Re; 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena Awal Adalah Akhir

Washington D.C, 03 July 2055
12:00 a.m

"Light, tunggu!" panggil Rima dari balik kerumunan para siswa.

"Ada apa, Rim?" tanyaku saat dia tiba di hadapanku.

"Maaf soal tadi," ucapnya sambil menundukan setengah badannya kepadaku. "Aku bukannya tidak mempercayaimu, tapi--"

"Sudah cukup! Ayo pulang," celaku sembari menarik tangannya. "Aku sudah memaafkanmu," lanjutku menariknya menuju pintu keluar sekolah.

"Light."

"Ya," jawabku singkat.

"Tentang surat itu, boleh aku liat kembali, Light?" tanya Rima dengan wajah malu-malu.

"Boleh," jawabku sembari menggambil savonette-ku.

"Aku sedikit curiga dengan--"

Booooom!

Sebuah ledakan tiba-tiba saja berbunyi, membuat orang-orang yang berada disekitar kami lari tunggang langgang, mencari tempat aman sambil berteriak ke sana-ke mari.

"Teroris!" teriak seorang perempuan berambut ikal dengan setelan celana dan baju yang berwarna hitam, serta sebuah armband berwarna merah yang terikat di lengan kirinya, sembari berlari dan memegang sepatu haknya.

"Ayo kita lihat, Rim!" pintaku sembari memasukan jam sakuku lalu menarik Rima ke arah tempat orang-orang berlari.

"Ta--tapi, itu berbahaya, Light," bantahnya sembari tetap mengikutiku.

Re; Earth

"Tolong menjauh dari garis polisi, Nak!" tegas seorang petugas polisi kepada kami.

"Sudah kubilang bukan, pasti tidak boleh!" ucap Rima dengan wajah kesal.

"Sial! Padahal aku ingin memastikan apakah itu mereka!" ungkapku sembari membalikan badanku dari tempat TKP, yang ternyata adalah sebuah gedung pusat perbelanjaan.

"Mereka? Mereka siapa, Light?" tanya Rima sambil melihatku dengan curiga. "Kamu bukan Teroriskan?!" lanjutnya dengan wajah menduga.

"Omong kosong! Mana mungkin aku bergabung dengan kriminal seperti mereka!" bantahku dengan nada tegas.

"Kalau begitu, siapa mereka yang kau maksud?" tanyanya kembali dengan mata melotot.

"Sudah. Nanti saja aku jelaskan di rumah, di sini tidak aman," jelasku sembari mengamati sekitar TKP, yang sudah dipenuhi polisi dan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi.

Re; Earth

Washington D.C, 03 July 2055
12:30 p.m

"Jadi siapa mereka?" tanya Rima yang tengah duduk di sebuah sofa berwarna merah, dengan kaki yang dia letakan di atas meja kaca transparan yang berada di hadapannya.

"Sopan sekali anda!" ucapku sambari meletakan dua cangkir kopi di atas meja. "Aku tidak tahu pasti siapa mereka, tetapi aku menduka mereka adalah The Vers!" lanjutku sembari menenggak kopiku.

"The Vers? Aku baru dengar, apa mereka sangat terkenal di tv?" tanyanya sembari menenggak kopi.

"Tidak! Tv tidak pernah menayangkan berita tentang mereka!" jelasku sembari menyentuh meja transparan, lalu muncullah layar hologram yang dapat dilihat dari kedua sisi. "Lihatlah, diberbagai channel tv nasional bahkan channel tv lokal tidak ada yang menayangkan berita pengeboman tadi. Meski radius ledakan kecil, mestinya berita ini muncul dichannel tv lokal," jelasku sembari memperlihatkan channel-channel tv.

"Wajarlah aku tidak tahu," ucapnya sambil menenggak kembali kopi miliknya sampai habis.

"Tetapi mereka sangat terkenal di forum internet, lihatlah!" jelasku sembari membuka situs internet yang dipenuhi dengan simbul okultis yang aneh, beberapa mayat hasil bom bunuh diri, dan foto sekelompok orang bertopeng dengan berpakain serba hitam yang terikat sebuah armband berwana merah di lengan kiri mereka.

"Sepertinya aku pernah melihat ini!" celetuk Rima sembari menunjuk sebuah foto orang-orang berpakain hitam.

"Di mana?!" tanyaku dengan penasaran.

"Tadi, bukannya kau melihatnya juga, Light!" jelasnya sembari berdiri dari sofa.

"Hah! Tadi? Di mananya?" tanyaku dengan wajah yang begitu penasaran.

"Apa kau ingat wanita berambut ikal yang tadi berteriak teroris?" tanya Rima padaku sembari membuat kopi kembali.

Aku berdi lalu berjalan ke arahnya yang sedang berada di dapur yang terletak di samping kiri ruang tamu, "Oiya, wanita berambut ikal tadi menggunakan armband yang sama. Ya Tuhan, bagaimana aku tidak menyadarinya!" ucapku dengan nada penuh kekesalan.

"Sudah tidak usah khawatir, lagian mereka tidak ada kaitannya dengan surat milik ayahmu," ucap Rima sembari mengaduk kopi buatannya.

"Kaitan, mungkin saja tidak," jawabku.

"Oke, mari kita bahas apa maksud surat yang ditulis ayahmu," ucap Rima sembari melihat sesuatu.

"Ya, seharusnya aku memberi tahumu tentang surat ini sejak dulu," ungkapku dengan tersenyum kecil.

"Itulah kebodohanmu, Light! Selalu telat berbagi informasi!" tutur Rima sembari duduk kembali di atas sofa.

Teruntuk kalian di masa depan.

Kuharap surat ini sudah dibaca sebelum tanggal 04 Juli 2055, sebab jika surat ini dibaca setelah tanggal itu bahkan lebih, maka perjanjian itu telah terpenuhi. Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal, sebab situasi saat ini tidak memungkinkan diriku untuk menjelaskannya, tapi intinya akan kujelaskan kepada kalian sejelas yang aku bisa.

Era baru akan dimulai! Bencana itu akan datang diiringi dengan siang dan malam. Gerbang akan terbuka, mereka akan tiba. Cahaya akan abadi, gelap tidak akan mati. Semuanya sama, mereka akan tiba, seperti perjanjian Musa pada Tuhannya. Jika kalian ingin selamat, larilah dan larilah menuju siang dan malam, maka kalian akan bertemu sang Tuhan.

"Lihat bagian ini, apa kau tidak merasa curiga, Light?" ucap Rima sembari menenjuk sebuah kalimat. "Bagaimana Ayahmu bisa tahu apa yang akan terjadi di tanggal ini, padahal pada awal tulisannya ayahmu menulis untuk kalian di masa depan, tetapi dia mengetahui apa yg terjadi di masa depan!" jelasnya.

"Menurutku tidak ada yang aneh, mungkin saja ayahku mengetahui atau mecuri sebuah dokumen rahasia yang akan terjadi di hari esok, sebab pada kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa Ayahku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya," jawabku dengan tegas.

"Hm, masuk akal juga," ucap Rima sambil mengelus dagunyanya. "Light, kau ingat penjelasn yang diberikan oleh Mom Roze, pada jam terakhir tadi?"

"Ingat, tentang RE bukan?!" sahutku sembari memainkan cangkir kopi.

"Ayahmu menjelaskan tentang hal itu pada paragraf kedua," ucap Rima sembari menunjukkannya.

"Ini?" tanyaku.

"Iya, Ayahmu menjelaskannya dengan kata kiasan," jawabnya sembari menenggak kopi. "Contohnya ini, cahaya akan abadi, gelap tidak akan mati. Maksudnya adalah Matahari tidak akan tenggelam dan bulan juga tidak akan pernah tenggelam," jelasnya dengan wajah sangat serius.

"Ooo, jadi itu maksudnya. Kukira cahaya akan abadi itu adalah Tuhan dan gelap tidak akan mati itu adalah Iblis," ungkapku sambil menggaruk-garuk kecil telingaku.

"Hey, kenapa kau tidak mengartikan kalimat ini terlebih dahulu?" tanyaku sembari menunjuk kalimat pertama paragraf kedua.

"Maksudmu ini? Sudah pasti, bencana yang dimaksud di sini adalah RE! Atau lebih tepatnya, RE akan datang diiringi dengan siang dan ma--" jawabnya sambil berhenti sejenak.

"Siang dan apa, Rim?" tanyaku sembari melihat wajah Rima yang tengah berpikir keras.

"Tunggu! ada yang janggal, Light! Jika RE adalah peristiwa berhentinya Bumi, Bulan, dan Seluruh semesta--lalu apa maksud kata ini?! Gerbang akan terbuka, mereka akan tiba! Mereka siapa?" jelas Rima padaku dengan wajah yang membuat bulu kuduk siapa pun merinding disko dibuatnya.

"Hey, Rima, wajahmu membuatku takut saja!" ucapku sambil menutup wajahnya dengan telapak tanganku.

"Aku serius, Light, jika yang ditulis Ayahmu ini benar, dan mereka yang dimaksud ini akan datang esok hari--berarti mereka adalah--" balas Rima sembari melepas telapak tanganku di wajahnya.

"Adalah apa! Hey, Rima, bicara yang lengkapa jangan membuatku takut," buntutku kesal.

"Hantu!" bisiknya di telingaku yang membuatku bulu kudukku berdiri semua.

"Ngacok kamu, Rim!" bantahku sambil melempar wajahnya menjauhi telingaku.

"Hehehe, aku hanya bercanda," tawanya sembari memperlihatkan rentetan gigi putih. "Sudah-sudah aku mau pulang dulu," lanjutnya kembali menghentikan candaan kami, sembari menenggak sisa kopi di cangkirnya.

"Yasudah pulang sana!" usirku sambil mendorongnya dari sofa. "Oiya jangan lupa, persiapkan barang bawaan untuk besok!" pintaku padanya yang tengah memakai sepatu di depan pintu rumahku.

"Siap, Light, cowok sok tampan!" Balasnya sembari menoleh kepadaku dengan wajah tersenyum nakal.

Segera kututup pintu rumahku, sesaat setelah Rima menaiki bus yang berhenti di halte dekat simpang empat rumahku.

Re; Earth

"Ibu, Ayah, semoga kalian tenang di sana," ucapku sembari menuangkan jus jeruk kesukaan mereka, pada dua buah cangkir yang ada di hadapannku.

Kriiiiiiing

Bunyi telpon tua yang tergeletak di sudut ruang tamuku.

"Iya, hallo!" sapaku saat mengangkat gagang telepon dan meletakkannya di telingaku.

"Lama banget ngangkat teleponnya!" bentak suara khas seorang wanita yang ada di dalam telpon.

"Iya ada apa, Rima?" tanyaku.

"Sebenarnya aku tidak percaya apa yang ditulis oleh ayahmu, maaf," ungkapnya dengan suara yang begitu lancar. "Aku percaya RE pasti akan terjadi--tapi tidak untuk besok!" lanjutnya kembali.

Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata apapun. Sebenarnya aku tidak yakin menceritakan hal ini padanya. Sebab aku tahu dia adalah orang paling rasional yang pernah aku temui.

"Jika di tahun 2045, perlamabatan waktu sebanyak 2 jam, yang dimana tui dihitung sejak tahun 2035. Lima tahun sejak keberangkatan para astronout. Maka selama 10 tahun, Bumi melambat sekitar 12 menit dalam satu tahunnya. Dalam sehari semalam terdapat 24 jam, yang dimana jika dikonversikan menjadi 1.440 menit. Dari perhitungan itu kita akan mengetahui bahwa Bumi akan berhenti, pada tahun 2155. Yang berarti itu akan terjadi 100 tahun dari sekarang!" jelas Rima dengan nada suara yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Ya, seperti yang diteorikan, Prof. Funk," lanjutku.

"Ya, Prof. Funk, memang hebat, tapi sayang dia sudah mati!" ucap Rima dengan nada sendu. "Maaf, Light, tadi aku melihat foto keluarga di dapurmu. Setelan hitam dan armband merah milik ayahmu sangat cocok untuknya," lanjutnya di ujung telepon yang membuat mataku terbelalak.

"Sebenarnya aku sudah tahu lama tentang The Vers. Seluruh dunia juga tahu tentang mereka. Namun, negara kita seakan menutup mata tentang mereka. Apa karena mereka--"

"Cukup, Rima!" celaku dengan suara keras sembari membanting gagang telpon.

"Sudah kuduga, mereka tidak akan mempercayaimu, Ayah," ucapku sembari mengeluarkan savonette.

Re; Earth

Washington D.C, 04 July 2055
06:30 a.m.

"Yo, masyarakat Amerika! Hari ini, kita akan merayakan hari kemerdekaan kita!" ucap seorang reporter yang tengah berada di kawasan Gedung Putih. "Lihatlah panggung megah ini. Di sinilah Presiden Blue, tercinta kita akan menyapa kita semua. Jadi jangan lupa, untuk kalian para warga Amerika maupun turis yang tengah berada di Amerika, datanglah kemari kita ramaikan hari kebebasan kita," lanjutnya diiringi goyangan aneh pada pinggulnya.

"Jadi di sana ya, Ayah?!" ucapku sembari mematikan tv transparanku.

"Aku percaya padamu, Ayah, jadi izinkan aku yang akan melanjutkan misi ini," tuturku sembari memaki ransel berwarna coklat lalu pergi menuju pintu.

Re; Earth

Washington D.C, 04 July 2055
White House
07:57 a.m.

Perlahan kuletakan tas ranselku di kursi taman, tepat di samping diriku, yang tengah membuka kaleng soda, yang menjadi minuman favoritku.

"Ini untukmu, Ayah." tanganku mengangkat kaleng soda sebelum aku meminumnya.

"Light," sapa seorang wanita bermata sipit dengan wajah oriental yang khas terbalut dengan rambut hitam panjang. "Boleh aku duduk di sini," lanjutnya sembari membenarkan sweaternya.

"Hanami, kukira kau sudah kembali ke Jepang?" tanyaku sembari menyodorkan kalang soda yang belum aku buka.

"Terima kasih." Hanami mengambil kaleng soda dari tanganku. "Mana bisa aku kembali ke Jepang, sebelum misiku selesai!" jawabnya setelah menenggak soda yang kuberikan.

"Sudah hentikan, Hanami! Kau hanya akan menambah panjang rantai kebencian ini," ucapku padanya sembari melihat kakinya yang terbalut celana hitam panjang.

"Tisak bisa, Light! Mereka sudah memulainya, dan kita lah yang harus menghentikannya!" jawabnya sembari menyilangkan kedua kaki jenjangnya.

"Terserah kau saja, Hanami." mataku memandangi panggung dari kejauhan yang sudah dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai tempat di Amerika.

"Kenapa kau menyaksikannya dari sini?" tanya Hanami sembari berdiri lalu meremas kaleng soda, yang sudah kosong.

"Ssssttt. Diamlah. Acara sudah akan dimulai!" tegurku sembari mengambil makanan di dalam tasku.

"Hadirin sekalian. Tuan dan nyonya. Tua dan muda. Kaya ataupun miskin. Beragama maupun atheis. Selamat datang di sini. Di tempat ini!" Seorang pria berpakain nyentrik dengan rambut afro berwaran merah yang di balut pakain berwarna sama. "Mari kita sambut Presiden kita, Mr. Blue!" sambut pria itu yang diiringi tepukan tangan, saat sesosok pria berpakain jas biru, dengan celana dasar berwarna biru, dan juga sepatu cat berwarna biru. Oleh sebab itu dia disebut Mr. Blue.

"Hallo rakyatku. Apa kabar kalian semua? Saya harap kalian sehat sentosa," sapa Presiden Blue sembari merapikan rambut klimis berwarna birunya. "Di pagi yang cerah ini. Di hari yang indah ini. Dahulu 276 tahun yang lalu. Negeri kita sangat tersiksa di bawah tirani Britania Raya. Namun, semua berubah, kini kita menjadi negara adikuasa. Semua negara tunduk pada kita, dan kita--adalah negara satu-satunya yang akan bertahan di era baru yang akan tiba! Selamat ulang tahun semuanya" Serunya yang membuat seluruh panggung bergemur. Bukan, bahakan seluruh Amerika bergemuruh.

Re; Earth

"Meriah bukan?" tanganku bertepuk dengan keras. "Jadi apa kau berubah pikiran?"

"Tidak!" jawabnya singkat.

"Hanami, masuk, Hanami!"

"Masuk , Vin, ini Hanami."

"Bagaimana semua sudah siap, Hanami?"

"Semua siap, Vin, plan A siap meluncur!"

"Baiklah. Laksanakan!"

Tuuuuttt....

"Light, kau tahu kenapa manusai tidak bisa melihat, Tuhan!" tanya Hanami sembari membuka sweternya, yang tersimpan dibaliknya baju berwarna hitam.

"Tidak tahu. Mungkin, karena Musa sudah terlebih dahulu melihat, Tuhan?" jawabku sambil melirik ke arahnya.

"Salah! Jawabnya, karena kita berbeda dimensi dengan-Nya!" jawab Hanami sembari mengikat lengannya dengan sebuah armband berwarna merah.

"Jadi begitu yah," tanggapku sembari duduk kembali.

"Sampai jumpa, Light!" ucapnya sembari berjalan menjauhiku, lalu menuju kerumunan orang-orang, yang tengah berfoto dengan Presiden Blue. "All hail The Vers!" teriaknya dengan kencang menuju Presiden Blue dan...

Booommmm!

Sebuah ledakan besar terjadi. Presiden Blue dan orang-orang yang tadi seolah hilang ditelan asap. Mereka semua terbaring. Darah mengalir dari mereka, lalu sebuah ledakan kedua, ketiga, dan keempat saling bersautan di san-sini. Semua orang berlari, saling menginjak, saling berteriak, tidak ada lagi yang peduli, semua hanya memikirkan dirinya sendiri.

"Itulah kenapa aku membencimu, Ayah" ucapku sendiri, sembari melihat kedua kakiku.

Jeduuuuummmm...

Sebuah ledakan kembali berbunyi, sampai-sampai aku terpantal dari tempat dudukku dan jatuh tersungkur. Namun, saat aku berdiri, kali ini berbeda. Tidak ada asap maupun api. Tidak ada teriakan maupun tangisan. Hanya ada sebuah pesawat aneh yang mendarat tepat di hadapanku.

Selamat membaca, Kritik dan sarannya mohon disampaikan dan jangan lupa vote sebab vote anda adalah semangat untuk penulis

Salam Kehancuran

Salam Endless_Dystopia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro