Re; 03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka

"Riga, dengarkan aku, Nak!" ucap seorang lelaki bertubuh tegap dan kekar. "Kau harus berjuang di sana! Jika ingin menyelamatkan Ayah, Ibu, dan Adikmu!"

"Ta--tapi, Ayah--"

"Tidak ada tapi, Nak, ambil ini!" potong pria itu sembari memberikan sebuah kotak hitam. "Jangan lupa waktumu!" lanjut pria itu sembari berjalan pergi.

"Tidak, Ayah, jangan pergi!"

Re; Earth

Sebuah tangga tiba-tiba saja muncul dari pesawat tersebut. Terbentang dari pintu pesawat dan berakhir tepat di depanku.

Takut. Kaki gemetar. Perlahan kulangkahkan kaki ini menjauhi pesawat itu, meski mata ini tidak bisa berpaling dari sesosok makhluk mirip manusia. Namun sangat kerdil, yang muncul dari balik pintu hitam pesawat tersebut.

Alien! Pikirku saat sosok itu mulai menuruni tangga. Kepala lonjong. Mata belok berwarna hitam. Dengan tubuh kerdil berwarna hijau. Tiba-tiba saja membuat tubuhku membatu, mataku tidak bisa berpaling darinya, seakan-akan matanya memerintahkanku untuk tunduk padanya.

"Hiyoman!" ucap Alien tersebut saat tepat berada di depanku lalu perlahan Alien kerdil mengulurkan tangannya.

Yaa Tuhan, apa-apaan ini.

Bug!!!

Sebuah pukulan melayang di kepalaku.

"Bangun, Light!" ucap suara yang tidak asing lagi di telingaku. "Sadar, Light! Jangan melamun, lihatlah!" lanjutnya sembari menampar kedua pipiku.

Seketika aku tersadar dan melihat sekelilingku. Kaget. Wajahku berubah. Mataku terbelalak. Apa-apaan ini.

"Mereka kenapa, Rim?!" tanyaku sembari menunjuk sekelompok orang yang saling memakan satu sama lain.

"Entahlah aku tidak tahu, Light," jawab Rima sembari menarik tanganku menjauhi pesawat aneh yang di bawahnya telah dipenuhi oleh sekelompok orang yang lapar. "Tiba-tiba saja saat pesawat itu muncul, semua orang-orang yang ada di sana bertingkah aneh, termasuk mereka yang mati. Namun, saat aku mencarimu aku--"

"Di mana dia?" tanyaku memotong penjelasan Rima.

"Dia? Dia siapa?" jawab Rima sambil terus berlari dan menarik tanganku begitu kuat.

"Makhluk kerdil yang muncul dari pesawat itu?" tanyaku yang membuat wajah Rima berubah seketika.

"Makhluk kerdil? Kau gila, Light! Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali kau yang diam seperti patung!" jawabnya sembari berhenti tiba-tiba.

"Benarkah?" Tanggapku sembari menabrak tubuh Rima yang berhenti tiba-tiba. "Apa-apaan sih berhenti tiba-tiba!"

"Lihat itu!" Rima menunjuk beberapa orang yang tengah berlari dengan kencang menuju kami.

"Astaga, Tuhan! Sebenarnya apa yang sedang terjadi!" Aku menggaruk kepala, seperti seorang Profesor yang gagal dalam percobaan.

"Tasku! Mana tasku?" tanganku memegang bahu, mencari cari tali tasku.

"Kau dari tadi tidak membawa tas, Light!" tegas Rima, membuatku diam sejenak.

"Ketinggalan." Mataku terbelalak sembari melihat beberapa orang aneh yang sudah mulai mendekati kami.

Re; Earth

"Dasar idiot! Kenapa penyakit lupamu tidak pernah hilang!" sarkas Rima yang tengah aku tarik.

"Sudah diamlah nenek sihir! Di dalam tas itu sudah kupersiapkan semuanya," jawabku sambil terus berlari dan menariknya.

"Ya ya ya," jawabnya dengan nada sengal.

Setelah sampai di tempat tadi. Segera kuambil ranselku yang tergeletak dia atas kursi, dengan mataku yang tidak pernah bisa berpaling dari pesawat aneh berwarna hitam, yang memiliki corak gambar yang membuat siapa saja ketakutan.

"Rima, apa sebenarnya itu?" tunjuku.

"Mungkin itu yang di maksud oleh, Ayahmu," jawab Rima dengan mata yang tidak berpaling dari pesawat.

"Bagaimana kita cek ke dalam?" tanganku menarik tangan Rima.

"Kau gila, Light!" Rima membanting tanganku. "Saat ini kita tidak melihat orang-orang aneh yang seperti zombie itu, tapi apa kau dapat menjamin jika pesawat itu tidak berisi mereka? Siapa tahu saja mereka sudah masuk ke dalam pesawat itu!" jelas Rima menarik tanganku menjauhi pesawat tersebut.

Benar juga apa yang dikatan Rima. Terakhir kami melihat, di sinilah orang-orang aneh seperti zombie itu saling memakan, tetapi sekarang, tidak ada satupun dari mereka yang kami lihat.

"Baiklah kita cari tempat aman dulu untuk bersembunyi dan menyusun rencana!" putusku sembari membuka tasku lalu mengeluarkan beberapa senjata yang sudah aku persiapkan. "Ambil ini, Rim, untuk jaga-jaga," lanjutku sembari melemparkan Ak-47.

Re; Earth

"Light, aku belum pernah menggunakannya," jelas Rima dengan tangan gemetar.

"Nanti kau pasti tahu sendiri cara menggunakannya. Lebih tepatnya saat nyawamu benar-benar terancam," jawabku dengan senyuman tipis.

"Kurang ajar!" Rima melayangkan ujung Ak-47 ke kepalaku.

"Aduh sakit." tanganku mengelus kepalaku.

Kami terus berjalan, melewati panggung megah yang berdiri dengan kokoh. Namun, tidak ada satupun orang di sini, hanya ada kekacauan dan peralatan yang rusak, serta bercak darah yang menghiasi di beberapa tempat.

"Light?"

"Ya."

"Kita bersembunyi di sini?"

"Ya, di sini!" jawabku sembari membuka pitu utama White House lalu berjalan memasukinya.

"Wow indahnya!" Rima terpukau, bola matanya berputar-putar mengagumi keindahan interior White House.

Kami terus berjalan menulusuri setiap ruangan. Namun, tidak ada satupun orang yang kami temukan, hanya ada barang-barang yang hancur berantakan, seperti habis diterjang angin topan.

"Light, kita istirahat dulu." Rima duduk di sebuah kursi kaca sembari menyilangkan kedua kakinya.

"Ya, betul kita istirahat dulu di sini." Aku duduk di kursi yang sama. "Ruang apa ini? Kenapa semuanya terbuat dari kaca?" ucapku sembari menaruh Shogun type AA-12 dan tasku di atas meja kaca.

"Light, sebenarnya apa yang tengah terjadi?" Rima memulai obrolan sembari mengelus wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Entahlah, Rima," jawabku sambil melempar pandanganku ke sebuah lukisan tua.

"Yang dikatakan ayahmu benar, Light! Apa mungkin mereka yang dimaksud ayahmu itu adalah orang-orang yang seketika berubah menjadi kanibal? atau--" ucap Rima menjeda.

"Bukan, menurutku bukan mereka! Tapi mereka yang ada di pesawat itu!" tepisku sembari merogoh sebuah benda dari dalam tas.

"Maksudmu?" Rima keheranan. "Bukannya sejak pertama muncul, tidak ada apapun atau siapapun yang keluar dari pesawat itu!" Rima mengubah posisi duduknya.

Aku berdiri sambil mengeluarkan Sundial lalu berjalan menuju jendela. "Rima, pukul berapa sekarang?"

"Sepuluh lewat lima, Light." Rima melihat jam perak yang melilit di tangan kanannya.

"Sudah kuduga!" Aku tersenyum kecil.

"Maksudmu?" Rima kembali mengganti posisi duduknya.

"Sundial menunjukkan pukul delapan! Ini sesuai dengan waktu kemunculan pesawat itu! Dan sekarang jammu menunjukan pukul lima," jelasku sembari menggengam Sundial dengan kuat.

"Tunggu, tunggu! Jadi maksudmu Re--" sahut Rima dengan raut wajah yang berubah seketika lalu berdiri menghampiriku.

"Yap, Re tengah terjadi saat ini atau lebih tepatnya Bumi kita sudah berhenti berputar!" Jelasku kembali sembari melihat matahari dari balik jendela.

"Tapi ini tidak sesuai dengan teori perhi--"

"Diam!" bentakku sangat kuat."Apa teori bodohmu saat ini berguna hah! Lihat! Lihatlah sekelilingmu. Apa yang telah dituliskan Ayahku semuanya terjadi! Re tengah terjadi, dan sebuah pesawat aneh tiba-tiba saja muncul, bersama dengan keanehan orang-orang itu!" Aku berbalik berjalan menuju Rima dengan nada suara yang tinggi.

Rima terdiam seribu kata. Kepalanya tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku membencimu, Light!" Rima memukul dadaku dengan kuat lalu berbalik dan pergi meninggalkanku.

"Sial!" teriakku. "Kenapa kau begitu membenciku padahal--ah sudahlah pergi sana!" cibirku sembari duduk di kursiku tadi.

Re; Earth

"Kenapa?! Kenapa yang dikatakan Ayahmu benar, Light?! Kenapa?!" Rima menaruh kepalanya di atas meja sebari terisak-isak.

"Rima," panggilku.

"Apa!" jawab Rima mengangkat kepalanya sembari menghapus air matanya.

"Maaf tadi aku membentakmu," tuturku lembut sembari menyodorkan sebuah minuman soda.

"Ya."

"Rima, aku tahu kau sangat membenci The Vers!" Aku membuka obrolan.

Rima menatapku lalu berkata, "Ya, dan aku sangat membencimu, kenapa aku harus berteman dengan seorang anak--"

"Cukup! Tolong kesampingkan urusan pribadimu. Lihat, saat ini kita tengah berada di situasi yang sangat membingungkan. Kumohon bekerja samalah," pintaku sembari menundukan kepalaku padanya.

"Kau yang memulainya! " bentak Rima.

Diam. Suasana menjadi hening tanpa suara. Aku benar-benar menyesalinya meski bukan aku yang melakukan itu semua.

"Light."

"Apa?" Jawabku sembari mengangkat kepala.

"Apa yang kau lihat di dalam pesawat itu?" Rima menatapku penuh tanya.

Re; Earth

"Alien kerdil?!" Rima kaget saat mendengar penjelasanku.

"Ya, aku benar-benar melihatnya. Namun, saat Alien itu ingin menyentuhku, kau--"

"Aku datang." Rima melanjutkan perkataanku. "Tapi aku tidak melihat apa-apa di sana, Light!" jelas Rima.

"Ya itu masalahnya. Saat kau menepukku, semua yang kulihat hilang begitu saja, termasuk sosok Alien kerdil itu!" ucapku sembari menenggak soda.

"Aneh. Aku benar-benar tidak bisa mempercaya--" Rima tiba-tiba saja terdiam saat wajah melihat ke suatu tempat. "Light, liatlah!" suara Rima kembali terdengar dengan nada lebih berat.

"Astaga, dari mana datangnya mereka!" ucapku kaget melihat gerombolan orang-orang kanibal itu, sudah memasuki ruangan dan mulai berjalan dengan  tergopoh menuju kami.

Segera aku berlari menuju ruangan tadi yang tidak jauh dari dapur, lalu mengambil tas dan senjata yang kami bawa. Selepas itu aku berlari kembali ketempat Rima, memberikan senjata miliknya.

"Bertarunglah!" ucapku pada Rima.

"Baiklah!" jawab Rima sembari mengokang AK-47.

"Graaaa graaa graghhhh!" teriak salah satunya lalu mereka berlari dengan cepat ke arah kami.

"Majulah kalian!"

Dreeeettttt dreeeettttt dreeeettttt.

Rentetan peluru yang keluar dari Shotgun otomatisku membuat beberapa dari mereka jatuh dan terpental, lalu diikuti peluru Ak-47 milik Rima yang menghantam oragan-oragan vital milik mereka.

"Mati kalian!" kakiku menginjak-injak salah satu kepala mereka sampai remuk.

"Sudah hentikan!" Rima menarik tanganku. "Tempat ini sudah tidak aman lagi!" lanjutnya sembari menarikku menjauhi tumpukan mayat.

"Rima!"

"Iya, Light, kenapa?" jawab Rima sembari menoleh kepadaku yang masih melihat ke belakang.

"Lari Rima!" teriakku kuat saat melihat mereka semua bangun kembali, termasuk yang kepalanya kuremukan.

"Astaga!" teriak Rima histeris sembari berlari menarikku dengan kuat.

"Gila! Ini seperti film-film zombie!" ucapku sambil terus berlari mengimbangi laju lari Rima yang sangat kencang.

"Kau ingin dipukul! Keadaan seperti ini kau masih ingin bercanda!" Rima melotot, matanya seakan ingin keluar lalu merangkak kepadaku sambil terus memelototiku.

"Hehehe, bercanda, Rim," jawabku sembari menembakkan brutal kepada mereka.

Re; Earth

"Cepat tutup pintunya, Light!" perintah Rima yang berdiri di belakangku.

"Iya," jawabku sembari menutup pintu keluar White House. "Cih, kalian memaksaku harus melakukan ini. Maafkan aku AA-12," gerutuku sembari menyelipkan senjata yang kupegang di handel  Pintu.

"Hampir saja! Hampir saja! Hampir saja!" Rima menjatuhkan senjatanya. Tangannya mengelus dada dengan gemetar.

"Jangan senang dulu, Rima, lihat itu!" tunjukku pada mereka yang sudah bergerombol di halaman White House

"Shit! Mereka tidak ada habisnya!" Rima mengambil senjatanya yang terjatuh di lantai.

"Ambil ini!" ucapku padanya sambil melempar sebuah pulpen dari dalam tasku. "Gunakan itu, sepertinya amunisimu sudah hambis,"lanjutku sambil mengambil sebuah pulpen.

"Kau bercanda!" Rima membuang Senjatanya lalu memegang pulpen yang kuberikan. "Ini hanya sebuah pulpen bodoh!"

"Begini cara menggunakannya!" Aku menggenggam pulpen itu dengan kedua tangan. "X-Fight, give me: Sword Tempelar!" Teriakku dengan kuat, yang seketika pulpenku menjadi partikel kecil, lalu menyusun kembali menjadi sebuah pedang ksatria tempelar.

"Wow! Apa benda ini bisa membuat apa saja yang kita minta?" Rima menoleh padaku yang kuikuti dengan anggukan kepala. "Baiklah, X-Fight give me: Kusari-gama!" Rima melempar pulpen itu lalu munculah senjata tradisional jepang.

Note: Kusari-gama adalah senjata tradisional jepang, yang berbentuk seperti celurit dengan lengkungan kecil pada bagian luar dan bentuk datar pada bagian tajamnya, persis seperti setengah bulan, lalu di kaitkan dengan sebuah rantai, yang ujungnya terdapat gada kecil, yang terbuat dari logam keras.

"Maju kau zombie!" teriakku sambil berlari yang diikuti Rima di belakangku dengan jarak sekitar satu meter.

"Graaaaa graaaaa graaa!" Gerombolan manusia itu, berteriak seperti binatang, berlari seperti singa yang lapar dengan kuku-kuku yang tajam.

Sebuah tebasan kulayangkan pada salah satu dari mereka sebagai salah pembuka. Tidak mau kalah, temanya yang lain membalas dengan cakaran yang kutaepis dengan pedangku, lalu Rima melemparkan senjata miliknya yang menancap tepat dipunggung makhluk itu dan menariknya menjauhiku.

"Terima kasih, Rim," ucapku sembari menebas kaki dan tangan zombie lainnya yang menyerangku.

"Sama-sama." Rima menarik Kusari-gama-nya dengan kuat sehingga punggung manusia-zombie itu terbuka dan mengeluarkan isinya.

Tebasan, sayatan, hantaman, dari pedangku dan Kusanagi-gama milik Rima, menghabisi grombolan manusia-zombie itu, yang kira-kira jika kuhitung sekitar seratus orang.

"Fuh, apakah kita harus melakukan ini terus menerus?" tanya Rima sembari menarik Kusanagi-gama.

"Mungkin, kita harus melakukan ini sampai kita tahu sebenarnya apa yang tengah terjadi," jawabku sembari membuka dada salah satu dari mereka.

"Itu menjijikan, Light." Rina menutup mulutnya.

"Lihat dan perhatikan!" jawabku sembari menarik Rima.

"Mau ke mana?"

"Ke rumahku." balasku sambil terus menarik Rima menjauhi tempat tadi.

Sekitar duaratus meter kami berlari, tumpukan mayat itu kembali berdiri dengan keadaan yang menjijikan. Ada yang tanpa kepala, ada yang sembari membawa ususnya, ada yang mengeret wajahnya di tanah, dan bahkan ada yang berjalan dengan perutnya. Menjijikan, mereka benar-benar tidak bisa mati.

"Seperti dugaanku!" ucapku pada Rima.

Rima menoleh kebelakang menyaksikan apa yang tengah terjadi, sembari berkata, "Tuhan, apa Kau tidak menerima mereka di surga maupun neraka?!"

Re; Earth

Kami terus berlari dari kejaran manusia-zombie, yang semakin lama jumlah mereka semakin bertambah. Di tengah perjalan Rima mencapai batasnya, dia terjatuh dan mau tidak mau aku harus menggendongnya. Jika tidak Rima akan di makan.

"Light, kumohon tinggalkan aku di sini!" Rima memukul-mukul dadaku. "Jika tidak kita berdua akan dimakan!"

"Biarkan. Jika kau mati maka aku juga harus mati! Apa gunanya hidup dengan penyesalan karena meninggalkan teman!" jawabku tegas, sambil terus berlari menggendong Rima. "Sebentar lagi kita sampai. Jadi kumohon bertahanlah," lanjutku dengan nafas tersengal-sengal.

Tubuhku sudah mencapai batasnya. Kaki mulai bergetar, hingga akhirnya aku terjatuh dan Rima terguling di sampingku. Segera aku bangkit. Namun, rasa nyeri karena berlari sejauh lima kilometer, membuat kakiku enggan berdiri lagi.

"Habislah kita, Light." Rima memandangku dengan tetesan air mata yang mulai terjatuh.

Manusia-zombie itu mulai mendekati kami. Mereka melingkari kami, sampai tidak ada lagi jalan keluar. Kuku-kuku tajam yang seirama dengan taring mereka, benar-benar membuat kami kaku tidak bisa bergerak, seolah malaikat kematian berada di hadapan kami.

"Kumohon, selamat kami!" teriak Rima sangat kuat, saat para manusia-zombie itu mulai menerjang kami dengan mulut yang terbuka tiga kali lipat.

Selamat membaca, Kritik dan sarannya mohon disampaikan dan jangan lupa vote sebab vote anda adalah semangat untuk penulis.

Salam Kehancuran

Salam Endless_Dystopia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro