Re; 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ingatan


Sekelibat bayangan putih datang menghabisi para manusia-zombie yang tengah mengepung kami. Jantung berdebar, kaki gemetar, dua sosok yang menghabisi makhluk itu benar-benar sama mengerikannya.

Dua sosok itu tengah berdiri dihadapan kami, menggunakan sebuah topeng berwarna putih dengan ukiran aneh pada bagian mulutnya yang berwarna sama dengan pakaian yang mereka kenakan, sembari memainkan pedang yang dipenuhi dengan darah.

"Light." Salah satu dari mereka menyapaku sembari membuka topengnya.

"Wanita!" Aku terkejut saat melihat sosok di balik topeng itu. "Siapa kau? Kenapa kau bisa tahu namaku?!" lanjutku sembari menggeret pantatku menjauhinya.

"Jangan takut, Light, ini kami!" ucap yang satunya lagi, sembari membuka topeng. "Namaku, Zeniar, apa kau lupa dengan ku?" lanjutnya yang ternyata adalah seorang pria.

"Siapa kalian? Aku tak mengenal kalian!" tegasku sembari tangan menggenggam erat pedangku.

Rima berdiri dengan tatapan tidak suka pada kedua orang itu, sembari mengacungkan Kusari-gama lalu berkata, "Siapa kalian sebenarnya? Apa tujuan kalian menyelamatkan kami?"

"Ooo, tenang dulu, Nona, kami orang baik." Pria yang bernama Zeniar itu menurunkan Kusari-gama milik Rima.

"Sepertinya dia tidak mengingatnya, Zen!" Wanita bertopeng tadi menarik bahu rekannya.

"Tidak, Eliz! Seharusnya dia mengingatnya!" Zeniar menepis tangan wanita itu dari bahunya.

"Light, ikutlah dengan kami! Tidak, maksudku, Riga." Pria bernama Zeniar itu berjongkok, lalu menepuk kedua bahuku dengan kuat, sembari menatap mataku penuh keyakinan.

"Riga?" Tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit. "Ingatan siapa ini!" teriakku sangat kuat sembari menjambak-jambak rambutku.

"Light, kau kenapa?" tanya Rima panik. "Apa yang kalian lakukan dengan, Ligt!" Rima kembali mengacungkan Kusari-gama dengan wajah yang marah.

"Hentikan!" Aku memegang tangan Rima dengan erat.

"Berdirilah, Riga!" Zeniar menarik kerahku dengan kuat. "Semuanya sudah sampai sejauh ini dan kau tidak mengingatnya!" Zeniar melemparku sampai tersungkur ke tanah.

"Kurang ajar!" Rima melayangkan Kusari-gama ke arah wajah Zeniar

"Mainan seperti ini tidak ada apa-apanya!" teriak Zeniar menangkis serangan Rima. "Riga, lihat ini! Apa kau akan mengingat semua gerakan ini!" Zeniar menghempaskan Kusari-gama milik Rima, lalu menendang salah satu kaki Rima sampai terjatuh dan wajahnya tersungkur menghantam tanah.

"Ayahmu yang memulai semua ini dan kau lah yang harus mengakhirinya!" Zeniar menaruh ujung pedangnya tepat di leherku.

"Hentikan, Zeniar!" teriak wanita yang bernama Eliz. "Bukan seperti ini caranya!"

"Lalu seperti apa?!" jawab Zeniar penuh emosi. "Situasi saat ini diluar dugaan, Li-, maksud ku, Riga, tidak mengingat apapun! Haruskah kita melakukan prosedur 12!" lanjut Zeniar.

"Sebenarnya siapa kalian?!" tanyaku sembari berdiri dengan berpegangan pada pedang yang aku tancapkan. "Hey kau pria berambut merah!" panggilku.

Zeniar menoleh kepadaku, "Kuat juga tekadmu!"

"Kita bertarung!" tawarku mengacungkan pedang kepadanya. "Jika kau menang, aku akan menuruti apa yang kau mau, tapi jika aku yang menang--bersujudlah di hadapan, Rima!"

"Baiklah!" tukas Zeren sembari memasang kuda-kuda. "Siapa yang pedangnya terjatuh dia yang kalah!" ucap Zeren seraya melayangkan serangan pertamanya dari sisi sebelah kiriku.

Melihat serangan Zeniar dengan sigap kutangkis, lalu kuayunkan pedangku yang membuat pertahanan Zeniar terbuka.

"Terima ini!" teriaku dengan kencang sembari mengarahkan ujung pedangku ke dadanya.

"X-One : Spear!" teriak Zeniar. Seketika pedang miliknya berubah menjadi sebuah tombak, lalu menangkis seranganku. "Kau terkejut!"

Rima masih terbujur lemas di tanah. Perempuan bernama Eliz itu hanya diam melihat pertarungan kami, sambil sesekali memaikan sebuah botol kecil yang ada di tangan kirinya.

"Jadi kau memiliki senjata yang sama yah!" ucapku sembari mengatur kuda-kuda. "kalau begitu aku juga bisa, X-Fig--"

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja botol yang di pegang Eliz sudah ada di hadapanku, lalu meledak seketika. Sesaat setelah meledak uap muncul dari baliknya, lalu menyelimuti tubuhku dengan begitu cepat. Rasa dingin muncul begitu saja, jari-jariku mulai membeku. Pedangku terjatuh, badan tidak dapat digerakkan, lalu beberapa saat kemudian kesadaranku mulai menghilang.

Re; Earth

"Bangun!" Zeniar menampar-nampar pipiku.

Perlahan aku membuka mataku, menatap Zeniar yang sudah ada di hapanku lalu aku berkata, "Di mana aku?!"

"Di rumahku, Riga!" jawab Eliz yang tengah duduk di sebuah kursi. "Kami akan menceritakan semuanya," lanjut Eliz sembari menepuk pundak Zeniar, seketika Zeniar pergi meninggal kami berdua.

"Di mana, Rima?!" tanyaku menggebrak tubuhku yang terikat di sebuah kursi.

"Tenanglah, dia berada di ruangan sebelah bersama, Zeniar," jawab Eliz sembari tersenyum tipis.

"Zeniar, ku harap kalian tidak menyentuhnya!" ancamku.

"Apa kau mengenal mereka!" Eliz memperlihatkan ku sebuah foto.

"Si--siapa mereka?!" Aku terkejut melihat foto yang diperlihatkan oleh Eliz. "Me--mereka selalu ada di mimpiku."

"Mereka kedua orang tuamu," jelas Eliz yang membuat mataku terbelalak. "Bukan mimpi, Light, tetapi ingatan!"

"Ingatan. Apa maksudnya, Liz?" tanyaku dengan mata yang tidak berpaling dari sosok yang ada di foto itu.

"Aku tidak bisa memberitahu semuanya. Kau harus mengingat semuanya sendiri, tetapi kami janji akan membantu mengingat semuanya, light," Rima berdiri dari tempat duduknya lalu melempar foto itu yang secara kebetulan mendaratkan di depanku.

RE; Earth

"Maafkan aku!" Zeniar bersujud di hadapan seseorang yang tengah terikat di sebuah kursi. "Kami tidak percaya ada manusia yang bisa selamat selain kami!" Zeren berdiri dari sujudnya.

"Apa maksudmu dengan kami?" tanya Rima.

"Untuk saat ini kau tidak perlu mengetahuinya," jawab Zeniar sembari merapikan pakainya. "Light, adalah Iblis! Iblis yang diciptakan untuk membunuh makhluk yang bernama Tuhan!"

"Omong kosong! Tidak mungkin manusia mampu membunuh Tuhan!" bantah Rima sangat kuat.

"Terserah kau percaya atau tidak! Tapi semua ini adalah perbuatan Tuhan!" Zeniar duduk di sebuah kursi lalu menenggak sebuah minuman yang tergeletak di atas meja kecil. "Lihat ini!" Zeniar mengambil sebuah foto lalu melemparnya ke Rima.

Secara kebetulan foto itu jatuh tepat di hadapan Rima.

"light." Rima terkejut.

"Ya, itu, Light, tetapi nama sebenarnya adalah, Riga!" jelas Zeniar sembari berdiri dari kursinya. "Riga itu adalah--"

Tok... tok... tok...

Sebuah ketukan memotong pembicaraan Zeniar dan Rima.

"Zeniar, cepatlah Suner sudah mendekat!" teriak Eliz dari luar Ruangan.

"Astaga!" Wajah Zeniar berubah seketika.

Re; Earth

"Cepatlah pakai ini!" Zeniar melempar dua set pakaian berwarna putih beserta topeng aneh, persis seperti yang mereka kenakan.

Segera Aku dan Rima memakainya. Pakaian ini begitu ketat. Namun, sangat nyaman dipakai. Begitupula dengan topengnya, sama sekali tidak membuat kami gerah.

"Teteskan ini pada senjata kalian, " Eliz memberikan sebuah botol dengan tulisan yang sangat aneh pada tutupnya.

"Apa ini?" tanyaku sembari meneteskan cairan itu ke sisi tajam pedangku.

"Sudah teteskan saja, nanti kalian akan mengetahuinya sendiri!" tegas Zeniar sembari mengayun-ayunkan senjatanya.

"Terima kasih, Eliz," Rima memberikan kembali botol berisi cairan aneh itu kepada Eliz. Eliz mengangguk menerimanya.

"Semua sudah siap?" tanya Zeniar sembari memegang handel pintu berwarna kuning keemasan.

"Siap!" jawab kami serentak.

Zeniar membuka pintu dengan kuat, lalu berlari menuju gerombolan manusia-zombie yang telah mengepung kami, diikuti dengan Eliz, Aku, dan Rima.

"Kuberitahu kalian, ini namanya Suner!" Zeniar menebas kepala salah satu dari mereka yang menyerang Zeniar.

"Graaaaaaaaa!" teriak gerombolan Suner yang mulai menyerang kami dengan membabi buta.

Mulut terbuka lebar, rentetan gigi tajam yang dihiasi liur menjijikan mulai menerkamku, dengan cepat kuhantamkan sisi tajam pedangku sampai mulutnya terbelah menjadi dua.
Di sisi yang lainya, Rima dengan mahir memainkan Kusari-gama miliknya. Sabetan celurit mengonyak-ngoyak badan manusia-zombie yang di panggil Suner oleh kedua orang itu (Zeniar dan Eliz)

"Kita harus bergegas, Zen!" ucap Eliz sembari memainkan pedangnya. Mencincang-cincang badan mereka bak koki yang sedang mencincang daging merah.

Tebasan yang dipadu gerakan tari menimbulkan kesan harmonis, seperti itulah yang saat ini tengah dilakukan Zeniar. Dia sangat mahir, bahkan pedang itu seperti bagian dari tubuhnya.

Re; Earth

Tumpukan mayat para mayat berserakan di mana-mana. Terdengar aneh memang, tetapi seperti itulah. Zeniar bilang jika mereka ini sebenarnya sudah mati. Namun, karena ada suatu hal yang memaksa tubuh mereka untuk terus hidup. Itulah alasannya kenapa mayat-mayat ini akan terus bergerak meski sudah dicincan-cincang.

"Riga, lihatlah!" ucap Zeniar sembari menancapkan pedangnya di kepala Suner yang sudah terpotong. "Cairan yang tadi mencegah mereka untuk bangkit kembali!" jelas Zeniar.

Benar kata Zeniar potongan daging-daging Suner mulai berhenti bergerak dan berkedut-kedut.

"Zeniar, Eliz, sebenarnya apa yang tengah terjadi?" Rima membuka topengnya. "Ayah, Ibu, apakah mereka selamat! Apakah kedua orang tuaku sama seperti mereka, Zen?!" tanya Rima dengan wajah yang dipenuhi peluh yang bercampur air mata.

"Y--"

"Mereka pasti selamat!" Aku memotong ucapan Zeniar. "Aku yakin itu, Rim!" lanjutku menyakinkannya.

Eliz membuka topengnya, air matanya mulai berjatuhan. Segera dia berjalan menjauhi ku yang tengah menenangkan Rima.

Re; Earth

"Jadi kalian bersaudara?" tanya Rima sembari berjalan mengimbangi Zeniar.

"Iya, Rima. Berapa kali aku harus menjawabnya, Eliz, adalah adikku." Zeniar menepuk pucuk kepala Rima yang hanya sebahu Zeniar.

"Zeniar, sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku yang berjalan di belakangnya. Menemani Eliz yang terlihat sangat pucat.

"Ke pesawat itu!" jawabnya tak menoleh sedikit pun.

"Kau gila!" reflekku memukul punggungnya dengan topengku.

"Ya, aku gila, Rig! Dan kegilaanku ini semua karena kau!" lanjutnya sembari menoleh kebelakang dan menatapku tajam.

Aku terperangah mendengarnya karena ku? Dasar sinting!

"Light, kau akan bertemu dengan-Nya!" Eliz membuka mulutnya. Zeniar menatap Eliz seolah ada yang mereka sembunyikan.

"Dengan-Nya? Maksud mu makhluk kerdil itu!" sahutku sembari menoleh ke arah Eliz.

Eliz dan Zeniar berhenti tiba-tiba. Mereka saling menatap satu sama lain dan Rima hanya memperhatikan kami dengan wajah keheranan.

"Kau sudah bertemu dengan-Nya?" tanya Eliz dan Zeniar bersamaan dengan raut wajah kaget.

"Yap, jika yang kalian maksud makhluk yang ada dalam pesawat itu, maka makhluk kerdil itu lah yang aku liat!" jawabku kembali.

Rima menatap kami bertiga lalu berkata, "Apa dia Alien?"

"Bukan, Dia makhluk suci!" tegas Eliz menatap Rima.

"Okey," ucapku dengan nada lembut. "Jadi apa yang kulihat itu bukan delusi?" lanjutku.

"Bukan!" tegas Zeniar. "Jika kau ingin tahu apakah itu delusi atau bukan, maka teruslah bersama kami!" Zeniar kembali berjalan dengan langkah kaki cepat, meninggalkan kami bertiga.

Kami berempat terus berjalan melewati jalan yang terjal, terkadang kami melewati jalan yang sudah berserakan berbagai bangkai-bangkai mobil yang saling bertabarakan. Kosong. Tak ada siapapun di kota ini, hanya kesunyian dan bercak darah di sana-sini. Toko-toko hancur berantakan, rumah-rumah kosong ditinggalkan penghuninya, menambah suasana ngeri bagi mereka yang phobia akan kesunyian.

Re; Earth

Suhu semakin meningkat. Aspal-aspal jalan mulai berwarna mengkilat. Aku masih belum percaya bahwa Bumi sudah berhenti berputar.

"Pakai topeng kalian!" perintah Eliz sembari memakai topengnya yang diikuti dengan kami.

"Ada apa, Liz?" tanya Rima pelan.

"Aku mencium bau Suner!" Eliz mengeluarkan pulpen miliknya. "Persiapkan senjata kalian!"

Segerea kami mengeluar pulpen milik kami sebenarnya di mana mereka, aku sama sekali tidak melihatnya.

Saat ini kami tengah berada di tanah lapang tepatnya di tempat pesawat ini mendarat. Sama seperti saat Aku dan Rima kemari tak ada satupun manusia-zombie alias Suner di sini.

"Sama seperti saat kami kemari," ucap Rima merubah pulpennya menjadi Sai.

Note: Sai adalah senjata tradisional dari Jepang yang berbentuk trisula. Senjata ini banyak di pakai para samurai dan ninja pada era-nya.

"Kau punya selera senjata yang bagus," puji Eliz.

"Terima kasih."

Kami berjalan mengendap-endap menuju pesawat yang terparkir di tengah-tengah lapangan. Dengan langkah kaki pelan, jantungku benar-benar dibuat dag dig dug, bagaimana tidak makluk yang bernama Suner itu benar-benar menjijikan.

"Sejauh ini tidak ada Suner, apa kau yakin mencium baunya? tanyaku menatapnya yang masih terus bersiaga.

"Pencium, Eliz tidak pernah salah!" Zeniar sudah bersiaga dengan katana miliknya.

Pesawat itu sangat besar. Bentuknya sangat aneh, mirip seperti pesawat tempur Amerika. Namun, sepuluh kali lebih besar. Rentetan benda aneh mirip senapan mesin terpajang di sekitar pesawat, melihatnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri apalagi membayangkan senjata ini menembaki kami.

"Zen, buka pintunya!" pinta Eliz saat kami sudah berada di depan pintu pesawat aneh itu.

"El sia hodores!" ucap Zeniar sangat kuat.

Tiba-tiba saja sebuah tangga melayang muncul dari balik udara hampa, persis seperti yang aku lihat saat itu. Tangga itu terus tersusun sampai di hadapan kami.

"Oh my God!" Mata Rima terbelalak. Dia benar-benar tak percaya apa yang tengah ia lihat. "Apakah ini yang kau lihat, Light!"

"Ya." jawabku singkat dengan tatap penuh kekaguman.

Bagaimana mungkin sebuah tangga bisa berdiri kokoh di udara hampa dan anehnya mereka tercipta dari partikel-partikel yang muncul saat Zeniar selesai berucap.

"Cepatlah masuk! Aku mencium bau mereka semakin dekat!" perintah Eliz sembari menaiki tangga.

Re; Earth

"Selamat datang di peswat makhluk Extra Terre-"


Dor... Dor.. Dor...

Tiga buah tembakan melayang di kepala Zeniar, membuat Zeniar terjatuh dari pintu pesawat menghantam tanah yang kira-kira tingginya sekitar 20 meter.

"Zeniar!" teriak Eliz dengan kuat saat melihat tubuh Zeniar hancur berantakan.

Rima menjerit histeris. Aku hanya diam tanpa suara, bukan karena aku tak terkejut tetapi karena aku tak tahu harus melakukan apa.

"Cepat tangkap mereka!" teriak seseorang berpakaian serba hitam dengan armband berwarna merah kepada beberapa orang yang ada di belakangnya.

Dor... Dor... Dor...

Tembakan kembali terdengar. Kali ini Eliz yang menjadi korbannya. Sama seperti Zeniar Eliz juga terjatuh, kepalanya menghantam tanah sangat kuat, seperti gelas yang jatuh kelantai.

Tubuhku benar-benar tak bisa bergerak. Aku tak percaya dua orang yang menyelamatkanku kini telah mati dengan sangat tragis.

"Light, awas!" teriak Rima menarik tubuhku lalu mendorongku masuk ke dalam pesawat.

Dor... Dor... Dor...

Tembakan kembali terdengar dan kali ini Rima yang terkena. Sama seperti dua orang tadi, Rima juga terjatuh dan tubuhnya hancur berantakan.

"Rimaaaaa!" teriak dengan sangat kuat.

Dor... Dor... Dor...

Tiga buah peluru bersarang di perutku. Darah mulai mengalir deras. Tubuhku mulai melemas. Pandanganku mulai mengabur, selalang beberapa saat aku terjatuh, kepalaku menghantam lantai pesawat, Sebenarnya apa yang terjadi saat ini.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin ^^

Selamat membaca, Kritik dan sarannya mohon disampaikan dan jangan lupa vote sebab vote anda adalah semangat untuk penulis.

Salam Kehancuran

Salam Endless_Dystopia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro