ayahmu ragu-ragu. Akhirnya, memori anak itu menyimpang."

Langkah Ayah terhenti saat tangan kecil Pascal menarik ujung seragamnya.

Pascal tampak masih terluka luar-dalam, pandangan matanya kosong. Rasanya aku mengenali jenis tatapan itu. Perlahan, sepasang matanya yang gelap diisi kesadaran kembali. Pascal tengah mencoba menalar kejadian di sekitarnya, merangkai memorinya sendiri yang tidak utuh, lantas salah menyusunnya. Jelas sekali dia tak mengingat bahwa pria di hadapannya telah membantai habis seluruh keluarganya. Jelas sekali dia tak mengingat percakapan mereka. Hanya satu ingatan yang tersisa.

Ayah menyimak dengan ngeri saat Pascal berkata pelan, "Terima kasih ... sudah menyelamatkan nyawaku."

Bersinggungan dengan ingatan Pascal, memori lain dalam otakku menyeruak begitu saja, mengulang kejadian di mana seorang gadis kecil memegangi tanganku. Matanya tampak mati dan putus harapan setelah melihat jasad ayahnya diinjak-injak, tetapi dia menatapku seperti Pascal menatap Ayah—selayaknya sesosok pahlawan. Tanpa mengetahui bahwa akulah yang membunuh ayahnya, si gadis kecil menggumam lirih, bersamaan dengan ucapan Pascal yang terulang kembali seperti kaset rusak:

"Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Dari flashback Aga Morris chapter #44



Pak Aga udah pernah ngaku dosanya di chapter #47, tapi Leila nggak ngeh




Fanart kiriman dari H-Sensio 
thank youuuuu
(',,•ω•,,)♡

Meredith:


Raios:


Leila:

.

.

.

.


Mini comic kiriman Umi Shiholilah 
maaciiiih
(♡°▽°♡)

.

.

.


Tulisan tangannya Erion:

Nyoh yang bikin ini dari akun roleplay Erion di ig
makasih yaa
σ(≧ε≦σ) ♡




Teruuuus sekalian saya mau promoin,
ada yang bikinin akun ig kipas angin e jazzy
UwU


Mereka lagi berburu member loooh '-')~



Anywho,
Tebak, RavAges tamat di chapter ke berapa?
(°◡°♡)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro