39. Crying at the Lake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pak Yanto mengembuskan napas panjang. Berkali-kali, selama setengah jam sejak aku dan yang lain duduk di ruang rapat fakultas. Beberapa dosen mulai datang satu persatu, dan setiap kali seseorang masuk, wajah pria tua itu memucat. Persis seperti Pak Danar di sebelahnya, beliau duduk dan tertunduk lesu dengan pias, darah seolah tak lagi mengalir di tubuhnya.

"Adriana, sehat?"

Aku tersenyum, menyahuti sapaan basa-basi dari dekan yang sepertinya sedang ditunggu oleh pejabat prodi. Terbukti dengan Pak Yanto yang segera duduk tegak, dan Pak Danar yang mendongak.

Pembatas kaca di ruangan pun ditutup tirai. Semua orang mulai bersikap profesional dibandingkan sebelumnya.

"Selama ini, saya kira FISIP adalah satu-satunya fakultas yang bebas KS. Saya sudah bangga, dan berani pamer ke Pak Firman, ya." Dekan kami, Ibu Lia menyambut Pak Firman yang sudah hadir di dalam ruangan. "Saya kaget, sekaligus malu, Pak Firman. Ternyata memang tidak sopan meminjam jubah kebesaran Tuhan, jubah kesombongan."

Pak Firman ialah ketua satgas anti-KS di tingkat kampus. Beliau beserta jajarannya hadir dalam forum kali ini, yang tentunya membahas mengenai kasus-kasus belakangan kemarin.

"Saya juga cukup kaget, Bu Lia. Kami dapet kabar dari Farrel aja, dia ini salah satu staf kami juga," sahut Pak Firman. "Tapi sejujurnya, kasus ini nyaris selesai, ya, Farrel?"

"Betul, Pak," jawab Farrel sopan.

"Nah, sudah dipegang oleh kepolisian. Jadi, kami di sini hanya ingin mengulas kembali terkait kasus yang terjadi, supaya jadi pembelajaran buat ke depannya."

Ucapan Pak Firman didengar dengan khidmat oleh seisi ruangan. Beberapa dosen mengangkat kepala, menyimak pertemuan kali ini dengan semangat. Beberapa lainnya, menunduk lesu. Entah takut, entah kecewa. Sementara, Pak Yanto tidak terlihat tenang sejak tadi. Ia lesu mendapat tatapan tajam penuh arti dari Bu Lia.

Mungkin, ini hanya dugaanku saja, Bu Lia mengetahui hubungan Pak Yanto dengan rektor, ayahnya Algi, atau hubungan Pak Yanto dengan salah satu ayah pelaku, yang memang punya kuasa untuk menyeleweng.

Ah, tidak peduli. Fakta bahwa komplotan cabul brengsek sudah dalam tahap pemeriksaan pun, sudah cukup menenangkanku. Ditambah peran ayahnya Farrel untuk menahan para ayah pelaku agar tidak membela anaknya, juga membuatku mampu mengembuskan napas lega. Kalau semuanya lancar, maka minggu depan, sidang yang pertama sudah bisa dilaksanakan.

Forum kali ini hanya membahas kembali kasus yang terjadi, berapa korbannya, dan bagaimana kondisi korban saat mendapat kekerasan seksual hingga pascatrauma.

Sedikit membuatku pusing, tetapi masih sanggup ditahan. Toh, forum ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua jam. Setelah itu, aku bisa melarikan diri untuk segera pulang ke indekos.

Sudah lama rasanya tidak tidur siang. Bukan, maksudku, lama rasanya tidak tidur nyenyak. Hadir di forum tadi, cukup membuatku mengantuk. Aku bahkan nyaris terlelap jika Musa tidak menginjak kakiku.

***

Senyumku rekah seiring langkahku semakin dekat dengan pagar indekos. Rasanya menggembirakan. Tidak sabar untuk segera merebah di atas kasur, menyalakan musik yang agak mendayu, lalu terlelap.

Aku berhak mendapatkannya, kan? Tidur siang, di hari Jumat, diizinkan alpa dari kelas tanpa dihitung absen, setelah melewati hal-hal berat selama kurang lebih tiga bulan ini.

Dahiku mengerut, meyakinkan diri bahwa pandanganku salah. Beberapa meter di depanku, tepatnya di depan indekos, sebuah mobil berwarna abu-abu terparkir rapi. Di depan bagasinya, seorang pria berkemeja biru tengah santai mengembuskan asap rokok, sambil menengadah memandang langit.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin yang berdiri di sana adalah papaku. Harusnya ia masih sibuk di kantor.

Pada akhirnya, yang kuharap "salah" adalah yang sebenarnya. Papa segera membuang rokoknya begitu melihatku. Entah sejak kapan, ia berdiri di sana.

"Papa kok di sini?"

"Emangnya gak boleh?" jawab Papa sambil menaikkan alisnya.

"Bukan gitu. Maksudnya, kok gak ngabarin dulu." Aku mencium tangannya, lalu berucap, "Masuk, Pa."

Kami melangkah ke dalam, memanfaatkan fasilitas ruang tamu di lantai bawah indekos untuk bicara.

"Anya gimana kabarnya sekarang?"

"Sehat. Anya baik-baik aja." Aku menanggalkan tas di sofa. "Anya ambil minum dulu."

"Gak usah. Papa udah minum tadi." Papa menahanku, lalu mengisyaratkan agar aku duduk di hadapannya. "Anya, ada masalah kenapa gak bilang?"

Papa merautkan kekhawatirannya, namun aku merasa ini adalah hal yang salah. Biasanya, aku jatuh tersungkur pun baik Papa maupun yang lain, tidak peduli.

"Ini tentang nyawa kamu, lho. Papa, Mama, abang-abang kamu berhak tau. Jangan diselesain sendiri, Anya, ini persoalannya udah sampe ke ranah hukum. Artinya harus ada peran wali."

Agak sebal juga melihat Papa begini. Ternyata ... untuk mendapat perhatian, harus berdiri di tepi jurang kematian dulu, ya?

"Anya gak selesain masalah sendiri. Temen-temen aku selalu ada, Pa. Dua empat per tujuh. Anya juga enggak terlalu bodoh buat ngadepin yang kayak gini."

"Tapi ini kaitannya sama hidup kamu, Anya. Gimana kalau beneran celaka? Papa gak kebayang kalau ngizinin kamu kuliah di sini malah bikin Papa kehilangan kamu." Papa mengecilkan suaranya.

"Emang kalau Anya bilang, Papa mau kayak gimana? Tari, Bang Randy, udah cukup buat nyuruh Anya introspeksi kok, Pa. Papa gak perlu repot. Dulu-dulu juga setiap Anya cerita ada masalah, pasti dibalikin ke Anya. Memang gak ada yang salah soal introspeksi, tapi Anya lebih butuh dukungan, Pa. Butuh orang-orang yang bisa bikin calm down, biar Anya bisa berpikir lebih bijak."

Aku pernah disebut anak tak tahu diri. Maka, sengaja kali ini aku melawan Papa, biar keluargaku kembali berpikir ingin menyematkan julukan apa lagi untukku yang cuma memuntahkan isi kepala ini.

"Kamu sekarang pemarah, Anya. Papa gak pernah didik kamu kayak begitu. Waktu kecil, kamu gak gini, loh. Kamu ini salah pergaulan, temen-temen kamu itu pasti bawa pengaruh yang gak bener." Papa terlihat menahan marahnya juga, di matanya masih ada sorot khawatir, aku tahu.

"Seberapa jauh Papa kenal temen-temen Anya? Kenyataannya mereka sayang banget sama Anya, gak pernah lupa sama Anya walaupun punya temen baru," sahutku penuh penekanan. "Papa tau, seberapa sering Papa lupain Anya?"

Papa berdecih. "Kok bisa kamu mikir Papa lupain kamu?" katanya dengan kesal.

"Kok bisa Papa nomorduain Anya sejak ada Tari? Pernah, Papa peduli perasaan Anya setiap kali harus ngalah sama Abang, sama Tari? Papa ngeh gak, sih? Bahkan dua belas tahun ini, Anya gak pernah lagi potong kue setiap ulang tahun. Papa tau, Pa?"

Sepanjang tahun, aku hanya pihak yang memeriahkan, sampai lupa bagaimana rasanya dirayakan, bahkan kata selamat pun tak lagi diucapkan.

Papa hanya diam, menatapku tajam. Rahangnya mengeras, tangan kanannya mengepal meski tersembunyi di balik telapak tangan kiri.

"Tapi, Anya baik-baik aja. Anya gak apa-apa. Dari dulu, sampe sekarang, Anya bisa survive beresin masalah sendiri. Biarpun masih banyak cacat, Papa sama orang rumah gak perlu khawatir," ucapku melembut. Aku tidak ingin memperkeruh keadaan. "Maaf kalau Anya selalu bikin ulah."

Papa masih tak bergeming, meskipun tatapannya sudah tak semurka tadi. Berkali-kali juga ia menghela napas, mungkin lelah menghadapiku.

"Ada lagi yang bikin Anya kecewa sama Papa?"

Giliran aku yang tak bergeming. Mendadak aku menyesali ucapanku yang sudah memancing emosi Papa, aku takut jika kami malah ribut di sini, di indekos yang penghuninya ramai.

"Udah? Itu aja yang bikin Anya kesel sama Papa?"

Aku memalingkan wajah. Bersiap jika harus bertengkar dengan Papa di ruang tamu indekos, dan terdengar oleh banyak orang. Papa berdiri, yang membuatku refleks ikut berdiri. Meski khawatir terjadi keributan, aku tetap menatap Papa dengan tajam. Apalagi ketika ia berjalan mendekat padaku.

"Makasih udah jujur sama yang Anya rasain, ya." Papa memelukku, aku terkejut, tak bisa berbuat apa-apa.

"Maaf kalau kamu selalu terlewatkan. Papa pikir kamu anak yang cuek. Papa gak tau, selama ini kamu mendem semuanya sendiri. Maafin Papa, ya. Papa gak bermaksud menomorduakan Anya."

Benar-benar sama sekali tidak terpikirkan olehku Papa akan berkata begitu. Rasanya sudah lama, bahkan tidak pernah aku bicara sedalam ini dengan Papa, apalagi membicarakan tentang perasaan masing-masing.

Dalam pelukan Papa yang begitu erat, aku terisak. Aku rindu Papa, aku ingin seperti dulu lagi, diperlakukan seperti putri satu-satunya.

Aku sadar aku egois untuk hal itu. Menganggap dunia tak adil, padahal aku yang tak bisa menerima kenyataannya.

"Papa yang salah, Anya."

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro