1 - Transition

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Priit!

Bunyi peluit mengakhiri latihan sore itu. Napas memburu, berkejar-kejaran di dalam lapangan 26 x 14 meter. Seluruh pemain berkumpul ke tengah lapangan, baik tim putra, maupun tim putri kebanggaan sekolah. Persiapan untuk seleksi turnamen bola basket bergengsi se-Indonesia memasuki tahap akhir. Ya, lusa adalah pertandingan pertama mereka, membawa nama sekolah dan harapan akan kemenangan.

"Oke. Setelah berdoa, kalian berpasangan dan lakukan pendinginan mandiri. Langsung pulang, istirahat. Besok kita free. Siapkan fisik dan mental kalian untuk pertandingan penyisihan pertama lusa." Pelatih separuh baya itu menutup latihan dengan suara yang tenang dan berwibawa. Tegas, namun penuh perhatian pada setiap individu dalam tim, yang selalu berharga satu sama lain, baginya.

"Baik, coach!" ujar mereka kompak sembari melingkarkan lengan ke pundak rekan sebelahnya dan menatap pelatih di tengah-tengah lingkaran.

"Jun, pimpin doa."

Sosok yang dipanggil tidak terkejut. Wajahnya menunjukkan kesiapan untuk memimpin doa bagi tim, namun juga kecemasan akan pertandingan lusa. Wajar. Ia yang dulu tidak bisa apa-apa saat pertama kali bergabung dalam tim basket, kini telah menjadi kapten—dan salah satu pemain yang diandalkan. Sayangnya, kepercayaan tim itu justru jadi beban bagi dirinya karena ia takut mengecewakan. Beban yang menimbulkan kecemasan dan membuatnya kurang fokus saat menghadapi pertandingan pertamanya sebagai seorang kapten. Alhasil, kekalahan pun menjadi hadiah penobatannya hanya karena sebuah hal bodoh.

****

Satu tahun yang lalu...

Kuarter 4 tinggal 2 menit lagi. Sungguh mendebarkan, terlebih skor hanya terpaut 1 poin, 51-50 untuk SMA Yasa Adinata. Wajah setiap pemain semakin tegang, terlebih mereka saling menyerang dan melakukan tembakan tanpa ada poin yang dihasilkan.

Kelelahan.

"Defense! Defense!"

Teriakan itu bersahutan antar pemain—dan pelatih mereka dari pinggir lapangan. Terlebih ketika bola sudah tidak di pihak mereka. Pertahanan dikuatkan meski para pemain depan tetap berusaha merebut bola.

Lawan mengoper bola ke kanan dan kiri, seolah-olah mereka hanya ingin menghabiskan waktu yang semakin singkat dan melemahkan fokus dari tim yang dipimpin oleh Jun sebagai seorang center. Jun menangkap taktik mereka saat salah seorang pemain melakukan guna melepaskan rekannya dari penjagaan. Jun memundurkan langkahnya mendekati ring sembari merentangkan tangan selebar mungkin. Pemain lawan menerobos pertahanan dan mengangkat bola tinggi-tinggi mendekati ring, tak gentar meski Jun dan beberapa rekannya mengangkat tangan untuk menghadang.

Satu menit terakhir.

"Rebound!!"

Bola berputar di ujung ring. Membuat seluruh mata yang menyaksikan menahan napas begitu tegangnya.

Hop.

Tambahan 2 poin untuk pihak lawan dan membuat skor SMA Yasa Adinata tertinggal 1 poin. Empat puluh detik waktu tersisa masih melambungkan harapan Jun. Ia yakin masih ada waktu untuk mengejar ketertinggalan dan menambah 2 sampai 3 poin untuk timnya.

Semua berlari menuju arah berlawanan dengan tujuan yang berbeda. Pihak lawan untuk bertahan, pihak Jun untuk menyerang. Johan—rekan satu tim Jun—menerima operan bawah ring dan menggiring bola dengan cepat. Kelelahan bermain di 3 kuarter yang sengit membuatnya tak begitu awas dengan lawan yang tiba-tiba menghadangnya dari samping.

Bukk!

Priit!

Bunyi peluit menghentikan pertandingan karena sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh tim lawan. Johan tersungkur di tengah lapangan akibat tabrakan yang tiba-tiba itu. Wasit pun menunjuk ke samping lapangan sebagai sebuah instruksi pelemparan bola dari samping untuk tim SMA Yasa Adinata.

Waktu tersisa 20 detik.

Johan memberi aba-aba pada Jun dan rekan satu timnya untuk membantu memberi jalan bagi Jun. Ia mempercayakan tembakan terakhir itu pada kapten kebanggaan timnya. Jun menerima tatapan Johan yang entah bagaimana, justru membuat dirinya terbebani. Sebagai seorang kapten, ia merasa dirinya harus selalu bisa diandalkan, termasuk dalam detik-detik terakhir pertandingan.

Priit!

Bola melayang ke arah Jun. Ia menangkapnya dengan baik, namun masih diam di tempat memegang bola dengan kuat. Pikirannya kacau, pandangannya berputar.

"JUN! MAJU!"

Suara-suara di sekitarnya mulai terdengar tak jelas di telinga. Ia menggelengkan kepalanya dan mulai berlari.

Kosong. Kami bisa menang.

Tidak ada seorang pun yang menghalanginya. Sedikit senyum tersirat di wajahnya. Ia terus berlari menuju ring dan bersiap melakukan lay-up.

Hop!

Priit! Priit! Priit!

Tiga kali bunyi peluit menandakan pertandingan berakhir. Rasa lega membuncah di hati Jun karena tembakan miliknya berhasil dengan mulus memberikan poin tambahan.

"Yak! Selamat untuk SMA Negeri 5 Bogor, telah lolos ke babak final DBL dengan perolehan skor 54-51!"

Suara pembawa acara semifinal DBL menyadarkan Jun.

"SMA 5?" batinnya kebingungan. Ia pun melihat ke sekeliling dan menemukan rekan-rekannya terduduk lemas di lapangan bersamaan dengan sorak-sorai dari tim lawan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi sampai Johan mendekati dan merangkul pundaknya.

"Lu kumat lagi, Jun?" tanyanya dengan sedikit berbisik.

"Hah? Apaan sih?" Jun masih tidak mengerti.

"Lu salah arah, bro. Bola yang lu masukin tadi bukan ke ring kita. Sorry to say, tembakan bunuh diri. Jadi gua pikir, anxiety lu kumat lagi."

"Sumpah? Ah... Bodoh."

Jun kehabisan kata-kata dan hanya bisa memandang kosong ke ujung lapangan.

*****

"Hey yo, kapten!"

Sebuah suara memecah lamunan Jun.

"Ga pulang?" ujar seorang perempuan dengan rambut kucir kuda mengambil bola yang ada di samping Jun. Ia berjalan ke tengah lapangan dan melakukan tipuan kecil sembari menembak ke arah ring.

"Kamu sendiri?" Jun bertanya balik.

"Yah, anggap aja aku kasihan lihat kamu yang melamun sendiri, menjelang magrib, di tengah lapangan. Kamu mau disamperin setan apa gimana sih?"

"Hahaha. Gapapa. Males pulang aja."

"Keinget kejadian itu bukan?" tanya perempuan itu tanpa memalingkan wajahnya ke arah Jun dan tetap fokus pada permainan bola basketnya.

Jun berdiri. Mengambil bola yang memantul dari ring dan membawanya menjauh. "Yah, gitu deh. Kayak gatau aja."

Perempuan itu terdiam dan sedikit berpikir dengan kepalanya menunduk kecil. Ia pun tersenyum tipis. "Ngopi yuk!"

"Heh! Apaan tiba-tiba ngajak ngopi?" Jun berhenti dari permainannya dan menengok ke arah perempuan itu.

"Ya, gapapa, anggep aja buat ngehibur kamu. Hahaha."

"Hu, maunya dianggep mulu. Dasar bocah!"

"Bocah-bocah gini juga kapten kali, kayak kamu. Ayolah. Dari pada kamu mikirin itu terus malah ngegalau sendiri. Mending ngegalau ada temennya sih daripada sendirian. Ayo ga nih?"

Perempuan itu masih berusaha membujuk dengan gaya cuek-cuek peduli. Jun hanya tertawa melihat tingkahnya dan bergegas mengambil tas.

"Apa sih yang engga buat Dee?" jawabnya sembari menggendong tas dan membawa bola basket dengan tangan kirinya. Ia berjalan melewati Dee.

"Idih, geli."

"Hahaha, ya bocah kalau ga diturutin kan nangis. Bahaya ntar kalo aku dikira nangisin anak orang. Apalagi ternyata dia kapten basket yang sangar. Hih, males banget."

"Astaghfirullah, hampir aja aku ngomong kasar!"

Dee pun menyusul Jun dan mereka masih saling meledek. Tawa tak hilang dari gurauan yang mereka lontarkan satu sama lain meski langit petang yang cerah semakin menghitam. Di sisi timur, semburat merah muda dan oranye masih terlihat. Menunggu giliran untuk kehilangan cahaya hari itu dan bersiap menyambut bintang-bintang.

*****

"Cappuccino dua ya, Mas."

Kafe serba biru yang menjadi favorit Jun dan Dee adalah tujuan utama jika mereka ingin nongkrong dan mengobrol banyak hal sambil meminum kopi. Sejak membuka pintu, aroma kopi semerbak memenuhi hidung. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi selalu ramai dengan pelanggan. Mungkin itulah alasan sang pemilik kafe membuat dua hingga tiga lantai untuk ditempati pengunjung. Pilihan untuk merealisasikan ajakan minum kopi dari Dee memang menjadi pilihan terbaik untuk menetralkan kembali emosi Jun dari ingatan kesalahan di masa lalu. Kecemasan yang sempat terlihat di wajah Jun mulai tidak menunjukkan tanda-tanda akan muncul lagi.

Dee melihat sekeliling untuk mencari meja yang bisa mereka tempati, namun sepertinya semua meja di lantai satu penuh.

"Jun, naik aja yuk!"

Jun mengangguk.

"Mas, dianter ke atas ya. Makasih."

Mereka pun menaiki tangga dan mendapati meja-meja di lantai dua kosong, meski 2 dari 7 meja terisi oleh anak SMA lain yang sepertinya sedang mengerjakan tugas. Meja tengah menjadi pilihan. Selain karena pencahayaan lebih terang dengan lampu yang persis ada di atasnya, meja itu memudahkan mereka jika ingin ke toilet yang terletak di ujung ruangan. Toh mereka tidak memerlukan stopkontak yang biasanya ada di dekat dinding.

"Jadi, gimana kabarmu, Jun?" Dee memulai obrolan.

"Hahaha, jadi kita mulai nih wawancaranya?"

"Ya, bebas. Aku kan cuma membuka obrolan dengan sopan santun."

Jun tersenyum. Kopi pesanan mereka datang tepat saat Jun akan menjawab. Setelah mengucap terima kasih kepada pengantar kopi, Jun mengaduk-aduk minuman di hadapannya. Seolah sedang mengaduk perasaannya hari itu.

"Kamu taulah kejadian itu. Ya, masih keinget aja. Gimana kalo kesalahan yang sama terjadi?" Senyum yang dipaksakan tak urung hilang dari wajah Jun.

Dee yang sudah memahami sahabatnya ini sejak mereka tergabung di tim basket terdiam sejenak sebelum berbicara. Ia ingat, dulu ia pernah merasakan kecemasan yang sama saat ditunjuk menjadi kapten, namun Jun berhasil menumbuhkan rasa percaya dirinya lagi. Jun—dan Johan—memang sudah akrab dengannya, terlebih setelah ia jatuh ke titik terendahnya di masa awal SMA.

"Jun. Ini turnamen terakhir kita sebelum kita fokus di kelas 12. Tekanan pasti ada, kalau bukan dari orang lain, ya dari diri sendiri. Tapi, dulu kamu pernah bilang sama aku. Kalau kita nggak yakin sama diri kita sendiri, gimana orang lain bisa yakin sama kita?"

Jun terdiam.

"Asal kamu tahu ya, Jun. Setidaknya sudah ada 2 orang yang percaya sama kamu, kalau kamu bisa ngatasin kecemasanmu itu."

Jun mengangkat wajahnya, menatap Dee.

"Johan. Dan aku. Jelaslah! Hahaha, udah deh, jangan gitu dong mukanya. Jelek amat. Heran, kenapa banyak yang suka sama kamu. Hahaha..."

"Oh jadi kamu ga suka sama aku?"

"Dih, males. Udah tau bobroknya kamu mah, gajadi suka deh."

"Hadeuh, emang, susah ya ngomong serius sama kamu." Jun mendengus—pura-pura—kesal. "Gagal melow kan gua."

"Yah, Jun. Kan emang biar kamu ketawa. Apa mau panggil Johan sekalian biar ga kelar-kelar ngelucunya?"

"Iya, iya. Paham kok. Thanks ya, Dee. Mari kita ngereceh aja sambil minum kopi. Jangan panggil Johan. Bisa-bisa ga pulang kita sampe ini kafe tutup. Hahaha."

Dee tersenyum dan meminum kopinya. Mereka saling tahu bahwa saat ini memang bukan untuk membicarakan hal serius karena akan semakin membuat keduanya cemas. Jauh dalam hati Dee, ia pun cemas. Wajar, sebagai seorang kapten tentu ada beban tersendiri ketika membawa tim menuju pertandingan. Terlebih ini akan jadi turnamen terakhirnya di kelas 12, sebelum mereka fokus ujian dan bertolak ke perguruan tinggi.

*****

Catatan:

Pick and RollMenutupi jalan lawan sehingga temannya bebas bergerak lalu memutar tubuh supaya dapat mengambil bola yang terpantul dari ring (rebound) atau mendapatkan bola dari teman yang dihalangi oleh lawan

Lay-up Disebut juga sebagai tembakan melayang. Pemain melompat dari bawah, meletakkan bola di dekat keranjang, dan menggunakan satu tangan untuk memantulkannya dari papan atau langsung memasukkan bola ke dalam ring.

#30DayWritingChallenge #30DWCJilid22 #Day2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro