16. All You Can Eat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang kangen sama Argo?

  Suasana ruang kerja divisi fiksi terasa berbeda sesudah ditinggal Argo. Walaupun biasanya dengan atau tanpa Argo ruangan ini juga sama sunyinya, tapi kali ini auranya benar-benar terasa kelam. Selama satu minggu kursi di seberangku tetap kosong, belum ada kandidat memadai untuk menempati kursi tersebut. Kadang aku menatap bengong, membayangkan seolah-olah Argo masih duduk di sana. Pandangan selalu tertuju ke arah layar, mengabaikan sekelilingnya, dan aku menebak dia pasti menyadari setiap aku mengamatinya dari sini.

Sekarang Argo lagi ngapain, ya? Yang kutahu sekarang kegiatannya banyak banget. Tidak hanya mengurus katering milik keluarga Mas Didas, Argo juga masih aktif menjadi editor freelance dan mengambil tambahan kerja cleaning service paruh waktu di sebuah mal. Selain itu mungkin dia masih punya agenda lain. Aku kagum Argo benar-benar gigih melakukan apapun untuk keluarganya.

"Mas Argo yang ngajarin Kintan bikin kue, Mbak. Katanya buat bekal Kintan kelak. Lumayan bisa buat nambah penghasilan, kan," ucap Kintan saat aku mendatangi rumah Argo setelah pulang kerja beberapa hari lalu.

Waktu itu Argo dapat giliran shift malam, jadi aku hanya ketemu Kintan dan Arga di rumahnya. Mereka sedang asyik berkutat di dapur saat aku berkunjung. Membuat kue berloyang-loyang. Kintan bilang kue buatannya biasa dititipkan di warung-warung dan kantin sekolah.

"Argo bisa masak?" tanyaku takjub.

Kintan tersenyum menatapku. "Bisa banget. Tante Dena yang ngajarin Mas Argo masak. Lagian udah bertahun-tahun juga, kan, Mas Argo bantuin kateringnya Tante Dena. Bahkan Mas Argo ditawarin jadi manajer di Makassar, tapi Mas Argo masih bingung. Katanya kateringnya mau buka cabang di Makassar, kota asalnya Tante Dena."

Tante Dena adalah mama Mas Didas. Seakrab itulah hubungan mereka sama keluarga Mas Didas. Sebelum aku sempat bertanya dengan Kintan lebih jauh tentang keterkaitan hubungan antar manusia itu, Argo keburu menghampiri kami di dapur. Rupanya dia sudah pulang. Soalnya kalau aku bertanya sama Argo, dia cenderung mengalihkan pembicaraan.

Sampai sekarang aku membayangkan seandainya Argo menyanggupi tawaran itu, berarti kecil kemungkinannya aku bisa ketemu dia lagi. Pikiran itu terus berkeliaran di benakku. Dia resign dari MyStory saja aku sudah gelisah. Kenapa tidak dari dulu hatiku tergerak membantunya? Kenapa aku kepikirannya baru sekarang?

"Nira!" Tiara menjentikkan jari di depan mataku.

Aku mengerjap kaget, sementara Tiara terkikik puas.

"Lo ngelamunin apa?" tanya Tiara, menunjuk keningku. "Bulan ini siap-siap lo dapat proyek baru. Mbak Suma udah bikin daftar novel baru yang siap dibagiin buat kita."

"Iya, gue tahu. Udah diulang berkali-kali di meeting, tuh."

"Makanya jangan ngelamun mulu, ntar kerjaan lo nggak beres." Tiara menarik kursinya di dekatku. "Lo kenapa? Ngerasa kesepian ditinggal Argo, ya?"

Aku belum mau memberitahu Tiara tentang kegundahan pikiranku. Sebab, ada bagian-bagian tertentu yang belum kupahami.

"Daripada bengong, nih gue punya voucher. Lo bisa ajak Argo atau siapapun. Acaranya besok malam. Gue nggak bisa datang soalnya mau mudik. Gue cuti sampai besok Senin." Tiara meletakkan dua kupon berwarna kuning terang di atas keyboard komputerku.

"All you can eat? Kok elo bisa dapat voucher ginian?"

"Namanya juga rezeki, Nir. Itu restoran baru, lagi promo. Kemarin gue beli makanan di situ, dua puluh pembeli pertama dapat bonus voucher dua biji. Lumayan, kan, lo bisa malam mingguan sama Argo."

Sebagai pemburu makanan kekinian, Tiara selalu update informasi mengenai referensi tempat makan paling hits sampai tempat makan baru rilis. Bahkan dia ikut komunitas food hunter cabang Jakarta. Karena terbatasi pekerjaan, Tiara sering berburu makanan saat akhir pekan atau hari libur. Mau cari referensi tempat makan model apapun mulai dari budget minimal sampai maksimal, tanya Tiara saja. Dia punya banyak rekomendasi.

"Serius vouchernya nggak lo pakai? Yaudah, makasih, Ra."

"Sepupu gue mau lamaran, makanya gue mudik," ujar Tiara, mengetukkan jemarinya di atas mejaku. "Oh ya, Nir. Mas Navin lagi sibuk banget, ya? Chat gue nggak pernah dibalas sama dia."

"Nggak, tuh. Lo ngechat Mas Navin?" tanyaku menahan senyum. Sebenarnya mau tertawa, tapi kasihan Tiara.

"Gue titip salam aja buat dia, ya. Bilangin jangan sombong-sombong ntar jodohnya sempit." Tiara mengedikkan bahu lantas menarik kursinya kembali ke tempat semula.

"Siap, Ra. Makasih, ya," sahutku geli.

Aku mengamati voucher dari Tiara. Memotretnya dengan kamera ponsel kemudian mengirimnya ke nomor Argo.

Aku : send picture. Mau nggak?

Tidak langsung terbalas. Mungkin dia sibuk. Misalnya Argo tidak mau menerima ajakanku, aku tidak punya opsi selain Mas Navin. Meskipun malas banget ngajak dia, tapi gimana lagi daripada vouchernya mubazir. Syukurlah, Argo membalas pesanku malam harinya.

Argo : Kapan?

Aku : Besok malam, jam tujuh. Gimana?

Ponselku berdenting lagi dua puluh menit kemudian. Kayaknya tadi Argo sedang berpikir keras.

Argo : Oke.

Aku : Gue ke rumah lo jam berapa?

Aku tahu Argo tidak punya motor, makanya aku sering menyambangi rumahnya duluan. Sebenarnya tidak perlu serepot itu, sih. Kalau pada dasarnya seorang sudah berniat pergi bersama seorang wanita, pasti sang pria akan mencari cara apa saja. Tapi Argo kan... aku saja tidak tahu bagaimana pendapatnya tentangku. Aku belum berani bertanya tentang hal itu.

Argo : Gue aja yang ke rumah lo.

Bibirku mengurva.

Aku : Oke, jam berapa?

Tidak ada balasan lagi. Positif thinking saja, barangkali Argo kelelahan sampai tak sanggup menggerakkan jemari sekadar buat membalas pesan. Atau dia sedang melanjutkan pekerjaan lainnya. Oke, aku tidak akan mengirim pesan lagi. Toh, nanti Argo juga bakal menghubungiku kalau benar-benar penting.

[Ready To Love You]

Cuma mau makan gratis berbekal voucher pemberian Tiara saja aku kesusahan memilih baju yang pengin kukenakan malam ini. Semua baju di dalam lemari kukeluarkan, kurentangkan di atas kasur. Wajar, dong. Sudah lama aku tidak bermalam minggu berdua dengan pria selain ayah dan Mas Navin. Saking lamanya, aku sampai lupa.

Aku ingin memberdayakan aneka rok lucu yang jarang kupakai dan heels warna perak yang kupakai kalau ada kondangan saja, tapi tidak percaya diri. Mau pakai celana sama kaus, kok kesannya terlalu santai. Ya ampun, baru kali ini aku bingung mau pakai busana apa.

Setelah bertapa singkat karena sebentar lagi hampir pukul tujuh, akhirnya aku pilih baju terusan model strap dress berwarna cokelat muda dengan cardigan hitam. Kakiku cukup dibalut sepatu flat warna cokelat juga biar tidak ribet. Mematut diri di depan kaca sekali lagi sebelum keluar kamar, aku tersenyum puas.

"Mau ke mana?" tanya ayah ketika aku menghampirinya tengah santai di depan televisi, menyaksikan acara berita kesayangan.

"Mau pergi sama Argo. Dikasih voucher gratis sama Tiara. Kan sayang kalau dianggurin," jawabku seraya mengangsurkan dua buah voucher kuning terang kepada ayah. Menegaskan kalau aku memang sungguhan pergi ke sana.

Ayah melirik sekilas. Aku yakin ayah tidak serius meneliti vouchernya.

"Pulangnya jangan melebihi jam dua belas malam."

Aku tertawa. Mencium pipi ayahku. "Iya, iya. Kayak cinderella aja perginya dibatasi sampai jam dua belas malam."

"Ya sudah."

Seseorang menekan bel. Itu pasti Argo. Dia memang selalu tepat waktu. Aku melangkah riang, bergegas membukakan pintu. Seketika senyumku memudar.

"Halo, Nira."

"Mas Didas ngapain?"

"Argo nggak bisa ikut. Dia ada kerjaan mendadak. Jadi, saya nggantiin dia. Nggak apa-apa, kan?"

Ini maksudnya gimana? Aku ngajaknya Argo, tapi yang datang Mas Didas. Jangan bilang Argo menyuruh Mas Didas menggantikan dirinya. Kalau dia tidak mau datang sama aku harusnya ngomong dari awal, jangan malah mengalihkan lewat orang lain. Harusnya Argo konfirmasi sama aku kalau dia mau diganti orang lain.

"Kok Argo nggak ngabarin, sih?" dumelku sambil mengecek ponsel.

"Karena mendadak, Nira," tukas Mas Didas.

Mendadak, mendadak, alasan apaan itu. Sial, Argo tidak menanggapi panggilanku. Kutelepon berulang kali tidak bersambut. Masa aku pergi sama Mas Didas? Aku bosan lihat wajah dia di kantor, masa di luar kantor harus ketemu dia lagi. Mending aku pergi sama Mas Navin saja. Ini gimana, sih?

Argo : Maaf, gue dapat kerjaan mendadak. Lo pergi sama Mas Didas, ya.

Enak saja dia bilang. Kayak tidak punya rasa bersalah sama sekali.

Aku : Kenapa nggak bilang dari tadi? Mendingan gue pergi sama Mas Navin, Go! Lo nyebelin banget, sih.

Argo : Gue bantu nyiapin katering, pesanan pemprov buat besok pagi.

Aku : Kan elo bisa bilang sama gue kalau nggak bisa. Ngabarin gitu, bukannya malah ngirim Mas Didas ke sini. Lo kenapa juga nggak angkat telepon gue?

Argo : Mendadak.

Kini berganti Argo meneleponku. Gemas, aku mereject panggilannya. Tak tanggung-tanggung, aku langsung mematikan ponsel. Kesal. Segitunya Argo tidak menganggap apa yang sudah kulakukan padanya. Tidak menghargai aku yang sampai kebingungan memilih pakaian apa yang pantas kupakai malam ini. Dengan entengnya dia malah mengalihkan janjinya kepada orang lain.

"Gimana, Nira? Jadi pergi?" tanya Mas Didas.

Aku menoleh. Mas Didas melempar senyuman saat aku menoleh ke arahnya.

"Jadi."

Aku juga tak enak menyuruh Mas Didas pulang. Terpaksa, mau gimana lagi.

"Kok belum pergi?" Ayah menyusulku ke teras. Melebarkan mata sedikit. "Ini yang namanya Argo?"

"Saya Didas, Om. Teman sekantor Nira." Mas Didas mengulurkan tangan. Mencium punggung tangan ayah.

"Oh, katanya sama Argo?" ayah menatapku penuh selidik.

"Argo nggak bisa. Ada kerjaan mendadak," sahutku sebal. Melarikan mataku dari tatapan tajam ayah.

"Ya sudah. Pulangnya jangan malam-malam. Maksimal jam sepuluh," ucap ayah membalik badan kembali masuk ke dalam rumah. Ayah menggerakkan kruk, alat bantu jalannya agak tergesa.

Sejenak aku melongo ketika ayah sekalian menutup pintu. Membiarkan aku dan Mas Didas yang masih bengong berdiri di teras. Tumben banget ayah kayak gitu.

"Ayo, sudah jam tujuh lewat. Saya harus balikin kamu sebelum jam sepuluh kalau nggak mau dicincang sama ayah kamu," ujar Mas Didas menghamburkan lamunanku.

"Iya, Mas. Saya juga nggak mau lama-lama di sana," balasku.

Aku tersenyum agak terpaksa dimaniskan waktu Mas Didas membukakan pintu mobilnya untukku. Pokoknya setelah ini aku mau minta perhitungan sama Argo.






Sorry, ya, apdetnya ngaret. 😁

Selama dua bulan ke depan mungkin aku apdetnya bakal nggak sesuai jadwal dan mungkin nggak rutin juga.

Soalnya ku harus beresin klien di luar kota. Tapi kuusahain apdet, buat kalian tercintaahh 😍😍

#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.

Nih, jadwal update cerita #UnconditionallyLoveSeries.

1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy

2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh

3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahanaco

4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri

5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians

6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic

Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚

Yogyakarta, 8 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro