14 : falling in love again

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buatlah tokoh cerita kalian sedang pdkt dengan crushnya sesuai dengan love language kalian masing-masing

[]

Sore itu kami mengadakan pertandingan basket kecil-kecilan di antara cowok-cowok kelas kami melawan adik-adik kelas yang merupakan anggota ekskul basket. Kami kalah tipis. Si bongsor itu memang sulit dihadang. Tingginya sejajar denganku, gesitnya tak beda jauh dengan Reihan, kemampuan mencuri bolanya setara dengan Ali, ditambah tubuhnya yang besar tak akan ada orang yang berani berhadapan dengannya.

Kami jadi punya utang pada mereka. Kami taruhan satu orang dapat lima ribu kalau menang. Karena jajanan kantin sudah banyak yang habis, kami janji akan mentraktir mereka besok.

Sebelum pulang, aku, Jerico, dan Ali mampir ke kantin untuk membeli air putih dingin.

Saat aku tengah sibuk merasakan sensasi tetes demi tetes air dingin yang mengalir di kerongkonganku, di suasana kantin yang nyaris hening, Jerico bertanya, "Lu suka sama Shafira ya?"

Ah, aku sudah curiga dari awal. Tentang bagaimana mereka memprovokasiku untuk ikut beli air, mengusir halus Reihan, dan memisahkan diri dari teman-teman lainnya.

"Emang kenapa?" Aku mengulur-ulur waktu.

"Iya apa enggak?" cecar Ali.

Whoa, sabar, Bro!

"Kalo iya kenapa?" Aku masih berusaha menyembunyikan ekspresi asliku yang kalang-kabut, kocar-kacir, morat-marit.

"Jadi iya?" Gantian Jerico yang menginterogasi.

Aku menyeringai tipis. "Hmm," gumamku. Lalu aku mengangguk kecil.

Kulihat bola mata mereka melebar, bahkan kulihat dari gerakan tangannya Jerico nyaris menggebrak meja, tetapi berhasil ia tahan.

"Serius?!" Ali merespons demikian.

"Pake nanya lagi," gusarku.

"Gue nggak nyangka aja lo beneran suka sama yang berhijab," ucap Ali masih terheran-heran.

"Suka ya suka aja," ucapku sedikit kesal.

"Terus kenapa nanya? Mau bantu?" Aku menyedekapkan tangan.

Kedua pemuda itu kompak mengangguk.

"Bantu gimana?" Aku mengernyitkan dahi.

"Bantuin PDKT lah," ucap Jerico.

"Btw, lu kalo suka sama orang keliatan banget, Sen," kata Ali.

Aku makin menautkan alis. "Keliatan ... kayak apa?"

"Tatapan lu, nggak lepas-lepas, nggak kedip, kayak tadi ... perkara dinosaurus aja merhatiinnya kayak serius banget, sambil senyum-senyum lagi, kayak orang gila."

Jadi orang-orang dapat melihat emosi internalku?!

"Menurut lu Shafira itu kayak apa? Um, apa yang bikin lo suka dia?" Jerico terus menggali informasi.

"Cantik, kalem, lemah lembut, rajin, taat agama," deskripsiku.

"Wah, yang terakhir sulit." Jerico menanggapi.

"Nggak apa-apa, namanya juga percintaan masa SMA, 'kan trial rumah tangga doang," ucap Ali enteng.

Jerico mendengkus. "Pengalaman ...," sindirnya.

"Lo juga kan?!" Ali tak terima.

"Trial-trial gamon juga," ledek Jerico tak menghiraukan kemurkaan teman sebangkunya itu. Ali memukul punggungnya hingga berbunyi keras sehingga cowok bermata sayu itu mengaduh.

"Tapi keluarganya kayak sayang banget sama dia ...," lirihku macam pemuda yang gentar sebelum perang.

"Ya namanya keluarga pasti sayang lah. Lo udah pernah ke rumahnya 'kan?" Aku mengangguk.

"Keluarganya welcome nggak?"

"Welcome ... sama kita semua. Keluarganya baik kok."

"Tuh, itu tuh kesempatan, lo nggak tau akhirnya keluarganya bakal terima atau enggak, tapi gue rasa lo nggak bakal ditolak mentah-mentah kok sama keluarganya," jelas Ali.

"Kayaknya dulu Reihan juga sering ngajak main Shafira, setau gue juga dia kenal sama mamanya," tambah Jerico.

Aku mengangguk-angguk.

"Lu pernah pacaran 'kan?" tanya Ali.

Meski agak sakit mengingat hal itu kujawab, "pernah."

"Yaudah deketin aja, lu mah, yah ... kemungkinan kecil ditolak, at least lu disukain balik lah, urusan pacaran enggaknya belakangan," ucapnya.

"Gue takut beda ... culture PDKT."

Kedua kawanku itu terlihat menahan tawa. "Emang lu di Inggris gimana? Langsung cium?" ceplos Jerico.

Aku melotot, lalu menabok punggungnya juga. Jerico meringis sambil mengusap-usap punggungnya. "Sakit banget anj—"

"Yang penting lu kenal sama dia, banyakin ngobrol sama ... act of service." Ali menyebut kata-kata act of service macam Spongebob ketika menyebut aktor.

Beberapa hari belakangan kedua temanku itu mencoba bergabung ke obrolan cewek-cewek terutama Shafira dan kawan-kawannya, mereka akan terus memancingku untuk berpartisipasi dalam obrolan dalam rangka mengenal Shafira lebih dekat. Dia tak sekalem yang aku kira, tapi masih dalam kategori kalem dan cenderung pemalu. Dia mudah tertawa meski gara-gara hal kecil. Dia juga tidak se-lemah lembut itu, tapi itu manusiawi lah ya. Selain itu dia sesuai kesan pertamaku.

Di hari Jumat ini aku tak langsung pulang gara-gara tiba-tiba dipanggil seorang guru untuk mengintip atap. Iya, aku sedang berjalan menyusuri koridor dan hendak pulang, lalu diminta memanjat jendela, naik ke atap kamar mandi yang ada tepat di belakang kelas, lalu menengok perihal apakah yang membuat saluran air tersumbat. Katanya setiap hujan, air akan tersumbat sehingga air hujan tersebut mengalir bak air terjun dan hal itu mengakibatkan kayu jendela makin lapuk dan airnya suka merembes ke kelas. Akhirnya aku diminta sekalian membersihkan daun-daun yang menumpuk di sana. Bu guru tersebut memberiku uang dua puluh ribu, lumayan.

Setelah itu aku kembali menggendong ranselku dan bergegas pulang. Namun, saat aku melewati gazebo, kulihat ada seorang perempuan tengah berteduh dan tampak merenung menatap butiran-butiran air yang jatuh. Tentu saja aku langsung menghampirinya.

"Shafira, nggak pulang?" tanyaku.

"Eh, Sean, lagi nunggu reda." Ia yang baru tersadar dari lamunannya sontak mendongak menatapku.

"Dijemput?" tanyaku lagi.

"Iya," jawabnya singkat.

Ah, sepertinya hawa canggung itu belum juga luntur. Aku tanpa teman-temanku hanyalah pemuda payah yang tidak asik.

Karena aku bingung mau bicara apa lagi, kami sama-sama terdiam. Di tengah lamunanku aku teringat sesuatu.

"Shaf, mau aku anterin aja nggak? Aku ada jas hujan," tawarku.

Dia tampak sedikit tertegun. Eh, apa salahku?

"Terus k-kamu pake apa?"

"Aku bawa dua," jawabku. Ini sungguhan, yang satu jas hujan sekali pakai kubawa di dalam tas, satunya lagi ada di jok motor.

"Aku bilang Ayah dulu berarti," ucapnya sembari mengeluarkan ponsel.

"Hmm, boleh deh, kamu masih inget rumahku 'kan?" responsnya beberapa saat setelah menghubungi ayahnya.

"Aku ada payung." Ia mengeluarkan payung dari tasnya dan memberikannya padaku. Aku yang tolol ini malah terperangah untuk sesaat. Aku selalu terkesan pada binar dari sepasang manik tersebut, lebih bercahaya dari mata siapa pun, seolah-olah adalah sebuah kerugian besar ketika aku tak menatapnya dengan saksama. Karena terlalu terperangah, aku menerima payung kecil itu seolah-olah hal itu adalah benda pusaka.

Aku membuka payungnya, lalu kami berjalan di bawah guyuran air hujan yang kini sudah mulai reda. Kutegaskan lagi, aku dan cewek yang aku suka, berjalan di bawah payung kecil bermotif polkadot warna biru, melewati lapangan sekolah yang sepi, seolah lapangan ini milik kami berdua—setidaknya seperti itu buatku. Aku terus-terusan menengok ke sampingku untuk memastikan ia tak terkena tetesan hujan sedikit pun. Aku bahkan tak sadar telah menunduk dan membasahi pundak kananku.

Kami berjalan ke parkiran. Aku menyerahkannya jas hujan sekali pakai yang kubawa, lalu memakai jas hujanku juga, lalu kami berangkat. Sepanjang perjalanan aku kurang fokus. Aku membonceng cewek yang aku suka. Aku mengantarkannya pulang ke rumah. Aku, seseorang yang pernah mendeklarasikan untuk tidak jatuh cinta lagi, tak mengerti kenapa aku bisa kembali jatuh cinta. Kini aku sudah tidak bisa menolak perasaanku, aku sudah telanjur didukung teman-temanku.

Dia memintaku turun di depan rumah tetangganya saja, tentu saja aku menurut.

"Adikmu suka dinosaurus 'kan?" Aku merogoh tasku untuk mengeluarkan buku ensiklopedia dinosaurusku yang lain, yang lebih kecil. Dengan mengabaikan sensasi aneh yang mendesir di sekujur tubuhku, kuserahkan ensiklopedia dinosaurus itu padanya.

"Eh? Buat aku?" Ia tertegun, ragu-ragu untuk mengambil.

"Iya, kasih ke adikmu," ucapku sembari tersenyum.

"M- makasih ya ...," ucapnya gugup. Aduh, aku juga malu.

"Udah ya, aku duluan." Aku buru-buru kembali menaiki motorku.

"Dah." Ia melambaikan tangannya.

Setelah punggungnya menghilang dari pandangan, aku segera tancap gas membelah jalanan kompleksnya tanpa memedulikan cipratan air yang kuciptakan.

Aduh, jantungku tantrum. Derunya benar-benar menyiksaku. Namun, di saat yang bersamaan, debaran itu membuatku lebih hidup dari sebelum-sebelumnya. Aku dihinggapi sensasi geli—orang-orang bilang seperti ada kupu-kupu di dalam perut, merinding, bersemangat, gembira, ingin tertawa terbahak-bahak, tapi malu. Aku sudah lama tidak jatuh cinta. Aku lupa euforia orang jatuh cinta. Dan kini, berkat Shafira Badzlina, aku kembali diingatkan betapa serunya hari-hariku ketika aku jatuh cinta.

Aku rela membawa-bawa buku dinosaurus itu tiap hari selama beberapa hari ke belakang. Aku merasa belum sempat mendapatkan waktu yang tepat untuk menyerahkan hingga tadi, kurasa tadi adalah waktu yang tepat.

[]

Sebenernya love language-ku suka berubah tergantung mood, dan ini dua yang dominan.


Anggaplah cerita ini mencakup keduanya.

Aku tadinya pengen banget bagiannya Shafira bisa kujadiin POV utama, tapi kalo cerita ini dari POV Shafira jatohnya dia yang di-PDKT-in, bukan lagi PDKT.

Aku sebenernya seneng dapet tema ini di saat yang sangat tepat, tapi hari ini aku rada betmut. Bukan gara-gara paslon yang kudukung kalah, tapi gara-gara nggak bisa nyoblos.

Jadi, maaf kalo cerita yang harusnya sangat lope lope ini lopenya kurang tersampaikan dengan baik.

Btw selamat hari kacih cayang dan salam damai buat seluruh warga indonesia!

Rabu, 14 Februari 2024


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro