#95

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #95 | 6977 words |

SEGALANYA MENGABUR dalam kepalaku.

Aku nyaris tidak bisa mengingat apa-apa setelah Giok mengajakku bicara di atas atap bangunan kantor waktu itu. Sepertinya dia memperingatkanku tentang Raios. Namun, apa persisnya yang dia katakan, aku tidak tahu.

Aku duduk dalam mobil di jok belakang, sabuk pengaman terpasang. Samar-samar, aku ingat tujuan kami: Kompleks 1, di mana Sir Ted menunggu bersama para Teleporter dan Calor. Di samping kiriku, Erion tidur dengan menyandar ke lenganku, tangannya mencengkram sepotong biskuit yang sudah hancur. Di samping kananku, Truck mengorok dengan kedua lengan terlipat di depan dada, gaya tidurnya mirip penculik, aku dan Erion kesannya jadi korbannya.

Di jok pengemudi, Alatas menyetir sambil mengobrol dengan seseorang yang duduk di sampingnya. Aku memiringkan tubuh sedikit dan melihat seorang pria tua renta dengan mata rabun setengah terpejam—ayahnya Giok, terkekeh-kekeh dengan suara napas berat, menertawakan sesuatu yang Alatas katakan.

Alatas melirikku dari kaca spion dan melemparkan senyuman. "Akhirnya kau bangun juga."

Aku menggosok mata. "Tadi bukannya ada Giok dan Pascal?"

"Kita baru akan keluar dari perbatasan Kompleks 18. Kau tidur nyenyak sekali, jadi aku tidak tega membangunkanmu." Alatas menunjuk ke depan, di mana sebuah mobil lain melaju dan kami mengekorinya. "Giok, Pascal, dan Neil di minivan itu. Mereka membawa sepasukan ... bisa dibilang prajurit tambahan."

"Prajurit tambahan?" ulangku. Namun, sebelum Alatas menjawab pun, pikiranku sudah melayang ke sejumlah gadis Fervent misterius yang kutemui sebelum ini. Para gadis Fervent yang dulunya korban Herde di Kompleks 18, dan entah kenapa memutuskan keluar dari persembunyian mereka untuk meledakkan kepala-kepala prajurit NC, menyelamatkan nyawa kami dengan cara yang ekstrem. Bahkan Op tampak takut pada mereka.

"Ada seorang Detektor bersama Yohannes. Dan juga—percaya tidak?—enam orang perempuan Fervent." Alatas mengonfirmasi dugaanku. "Mereka tidak mau berhenti mengikuti Truck. Mereka bilang mau membalas budi."

"Ah, ya .... Aria—adiknya Truck—menyelamatkan mereka. Kurasa, itulah maksudnya balas budi." Lalu, aku teringat sesuatu yang menarik. "Truck, 'kan, benci cewek. Bagaimana dia menanggapi para perempuan itu?"

Alatas tersedak seolah dia hendak terbahak keras lalu menahannya di saat-saat terakhir sebelum terlepas. "Ingat wajah Truck waktu kau menyelamatkannya dari cewek Icore di Garis Merah dulu?"

"Tidak akan kulupakan. Kalau bisa, kufoto dan kubingkai."

"Nah, 6 kali lipat lebih parah dari itu. Dia kelojotan terus saat para cewek Fervent itu di dekatnya."

Mau tidak mau, aku menyengir sambil memandangi wajah tidur Truck. Alisnya mengernyit, kelopak matanya berkedut liar, seolah cengiranku telah merasuk ke otaknya dan terkonversi jadi energi negatif yang membuatnya mimpi buruk. Asyik sekali—aku tidak sabar menunggunya bangun dan menggodanya dengan menyodorkan salah satu dari anak perempuan itu, Lari, Truckey, lari!

"Kita tidak bisa teleportasi saja?" tanyaku. "Apa perempuan Teleporter bernama Cliquoz yang bisa mengirim kita ke Kompleks Sentral itu sudah ketemu?"

"Neil sendirian tidak bisa meneleportasikan kita semua. Jumlah kita terlalu banyak." Alatas berbelok mengikuti jalan beraspal. Di sekitar kami, pepohonan renggang berjajar, diselingi beberapa rumah kayu kecil. "Sedangkan Cliquoz sudah ketemu, tapi Op dan Pak Timothy harus tetap didekatnya buat mengawasinya di Kompleks 1 agar tidak kabur. Jadi, sekarang kita ke koloni Telerpoter lain—kenalan Neil—mereka bakal membantu kita semua ke Kompleks 1."

"Apa ada sesuatu yang bagus di Kompleks 1?" tanya ayahnya Giok, diselingi batuk basah yang kedengarannya menyiksa sekali. "Giok sejak dulu senang sekali ke sana. Tapi dia tidak pernah mau mengajak ayahnya yang sudah tua ini."

"Oh, hmm ... di sana tempat yang membosankan." Alatas berdusta. Jari tangannya mengetuk-ngetuk roda setir. "Giok tidak mengajak Anda ke sana karena tempat itu setengah mati membosankannya. Jadi, tentu saja kami akan antar Anda ke Kompleks 7 dulu. Di sana lebih aman—maksudku, lebih menyenangkan."

"Properti keluargaku di Kompleks 7 sudah disita," ujar si pria tua dengan nada sendu.

"Tidak, Pak. Giok sudah berhasil menebusnya kembali." Dari kaca spion, Alatas menggerakkan bibirnya padaku tanpa suara: Pak Timothy menebusnya.

"Apa yang di depan itu portal Kompleks?" tanyaku seraya mencondongkan badan sedikit ke depan. Lalu, secara telepati, kutambahkan pada Alatas, Pasti ada penjaganya, 'kan?

Giok yang akan mengurusnya, jawab Alatas membatin. Matanya melirik si pria tua di sampingnya yang masih tak tahu apa-apa. Dia bilang dia punya kenalan yang akan membiarkan kita lewat. Tapi, coba pura-pura tidur lagi saja, Leila, menyandar sedikit ke Erion buat menutupi wajahnya. Dan pastikan Truck tidak mendongak sambil menganga begitu—penjaga bisa saja mengenali ilernya.

Aku membenarkan posisi tidur Erion di sampingku. Kucoba untuk mengeluarkan cracker yang sudah menyerpih di tangannya, tetapi Erion malah terbangun. Tangan Erion melimbai karena kaget. Serpihan cracker terbang menabrak muka Truck, membuat pria itu membuka mata seketika dan terlonjak seolah yang menancap di mukanya itu pecahan peluru.

Mana biskuitku?! Erion celingak-celinguk, dengan panik menepuk-nepuk jok.

"Apa ini?!" Truck meludah dan menepuk-nepuk wajahnya.

Belum sempat aku menenangkan keduanya, Alatas memelankan laju mobil dan berkata, "Ada yang aneh ...."

Dari pengalamanku terlunta-lunta dengan mereka bertiga, kalimat itu alamat buruk. Kalimat Alatas jelas tidak tertuju pada wajah Truck yang penuh cracker. Dia mengatakannya sambil menatap minivan di depan.

Mobil yang ditumpangi Pascal, Giok, Neil, Yohannes, dan enam gadis Fervent itu melambat dan berzig-zag, lalu tersendat-sendat seolah pedal gas diinjak-lepas silih berganti.

"Siapa yang menyetir?" tanyaku.

"Setahuku Giok."

"Ada apa?" tanya ayahnya yang menangkap kecemasan dalam suara kami.

"Tidak apa-apa, Pak." Aku menenangkan si pria tua, sedikit membubuhi pengaruh Brainware juga agar dia tidak panik. "Anu, sebaiknya Anda tidur. Bersantai sedikit. Perjalanan kita masih jauh."

Si pria tua hampir terlelap saat terdengar bunyi krak keras. Minivan di depan kami menabrak portal Kompleks sampai patah, menarik perhatian semua penjaga di dalam pos. Salah satu petugas meneriaki minivan, lalu memanggili kawanannya.

"Tunggu." Truck mencondongkan badannya ke depan. "Kukira tadi rencananya adalah menyogok penjaga, bukan menghancurkan portal."

Alatas yang tak kalah bingungnya pun tampak panik. "Ah, eh—"

"Alatas." Aku mencengkram bahunya keras-keras. "Injak gas sampai habis."

Entah Alatas adalah pacar yang penurut atau aku tanpa sengaja menggunakan Brainware padanya, pemuda itu mengemudikan mobil dan menerjang portal yang sudah patah, nyaris menabrak seorang pria yang baru keluar dari pintu pos jaga.

Asyiiiik! Erion terbenam ke sandaran joknya karena tekanan dan laju mobil, tetapi bibirnya menyengir lebar. Lebih cepat! Setelah ini, aku yang menyetir, dong!

"Maju terus Alatas, jangan lihat spion. Fokus saja mengikuti minivan." Kueratkan peganganku di lengannya. Sebelah tanganku memegangi ayahnya Giok yang juga mulai panik. "Tenang, Pak, tidak apa-apa, bensin kita mau habis, jadi kita harus mengebut. Anakmu masih di minivan depan dan baik-baik saja."

Alatas, masih mengemudi seperti pembalap liar yang tak tahu apa yang dikemudikannya, tergagap, "Ke-kenapa aku tidak boleh lihat spion?"

"Menurut saja!" Aku menekan Alatas lebih keras.

Truck menoleh ke belakang, lalu dia menyetujuiku. "Ya, lihat depan saja. Kalau bisa, melaju lebih cepat."

Cahaya-cahaya menyorot dari belakang kami, kian terang dan berkedip-kedip liar, menegaskan beberapa mobil telah mengejar tepat di belakang.

Mobil tersentak ke depan, memberi tahu bahwa ada yang berhasil menempeli bumper kami. Truck mulai tidak sabar, "Lebih cepat—kubilang, lebih cepat Alatas!"

Alatas menggertakkan giginya, lantas membanting setir ke kanan sebelum kemudian kembali ke kiri dan berjalan lurus tanpa mengurangi kecepatan. Kepala kami tersentak-sentak akibat goncangan, tetapi tampaknya manuver itu berhasil membebaskan bumper kami dari mobil di belakang. Aku mati-matian memegangi ayahnya Giok karena tubuh pria itu selunglai kertas—terkena goyangan sedikit saja, kepalanya seperti akan terpelanting lepas. Napas si pria tua mulai memburu, jadi aku terus membisikkan kata-kata menenangkan buatnya sampai dia tak lagi tegang.

Terdengar suara letusan senjata—ini dia yang terburuk. Kaca belakang retak, satu peluru menggaruk pintu di samping Truck, dan satu lagi mementalkan kaca spion di samping kursi penumpang. Ayahnya Giok, dengan napas berbunyi dan pandangan terdisorientasi akibat pengaruh Brainware, bergumam sambil menurunkan kaca, "Ada yang mengetuk ...."

"Tidak!" Aku berteriak. "Itu—i-itu hanya suara hujan!"

Jari tangan ayah Giok yang ripuh menaikkan kaca lagi. "Di luar sedang hujan?"

Hujan peluru! Erion memekik sembari menghadap ke belakang. Jari tangannya menjentik, dan entah apa yang dilakukannya, terdengar suara decit ban tajam di belakang kami, disertai tabrakan. Namun, tindakan Erion juga berdampak pada kaca belakang yang serta-merta pecah sepenuhnya. Ups ....

"Deras sekali hujannya." Ayahnya Giok mengerjap-ngerjap ke jendela. Di saat seperti ini, mata rabun dan telinganya yang agak tuli malah menjadi berkah tersendiri bagi si pria tua.

Minivan di depan kami mendadak melaju luar biasa cepat, lalu berbelok tajam ke arah pepohonan renggang. Sekilas, kulihat seseorang melompat keluar lewat pintu belakang. Lalu dua orang. Lalu tiga. Lantas kusadari pengemudinya pun meloncat keluar dari mobil. Minivan pun menabrak pohon dengan benturan yang sudah pasti membunuh siapa saja yang belum keluar.

"Apa-apaan mereka?!" Truck menggeram, tampaknya menyadari apa yang kulihat juga. "Alatas, jangan berhenti!"

"Ta-tapi—"

"Kita tidak bisa berhenti!" Truck menoleh lagi ke belakang. "Mereka hampir menembak ban kita. Terus berzig-zag."

"Jalannya bercabang!" Alatas mengumumkan.

Erion! Aku mengirim pesan kilat ke dalam kepalanya.

Erion anak pintar. Dia memahami dengan cepat dan menggunakan X-nya. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya bahkan sebelum Erion memberi tahu, Kiri ada danau sama lahan terbuka. Kanan ... kayak stasiun kereta. Aku tidak yakin apa persisnya yang ada di dalam terowongan itu, tapi ada gerbong-gerbong ... dan ada orang.

"Kanan," kataku pada Alatas. Bahkan tanpa perlu pengaruh Brainware, Alatas langsung menuruti yang satu ini. Dia menabrak rambu dilarang masuk dan papan tanda jalan buntu.

"Kenapa kita masuk jalan buntu?" protes Truck.

"Karena lebih mudah bersembunyi dalam terowongan daripada di lahan terbuka." Aku menepuk bahu Alatas keras-keras setelah melihat pilar-pilar penyangga atap terowongan. "Berhenti!"

Alatas menginjak pedal rem sampai rata dengan lantai mobil. Kedua tangannya melepaskan kemudi. Salah satu tangannya terangkat untuk mengendalikan badan mobil—kalau dia tidak melakukan itu, leher kami semua niscaya patah atau badan kami terpelanting menembus ke kaca depan. Satu tangannya yang lain melakukan gerakan mendorong ke depan, lalu kusadari dia telah mendorong salah satu gerbong kereta terbengkalai yang entah bagaimana menyeleweng ke luar rel hingga menyembul keluar dari pintu stasiun. Alatas mendorong gerbong di hadapan kami dua meter jauhnya. Mobil kami berhenti tak sampai setengah meter dari moncong gerbong kereta tersebut.

Berkeringat dan tersengal-sengal, kami memaksa diri kami terus bergerak.

"Tidak apa-apa, Pak," kataku pada ayahnya Giok seraya melepas sabuk pengamannya. "Mobil kita hanya sedang mogok."

"Tidak apa-apa," gumam si pria tua dengan napas berat. Keletihan memancar dari matanya. "Aku sudah tahu. Tidak apa-apa jika kau jujur. Anakku melakukan sesuatu yang berbahaya, begitu pula kalian. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku cuma bisa berpura-pura bodoh agar tidak menambah beban pikirannya."

Aku menggertakkan gigi untuk menguatkan diri. "Anak Anda tangguh, begitu juga Anda."

Alatas segera turun sambil membawa semua tas-tas kami, sedangkan Truck mengambil alih ayahnya Giok dan menggendongnya di punggung. Kusuruh Erion mengikuti Truck menuju reruntuhan stasiun kereta sementara aku bersembunyi di balik badan mobil kami.

Alatas membungkuk di sebelahku. "Apa yang kau lakukan?"

"Sst!" Aku berkonsentrasi ke depan. Lampu-lampu mobil pengejar kami menyorot dari luar terowongan dan terus mendekat. Mereka sudah berhenti menembaki kami, tetapi mereka pasti akan kembali melepaskan peluru begitu mendapat jarak bidik yang bagus.

Aku membungkuk lebih rendah. Tanganku terulur ke depan. Satu tarikan napas, udara pun lenyap di sekitarku, membuatku tercekik seolah kepalaku berada dalam ruang hampa untuk sesaat, tetapi telapak tanganku memanas. Begitu mobil paling depan memasuki terowongan, aku melepaskan energi yang telah terkumpul dan membidik ke bawah bumper mukanya.

Mobil paling depan terjungkal dan bersalto 180 derajat, menimpa mobil di belakangnya, lantas memblokir jalan. Salah satu petugas berhasil merangkak keluar dari mobil belakang dan tak membuang waktu untuk berlari ke arah kami. Kugunakan gelombang kejut yang tersisa di ujung-ujung jariku untuk mendorong mobil kami, memaksa si petugas mundur kembali, dan menambah tumpukan rongsokan di ambang terowongan.

"Yeah!" Alatas berseru saat tak ada lagi petugas yang bisa melewati tumpukan mobil untuk mengejar kami. "Yang barusan itu pacarku!"

"Alatas!" Aku menarik lengannya. "Tololnya nanti saja!"

"Kau menjebak kita di sini!" Truck membentakku saat kami menyusul mereka ke depan pintu stasiun yang masih di blokir gerbong kereta miring. "Kita tidak bisa keluar, dan jelas sekali tidak ada jalan masuk ke dalam stasiun."

"Kita kemari untuk meminta bantuan koloni Teleporter lain, temannya Neil, 'kan?" kataku. "Dan di sinilah mereka."

"Tahu dari mana?!"

"X-nya Erion melihat seseorang di dalam sini. Manusia yang bisa keliaran seenaknya tanpa takut terjebak di reruntuhan stasiun kereta begini cuma—"

"Teleporter." Neil muncul tepat di sebelahku, tersengal-sengal dan membungkuk dengan tangan menumpu ke lututnya. Wajahnya penuh plester, sebelah matanya masih bengkak, hidungnya bonyok, lengan dan bajunya penuh goresan, tetapi selebihnya dia baik-baik saja. "Tajam juga kau. Tunggu di sini."

Si Teleporter menghilang selama 10 detik, kemudian muncul kembali bersama lima Teleporter asing—empat laki-laki seumuran Alatas dan seorang perempuan yang barangkali lebih tua dari ibuku.

"Pria tua itu," kata Neil pada Teleporter perempuan sambil menunjuk ayahnya Giok di gendongan Truck. "Paru-paru basah dan badannya sangat lemah. Pastikan kau mengikatnya ke badanmu supaya tungkainya tidak ketinggalan seperti insiden yang terakhir itu."

Si Teleporter perempuan mendekati Truck. "Si Tua ini kelihatan sehat, tuh."

"Bukan aku!" Truck berteriak dan membalikkan badannya. "Pria yang ini!"

Sebelum Neil menghilang lagi, aku menyambar tangannya. "Tunggu—"

Dan aku tanpa sengaja ikut berteleportasi bersamanya. Wajahku langsung menghantam batang pohon.

"Bodoh!" Neil membentak. "Kalau aku meleset sedikit saja, wajahmu bisa masuk ke dalam pohon ini!"

Kutekan hidungku yang mengeluarkan darah. "Hegh—aku cuma ingin tahu—apa yang—terjadi dengan mobil ... kalian—uh ... a-adakah yang punya tisu?"

Neil menunjuk ke antara semak setinggi lutut, di mana Pascal terbaring telentang tak sadarkan diri. Darah menyebar dari mulut dan menyelimuti hampir seluruh wajahnya. Di sekitarnya, keenam gadis Fervent dari Kompleks 18 mengelilinginya seperti menunggunya bangun.

Setelah mimisanku berhenti, aku buru-buru bangkit. "Apa yang mereka lakukan ke Pascal—"

"Mereka menghentikan-nya." Neil menggaruk kepalanya dengan kesal. "Calor aneh ini mendadak menyalakan apinya dan mencoba membakar minivan. Kalau para cewek tidak menghajarnya, kami pasti sudah mati dibakarnya. Makanya sejak awal aku heran kenapa kalian mau-maunya bekerja bersama Calor!"

Dari dalam ranselnya, Giok mengeluarkan tali tambang dan Arka. Dibantu Yohannes, dia mengikatkan Arka ke lengan Pascal. "Begitu sampai di Kompleks 1 nanti, segera serahkan dia ke Pak Timothy."

Kusembunyikan kedua tanganku yang gemetaran ke balik punggung. "Tidakkah seharusnya Pascal kita pulangkan ke koloninya saja? Maksudku ... dia sudah dimanfaatkan NC sejak kecil, aku bahkan menemukannya terpenjara dalam sel, dan beberapa hari belakangan ini dia bekerja keras menyelamatkan anak-anak Calor yang disandera Bintara. Mungkin ... ini sudah cukup tekanan buatnya."

"Tidak." Giok menaikkan kacamatanya yang melorot di hidungnya. "Jangan ke anggota koloninya. Seperti yang kau bilang, Calor ini pernah bekerja buat Komandan—ada kemungkinan, walau kecil, bahwa dia masih loyal ke NC. Kita masih tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi ada kemungkinan teman-temannya bakal berusaha membela dan melindunginya. Kita mesti langsung membawanya ke Pak Timothy."

Kujaga ekspresi wajahku tetap netral. "Kalau begitu, bisakah aku diteleportasikan bersamanya? Pascal selalu menolongku, jadi aku hanya ingin memastikan ...."

Mereka semua memandangiku. Alis mengerut, tatapan curiga, dan bibir yang terbuka untuk mengemukakan keberatan. Namun, Giok tampaknya lagi-lagi mampu melihat menembus motifku dan berkata, "Boleh saja. Kudengar dari Alatas, cowok Calor ini naksir padamu, betul? Kalau kau bisa mengekangnya, atau lebih bagus lagi memastikan dia masih di pihak kita, kurasa oke saja." Lalu, Giok menaikkan alisnya pada Neil. "Kau bisa meneleportasikan dua orang sekaligus, 'kan? Bawa mereka berdua. Kami di sini akan menunggu teman-teman Teleporter-mu itu."

Tampak ragu sejenak, Neil akhirnya menurut. Dia membawa Pascal di punggungnya, lalu menangkap tanganku. Kami berteleportasi dan muncul di dalam bangunan berdinding papan, lantainya dari tanah dan agak becek, dan langit-langitnya tinggi dengan langkan yang mengelilingi lantai duanya. Di kedua sisi, terdapat bilik-bilik kayu kosong yang gelap dan berbau.

"Apa ini istal kuda?" tanyaku.

Neil melepaskan Pascal dari punggungnya dan membaringkan si pemuda Calor di tengah-tengah ruangan. "Iya. Di pemukiman di pinggiran Kompleks 1. Cuma di sini tempat aman untuk bersembunyi. Tapi tetap saja tim patroli tersebar di sini."

Aku mendekati pojokan istal di samping bilik kuda yang kosong. Melalui jendela kayu tak berkaca, aku bisa melihat atap-atap seng dan bangunan semi permanen berjajar. Jalan setapak membelah bukit rendah. Tempat ini jauh lebih hangat daripada Kompleks 18, tetapi tidak lebih aman. Aku bisa melihat lampu kecil drone pengintai menyoroti gang-gang kecil. Beberapa prajurit NC bersenjata mengetuk dari satu rumah ke rumah lain, barangkali memastikan penduduk setempat tidak menyembunyikan buronan.

"Para petugas patroli itu tidak mencari kemari?"

"Pak Timothy mengurus itu." Neil meludah ke salah satu kendi yang entah berisi apa. "Kudengar dia bisa membelokkan ruang atau apalah. Dalam radius tertentu, wilayah peternakan ini aman. Para petugas patroli yang mendekat tanpa sadar bakal berjalan memutar dan takkan pernah sampai kemari." Si Teleporter kemudian mendekatiku, matanya mendelik tajam. Katanya, "Perihal si Calor yang mendadak gila ini; aku tahu apa yang kau lakukan."

Mati-matian aku menyapu kegelisahan dari wajahku. "Apa maksudmu?"

"Op memberitahuku kalau pacarmu itu sebetulnya orang normal yang namanya Ryan." Dia mendekatkan wajah dengan tatapan menghakimi. "Lalu kau selingkuh ke Alatas. Sekarang malah ada lagi si Calor ini. Pacarmu itu sebetulnya ada berapa, hah? Kau sadar, 'kan, kita tidak sedang dalam kondisi untuk main pacar-pacaran!"

Untuk sesaat, aku lega. Lalu, aku jadi tersinggung. "Aku tahu itu dan aku tidak main pacar-pacaran, apa lagi selingkuh! Buat apa juga kau percaya sama Op?! Kau temannya, berarti kau tahu yang keluar dari mulutnya itu tahi kambing semua!"

Neil mengernyit. "Kau ada benarnya juga."

"Siapa yang mulutnya penuh tahi kambing?" tanya seseorang di pintu istal.

"Kau," jawab Neil, bahkan sebelum aku mengenali Op di sana.

Sambil menarik-narik tali kekang yang bercabang dua—satu cabang mengikat seorang perempuan dan cabang lain mengikat seorang laki-laki—Op masuk mendekati kami. "Berarti tahi-tahi itu sangat beruntung. Nah, teman-teman, lihat, aku naik pangkat jadi pawang. Pak Timothy memercayakan keduanya padaku. Perkenalkan, yang ini namanya Santoso, yang satu lagi Julaeha."

"Siapa yang Julaeha!" pekik yang perempuan. Aku tak bisa memutuskan apakah yang mencoreng mukanya itu lumpur atau celak matanya yang luntur. "Aku Cliquoz! Aku tidak sudi membantu kalian ke Kompleks Sentral! Dan aku sudah menyatai lebih dari sepuluh Teleporter benyek sepertimu! Daging kalian benar-benar kelas rendah, penuh lemak, dan bau amisnya susah sekali dihilangkan!"

"Tapi, Julaeha itu nama yang bagus." Op menepisnya. "Yah, kurasa Julaeha memang kebagusan buatmu."

"Kau!" Cliquoz beralih menatapku di balik tirai rambutnya yang awut-awutan. Lalu, kusadari ujung-ujung rambutnya kusut karena ujung tiap helaiannya direkatkan pada Arka entah dengan lem apa. "Aku tahu kau! Kau dan teman-teman kecilmu menghancurkan rumah kami di Kompleks 4! Alle-ku tersayang mati gara-gara kalian! Bahkan Daile mengkhianatiku! Andai kalian menurut saja dijadikan sup waktu itu, ini semua takkan terjadi!"

"Kenapa kita membutuhkan orang ini untuk pergi ke Kompleks Sentral?" tanyaku. "Daile—saudarinya—pernah bekerja buat Bintara, berarti dia juga!"

"Dua hal." Op mengacungkan dua jarinya. Jari telunjuknya dia tekuk lebih dulu. "Pertama, dia tahu letak Kompleks Sentral."—Op menolak menekuk jari yang tersisa dan membiarkannya terus teracung. "Kedua, dia hampir sama hebatnya denganku. Dia bisa meneleportasikan pesawat Specter beserta penumpang di dalamnya utuh-utuh. Tapi perlu kutekankan kalau aku ini lebih hebat lagi, hanya saja aku tidak tahu di mana Kompleks Sentral terletak."

"Om Op!" Di ambang pintu, sekumpulan anak-anak—jumlah mereka bisa jadi lebih dari dua puluh anak—bersorak-sorak memanggil si Teleporter. Lalu, kulihat ada Ash di antara mereka, bocah Calor yang memuja Erion seperti Erion memuja biskuit dan ayam goreng. Aku pun tersadar: mereka bocah-bocah Calor yang baru saja kami selamatkan dari sanderaan Bintara. "Om Op—ayo, main lagi!"

"Tunggu sebentar, para penggemarku!" Op mengikatkan tali kekangnya ke salah satu bilik kuda. Cliquoz meronta-ronta. Sementara yang laki-laki, wajahnya tertutupi karung goni penuh lubang hingga aku tak mengenalinya, ikut menendang-nendang untuk melepaskan diri. Op menepuk puncak kepalaku. "Titip dulu, ya. Jangan biarkan mereka lepas."

"Yang Santoso itu siapa?" tanya Neil seraya mengedik ke arah si lelaki bertali kekang dan berkepala karung goni.

"Santoso," jawab Op seakan semua itu seharusnya sudah gamblang. Dari ujung matanya, Op melirikku. Sudut bibirnya menyunggingkan cengiran. "Coba tanya Leila—dia pasti kenal. Si Santoso itu kutemukan keliaran di sekitar pemukiman dan menanyai penduduk setempat apakah mereka menyembunyikan seorang buronan yang ciri-cirinya mirip Leila. Kurasa, Santoso kepingin reuni dengannya." Op menepuk pundak Neil. "Kalau diingat-ingat lagi, kau juga kenal sama si Santoso. Kau, 'kan, yang dulu membawanya ke sini."

Sebelum Neil dan aku sempat bertanya apa maksudnya, Ash berlari masuk dan menghampiriku. Dia menatap Pascal dengan wajah terperangah. "Pascal kenapa?"

"Dia ... jatuh." Aku menjawab asal. Kuseka sisa darah di wajah Pascal. "Wajahnya terluka. Tidak apa-apa, Ash. Sebentar lagi Pascal pasti bangun."

Ash melonjak-lonjak. "Erion mana?"

"Jadi, kau ini penggemarnya Erion atau aku?" Op menjinjing kerah baju Ash, menyeretnya keluar dari istal dan menghampiri sekumpulan bocah Calor yang menunggunya. "Siapa yang mau lihat Om Op menyulap Ash ke atas atap istal?"

"Aku!" Ash menjawab paling keras dan mengangkat tangan paling tinggi.

"Sejak kapan dia jadi babysitter anak-anak Calor?" Neil mendesis jengkel. Dia lantas mendekati si lelaki berkarung goni yang masih terikat tali kekang. Kaki Neil hampir digigit oleh Cliquoz, tetapi dia berhasil berkelit dan mencengkram karung di kepala Santoso. "Kau penasaran, tidak, ini siapa?"

Aku mengangguk.

Namun, belum sempat Neil membuka topengnya, Sir Ted muncul di samping Pascal. Lingkaran matanya bertambah gelap dari terakhir kali kuingat, kerut di wajahnya bertambah seolah pria itu menua sedekade dalam sehari, dan tubuhnya kian kerempeng hingga seragam kamuflase yang dikenakannya tampak menggantung di bahunya yang kurus.

"Giok menghubungiku, katanya Pascal tiba-tiba lepas kendali." Pria itu berkata dengan suara parau seolah tidak minum berhari-hari. "Kurasa, lebih baik kita memulangkannya ke koloni bersama anak-anak itu."

"Tunggu, itu tidak adil. Kenapa para Calor ini kau perlakukan seperti pensiunan sedangkan koloni kami kau tahan di sini?" Neil mengerutkan kening, lalu menegakkan punggung. "Kalau dipikir lagi, kenapa juga kau membutuhkan kami? Kau Relevia. Kalau yang kudengar ini benar, kau bisa melakukan semua yang bisa Fervent lakukan. Kau bisa meneleportasikan semua orang ke Kompleks Sentral dalam sekejap. Dan kau ini dulunya petinggi NC juga, mustahil kau belum pernah ke Kompleks Sentral. Kenapa malah mempekerjakan wanita kanibal ini?"

"Dua Specter penjemput sedang dalam perjalanan kemari." Sir Ted terus bicara, mengabaikan Neil sama sekali. Dia berlutut di samping Pascal, menyentuh bagian di antara dada dan perut si pemuda Calor. Pascal terbatuk sedikit, tetapi pendarahan dari mulutnya lantas berhenti. "Salah satu Specter itu akan kita gunakan untuk mengantar anak-anak Calor kembali ke koloni mereka, yang satu lagi akan kita naiki bersama Cliquoz ke Kompleks Sentral."

Aku melirik Neil dengan gugup. Si pria Teleporter itu masih memancangkan matanya ke arah Sir Ted. Lalu, seolah tersadar, Neil menggertakkan rahangnya. "Komandan Bintara juga Relevia, tapi banyak yang bilang bahwa dia cacat. Dan saat ini pria itu nyaris tidak bisa menggunakan separuh dari kekuatannya. Pak Timothy, katakan padaku, kenapa tampaknya kau terus-terusan kehilangan berat badan dan makin pucat tiap hari?"

Sir Ted tidak mengangkat wajahnya sedikit pun, tetapi dia terus bicara, "Leila, mana teman-temanmu—"

"Kau menyembuhkan Calor itu, tapi kenapa tidak menyembuhkan dirimu sendiri?" Neil masih mencerocos. "Dan apa sebetulnya tujuanmu ke Kompleks Sentral? Perang? Melawan siapa?"

Di belakangku, terdengar suara kekehan. Suara kekehan itu kemudian berubah jadi tawa terbahak. Sambil masih tergelak histeris, Cliquoz berucap, "Jadi, kalian sendiri tidak tahu apa yang kalian tuju? Kalian hanya menuruti pria Relevia ini dan berderap ke kematian kalian tanpa tahu apa yang kalian hadapi? Kalian sekumpulan anak-anak bodoh, sama saja seperti ribuan prajurit yang bekerja untuk Komandan Binta! Persis sekali! Ribuan prajurit itu juga melemparkan diri mereka ke api neraka, mengotori tangan mereka dengan darah penduduk sipil, tanpa tahu apa yang mereka perjuangkan! Itu karena Komandan Binta menyetir mereka bak anjing gembala menggonggongi sekawanan domba bodoh! Kalian tidak ada bedanya!"

Neil memandangi Cliquoz dan Sir Ted bolak-balik, lalu berhenti ke wanita Teleporter. "Katakan."

"Pria Relevia di hadapanmu itu tidak menyuruh kalian berperang!" Cliquoz mengumumkan. "Dia ingin menggiring kalian ke Kompleks Sentral karena di sanalah sumber dari Proyek Artificial Night berada! Dia ingin menghancurkannya dan membuka langit kita kembali. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau langit sudah terbuka? Orang-orang normal takkan lagi membutuhkan kita dan mereka akan lebih leluasa memburu kita! Aku sudah meneror banyak tempat dan aku tahu rahasia-rahasia bobrok orang-orang ini. Aku tak bisa mengatakan Komandan Binta orang baik, tapi berkat gagasannya menaungi Proyek Artificial Night inilah kita para Fervent lebih berkuasa di atas manusia normal sekarang!"

Neil berjongkok di depan si wanita Teleporter. Satu tangannya mencabut belati dari saku di sabuknya, lantas menodongkannya ke bawah dagu Cliquoz. "Katakan lebih banyak—apa yang menunggu kami di Kompleks Sentral?"

"Para Fervent terbaik yang dididik dalam Program Fervent Dasar." Cliquoz mencondongkan tubuhnya, giginya mencoba mencapit hidung Neil dengan tatapan lapar. Namun, tali kekang menahannya dan belati di bawah dagunya hampir mengirisnya. "Oh, kau tidak tahu apa itu Program Fervent Dasar? PFD adalah tempat di mana mereka melatih sekompi Fervent sejak anak-anak, membentuk mereka menjadi prajurit terbaik. Mereka bahkan mampu mengatasi Relevia—karena itulah ujian akhir mereka. Timothy Freya dan Darren sudah tewas lama sekali, Aga Morris menghilang, Timothy Edison sekarang ada di hadapanmu sebagai buronan bangkrut—coba pikirkan, siapa yang tersisa untuk mengendalikan sekompi Fervent terlatih itu di Kompleks Sentral sana? Komandan Binta. Dan dia akan membantai kalian yang coba-coba mendekati sumber Artificial Night."

Neil bangkit berdiri, lantas menghilang meninggalkan belatinya, berteleportasi entah ke mana. Istal kuda menjadi senyap hanya dengan suara kikikan Cliquoz. Bahkan Santoso yang masih terbungkus karung pun terdiam.

"Apakah ini rencanamu atau rencana Giok?" tanyaku lemas.

"Giok." Sir Ted mengaku. "Dan aku mendukungnya karena NC serta T. Ed akan hancur dengan cara ini. Apa kau akan menentangku juga, Leila?"

"Tidak," kataku. "Jika ini bisa memperbaiki keadaan, aku akan membantumu."

"Mu-na-fik se-ka-li." Cliquoz bernyanyi di belakangku. "Sudah terlambat untuk jadi pahlawan super, Sayang. Para manusia normal tidak peduli pada kita. Untuk apa kau repot-repot memikirkan nasib mereka? Bebaskan aku, ambilkan belati itu, dan akan kuperlihatkan padamu bahwa, daripada diselamatkan, manusia normal itu lebih enak kalau berakhir di pemanggang."

Tak lama berselang, Neil muncul. Namun, kali ini dia tidak sendirian. Ada lebih dari selusin Teleporter lain dari koloninya bersamanya. Mereka semua menyandang tas selempang sambil merengut.

"Kami akan pergi, dan aku yakin kau tidak punya daya menghentikan kami." Neil berkata pada Sir Ted. Lalu, dia menoleh ke ambang pintu istal, di mana Op berdiri entah sejak kapan, kakinya dikerubuti anak-anak Calor. "Kau ikut, Op?"

"Yah ... aku masih senang di sini." Op menggaruk kepalanya. Satu tangannya menepuk kepala bocah-bocah Calor satu per satu. "Mereka masih memujaku. Aku mungkin bakal tuntaskan yang di sini dulu, baru pulang ke koloni."

Neil mendengkus. Teman-temannya pun lenyap satu per satu, tak sabar lagi angkat kaki dari sini. Tersisa Neil di sana, tetapi dia tak langsung lenyap.

"Kudengar kau menjemputi cewek-cewek Tarok di koloni kami yang kosong." Neil mencemooh ke arah Sir Ted. "Lancang sekali kalau aku boleh berkomentar. Tapi ya sudahlah, mari kita anggap ini impas karena aku sendiri sudah melanggar salah satu kesepakatan kita."

Sir Ted mengangkat wajahnya kali ini. "Apa?"

"Kau melarang kami menghubungi koloni Teleporter lain untuk mengurangi risiko disusupi Binta, dan aku barusan mengingkarinya. Aku menghubungi temanku dari koloni di Kompleks 18."

Mata Sir Ted seperti akan keluar dari rongganya. "Tapi, di koloni itu ada—"

"Kau tidak bisa menyalahkanku karena kalau tidak kulakukan itu, kami masih terjebak di Kompleks 18 sampai sekarang. Bahkan kawanan Teleporter dari koloniku, yang bisa saja kau utus untuk menjemput kami, malah kau pakai untuk mengawasi wilayah ini bersama para Calor agar Komandan tidak bisa masuk." Neil berdecak. "Ternyata kau setakut itu pada Komandan."

Dan hilanglah si pria Teleporter.

"Op!" Sir Ted berteriak panik. "Pergi ke koloni temanmu di Kompleks 18 itu, sekarang!"

"Tapi, kau bilang aku harus mengawasi si cewek kanibal—"

Op belum selesai bicara saat salah satu pojok atap istal runtuh. Sesuatu yang terbakar jatuh dan kobarannya bangkit membentuk sesosok pria dewasa.

Sekujur tubuhku gemetaran saat menyaksikan Pyro meraung, "EMBRE! AKU MENCARI EMBRE!"

"Awas!" Aku mendengar suara Alatas dari kejauhan, entah dari mana, memperingatkan. Bersamaan dengan itu, satu lagi sosok kecil yang terbakar api jingga turun dari lubang atap yang sama. Suara Alatas terdengar lagi. "Erion, hati-hati!"

Melihat sosok kecil itu mengejarnya, Pyro berlari seperti melihat hantu, barangkali teringat masa-masa di atas arena saat Erion mencekiknya dalam wujud bocah api.

Sir Ted dan aku buru-buru menyeret Pascal yang tak sadarkan diri menepi. Op menggiring bocah-bocah Calor menjauhi istal. Dari tempatnya terikat, Cliquoz berteriak ke arah Pyro, "Hei, idiot! Dia cuma anak kecil!"

Mendengar hinaan itu, Pyro mengganti arah dan berputar menuju Cliquoz, menyerang si Teleporter dengan marah. Namun, perempuan Teleporter itu rupanya pintar. Dia berbalik dan mengencangkan tali kekangnya di saat-saat terakhir. Sambaran api Pyro sampai sebelum Pyro sendiri, melalap tali dan membebaskan Cliquoz seketika. Karena Arka yang terlilit di rambut Cliquoz, api yang menyelubungi Pyro pun padam. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Cliquoz menyambar belati yang ditinggalkan Neil, memotong rambutnya, dan melemparkan Arka jauh-jauh.

Pyro kembali terbakar, dan Cliquoz menghilang.

"Erion!" Aku berteriak, lalu menambahkan ke dalam benaknya, Ada laki-laki pakai karung goni di kepalanya

Bahkan sebelum aku selesai, Erion paham apa yang harus dilakukannya. Tangannya yang berapi menyambar tali kekang Santoso (aku tidak tahu nama aslinya), membebaskan lelaki berkarung goni itu yang terbirit-birit lari ke arah pintu keluar istal.

Erion menukik bak meteor mini, menerjang ke arah Pyro yang lengah.

"Erion, redam dia!" Aku berteriak seraya menghampiri mereka. Begitu Erion mengaktifkan Peredam, memadamkan api di tubuh Pyro dan tubuhnya sendiri, aku mementung kepala si Calor dengan salah satu kendi keramik yang tadi diludahi oleh Neil. Kendi itu pecah di kepalanya, membuat Pyro terpelongo untuk sesaat. Matanya hampir berputar ke atas.

Kumanfaatkan ini untuk mengambil sisa tali kekang yang belum terbakar, mengikat Pyro kuat-kuat.

"Mana Calor iblis tadi?" Dari pintu istal, Giok masuk membawa Arka baru di tangannya. Melihat kami, dia berlari menghampiri dan membantuku mengencangkan ikatan di tubuh Pyro.

"Apa yang terjadi?!" tanyaku.

"Dua di antara sebelas Teleporter di Kompleks 18 tadi pengkhianat." Giok menendang wajah Pyro saat si Calor mencoba membuka matanya. "Mereka menyembunyikan Calor ini dan menghubungi Komandan, memberi tahu lokasi kita sekarang. Saat ini para cewek Fervent dan Yohannes sedang membereskan keduanya di sana."

"Ayahmu?"

"Aman." Giok menyeka sisa jelaga di wajahnya. "Teleporter yang membawanya pihak kita."

Di bawah pantat Erion yang masih menduduki badannya, Pyro terkekeh-kekeh. Wajahnya lebam dan hidungnya berdarah, tetapi Pyro berkata dengan girang, "Mampus kalian."

"Bisa kau mengawasi orang tolol ini?" Aku bertanya pada Erion, yang dibalasnya dengan gestur hormat bendera. "Dan sekalian jaga Giok."

"Hei!" Giok memprotes.

Aku berlari menghampiri Pascal, mengguncang dan membangunkannya. Kulepaskan ikatan Arka dari lengannya, kutepuk-tepuk pipinya, tetapi pemuda itu hanya melenguh singkat tanpa membuka mata.

Aku berbalik ke arah Sir Ted, yang tengah berusaha memadamkan api sebelum bangunan istal hangus. Tangannya melakukan gerakan menyeka di udara, dan kobaran api pun lenyap jadi asap. Saat dia berbalik, aku bisa melihat darah meleleh dari mulutnya sampai dagu, menetes-netes ke bajunya.

Aku menangkapnya ketika pria itu limbung ke depan.

"Ayo, keluar," pintanya linglung. Dia seolah tak menyadari darah yang membanjiri wajahnya. "Aku ... tadinya menyembunyikan posisi kita. Tapi, karena yang barusan, bisa saja—Komandan ... dia bakal—menemukan—"

Sir Ted masih mencerocos dengan pandangan tak fokus ketika aku memapahnya keluar. "Truck!" Aku memanggil saat melihat lelaki itu di sisi pagar istal. Dia tadinya mendongak melihat sesuatu di atas atap, lalu menghampiriku. "Tolong Sir Ted. Tunggu, Alatas mana?"

"Alatas di atas sana." Satu tangan Truck menangkup dada Sir Ted, tangan lainnya menunjuk ke atap istal. "Ada dua pesawat Specter yang mencoba menabrakkan diri ke pemukiman di balik bukit. Alatas masih berusaha membelokkan mereka kemari, tetapi pesawat itu terus kembali ke sana."

"Awak pesawatku—" Sir Ted bicara patah-patah. "Barangkali, ada Brainware yang mengendalikan mereka. Dua Specter itu seharusnya menjemput kita di sini."

"Op!" Truck berteriak. "Masuk ke salah satu Specter itu dan lihat keadaan di dalamnya!"

Sir Ted mencengkram tangan Truck. "Tidak, kecepatan pesawat itu—"

Namun, Op sudah menghilang dan berteleportasi, membuat anak-anak Calor yang tadi mengerubunginya bersorak. Di atas langit, tepat di belakang pesawat Specter, Op muncul. Teleportasinya masih kurang cepat dibandingkan kecepatan pesawatnya. Si Teleporter nyaris jatuh dari langit, tetapi (barangkali dia memang Teleporter terhebat abad ini) Op menghilang secepat kedipan mata pula dan jatuh ke setumpuk jerami di dekatku.

"Aku hampir mati!" Op memekik, tetapi saat sekerumunan bocah Calor berlari menghampiri kami, Op buru-buru berdiri dan berkacak pinggang. "Barusan itu, Anak-anak, adalah atraksi muncul dan hilang di langit!"

Anak-anak Calor bersorak.

"Kita harus pergi ke sana." Sir Ted menunjuk lemah ke balik lembah. "Ada alun-alun ... para Calor kutempatkan di sana. Embre dan yang lainnya—"

"Ma-mari kita menjauh dari tempat yang tidak asyik ini!" Op berseru pada anak-anak Calor. Matanya menatap salah satu Specter yang nyaris membunuhnya, masih melayang-layang tak tentu arah. "Ayo, lomba lari ke sana!"

Mereka berlarian ke arah yang ditunjuk oleh Sir Ted sembari menjerit-jerit gembira. Op membuntut di belakang. Aku tidak percaya mengatakannya, tetapi aku bersyukur ada Op di sini.

"Alatas goblok!" Truck berteriak mendadak. Matanya melihat ke langit, di mana pesawat Specter terbang rendah dan hampir memotong pohon di jalannya. Tanganku merintangi angin kencang dari wajah, mataku memicing. Lalu, kulihat seseorang bergelantungan di bawah pintu landasannya. "Alatas, kau bodoh! Orang gila! CEPAT TURUN DARI SANA!"

Namun, Alatas justru membuka paksa pintu landasan dan merangkak masuk lewat celah yang dibuatnya.

Sekujur tubuhku gemetaran. Dengan panik, aku berusaha menggapai ke dalam kepala Alatas, memanggilnya berkali-kali.

Selama beberapa detik yang mengerikan, Alatas tidak memberi respons. Hingga akhirnya aku berhasil mendengar suaranya memekik, TOLONG! LEILA, PAK TIMOTHY, SIAPA SAJA DI ANTARA KALIAN YANG MENDENGAR ISI OTAKKU—TOLONG—

"Alatas, kau orang paling tidak berotak yang pernah kukenal!" Aku memekikkan itu keras-keras. Di sisiku, Sir Ted menekan sebelah telinganya. "Ya, ya, aku mendengarmu, Nak. Apa yang kau lihat di dalam?"

Orang-orang yang mengendalikan pesawat ini tidak sadarkan diri. Hening sejenak, tampaknya pikiran Alatas menjadi kosong. Lalu, suara di benaknya kedengaran gentar. Me-mereka mati.

"Apa mesin pesawatnya menyala?" Sir Ted bertanya lagi.

Iya. Nyala. Eh, apa itu autopilot?

Sir Ted mulai mengarahkan Alatas untuk mematikan mode autopilot pesawat, memberitahunya cara mengendalikan pesawat, menyuruh Alatas mengarahkannya ke tanah kosong. Aku bisa merasakan kegelisahan Alatas dan kepanikan dalam kepalanya—nyaris separuh dari ucapan Sir Ted tak masuk ke dalam otaknya hingga Sir Ted harus mengulangi panduannya dua kali.

"Tidak apa-apa jika kau tidak bisa mendaratkannya. Sesaat sebelum pesawat menabrak, pastikan kau melompat turun." Sir Ted bangkit dari posisinya. Pendarahannya sudah berhenti. "Aku akan berteleportasi ke sana dan menjemputmu setelah kau melompat. Oke? Jangan panik."

Sir Ted berdiri.

Lalu, seseorang menembaknya dari samping.

Segalanya seolah melambat di sekitarku. Sir Ted menggelepar, memegangi dada kanannya yang basah oleh darah. Truck memeganginya, merobek baju Sir Ted dan memeriksa lukanya. Aku menoleh ke kiriku, di mana seorang pria berseragam Pemburu berdiri di luar pagar istal sambil menyandang senjata api laras panjang yang masih berasap. Lalu, dua Pemburu lagi muncul dari kedua sisi, mengepung kami.

"Target sudah ditemukan." Salah satunya berbicara pada earpiece di telinganya. "Mohon kirimkan bantuan."

"Truck, bawa Sir Ted ke dalam istal," kataku. Lalu, aku mengangkat kedua tangan sejajar kepala. "Tunggu—jangan tembak!"

Aku mengulur waktu, menancapkan pengaruh Brainware kepada ketiga Pemburu sekaligus, cukup lama hingga Truck masuk membawa Sir Ted ke dalam. Namun, segera saja pikiranku dipenuhi oleh Alatas di dalam Specter dan para bocah Calor di balik lembah, membuat pengaruh Brainware-ku lenyap. Para Pemburu kembali menyiagakan senjata dan, kali ini, mereka tidak ragu membidikku.

Aku membuka mulut dengan putus asa, kehabisan kata-kata, tetapi masih mencoba. Namun, sebelum aku sempat bersuara, semburan api melalap ke sekeliling pagar, membunuh para Pemburu seketika.

Aku menjatuhkan diri dan tiarap karena gelombang panasnya. Di sisiku, Pascal berdiri dengan api yang malah lebih terang dan panas daripada Pyro, tetapi aku yakin benar ini dia.

"Pascal ..." panggilku.

Api di tubuh Pascal mengecil, lalu padam seolah tersedot masuk ke tiap serat benang di seragam Calornya. Mulutnya mengembuskan napas berupa asap hitam pekat. Ketika dia menoleh, kudapati air mata mengaliri pipi Pascal.

"Aku ..." ujarnya lirih, "melihat ayahmu ... membunuh keluargaku."

"Pascal." Aku meraih ke jaketnya, tetapi pemuda itu berkelit.

"Aku sudah tidak tahu lagi apa yang benar." Kedua tangannya mengepal. Kakinya melangkah maju. Tanah berasap di bawah pijakannya. Membelakangiku, Pascal berlari ke arah lembah di mana para bocah Calor dan Op berada. "Pasti ada yang salah dengan kepalaku! Ayahmu tidak mungkin membunuh mereka! Dia menyelamatkanku!"

Aku bangkit dan mengejarnya. Tanganku terulur, mencoba meraih kobaran api yang kian lama kian terang. Namun, kedua kaki Pascal lantas menyatu menjadi satu pijar terang, melontarkannya ke udara serupa roket manusia, meninggalkan jejak rumput yang menghitam di bawahnya.

Di balik lembah, para bocah Calor menjerit. Mereka terpencar ke sana kemari. Beberapanya menunjuk Pascal, yang lainnya menunjuk ke langit, di mana salah satu Specter yang masih berada dalam autopilot melaju turun, mencoba mendarat di atas kepala mereka.

Pascal, panggilku untuk yang terakhir kali ke dalam kepalanya. Maaf.

Aku membuat keputusan; seperti halnya Pascal yang juga telah membuat keputusan untuk menyerbu ke arah badan pesawat Specter layaknya komet. Aku berbelok, berhenti mengejar Pascal, dan berlari ke arah anak-anak Calor. Aku menyambar tangan-tangan terdekat, meneriakkan perintah pada mereka untuk lari mengikutiku.

Hanya selusin yang menurut.

Sekitar delapan anak masih terpaku di sana, memandangi ledakan di langit saat Pascal menabrakkan badannya ke Specter. Mereka bahkan mangabaikan Op yang berteriak menyuruh mereka lari.

"Lari sana!" Aku berteriak pada kedua belas anak yang mengikutiku untuk terus belari ke arah alun-alun. Meski ragu pada awalnya, mereka akhirnya terus berlari. "Jangan berhenti! Panggil Embre!"

Segera setelah kedua belas anak Calor itu menuruni bukit, aku berlari kembali ke arah delapan anak yang tersisa. Di atas mereka, Specter terbelah dua, dan Pascal lenyap sama sekali, hanya menyisakan kobaran api serta sisa-sisa badan pesawat. Salah satu pecahan badan pesawat memelanting entah ke mana, tetapi patahan yang terbesar melaju tepat ke lembah.

Suaraku sudah habis dan air mataku mengalir deras. Kuraup tubuh anak-anak itu sebanyak mungkin. Salah satunya menangisi Pascal, yang lainnya memanggil ibu mereka.

"Anak-anak, lihat ini!" Op berteriak menyaingi deru angin panas dan suara bergemeretak mengerikan dari langit saat bagian badan pesawat yang terbakar meluncur ke arah kami. "Kalian mau lihat sulap paling hebat?!"

Aku mendongak, mendapati Op telah berdiri di atas bukit. Dari jarak ini pun, aku bisa melihat tungkainya yang ketar-ketir dan tangannya yang gemetaran terulur ke atas. Di siram cahaya api dari ledakan di atas kami, kulihat Op menyengir lebar meski bola matanya bergetar ketakutan.

"Lihat ini—" Suaranya tercekat ketika si Teleporter melompat, lenyap di udara, lantas muncul kembali tepat di jalur yang akan dilalui oleh patahan badan pesawat. Andai aku berkedip, aku takkan menyadari gerakannya. Kenyataannya, aku tidak mampu berkedip sama sekali saat, di tengah udara, Op mengulurkan tangannya dan menyentuh patahan pesawat yang terbakar.

Op mungkin melepuh di atas sana, tetapi aku takkan pernah mengetahuinya karena sedetik kemudian dia berteleportasi dan menghilang sambil membawa serta patahan badan Specter yang seharusnya membunuh kami di bawah sini.

Lalu, di ujung lembah lainnya di sana, jauh dari bangunan istal maupun alun-alun, sesuatu meledak. Kobaran apinya membumbung tinggi.

Nah, Leila. Kudengar suara Raios di dalam kepalaku. Lihat betapa kecilnya dirimu. Bahkan dengan kekuatan yang kau punya, masih gagal menyelamatkan beberapa orang saja. Jadi, bagaimana? Aku masih menunggu jawabanmu untuk tawaranku waktu itu.

Dari balik bukit, kudengar suara Embre memanggilku. Aku menoleh dan melihat si pria Calor bersama kawanannya dan segerombolan anak yang tadi kusuruh berlari ke alun-alun. Embre menghampiriku, menanyakan keadaanku, mengatakan bahwa alun-alun tempatnya bersembunyi pun telah dikepung Kesatuan Pemburu. Namun, aku tidak bisa menjawab sama sekali. Mataku masih terpancang ke langit, di mana Pascal dan Op raib dalam sekejap.

Suara Raios menyentakkanku: Leila, kau melupakan seseorang?

"Alatas ...." Aku tersadar. Mengabaikan Embre dan para Calor lainnya, aku berlari kembali ke arah bangunan istal.

Mataku memindai istal. Benakku meraih Alatas dengan putus asa.

Lalu, kudengar suaranya, Leila ....

"Alatas!" Aku menjerit keras-keras. Tidak seharusnya aku tertawa di saat seperti ini, tetapi sepertinya akalku memang sudah putus. Bahkan dengan air mata yang masih mengucur deras, aku terbahak dengan lega. Kau masih hidup!

Leila, ujar Alatas lagi. Pesawatnya masih dalam mode autopilot.

Aku berlari melewati bangunan istal. Di dalam, hanya ada Sir Ted yang terbaring menyamping, tampak sekarat, dan Truck yang masih membebat lukanya dengan bajunya. Darah menggenang di lantai istal. Tidak ada Erion, Pyro, atau Giok di mana pun.

Alatas, di mana kau? Lalu, aku melihat pesawat bodoh itu—ikan pari tolol menyusahkan—berputar-putar di langit tepat di atas pemukiman. Kau ... tepat di atas rumah-rumah penduduk.

Iya. Alatas menyahut. Aku mulai merasakan keadaannya seolah akulah yang berada di sana. Badannya berkeringat dingin, tangannya mencengkram lantai, dan tubuhnya mulai kelelahan. Mataku berkedut hebat seperti akan meloncat keluar dari rongganya. Lalu, kudengar Alatas berkata, Pesawatnya tidak bisa kukemudikan lagi. Steeler-ku saat ini hanya mempertahankannya agar tidak jatuh dan tetap naik.

Be-bertahanlah sebentar lagi.

Pesawat ini berat sekali. Suara Alatas melirih di benakku. Jantungnya—ataukah ini jantungku sendiri?—berdegup kencang sampai ke telinga dan kepala, lalu ke ubun-ubun. Leila, aku tidak bisa

"Kau bisa!" Aku menjerit sekeras-kerasnnya. Tanpa peduli apa-apa lagi, aku berlari tepat ke pemukiman dan para Pemburu yang berkeliaran.

Rupanya, para penduduk pun telah menyadari Specter yang melayang di atas kepala mereka. Jendela-jendela terbuka, beberapa kepala menyembul keluar untuk melihat, yang lainnya malah sudah berdiri di jalan, tampak tak yakin akan apa yang mereka lihat. Beberapa petugas berseragam NC mendongak dan menatap dengan ngeri, salah satunya berkata, "I-itu bagian dari patroli kita, bukan?"

Aku menarik napas. Kupejamkan mataku erat-erat. Melangkah ke tengah-tengah pemukiman itu, meski seseorang bisa saja menembakku di tempat, aku mencurahkan Brainware sekuat mungkin dan berteriak sekeras-kerasnya, "Kalian semua—pergi dari sini! KELUAR! KELUAR DARI RUMAH KALIAN! PESAWAT ITU AKAN JATUH! PERGI DAN TINGGALKAN TEMPAT INI!"

Seolah-olah mereka adalah robot dan aku telah menekan tombol menyala di benak mereka, orang-orang di dalam rumah berduyun-duyun keluar—beberapa orang dewasa menggendong bayi, para remaja menggandeng adik-adik mereka, dan para prajurit NC menggedor tiap rumah yang belum merespons sebelum kemudian menggiring mereka pergi.

"KE BUKIT ITU!" Aku mengarahkan sambil terus belari dan menepuk bahu orang-orang secara acak. Aku bahkan mendorong orang-orang berseragam NC untuk bergerak. "CEPAT! CEPAT!"

Tenggorokanku seperti akan robek dari dalam dan telingaku sakit karena mendengar suaraku sendiri. Kepalaku berdenyut hebat dan kurasakan urat-urat bertonjolan saat aku menyentuh dahiku.

Alatas, panggilku. Bertahanlah.

Namun, Alatas tidak mampu menjawab lagi. Aku bisa merasakan sedikit demi sedikit kesadarannya menguap.

Badan pesawat mulai miring. Terdengar jeritan di sekitarku saat orang-orang mulai menyadari Specter itu sudah sangat dekat untuk menimpa kepala mereka. Namun, mereka masih berlarian. Dan masih ada banyak sekali rumah yang belum dicapai oleh Brainware-ku mau pun petugas patroli. Tak peduli sekeras apa pun kami mencoba, tidak akan sempat ....

Alatas ... panggilku lembut. Kurasakan bahu-bahu menabrakku yang berdiri di sisi jalan. Bisa kau temukan suatu ruang dari baja? Entah itu kotak, peti, atau apa saja. Sesuatu yang menurutmu akan tetap utuh meski menabrak tanah. Masuklah ke dalamnya. Kau mungkin selamat.

Kali ini, Alatas berhasil menjawab meski dengan suara yang teramat kecil, Lalu?

Jatuhkan pesawatnya, kataku membujuk. Aku sudah selesai mengevakuasi penduduk. Perumahan ini sudah kosong.

Hening untuk sesaat di dalam kepalaku meski di sekitarku begitu semarak pekikan orang-orang yang mencoba menyelamatkan diri.

Kemudian, suara Alatas terdengar: Leila, kau berbohong, ya?

Tidak, ujarku lembut, berusaha meyakinkannya. Aku tidak bohong. Tempat ini sudah kosong sama sekali.

Bahu-bahu bersenggolan lagi.

Jatuhkan pesawatnya, Alatas.

Senyap.

Leila. Kurasakan napas Alatas menderu seolah dia bernapas di samping telingaku. Saat di bangunan kantor di Kompleks 18, aku sebenarnya menguping pembicaraanmu dengan Giok. Aku sebenarnya cemburu sekali kalau kau berdua saja dengan laki-laki lain, bahkan dengan Truck sekali pun.

Alatas, sekarang bukan saatnya—

Betulkah apa yang Giok katakan waktu itu? Bahwa yang ada di atas ini bukan kubah langit malam, tapi sebuah lubang? tanyanya. Betulkah Artificial Night ini serupa portal? Pesawat-pesawat Specter sungguhan pernah menghilang karena terbang terlalu tinggi?

Aku menjilat bibirku yang pecah-pecah. Tidak ada yang bisa keluar dari sana kecuali Teleporter, Alatas.

Tapi, artinya aku bisa masuk. Setelah dia mengatakan itu, badan Specter terangkat perlahan. Leila, setelah ini kau betul-betul harus pulang ke ibumu.

"Alatas ...." Aku mulai menangis. Kurasakan ruangan di sekitarku membuka karena kini orang-orang memandangiku. "Alatas jangan bercanda. Turun ke sini, kumohon."

Namun, pesawat itu tepat naik lebih tinggi.

"Kalau kau punya tenaga untuk membuatnya naik, kau seharusnya menjatuhkannya ...." Aku memohon. "Alatas, aku tidak peduli pada orang-orang ini. Kumohon turun ke sini ...."

Tidak bisa, Sayangku— Suaranya tercekat. Badan pesawat berhenti di tengah-tengah, tetapi perlahan-lahan naik kembali. Bagian depan dan belakangnya berguncang hebat akibat dua gaya yang menariknya ke arah berlawanan—Alatas menariknya ke atas, sedangkan baling-baling yang mengarah ke atas serta gravitasi menariknya bawah.

"Alatas ...." Aku melangkah maju dan mengulurkan tangan seolah pesawat itu serta Alatas di dalamnya hanya seraihan tangan. Untuk terakhir kali, aku mencurahkan Brainware. "Kumohon untuk sekali ini saja, berhenti memikirkan orang-orang ini. Pikirkan dirimu sendiri. Kau tidak mau mati."

Aku tidak mau

Suaranya tercekat lagi.

Leila ... jangan mempengaruhiku.

"Kau tidak memberiku pilihan!" pekikku ke langit. "ALATAS, TURUN! KEMBALI PADAKU, SEKARANG!"

Leila, aku ingin kembali padamu. Sungguh. Kurasakan Alatas menarik napas dalam-dalam. Aku tahu dadanya seperti meledak dalam rasa sakit. Aku tahu kepalanya seolah akan lepas. Aku tahu napasnya megap-megap. Namun, Alatas tetap menyentakkan ikan pari baja sialan itu untuk tetap naik. Leila ....

Lalu, dia lenyap. Dari pandanganku. Dari kepalaku.

Specter itu bahkan masih terlihat jelas beberapa detik yang lalu. Lampu-lampunya menyorot ke bawah dan ke depan, baling-balingnya berputar melawan kehendak Alatas. Ia masih ada di sana sedetik yang lalu.

Sekarang sudah tidak ada.

Tanganku masih terulur ke atas. Alih-alih menangis seperti yang harusnya kulakukan untuk berduka, aku justru tergelak keras-keras. Air mataku masih mengucur deras sampai pandanganku mengabur, tetapi aku tertawa histeris.

Nah, Leila. Suara Raios masuk perlahan ke benakku. Sekarang kau tidak punya pilihan. Kau ingin Alatas-mu kembali?

Aku masih tertawa. Lalu, aku mulai menjerit.

Ayahmu, si Calor, Teleporter, dan Alatas—semua yang kau inginkan kembali bisa kembali, Leila. Raios merayu lagi. Datanglah padaku. Bantu aku membawa Meredith keluar dari pengawasan orang-orang T. Ed. Akan kubantu kau mengembalikan semua orang yang kau cintai.

"Semuanya?" ulangku masih sambil terbahak. "Sungguh?"

Sungguh, tapi pertama-tama

Suara Raios lenyap dari kepalaku. Lalu, kudapati Truck di hadapanku, tangannya mencengkram kerah bajuku. Dia berteriak di depan wajahku: "—sadar!"

Di sekitar kami, api telah berkobar. Orang-orang yang tadi berlarian untuk menyelamatkan diri dari pesawat jatuh kini melarikan diri dari api yang membakar pemukiman mereka. Dari atap ke atap, kulihat dua sosok Calor berkejar-kejaran.

"Pyro dan Embre!" Truck berteriak untuk menyaingi suara retih api. "Apa yang terjadi padamu? Mana Alatas?"

Kurasakan sebuah tangan kecil menarik lenganku. Aku menoleh dan melihat Erion mendesak kami berdua untuk menepi. Wajahnya bercelemot jelaga, ujung-ujung bajunya gosong, dan sepatunya rusak.

Aku mendongak lagi ke langit, berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Pascal mati. Op mati. Alatas hilang.

Akan ada yang mati. Suara Seli mengiang di telingaku. Bakal ada yang berkorban. Bakal ada yang hilang juga.

"Kalau yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi. Karena keempatnya berhubungan," ujarku keras-keras, mengulangi tiap katanya.

Truck berjengit. "Apa? Kau ini kenapa?"

"Aku bisa menemukannya," gumamku. "Raios tahu caranya."

Truck menatapku ngeri. "Kau ini—"

Seseorang menempeleng kepala Truck dari belakang. Di antara kericuhan, dibingkai cahaya kobaran api, Truck terjatuh ke arahku dengan kepala berdarah. Di belakangnya, seorang lelaki kerempeng berdiri dengan senjata laras panjang. Matanya menatapku nyalang. Dia tidak lagi memakai karung goni di kepalanya, tetapi aku yakin benar dari pakaian dan postur tubuhnya bahwa dia ini Santoso.

Namun, namanya bukan Santoso.

Saat tadi Op menyengir dan berkata bahwa dia menemukan lelaki ini mencari-cariku ... dan saat dia bilang bahwa Neil yang membawa lelaki ini ke Kompleks 1 ....

Aku mengenalinya.

Meski sebelah matanya rusak dan bola matanya kini hanya terpaku ke satu arah, entah bagaimana dia tetap bisa memancarkan tatapan membunuh ke arahku.

Gara-gara dia, keluargaku tewas, kata lelaki ini dulu sekali. Dia masih mendendam padaku setelah berbulan-bulan, karena memang akulah yang menyebabkan keluarganya terlambat mengungsi hari itu.

Hari di mana segalanya bermula.

Hari di mana aku mengabaikan peringatan Aaron untuk tidak masuk ke Garis Merah. Dan yang berdiri di hadapanku ini adalah sepupunya, Harun, yang membenciku setengah mati.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Fanart Op dari Umi Shiholilah

Maap Umi ._. Op nya malah mangkat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro