Kenangan TerJONES

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author umenosekai

******

The spring and autumn period.

Masa di mana pekikan mengiris hati dapat terdengar membahana memenuhi langit. Di mana para pemuda mempertaruhkan nyawa mereka demi ego manusia yang duduk di tahta kerajaan ini.

Dunia di mana aku dan dia hidup adalah dunia di mana kedudukanmu ditentukan oleh kekuatan, oleh kemurnian darah yang mengalir di pembuluh darahmu, dan oleh uang yang tertumpuk di peti harta karunmu. Masa di mana kemakmuran suatu kerajaan diukur dari berapa banyak kota yang ia renggut.

Perang, menjadi satu-satunya pemecahan masalah yang ada. Darah, menjadi satu-satu bukti kehormatan yang diterima. Dan keduanya merenggut kebahagian kecil milikku.

Setiap kali perang dimulai, sebuah papan akan selalu terpasang di tengah desa tempat aku dan suamiku, Li Yue, tinggal. Dan setiap kali papan tersebut terpasang, para pemuda desa akan segera berkerumun mengelilingi papan tersebut. Seorang warga desa yang cukup beruntung karena memiliki kemampuan untuk membaca akan membacakan pengumuman tersebut dengan lantang, disambut binar-binar yang muncul di mata para pemuda desa.

Di musim kemarau tahun ini, hasil pertanian sepertinya tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga kecil di desa ini. Oleh karena itu, Li Yue dan pemuda lain memutuskan untuk mendaftarkan diri mereka sebagai prajurit dan pergi mengikuti peperangan. Pertaruhan yang berbahaya memang. Namun jika mereka berhasil selamat, mereka akan pulang dengan disambut sorak sorai warga desa lainnya; dianggap sebagai pahlawan. Namun jika gagal, akan sangat beruntung jika jasadmu dapat kembali ke tanah Qi.

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengusir pikiran buruk itu dari benakku. Telapak tanganku mulai gemetar, namun kucoba untuk menenangkan diriku. Beberapa saat kemudian, Li Yue datang dengan senyuman hangatnya.

"Mei, aku akan pergi sekarang. Doakan aku beruntung," ujarnya seraya mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya. Tatapan yakin terpancar kuat dari kedua matanya, memberikanku kekuatan untuk tersenyum.

"Aku akan selalu menunggumu, suamiku," balasku mantap. Aku tidak ingin dia pergi dengan pikiran tidak tenang. Aku juga tidak ingin dewa mendengar doaku yang penuh keraguan.

Sungguh, aku tidak mengingankan apa-apa, tidak kekayaan, tidak pula martabat atau kehormatan. Yang kuinginkan hanyalah Li Yue di sisiku.

***

Ibu Kota Kerajaan Chu

Tahun demi tahun berlalu, perang demi perang terjadi. Namun begitu, perihnya peperangan tampak tak dapat membungkam hiruk pikuknya pasar yang terletak di kota ..... Puluhan pedagang sibuk menawarkan barang dagangannya, dan puluhan pembeli sibuk menawar barang yang ia ingin. Semua orang tertawa, kecuali beberapa pedagang yang kalah dalam pertarungan tawar menawar dengan pembelinya, dan juga seorang wanita yang berdiri mematung di sudut kota.

Pakaiannya lusuh. Wajahnya tampak pucat dan darah tampak sudah mengering di bibirnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tempat di mana semua orang akan mendengarnya. Pipa di punggungnya tampak merosot turun begitu ia berdiri di depan salah satu kios pedagang dengan pelanggan terbanyak.

Ia menghela nafasnya. Hembusannya mengakibatkan helai rambut hitamnya yang jatuh menutupi wajahnya bergoyang. Pipa yang tadi berada di punggungnya, kini sudah duduk manis di pelukannya. Gadis itu menegadahkan kepalanya, membiarkan cahaya menerangi manik mata hitamnya, sekaligus memperjelas sembab di bawah matanya.

Jatinya memetik dawai-dawai gitar dengan terampil. Petikannya membuat khalayak yang awalnya tidak memperhatikannya, memalingkan wajah mereka ke arah gadis itu. Perlahan, ia membuka mulutnya. Seketika itu suara merdunya bergema. Memenuhi jalanan ramai di sekitarnya. Memaksa khalayak di sekitarnya untuk diam dan larut dalam nyanyiannya.

Walaupun tubuh ini terluka dan berdarah, walau raga ini pudar bagai debu dalam belaian angin, aku akan kembali kepadamu ...

Wajah para pendengar tersebut berubah sendu. Luapan rasa rindu yang terkandung dalam tiap nada yang dinyanyikan wanita itu merasuk kedalam jiwa meraka. Membuat sebagian dari mereka tak dapat menahan air mata menggenang di pelupuk mata mereka.

Sang wanita tadi oleng. Tubuhnya berayun ke kanan sebentar lalu kembali ke posisi awalnya, seakan-akan tubuhnya menjerit memohon untuk diistirahatkan, tapi hatinya tidak terima. Sayangnya, belum sempat sang wanita tersebut menyelesaikan nyanyiannya, tubuh rapuhnya jatuh, menggemakan suara dentuman menyedihkan ke sekitarmya.

***

Aku membuka kelopak mataku yang terasa begitu berat. Ngilu-ngilu terasa menggerogoti tubuhku. Aku lupa kapan terakhir kali aku tertidur. Ah, aku ingat. Malam damai terakhirku adalah saat Li Yue ada di sampingku. Kenangan akannya kembali memberiku kekuatan untuk bangkit. Dengan sekuat tenaga aku meraih tongkat yang tergeletak di sampingku untuk menyokong tubuhku berdiri.

"Aiya, nona, jangan paksakan tubuhmu. Kau masih sangat lemah. Beristirahatlah sebentar!"

Seorang laki-laki berjalan terburu-buru menuju ke arahku. Dengan sigap ia menyangga tubuhku dan memaksaku untuk berbaring.

"Nona, tak dapatkah kau lihat tubuhmu. Kau begitu kurus dan pucat. Apa yang terjadi denganmu? Ah, ayo coba minum obat ini dulu." Pria itu membantuku mengangkat tubuhku sedikit, lalu mendekatkan gelas berisi cairan hijau dan membuatku meminumnya. Seketika itu rasa pahit menjalar di mulutku, membuatku mengernyitkan dahi secara tidak di sengaja.

"Kau merasa lebih baik?"

Aku menunjukan senyum terbaikku ke arahnya, lalu mengangguk dan berterima kasih.

"Maafkan aku telah merepotkan Anda, Tuan. Nama saya Mei. Sungguh jika ada hal yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan Anda...."

"Aiya, tidak perlu nona, tidak perlu. Ah, nama saya Jing Rui. Saya seorang tabib, bagaimana bisa saya membiarkan seorang wanita jatuh sakit begitu saja," timpalnya. Jing Rui segera menyodorkan semangkok congee dan menawarkannya kepadaku. Aku benar-benar merasa tidak enak hati dengan pertolongannya, namun Jing Rui terus menerus memaksaku.

"Wey, paman! Aku sudah selesai mengantarkan pesanan yang kau minta!" teriak seorang anak laki-laki yang tiba-tiba masuk ke ruangan tempat aku berbaring. Mendengar suara anak itu, Jing Rui berbalik dan meminta anak itu mendekat.

"Xiao Mei, perkenalkan ini Yu cheng. Yu Cheng, kau bantu Nona Mei menghabiskan Congee ini, ya? Nanti akan kubelikan pao kesukaanmu!" ujar Jing Rui seraya menyodorkan mangkok Congee di tangannya ke arah Yu Cheng. Bocah itu cemberut, tapi tetap saja dia duduk di sampingku dan menyodorkan sesuap congee hangat ke arahku.

"Cepat, makanlah! Kalah kau tidak segera menghabiskannya, aku tidak dapat membeli pao ku!" Aku tersenyum melihat kelakuan anak ini.

"Xiao Mei, kau seorang pengembara? Dari mana kau berasal?" tanya Jing Rui yang sudah kembali dengan dua mangkok congee tambahan di tangannya. Ia menyodorkan satu mangkok ke arah Yu Cheng, sementara mangkok lainnya diletakkan di sampingnya.

"Aku berasal dari Qi," jawabku disela suapan Yu Cheng. Jing Rui mengangguk mendengar jawabanku, lalu berpaling ke arah Yu Cheng.

"Ah, Xiao Cheng, ayahmu berada di Qi juga 'kan, ya?" Mendengar pernyataan itu, Yu Cheng mengangguk. Tangannya kini tak lagi menyodorkan sesuap congee ke arahku, namun mengaduk-aduk congee di magkok dengan gugup.

"Apa yang terjadi dengan ayahmu? Dia berkerja?" tanyaku kemudian, Yu Chen menggeleng.

"Dia meninggal, sepertinya."

Aku tertegun mendengar jawaban anak itu. Walaupun ia dapat menyembunyikan rasa sedih dari perilakunya, hanya ekspresi tegar yang terpancar di wajahnya.

"Kau tahu Xiao Mei, ayahnya seorang komandan yang cukup terkenal di Zhao. Namun sayangnya ia harus gugur di medan perang. Dan istrinya menyusulnya beberapa saat kemudia karena sakit. Aiya, kasian sekali anak ini!"

Namun bukannya bersedih atau apa, Yu Chen malah balas menatap Jing Rui dengan sorot mata tajam.

"Walau begitu aku tetap akan menjadi pejuang yang kuat dan aku akan menbuat ayah bangga!" teriaknya dengan lantang.

Mengapa? Mengapa anak semuda ini sudah berpikir untuk mempertaruhkan nyawanya di medan peperangan. Kehormatan apa yang sesungguhnya mereka dapatkan di tempat itu?

"Kau tahu Yu Chen, sama seperti ayahmu, Li Yue juga meninggalkanku ke medan perang. Dan walaupun musim salju berganti musim semi, ia tidak kembali kepadaku."

Yu Chen balas menatapku. Ada sedikit rasa tidak setuju di dalam tatapannya, namun ia tidak mengatakan apa-apa.

"Xiao Mei, apa kau masih mencarinya sampai sekarang?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Jing Rui. Air mata tak dapat lagi tertahan di pelupuk mataku. Dengan suara bergetar aku menceritakan segalanya kepada mereka berdua. Tentang janji Li Yue, tentang pencarianku yang tak berakhir, dan tentang syair yang aku dan Li Yue buat bersama.

Jing Rui tidak mengatakan apa-apa. Hanya diam seraya menghabiskan Congee-nya, begitu juga Yu Chen. Begitu selesai menceritakan semuanya, entah mengapa dadaku meraa lega, seakan-akan semua derita yang kusimpan selama ini tumpah bersama air mataku.

Setelah itu Jing Rui membiarkanku beristirahat. Ia membawa Yu Chen keluar ruangan dan berjanji akan mengajaknya ke pasar.

***

Hari sudah gelap saat aku terbangun. Karena rasa sakit di tubuhku sudah berkurang, aku menyampirkan selimut yang menutupi tubuhku dan beranjak bangun. Begitu aku keluar dari kamarku, aku mendapati Jing Rui sedang sibuk meracik obat-obatannya. Pria itu tersenyum begitu melihatku dan segera membantuku untuk duduk.

"Xiao Mei, kau sudah baikan?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk, namun pandanganku masih memperhatikan beberapa cawan berisi tumbuhan obat di atas meja.

"Ah, sebentar lagi akan musim dingin. Akan banyak anak yang mengalami demam saat musim dingin tiba, jadi aku membuat persedian yang lebih banyak," jawab pria itu riang. Dia menyodorkan sebuah cawan dan membiarkanku menciumnya.

"Hei Xiao Mei, kau yakin kau masih akan melanjutkan pencarianmu?" tanyanya penasaran.

"Jing Rui, kau tidak berpikiran untuk mempertaruhkan nyawamu di medan peperangan juga?"

"Ha ha ha, sejak kecil aku selalu membenci peperangan. Orang-orang kehilangan nyawa karenanya. Kau hanya dapat selamat dengan menjadi pembunuh. Dan aku tidak suka itu."

Aku menatap wajah Jing Rui. Pria tersebut kini menuangkan segelas tes hangat untukku. Aku meraih gelas tersebut, membiarkan kehangatannya menyebar dari ujung jariku.

"Dibanding menjadi seorang Jendral besar, aku lebih ingin menjadi seorang tabib handal! Aku ingin dikenang sebagai orang yang menyelamatkan nyawa seseorang, bukan merenggutnya." Jing Rui menyeruput tehnya. Pipinya yang tadinya pucat kini sedikit memerah.

"Xiao Mei, kau mau mencoba tinggal disini dan membantuku? Er, aku tahu aku terdengar tidak sopan, tapi jika Li Yue masih hidup, aku yakin dia akan kembali kepadamu, cepat atau lambat."

Aku menggigit bibir bawahku. Pernyataan tersebut sudah ribuan kali berkelebat di benakku, hanya saja....

"Kau wanita yang mengerti pedihnya kehilangan, kau memiliki apa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa seseorang."

Kata demi kata yang terlontar dari mulut Jing Rui seakan-akan menjadi tali yang menyesakkan dadaku.

"... tidak seperti aku."

Nafasku tercekat. Aku tertegun mendengar bisikan kata yang keluar dari mulutnya kali ini. Kutatap wajahnya yang dirudung rasa bersalah.

"Tidak seperti aku yang sudah merenggut banyak nyawa tak bersalah. Xiao Mei, kau sudah cukup menderita, jika kau terus menyiksa dirimu seperti ini, apa yang akan kau dapatkan? Hanya kematian! Lalu apa yang membedakan dirimu dengan pria yang membuang nyawanya di medan peperangan?"

Aku dapat melihat mata Jing Rui yang mulai berkaca-kaca. Aku menundukkan kepalaku. Bayangan Li Yue yang pergi meninggalkanku kembali terbayang dj benakku.

"Xiao Mei, jika kau merasa bersalah, berhentilah menghukum dirimu sendiri. Bagaimana kalau kau menebus rasa bersalahmu dengan menyelamatkan orang lain dari pedihnya kehilangan?"

Lagi. Kata-kata Jing Rui kembali menusuk-nusuk hatiku. Membuatku tak mampu menahan isak tangisku yang manjadi-jadi.

***

Beberapa tahun kemudian.

Aku tidak tahu apakah aku telah dimaafkan dari dosaku karena tidak dapat menyelamatkan Li Yue, dan dari dosaku karena hidup bahagia setelah kehilangan Li Yue. Namun jauh di lubuk hatiku aku bersyukur telah bertemu Jing Rui. Ia memberikan kembali kebahagiaan dari diriku yang dulu pernah hilang, sekaligus memberikan kebahagiaan yang baru.

"MAMAAAA, Jing Fei ngompol!" teriak Yu Chen sekuat tenaga. Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku dan menyeret kakiku ke arah teriakannya.

"Di mana papa?" tanyaku pada bocah yang kini sudah tumbuh menjadi seorang pria tampan. Yu Cheng hanya mengangkat kedua pundaknya seraya menunjukkan ekspresi sebal di wajahnya. Aku memutar mataku dan berteriak,

"JING RUI, Jing Fei ngompol, bantu aku menjaga toko!" Dan beberapa saat kemudian aku mendengar derap kaki Jing Rui yang tampak menuju kesini.

"Ada apa? Ada apa?" tanya pria itu panik.

"Kenapa kau ke sini? Aku memintamu menjaga toko!"

"Aiya, seharusnya kau tidak berteriak begitu. Minta saja Yu Cheng menjaga toko."

"Huh!" dengus Yu Chen.

Lima tahun sudah berlalu semenjak aku memutuskan untuk merelakan kepergian Li Yue dan membantu Jing Rui. Tak lama kemudian kami pun menikah, dan mengangkat Yu Chen menjadi anak kami. Tiga tahun setelahnya, anak kedua kami, Jing Fei, lahir. Baik Jing Rui maupun Yu Chen sangat bahagia menyambut kelahiran Jing Fei. Saking bahagianya, mereka bahkan memamerkan Jing Fei ke penjuru desa. Sontak, tumpukan hadiah segera memenuhi toko kecil kami. Para pasien Jing Rui selalu saja meninggalkan sekantong hadiah kecil untuk Jing Fei tiap kali berobat.

"Xiao Mei, jika aku pergi menjaga toko sekarang, apakah kau mau menciumku?" goda Jing Rui seraya menyodorkan pipi kanannya. Melihat itu, aku segera melemparkan baju kotor Jing Fei ke arahnya dan dia pun segera berlari meninggalkan kamar.

"Heran, bagian mana dari si mesum ini yang membuatmu jatuh cinta padanya, Mama?"

***

Pria tersebut berjalan terseok-seok, tubuhnya tampak berbalut perban. Entah sudah berapa lama ia berjalan, entah sudah berapa jauh ia berjalan, ia tidak lagi ingat. Yang ia inginkan hanya kembali ke pelukan kekasihnya tercinta.

"Xiao Mei...." gumamnya lirih.

Ia meringis, air mata tampak jatuh membasahi wajahnya yang hancur dan tak dapat lagi dikenali. Dalam hati, ia takut kekasihnya tersebut tak akan lagi dapat mengenali dirinya. Namun, rasa rindunya yang begitu besar mengalahkan rasa takutnya dan membuat kakinya tetap berjalan walau dengan posisinya yang menyakitkan.

Setelah kekalahan pasukan Qi, ia dan tentara yang selamat lainnya dijual sebagai budak oleh tentara Lu. Kehidupannya sebagai budak sungguh sangat menyedihkan, jauh lebih menyedihkan dibanding kehidupannya dulu. Entah berapa kali majikannya memaksanya bekerja di luar batas kemampuan manusia. Entah berapa kali majikannya mencambukinya karena kesalahan-kesalahan sepele yang ia lakukan karena terlalu lelah.

Namun tiga tahun yang lalu, Li Yue berhasil melarikan diri dari majikannya. Ia bersembunyi di dalam salah satu karavan yang saat itu akan menuju ke Chu. Dan di sinilah ia sekarang, terseok-seok di tengah jalanan sebuah desa kecil di pinggiran Chu.

"Semua lihat! Anak keduaku sudah lahiiiiiiirrr! Lihat betapa tampannya ia, setampan ayahnya!" teriak salah seorang pria seraya menunjukan bayi di pelukannya ke setiap orang yang ia temui.

"Sial sekali kalau sampai anak ini mirip denganmu, Jing Rui! Untung saja Xiao Mei memiliki wajah yang rupawan!" timpal salah seorang wanita tua.

Mendengar nama itu, sang pria berhenti. Ia memaksa tubuhnya berbalik ke arah suara tersebut.

"Xiao Mei..." gumamnya lirih.

Ia menyeret kakinya sekuat tenaga mengikuti Jing Rui yang kini panik begitu mendengar bayinya menangis. Jing Rui segera berlari seraya mengayun-ayunkan bayinya dengan canggung,

"Xiao Mei..." gumam Li Yue lagi. Ia berusaha mempercepat langkahnya. Namun apa daya? Dia sudah cukup bersyukur kakinya masih mampu menahan beban tubuhnya. Akhirnya setelah beberapa langkah yang menyakitkan, ia dapat melihat Jing Rui dan seorang wanita berdiri di depan sebuah toko obat.

"Xiao...."

Li Yue baru saja akan mengeraskan suaranya, namun ia terdiam begitu melihat Mei menggendong bayi itu dengan penuh cinta. Senyuman tampak merekah di wajahnya yang masih terlihat tirus.

Li Yue tertegun. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya begitu ia melihat tubuh Mei yang bertambah kurus, dan wajah serta lengannya yang penuh luka.

"Xiao Mei... maafkan aku... aku... tidak dapat membuatmu bahagia...." Li Yue jatuh tersungkur, air mata membasahi kedua pipinya. Dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir ia bangkit; menyeret tubuhnya menjauh dari kedua pasangan tersebut.

"Hmm?"

"Ada apa, Xiao Mei?" tanya Jing Rui, pria itu kini harus rela membawa kantung belanjaan Xiao Mei sementara wanita itu sibuk menenangkan bayinya.

"Tidak apa-apa, entah mengapa aku mendengar suara yang familiar?" jawab Mei ragu.

"Ah, mungkin Yu Chen bersembunyi di sekitar sini? Awas saja ya anak itu, bukannya membantuku!" dengus Jing Rui.

Di kejauhan, sosok Li Yue tak lagi dapat terlihat oleh pasangan suami istri tersebut. Namun, sosok itu tak lagi berjalan terhuyung-huyung. Langkahnya kini tampak mantap.

'Jika aku tidak dapat memberikan kebahagiaan untukmu, setidaknya aku tak ingin merenggut kebahagiaan ini darimu....'

Kata-kata itu terus terulang dalam hati Li Yue. Lagi. Lagi. Dan lagi. Bersama tiap langkahnya yang membawa tubuhnya terbenam bersama mentari di ufuk timur.

[End]

The Spring and Autumn Period/ The warring State of China. Kurang lebih sama seperti Sengoku jidai di Jepang. Masa dimana kerajaan-kerajaan saling berperang.

Pipá

END

AndiAR22 whiteghostwriter glbyvyn NisaAtfiatmico irmaharyuni c2_anin deanakhmad Vannie_Andrie megaoktaviasd umaya_afs primamutiara_ Icha_rizfia rachmahwahyu WindaZizty 0nly_Reader summerlove_12 Vielnade28 bettaderogers

iamtrhnf spoudyoo TriyaRin Reia_ariadne TiaraWales beingacid nurul_cahaya somenaa realAmeilyaM FairyGodmother3 destiianaa opicepaka RaihanaKSnowflake umenosekai aizawa_yuki666

veaaprilia MethaSaja sicuteaabis brynamahestri EnggarMawarni NyayuSilviaArnaz xxgyuu SerAyue Bae-nih Nurr_Salma Intanrsvln YuiKoyuri HeraUzuchii holladollam JuliaRosyad9 fffttmh Jagermaster CantikaYukavers CantikaYukavers

demimoy Riaa_Raiye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro