40. End Game

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo ngikut ke sini, kalau si Anya ngadat gue gak ikutan, ya! Padahal ntar juga gue kabarin, gak akan kabur itu bocah!"

"Ya elah, santai, Za. Botakin gue kalau—"

Perdebatan Zafi dan Farrel terdengar sebelum keduanya muncul. Mereka terkejut melihatku di ruang tamu, bersama Papa. Wajahnya kikuk dan menahan malu.

"Anya marah," tukas Farrel pelan, sedikit berbisik kepada Zafi yang tersenyum canggung.

Mereka melirikku, meminta isyarat tentang apa yang sedang terjadi.

"Zafi, Farrel. Ini ... Papa gue," ucapku, refleks mereka tersenyum ramah dan mencium tangan Papa. "Zafi temen sekelas Anya, Pa. Ngekos di sini juga. Kalau Farrel temen di BEM," imbuhku.

Lagi-lagi, Farrel dan Zafi tersenyum ramah, seraya menyapa Papa.

"Oh begitu. Kalian nyariin Anya?" kata Papa.

"Iya, Om. Tadi abis rapat, Anya tiba-tiba enggak ada. Kita agak panik, sih, takutnya—"

Zafi menyenggol Farrel, menghentikannya bicara. Memang semestinya tak perlu dilanjutkan, kalimatnya malah menggambarkan bahwa aku dalam posisi bahaya.

"Soalnya hape Anya ketinggalan di kita, Om," tambah Zafi dengan meyakinkan.

Aku tahu Zafi menyelamatkan situasiku agar terlihat baik-baik saja. Tetapi, ayolah. Alsannya sedikit di luar nalar, sejak tadi aku menggenggam ponselku, bahkan menaruhnya di atas meja!

"Ini, Nya." Farrel menyodorkanku sebuah ponsel. "Yang itu udah jarang lo pake lagi, kan?"

Meskipun tidak tahu ini ponsel siapa, tetap kuambil. Mengucapkan terima kasih, layaknya korban penjahat yang dibantu pahlawan. "Gue enggak ngeh sama hape yang ini, makasih, lho."

Papa hanya mengamati interaksiku dengan mereka berdua, sungguh, kami semakin canggung.

"Saya pamit dulu, Om. Udah kebelet," kata Zafi sopan, meski agak cengengesan. Ia juga pamit kepadaku dan Farrel dengan lebih santai, lalu melesat pergi ke kamarnya.

"Oh, iya silakan." Papa menyahut sambil tersenyum. "Papa juga pulang dulu, ya, Nya."

"Iya, Pa."

"Jaga diri, ya. Kalau ada apa-apa, kabarin."

Aku mengangguk patuh, kemudian mengantar Papa menuju mobilnya sambil mengobrol ringan. Farrel juga mengekori, usai kuisyaratkan kepadanya.

Baru saja aku membuka pagar, seorang ojek seketika bertanya, "Anya, ya?"

"Iya," jawabku ragu. Mas ojeknya mengambil paper bag dari restoran cepat saji yang menggantung di dasbor, perasaan aku tidak memesan apa-apa.

"Oh!" Farrel berseru, lalu mendekatiku. "Tadi, kan, lo duluan. Jadi gue pesenin itu, soalnya anak-anak tadi abis makan di rumah Bayan."

"Oalah. Thanks, ya."

"BTW, itu ada es krimnya. Kalau lo lagi gak enak badan, kasih Zafi-Winda aja."

"Iyaaa, Farrel." Aku menatapnya agak tajam, kenapa hari ini ia banyak bicara, sih?

Ojek barusan pergi begitu pesanannya dierima, dan aku kembali menghampiri Papa. "Hati-hati, ya, Pa."

"Anya gak lagi sakit, kan?" kata Papa. Pasti ia mendengar ucapan Farrel barusan.

"Enggak, Pa. Cuma lagi ngantuk aja, jadi lemes."

Papa menempelkan tangannya di keningku, wajahnya ragu. Karena malu, kutepis tangannya pelan. "Anya gak apa-apa, Pa."

"Bener, Anya gak sakit?" Papa bertanya kepada Farrel.

"Gak tau juga, sih, Om. Tadi Anya tiba-tiba ngilang sehabis rapat. Biasanya kalau kayak begitu, dia nyembunyiin sesuatu."

"Sok tau!" protesku.

"Lah, emang bener. Dikiranya kita gak merhatiin kali."

Sebetulnya, Farrel benar, sih. Tetapi tidak harus diungkapkan di depan Papa, kan?

"Tadi mah ngantuk. Bener-bener ngantuk," tukasku pada akhirnya. "Anya aman, kok, Pa. Gak usah khawatir. Papa pulang aja, takut macet di jalan nanti malah kemaleman."

Papa membuang napas panjang, masih menatapku penuh ragu.

"Iya, Om. Anya ada saya dan yang lain, kok. Kalau ada sesuatu pasti Om dikabarin," tambah Farrel.

Setidaknya, Farrel memang mudah memahami situasi. Walaupun hari ini entah kenapa begitu cerewet, dan over pede.

"Ya udah, Papa pulang, ya."

Kali ini, Papa benar-benar pergi. Aku memerhatikannya, dari membuka pintu mobil sampai memutar balik, gerakannya acuh tak acuh.

Sedikit kusesali, kenapa Papa baru peduli lagi setelah aku melewati hal mengerikan. Pikiran jahatku terus bertanya, apakah jika kasus ini tidak terjadi, momen ini juga takkan terjadi?

Begitu mobil Papa hilang dari pandangan, napasku berembus lega. Seperti melepas beban yang menindih bahu, ringan, tetapi ada yang hilang.

Mungkin aku masih rindu Papa. Memang seharusnya aku bersyukur, setidaknya Papa tak secuek dulu. Mau berusaha jauh-jauh ke sini, hanya untuk memastikan keadaanku, dan tidak menghakimi.

Juga, yang terpenting, Papa meminta maaf---mengakui kesalahannya. Lantas apa lagi yang kumau? Bukankah, kedua hal tadi adalah sesuatu yang mahal?

"Tapi lo beneran gak sakit, kan, Nya?" Suara Farrel membungkam riuh di kepalaku.

"Enggak, astaga. Gue ngantuk banget barusan, gue males ngapa-ngapain, cuma pengen tidur."

"Oh, syukur, deh," katanya. "Lo gak dimarahin lagi, kan?"

Hatiku mencelos, kembali teringat momen sentimen tadi dengan Papa. "Enggak."

"Oh, oke." Farrel terlihat canggung. "Sekarang lo mau gimana?"

"Gimana apanya?"

"Bisa dibilang kasus ini, kan, udah selesai. Jadwal sidang pertama udah ada, Papi gue udah ngomong juga ke bokapnya Daniel bakal mutusin kontrak kalau pihak mereka gak taat hukum. Gue juga ngomong ke bokapnya Algi, bakal spill duit korup dia. Nah, gue harus gimana supaya lo hidup nyaman?"

"Bentar. Lo ngancem pejabat sama rektor?"

"Ya ... mau gimana? Papi tau aib mereka, Papi juga sering cerita ke gue. Bukti yang kita punya emang lebih dari cukup. Cuma, kita perlu senjata terampuh, kan?"

Brengsek. Aku tertawa dalam hati. Miris, hukum yang ada sekarang malah jadi ajang pertarungan kekuasaan. Tentu, yang lebih berkuasa pemenangnya.

Boleh dibilang aku beruntung karena ada Farrel. Seperti sinetron, ia anak orang kaya yang bisa ke Amerika seminggu sekali. Tetapi memilih hidup seperti "Si Bolang" karena takut diperas hartanya saat bergaul.

"Kok malah senyum, sih? Eh, tapi, kayaknya gue udah lama gak liat lo senyum, deh."

Aku menatap Farrel sinis. "Gak penting."

"Ya udah kalau menurut lo gak penting. Tapi, serius. Sekarang maunya gimana?"

"Lo kenapa malah nanyain gue mau apa, sih?"

"Ya, sebagai orang yang naksir lo, gue gak mau jadi beban buat lo, lah."

Ah, iya. Aku melupakan hal tersebut, fakta bahwa ia selalu berkata masih menyukaiku. Percaya tidak percaya, sih, sebab ia pembohong ulung.

Ya, biar begitu, pengorbanannya untuk membantuku di kasus ini memang tidak bohong.

"Gue gak mau apa-apa," sahutku hati-hati. "Udahlah, Rel, move on aja. Gak usah naksir segala macem."

"Oh, kalau itu, urusan gue, Nya. Kalau lo gak suka gue, ya ... gak masalah. At least buat sekarang, hehe." Ia tersipu, dan menunduk sebentar. "Gue janji, bakal berusaha supaya lo gak keganggu."

Aku menatapnya sangsi. Sejujurnya, dialah orang yang paling mampu memahamiku yang pernah kutemui. Di lain sisi, dia juga orang yang paling tidak ingin kutemui.

"Nya, jatuh cinta itu beda sama menjalin hubungan yang harus dua arah. Jatuh cinta mah perasaan terindah. Perasaan yang bakal bikin lo senyum terus, sekalipun sambil nyuci seratus piring plastik bekas nasi padang. Mau cintanya terbalas atau enggak, itu urusan belakang." Ia diam seiring tangannya bergerak, menuju kepalaku, lalu urung, lalu menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Intinya, lo gak bisa larang gue mau naksir lo atau enggak. Lo cuma punya hak buat mengutarakan apa yang lo rasain aja, Anya."

Ia memang pandai berkata, pandai menyampaikan isi hatinya, pandai meyakinkan orang lain bahwa dirinya benar-benar tulus.

Sekarang, aku merasa jahat, karena pernah mengabaikannya di beberapa kesempatan. Padahal, yang terjadi dulu, sudah berlalu. Terlebih saat itu, baik Farrel maupun aku, sama-sama naif, tidak mengerti banyak tentang menjalani suatu hubungan.

Sama-sama belum mengerti, bahwa menjalin hubungan berbeda dengan jatuh cinta, yang hanya tentang perasaan bahagia.

"Gue ngantuk banget, Rel," ucapku, tidak nyambung.

"Ya udah, tidur. Istirahat. Lo deserve tidur nyenyak seharian, kok. Nanti gue kabarin Bayan sama Musa, kalau lo cuma ngantuk doang."

Aku bergumam. "Thanks a lot."

"Iyaaa, udah sana."

Baru saja aku berbalik badan, Winda dan Zafi berdiri di ambang pintu pagar seperti bersiap pergi. Tangannya dilipat di dada, menatapku tak suka.

"Goblok, lo," kata Winda. "Orang udah romantis, malah ngantuk. Lo kalau benci, maki-maki depan mukanya. Kalau suka, bilang sekarang biar puas hati lo."

Zafi ikut mengeluh, ia berdecak protes. "Padahal ini kesempatan emas buat lo mengakui semuanya, Nya."

"Tau. Lo mau berakhir sebelum dimulai kayak si Japi?"

"Jadi gue, sih, Win? Nyet?"

"Lho, bener, kan?"

Selanjutnya, mereka berdua berdebat kecil, dan aku menyelinap masuk ke dalam indekos.

🌻🌻🌻

Hei, makasih udah baca sampe sini ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro