2 - Retreat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari yang dinanti pun tiba. Tim basket putri dari SMA Yasa Adinata mendapat giliran pertama sebagai pertandingan pembuka penyisihan DBL 2019 chapter Bogor. Sekolah dipulangkan lebih awal agar seluruh siswa datang menjadi suporter pertandingan bergengsi ini.

Dee bersama timnya sedang bersiap-siap di ruang ganti ketika terdengar ketukan pintu dari luar.

"Masuk."

Dee menjawab ketukan pintu itu setelah ia memastikan seluruh anggotanya selesai berganti baju.

"Hey yo! Kapten Dee!"

Suara familier menggema di ruang ganti. Dee menyambutnya dengan ketukan kepalan tangan dan senyum lebar. "A-yo, Johan!"

"Siap ga nih?"

"Siaplah! Insyaa Allah. Kamu sama siapa aja, Han?" tanya Dee sembari melakukan pemanasan tangan.

"Sama anak cowok lain. Oh, Jun tadi mau ikut ke sini. Tapi ada telepon dari kakaknya. Titip semangat buat lu."

Dee mengangguk dan tersenyum, "Thanks, bro! Doain ya supaya gaada yang kenapa-napa."

"Jelaslah!" seru Johan dengan sedikit memajukan tubuhnya ke Dee dan kedua lengan yang berada di dalam saku celana. "Yaudah, gua balik ke tribun dulu. Selamat bersenang-senang! Ati-ati, jangan sampai cedera ya!"

Johan berpamitan dengan tak lupa melambaikan tangan kepada rekan tim putri dan dibalas dengan anggukan dan lambaian penuh senyum dari anggota tim putri. Dee pun bergegas membereskan barang-barangnya untuk bersiap menuju lapangan.

"Dee, kita ke lapangan sekarang."

Bram, pelatih basket mereka, memasuki ruang ganti dan suaranya bergema di ruangan itu. Dee merespons pemberitahuan itu dengan anggukan dan segera mengarahkan rekan satu timnya untuk keluar menuju lapangan.

Keheningan ruang ganti terpecahkan oleh sorak-sorai para suporter tim yang akan bertanding. Suara mereka menggema di lapangan dalam gelanggang olahraga itu, terlebih ketika kedua tim basket pembuka pertandingan penyisihan memasuki lapangan. Tim basket putri SMA Yasa Adinata pun berusaha mengendalikan emosi mereka seiring langkah menuju bangku pemain. Semua tegang, tak terkecuali Dee.

"Ayo melingkar-melingkar! Kita berdoa dulu. Coach, ayo." ujar Dee setelah semua sampai di bangku dan meletakkan barang-barang mereka. "Manda pimpin doa ya." Tambahnya setelah pelatih mereka ikut bergabung dalam lingkaran.

"Oke." jawab Manda, perempuan berkerudung dengan jersey basket nomor 14. Meskipun berkerudung, hal itu tidak menghalangi Manda untuk menekuni hobinya dalam olahraga basket. Beruntung, pelatih dan tim basket putri tidak keberatan jika celana jersey tim dibuat panjang untuk memenuhi kebutuhan pemain yang berkerudung.

"Mari kita berdoa untuk kelancaran pertandingan hari ini. Semoga kita bisa memberikan performa terbaik tanpa ada yang cedera. Menang adalah bonus, berusaha maksimal dalam menyerang, kuatkan pertahanan, dan jangan lupa kerja sama tim. Jangan sungkan minta ganti kalau memang lelah. Berdoa dimulai!"

Semua pemain menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Dee dan Manda menjadi pemain senior dalam tim ini. Beban berat terasa di pundak mereka, namun mereka menjadikan hal itu sebagai lecutan untuk memberi yang terbaik. Tentu. Ini turnamen terakhir mereka sebelum menyerahkan tim sepenuhnya kepada junior-junior mereka yang tak kalah kompeten.

*****

"Point!"

Wasit memberi kode kepada pencatat skor di ujung lapangan ketika Dee berhasil menambah poin untuk timnya. Api semangat semakin membara setelah poin demi poin diperoleh melalui tembakan Dee yang tak berhenti sejak kuarter pertama dimulai. Kini, poin mereka unggul jauh 36-18 di kuarter ketiga.

Pertahanan mereka pun tak kalah ketat dengan zone defense. Teknik pertahanan ini dipilih oleh Bram setiap pertandingan memasuki kuarter 3 akhir. Ia tak mau anak-anak didiknya kelelahan untuk menjaga setiap pemain dari tim lawan sejak awal menggunakan men-to-men defense. Melihat kerja sama dan komunikasi yang apik dari timnya, Bram tidak segan mengubah pola pertahanan di akhir pertandingan. Terlebih, setiap penerapan zone defense, lawan terlihat kesulitan memasuki area bawah ring dan 'dipaksa' untuk melakukan tembakan jarak jauh. Lawannya kali ini lemah dalam hal itu.

Agaknya ada yang mulai tersulut amarah. Pemain dengan nomor punggung 11 dari pihak lawan melakukan penjagaan men-to-men dan lebih sering memojokkan Dee dengan menempelkan tubuhnya dan mendorong Dee supaya Dee melakukan kesalahan. Mereka sudah membaca gerakan tim asuhan Bram ini dan menyimpulkan bahwa Dee adalah tumpuan dan scorer andalan dari timnya. Tidak boleh ada bola yang sampai di tangannya.

Di sisi lain, Manda terpojok di sayap kiri. Bola mati. Harus ada rekannya yang bisa mengambil bola itu dengan melewati pertahanan lawan yang semakin sangar.

"RAFA! Pick! Pick!" teriak Dee.

Rafa maju menghadang pemain nomor 11 yang menghalangi Dee agar kaptennya itu bisa bergerak bebas. Dee segera berlari mendekati Manda untuk mengambil bola mati, tetapi kembali dihadang oleh pemain lawan lainnya.

Waktu tinggal 43 detik untuk kuarter 3.

Tim dari SMA Yasa Adinata disibukkan dengan pembebasan dua playmaker mereka, Dee dan Manda. Sorakan suporter yang tadinya memenuhi lapangan dalam GOR itu mulai berkurang. Mereka turut terserap dalam permainan yang menegangkan.

Bukan Yasa Adinata namanya, jika tidak bisa kembali unggul dalam permainan. Dee yang menerobos pertahanan dan berlari dengan cepat, dibantu dengan rekannya yang lain, berhasil mengambil bola dari Manda. Ia segera berlari menuju ring dan bersiap untuk melakukan lay-up, namun tiba-tiba terjatuh dan rasa sakit muncul dari kakinya.

Bukk!

"AAH!"

Dee berteriak dan mengerang, namun suaranya seolah tak bisa keluar lagi. Saat ia melompat untuk lay-up, seorang pemain sengaja menabrakkan dirinya ke arah Dee sebagai bentuk mempertahankan ring dari bola lawan. Tabrakan itu terjadi dengan cepat dan membuat Dee segera menapakkan kakinya di lantai. Hanya saja, ketika kakinya belum menapak secara sempurna, Dee memutar kakinya dan terjatuh.

Angkle-sprain.

Sebuah cedera yang umum dialami oleh atlet dan olahragawan, namun rasa sakitnya tidak terkira. Wasit menghentikan pertandingan dan membuat seluruh pemain putri SMA Yasa Adinata mendekat ke arah Dee. Beberapa rekan dari tim putra yang berdiri di tribun pun segera turun dan memasuki lapangan.

"Dee, kamu gapapa?" tanya Bram dengan kerutan di dahi dan suara yang bergetar dan napas terengah.

Yang ditanya hanya meringis kesakitan sambil memegangi kaki kanannya. Rasa sakit itu memakan suara miliknya, hingga ia tak mampu lagi berkata-kata.

"MEDIS! MEDIS!"

Sekelompok lelaki dan perempuan dari tim medis mendekat. Menyemprotkan etil klorida sebagai penghilang nyeri, namun tak ada reaksi apa pun dari Dee. Bram menggerakkan kaki kanan Dee untuk mengecek kondisinya.

"AH! Sakit, coach!"

"Tolong bawa ke UGD. Sepertinya cedera parah." ujar Bram kepada tim medis yang segera bergerak cepat menggotong Dee keluar lapangan.

Bram melihat ke sekitar, seolah mencari perwakilan yang bisa menemani Dee. Matanya membesar ketika ia melihat Jun.

"Jun, temani Dee. Bawa Johan juga. Hubungi orang tuanya, nanti saya kirim nomor orang tua Dee ke kamu. Saya harus menemani tim menyelesaikan pertandingan."

"Baik, coach."

Jun berpaling ke arah Johan dan menganggukkan kepala. Mereka pun berlari menyusul tim medis yang membawa Dee ke rumah sakit terdekat. Keduanya berusaha tenang, namun detak jantung mereka berdebar sangat kencang. Terlebih Jun. Keringat dingin menetes di punggungnya. Hatinya terus mengulang doa agar Dee, sahabatnya, tidak mengalami hal buruk, seburuk bayangannya.

*****

Tirai putih mengelilingi ranjang tempat Dee terbaring lemah di ruang UGD. Masih terlihat bekas-bekas keringat di dahinya. Ia tak kuasa menggerakkan kakinya, meski dokter telah memberi obat penghilang rasa sakit dan membalut angkle splint di kaki kanannya. Di samping kanan kasur, Jun dan Johan berdiri tanpa suara. Hal yang aneh bagi Dee karena biasanya mereka berdua adalah orang yang paling ramai dan tidak bisa berhenti bicara.

"Heh, apaan sih kalian diem-diem gitu?" suara Dee yang parau memecah keheningan.

Yang diajak bicara hanya menengok tanpa suara. Wajah mereka tanpa ekspresi, namun terlihat sedikit kerutan di dahi.

"Kalian lagi mikirin apa? Aku gapapa kok. Paling cedera ringan."

"Ringan apanya kalo sampai masuk UGD?" suara Johan kembali.

"Yaaa... Emangnya kamu nggak pernah keseleo? Kan emang sakit tau!"

"Ya, semoga kamu nggak kenapa-kenapa." Jun hanya berujar singkat dan menutup pembicaraan. Sepertinya mereka memang sedang tidak mau diganggu dengan pikirannya.

Tak lama tirai putih yang memisahkan antar ranjang di ruang UGD terbuka. Mereka pikir itu dokter, ternyata orang tua Dee.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya ibu Dee yang jelas sekali raut kecemasan di wajahnya.

"Nggak apa kok, Bun." Dee tersenyum dan memegang tangan ibunya.

Ayahnya hanya diam tak bersuara. Jun dan Johan pun menyalami orang tua Dee dengan senyum tipis penuh khawatir yang sama.

Tirai putih terbuka lagi.

"Ada keluarga atau walinya Adeera?"

Sosok berjas putih yang mereka kenal dengan sebutan dokter, memasuki ruangan bersama seorang perawat yang membawa amplop bertuliskan Unit Radiologi – Foto Rotgen.

"Iya, Dok. Saya bundanya Adeera. Ini ayahnya."

Dokter tersenyum dan mengangguk pelan. "Hasil rotgen tidak menunjukkan ada cedera atau patah tulang." ujar dokter sembari melihat hasil rotgen. "Akan tetapi, jika melihat dari keluhan Adeera sejak dibawa ke UGD, sepertinya yang kena adalah jaringan nontulang. Bisa ligamen atau urat sendi yang robek, bisa juga cedera pada jaringan tulang rawan. Sebenarnya untuk hasil lebih akurat perlu dicek melalui MRI dan athroscopy, namun hasilnya pun belum tentu maksimal dan kami belum memiliki alatnya di sini."

Dokter menghela napas sejenak. "Untuk saat ini, Adeera akan kami pasangkan gips dulu supaya pemulihan cedera engkelnya maksimal. Mungkin dua minggu lagi Adeera perlu kembali untuk kontrol dan pemeriksaan lanjutan. Adeera jangan melakukan aktivitas fisik yang berat dulu atau berjalan terlalu lama. Perlu lebih banyak istirahat supaya pemulihannya tidak memakan waktu lama."

"Kalau sudah sembuh, apa saya bisa basket lagi, Dok?" ada getaran dalam suara Dee. Degup jantungnya tak beraturan dan tangannya mengepal menahan rasa takut yang tiba-tiba muncul.

"Kita lihat dulu hasil dua minggu nanti. Saya tidak bisa menjanjikan apa pun saat ini. Mohon maaf."

Dee menunduk lemas. Jun dan Johan pun saling bertatapan, tak tahu harus berbicara apa.

"Baik, kalau begitu saya permisi."

Dokter berpamitan diiringi anggukan dari penghuni ruangan. Suasana mendadak suram. Tidak ada yang berbicara sama sekali.

"Tahu nggak aku mikir apa sekarang?"

Suara Dee sedikit bergetar, diiringi senyum lebar, memecah hening ruangan. Tidak ada yang menjawab dengan suara. Namun, mata setiap yang hadir menunjukkan rasa penasaran akan kelanjutan perkataan Dee.

"Basket mengajarkan aku banyak hal. Mungkin saat ini aku sedang dibenturkan ke situasi yang sangat tidak aku inginkan. Meninggalkan teman-temanku yang masih harus bertanding di sana, tanpa kapten." ia menunduk.

Hening.

"Tapi aku jadi keinget, bola yang memantul ke ring atau papannya, punya 2 kemungkinan. Apakah dia akan masuk ke ring, atau keluar dari ring. Ketika dia keluar, maka pemain melakukan rebound supaya bisa kembali memasukkan bola ke ring atau menyerang ke arah berlawanan. Sama kayak kondisi aku sekarang. Sedang dipantulkan oleh Allah keluar dari hal yang aku harapkan, ikut turnamen terakhirku. Tinggal aku mau ngerebound 'bola' dan memasukkannya lagi, atau aku ngebiarin semuanya jatuh dan terlepas begitu saja. Mungkin memang perlu langkah mundur untuk kembali maju. Retreat for fastbreak!" Dee tersenyum dan mengangkat kepalanya. "Tenang, aku nggak apa-apa kok, Bun, Yah."

Dee menatap ayah dan bundanya yang memandang dengan mata berkaca-kaca. Bundanya mendekatkan badan dan memeluknya.

"Kuat ya, anak Bunda."

Dee mengangguk. Ia juga memalingkan wajahnya ke arah Jun dan Johan. Johan tersenyum lega mendengar ucapan Dee. Hal yang ia takutkan tidak akan terjadi. Dee kuat dan tidak akan menyerah. Ia yakin hal itu.

"Best captain ever!" teriak Johan sambil mengacungkan kedua jempolnya dan dibalas tawa kecil Dee.

Namun Jun masih diam. Tatapannya kosong, seolah jiwanya tak lagi ada di raga. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya membesar, dan ia pun menunduk. Tiba-tiba ia ingin menelepon kakaknya, lagi.

*****

Catatan:

Zone defense : Teknik pertahanan beregu dengan setiap pemain menjaga area masing-masing dari serangan lawan yang masuk ke area penjagaannya.

Men-to-men defense : Teknik pertahanan beregu dimana setiap pemain bertahan menjaga satu pemain penyerang dengan mengikuti setiap pergerakannya agar tidak bisa mengumpan atau melakukan tembakan ke ring.

#30DayWritingChallenge #30DWCJilid22 #Day3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro