18. Pantangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya bisa apdet, tapi nggak sesuai jadwal 😂

Utang apdet masih banyak 😵😂




Kudorong pelan pundak Argo. Wajahku terangkat. "Iya, tapi barengan sama lo."

Tidak ada senyuman, hanya ada sorot mata tajam yang mematri wajahku. Argo tidak bereaksi. Padahal dia sendiri yang memulai. Dari situ aku menyimpulkan dia menjadikanku bahan candaan. Lebih parahnya, kupikir hanya halusinasiku saja.

"Oh, ya?" Argo menaikkan alisnya.

"Ya iyalah. Gue nggak bisa sendirian. Pada dasarnya semua hubungan itu mesti dijalani bareng-bareng, kan. Kebersamaan dalam berjuang, bukan sendiri-sendiri," sahutku.

"Hubungan apa?" tanya Argo datar.

Mulutku merapat. Astaga, dia bilang hubungan apa? Dia tidak memahami maksud perkataannya sendiri atau aku yang salah tafsir? Rasanya pengin teriak. Melampiaskan kepulan emosi yang menggulung di dada. Sabar, Nir. Ini masih pagi.

Alhasil, akibat tidak bisa mengeluarkan emosi gara-gara lelaki satu ini, aku mendengus panjang. Menarik napas sedalam-dalamnya sambil membuang muka.

"Emang lo pengin hubungan yang kayak gimana?" lanjut Argo membuat pandanganku kembali terarah kepadanya.

"Yang capek dan senangnya nggak sendirian, tapi barengan," ucapku mantap.

"Sama gue banyak capeknya, Nir. Lo yakin nggak bakal capek sama gue yang punya banyak pantangan? Gue juga nggak bisa janjiin lo kemewahan, tapi lo bisa dapat semua itu kalau sama Mas Didas. Lo bakal sejahtera."

"Apa, sih? Pakai pantangan kayak lo punya penyakit aja. Lagian kenapa Mas Didas mesti ngikut-ngikut mulu. Gue nggak suka dengernya."

Argo selalu melibatkan Mas Didas dalam setiap aktivitasnya. Entahlah, aku tidak suka mendengarnya. Bukannya aku membenci Mas Didas, tidak. Malahan aku sangat menghormatinya. Terlepas dari dirinya yang memegang jabatan tertinggi di kantor. Walaupun, yah, pada saat tertentu kadang-kadang Mas Didas bikin sebal juga.

Aku heran, seloyal itukah Argo dengan orang yang pernah berjasa dalam hidupnya? Ada pepatah mengatakan loyalitas tak terbatas, tetapi sikap loyalitas kadang harus terbatas jika sudah menyangkut perkara hati nurani. Aku tidak mengerti bagian mana yang membuat Argo segitu keukeuhnya membela Mas Didas.

Namun, ucapan Argo selanjutnya membuatku terpana.

"Wanita yang disukai Mas Didas adalah pantangan gue. Termasuk elo," ujar Argo lirih.

Belum berhenti melongo, tentu saja aku tidak percaya yang Argo katakan barusan. Memang belakangan ini aku menyadari gelagat Mas Didas kepadaku semakin membingungkan. Mas Didas baik, tapi sesudah Argo mengundurkan diri kebaikannya makin berlipat ganda. Dia juga tambah sering mengajakku mengikuti acaranya di luar kantor. Makanya pekerjaanku terbengkalai.

Awalnya aku merasa biasa saja, tapi lama-lama kok jadi terus-terusan gitu. Hanya saja aku enggan menyimpulkan terlalu jauh bahwa Mas Didas memiliki rasa berbeda terhadapku selain rasa antar sesama rekan kerja. Kesannya pede banget sampai aku mikir ke arah situ.

"Mas Didas suka sama gue?" pekikku panik.

Argo mengangguk.

"Kalau lo suka sama gue nggak?" tanyaku spontan.

Sesudah itu aku menelan ludah, menutup mulut dengan sebelah tangan. Merasakan jantungku berdentum kencang. Bisa-bisanya aku ngomong kayak gitu sama Argo. Seumur-umur ini baru pertama kali aku bertanya perihal hati kepada lawan jenis secara blak-blakan. Biasanya aku yang ditanyain begitu, eh malah sekarang giliran aku yang nanya. Cuma Argo yang bisa bikin aku seperti ini.

"Gue..." Argo menunduk.

Aku menggigit bibir menahan malu, tapi juga penasaran. Pengin tahu dia menjawab apa sekaligus mendengar lebih jelas alasannya terus menerus mengutamakan kepentingan Mas Didas di atas kepentingannya. Mengumpulkan energi kepercayaan diri tingkat tinggi, kudekatkan wajahku padanya. Dia terlonjak.

"Gue..." Argo menatapku. "Gue nggak sebanding sama Mas Didas. Gue nggak punya apa-apa dan gue nggak bisa menjanjikan apa-apa. Tetap gue yang kalah kalau bersaing sama dia."

"Apaan, sih? Lo nggak perlu saingan sama Mas Didas. Ini bukan lomba. Berhenti sebut nama dia, deh. Dengar namanya malah ngingetin gue sama kerjaan aja," gerutuku.

"Tapi..."

"Tapi lo suka sama gue, kan?"

Aku mengulangi pertanyaanku. Biarin saja dikira maksa. Aku sudah menyampaikan semudah-mudahnya kalimat yang dapat dipahami, tapi Argo tak kunjung menanggapi dengan pasti. Dia terus terpaku dan berputar-putar pada seorang pria yang diakuinya sebagai panutan. Kenapa dia berpikir mesti bersaing sama Mas Didas? Merasa rendah diri padahal justru Argo punya banyak potensi. Lagi pula sudah jelas, aku tidak punya ketertarikan sedikit pun sama Mas Didas.

"Argo," panggilku agak merengek.

Menarik napas panjang, Argo merapatkan jaketnya. Di sini aku harap-harap cemas menantinya membuka suara. Tidak peduli langit telah bersinar terang. Gerimis telah pergi. Tidak peduli jam segini aku belum bersiap. Aku tidak khawatir terlambat ke kantor. Aku hanya khawatir terlambat mengutarakan, terlambat membuat Argo mengakui kenyataan hati yang ia rasakan.

Lalu, Argo mengangguk sambil memegang pundakku. Mulutku membulat.

"Berarti kita..." Kalimatku menggantung di udara. Tidak sanggup menggerakkan lidah saat Argo menggerakkan tangannya di atas kepalaku. Akhirnya aku tidak berkata apa-apa, mengerjapkan mata memerhatikannya.

"Seharusnya gue yang tanya gitu, bukan elo," sahut Argo tersenyum tipis.

"Habisnya lo kelamaan. Banyak pertimbangan, khawatir ini itu. Nggak penting tahu. Jalanin aja napa," cetusku.

"Karena gue yakin lo nggak bakal mau. Gue berantakan."

"Lo nggak boleh yakin sebelum konfirmasi sama orang yang bersangkutan. Nggak usah peduli omongan orang," omelku.

Gerakan tangannya di atas kepalaku terhenti. Argo mengerutkan dahi sebelum berkata. "Gue balik, ya."

"Balik? Lo nggak mau ketemu ayah dulu?" tawarku.

Aku menduga suara berisik di dapur tadi adalah ayah. Pasti ayah bikin kopi sendiri gara-gara kutinggal menemui Argo. Biasanya sepagi ini ayah mulai duduk manis di ruang tamu menunggu koran harian pagi yang diantar kurir langganan.

"Lain kali aja. Titip salam."

"Habis ini lo mau ke mana?" tanyaku, mengikuti langkahnya ke luar gerbang.

"Ke pasar. Belanja."

Aku manggut-manggut. Enggan bertanya lebih detail Argo belanja buat siapa. Tentu saja buat Argo dan adik-adiknya. Mereka juga butuh asupan gizi. Makanya Argo datang ke rumahku pagi banget itu sekalian mau mampir ke pasar. Aku baru ingat kalau rumahku dekat dengan pasar. Mana mungkin Argo serela itu datang pagi-pagi kalau tidak ada maksud terselubung. Ternyata mau sekalian belanja.

Menyadari hal itu tanpa sadar bibirku manyun. Hatiku sudah terbang pagi-pagi disambut kedatangan Argo lantas berlanjut membicarakan peluang masa depan. Ternyata tujuan utamanya adalah ke pasar, mengunjungiku adalah tujuannya nomor dua.

"Lo kenapa?"

Aku menggeleng. Percuma meratapi kayak beginian. Tidak ada manfaatnya juga. Yang penting aku sudah mendapatkan kejelasan. Aku sudah tahu hatiku memihak kepada siapa. Urusan yang lain-lain itu belakangan. Semua bisa diatasi bersama.

"Ntar gue kabari lagi." Argo menyentuh kepalaku lagi.

Sepertinya menyentuh kepalaku akan menjadi kebiasaan baru Argo. Setiap kepalaku disentuhnya, aku merasa percaya penuh kepadanya. Seakan pasrah saja. Desiran yang menghampiri bukan gejala biasa. Saking lamanya, aku lupa kapan terakhir kali mengalami hal serupa. Dulu aku pernah jatuh cinta, tapi tidak pernah sedahsyat ini.

Sudah kubilang aku tidak keberatan, kok. Aku siap dengan segala konsekuensi. Bagaimana pun keadaannya, menghadapi bersama-sama selalu terasa lebih baik.

Aku menatap punggung Argo menjauh. Jarak rumahku dengan pasar tidak jauh. Tidak masalah Argo ke sana jalan kaki. Seandainya hari ini bukan hari kerja pasti dengan hati membuncah aku akan menemaninya belanja. Bahkan menemani seharian pun tidak masalah. Ke mana saja asalkan bersamanya. Jangankan seharian, seterusnya pun aku tidak menolak. Membayangkannya membuat pipiku menghangat.

Kembali masuk ke dalam rumah, aku harus bergerak cepat jika tidak ingin terlambat. Sebenarnya terlambat sedikit tidak apa-apa, tapi nanti urusannya jadi panjang. Aku malas.

"Itu yang namanya Argo?"

Langkahku terinterupsi. Menyadari ayah duduk di ruang tamu. Dia menatap cangkir putih polos di atas meja. Cangkir berisi teh yang tadi diminum Argo. Di sampingnya ada cangkir berwarna cokelat muda berisi kopi jahe racikan ayah.

"Ayah nguping, ya!" seruku mencebik.

"Nggak. Ayah nggak dengar kalian ngomong apa," ujar ayah memberi isyarat padaku untuk menyingkirkan cangkir kotor itu. "Tapi ayah lihat kalian ngapain aja di depan."

Tubuhku membeku. Apakah ayah melihat Argo menyentuh kepalaku? Bisa jadi ayah sudah mengaintai sejak aku dan Argo duduk berdua di ruang tamu. Mengamati semua aksi kami. Aku kehabisan akal, wajahku mau disembunyikan di mana?

"Ada perlu apa pagi-pagi ke sini?" ketegasan terpancar dari nada suara ayah mmebuatku ciut luar biasa.

Wajahku semakin menunduk dalam. "Argo mau ketemu Nira."

"Sekarang Argo kerja di mana?" tanya ayah dengan nada lebih melunak. Nah, aku baru berani mengangkat muka.

Tentu saja ayah paham tentang Argo, Mas Didas, kondisi kantor, dan segalanya yang menyangkut mereka. Sejak awal aku tidak pernah absen membagi cerita kepada ayah. Selama ini ayah tidak memihak siapa-siapa, hanya mendengarkan curhatanku penuh khidmat. Sekali-kali melontarkan saran.

Namun, setiap aku menyebut nama Argo, ayah selalu berekspresi biasa saja. Lain hal saat aku mengucapkan nama Mas Didas. Agak tegang. Aku tidak tahu alasannya. Mungkin karena Mas Didas sebagai pucuk pimpinan tidak mengambil tindakan bijak untuk Argo.

Pertanyaan ayah barusan membuat otakku bekerja lebih keras. Menghubung-hubungkan kejadian yang terlewati. Kapasitas tampungan memori di otakku mulai terpilah sendiri. Aku baru sadar reaksi ayah ketika Mas Didas menjemputku yang beralasan menggantikan Argo tempo hari. Seolah menolak mengobrol dengan Mas Didas lebih lama. Entahlah, mungkin ayah memiliki penilaian tersendiri.

"Nggak di mana-mana. Argo kerja serabutan, tapi masih sering bantuin katering," jawabku.

"Dia laki-laki yang baik," sahut ayah seraya meneguk kopinya.

"Memang," balasku pelan. Mataku fokus pada cangkir dalam genggaman. Cangkir bekas teh yang diminum Argo.

"Cepat siap-siap sana. Nanti kamu telat. Ini sudah jam berapa," seru ayah memberantakkan lamunanku.

"Oh, iya. Aku belum siapin sarapan pula."

Berasa anak sekolah saja diingatin begitu sama ayah. Waktu merangkak sangat cepat. Tahu-tahu sudah jam enam saja. Aku harus benar-benar bergerak cepat.

Sekarang aku tengah merancang strategi bagaimana cara menghadapi Mas Didas. Argo menyebut diriku pantangan untuknya. Sedangkan aku tidak suka disebut begitu. Aku tidak mau menjadi pantangan atau penghalang untuk Argo. Kalau Argo enggan bergerak, tentang Mas Didas biar menjadi urusanku saja.

Cepat atau lambat Mas Didas akan tahu bila kedekatanku dengan Argo telah berkembang. Kalau bukan aku, siapa lagi. Mana mungkin Argo berani sama Mas Didas. Aku tidak peduli Mas Didas beneran menyukaiku seperti yang dikatakan Argo atau tidak. Aku hanya ingin Mas Didas tidak menekan Argo sedemikian rupa mentang-mentang dirinya berjasa atas dasar kemanusiaan.

Imajinasiku mengudara. Argo boleh lepas dari segala bentuk perlakuan tidak menyenangkan di kantor, tapi belum tentu dia lepas dari bentuk perlakuan Mas Didas. Tidak menutup kemungkinan bila Mas Didas menerapkan sistem menguliti perlahan-lahan untuk membuat Argo tunduk padanya. Ini lebih mengerikan dari segala bentuk pembullyan di mana pun. Baik di depan, menusuk di belakang. Soalnya sekarang lagi zamannya kayak gitu.

Ya ampun, aku sudah membayangkan keburukan orang lain yang belum tentu terjadi.





Gimana chapter ini.
Makin suka sama Argo atau biasa aja?

Sampai jumpa tahun depan...

Selamat liburan... 💃💃💃

#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.

Nih, jadwal update #UnconditionallyLoveSeries.

1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy

2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh

3. Rabu - Kamis : Lovesick by IndahHanaco

4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri

5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians

6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic

Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚





Yogyakarta, 29 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro