12 - Second Throw

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu kamar bernomor 4106 terbuka. Terlihat seorang perawat berjilbab hijau muda keluar mendorong sebuah kursi roda. Di atas kursi roda itu, tampak lelaki separuh baya dengan selang infus yang tersambung ke tangan kirinya. Ia menundukkan kepalanya dengan sangat dalam, hingga suara sang perawat seolah memecah lamunannya.

"Keluarga Pak Gatot Narendra?" tanyanya kepada para penunggu di lorong kamar inap rumah sakit. Lelaki yang merasa namanya disebut itu turut mendongakkan kepala.

"Saya, Sus." Jen, yang saat itu menggunakan jilbab hijau tua, menghampiri sang perawat sambil menyelempangkan tasnya.

"Ditunggu Psikolog Rayen di dalam," kata perawat itu singkat dengan senyum tipis.

Jen mengangguk dan melihat ke arah lelaki separuh baya di atas kursi roda, "Oh iya, ini Bapak mau diantar ke fisioterapis, Sus?"

"Iya, Mbak. Jadwal terapi Pak Gatot hari ini," jawab perawat itu dengan senyum yang belum luntur dari wajahnya. "Mari, Mbak. Saya antar Pak Gatot dulu ke fisioterapis." Perawat itu pun mendorong kursi roda yang diduduki oleh Gatot setelah mendapat respons berupa anggukan kecil dari Jen.

Pandangan Jen mengikuti pergerakan kursi roda yang didorong oleh perawat, hingga mereka berbelok ke kanan di persimpangan lorong bangsal rawat inap. Ia mengembuskan napas panjang dan melangkah masuk ke kamar rawat ayahnya. Sudah seminggu lebih, tepatnya 9 hari, ia menginap di kamar itu menemani sang ayah. Meski sesekali ia pulang untuk menengok dan membersihkan rumah, ia tetap menghabiskan malam menemani ayahnya yang beberapa waktu lalu akhirnya sadar dari koma.

Overdosis antidepresan membuat Gatot melewati beragam masa kritis. Dua hari pertama, tidak ada perubahan yang berarti pada kondisinya. Namun, pada saat-saat tertentu, Jen harus dikagetkan dengan kondisi Gatot yang beberapa kali mengalami henti jantung, sehingga tim dokter perlu memacu jantungnya dengan defibrilasi, yaitu menggunakan setrum listrik yang dialirkan ke jantung untuk menghentikan rime jantung yang tidak beraturan. Dokter mengatakan bahwa ayahnya mengalami kelainan sistem elektrik jantung yang membuat detak jantungnya meningkat secara tiba-tiba dan tidak stabil, atau umum disebut dengan aritmia.

Aritmia merupakan salah satu efek samping yang mungkin terjadi akibat dari antidepresan yang dikonsumsi. Dokter pun menduga bahwa ada riwayat jantung bawaan, namun Jen tidak tahu pasti akan hal itu.

Beruntung, dengan pengawasan dan perawatan dokter yang lebih ketat, Gatot dapat melalui masa-masa kritis. Alat bantu pernapasannya dapat dilepas di hari kelima dan sejak itu, kondisi Gatot semakin membaik. Hanya saja, terlalu lama berbaring di kasur membuat tubuhnya kaku. Ada kelelahan berlebih yang sudah ditahannya sejak lama sehingga membuat tubuhnya perlu dilatih bergerak agar otot-ototnya melemas kembali. Hal inilah yang membuat Jen mengambil keputusan agar ayahnya dirawat lebih lama hingga benar-benar pulih, meski sebenarnya sudah diizinkan pulang dua hari lalu.

"Siang, Mas Ray," sapa Jen kepada seorang lelaki yang sudah menunggunya.

"Oh, Jen," jawab lelaki itu singkat sambil membereskan beberapa kertas di atas meja. Psikolog Rayen adalah salah satu tim dokter yang ditugaskan untuk mengontrol kondisi Gatot pasca insiden overdosis itu.

Jen duduk di salah satu sofa panjang kamar itu, tidak jauh dari Rayen yang juga duduk di sofa yang sama. "Mas Ray mau minum apa? Biar saya buatkan."

"Nggak usah, Jen. Santai aja. Ini tadi udah ambil air putih dari dispenser," jawab Rayen sambil melirikkan matanya ke cangkir putih di meja.

Jen menangguk, "Jadi ... gimana, Mas?"

"Kamu apa kabar? Rasti beberapa kali cerita tentang kondisi kamu. Apalagi waktu pertama kali Bapak masuk rumah sakit." Kini Rayen meletakkan dokumen-dokumennya dan memutar badannya sedikit ke arah Jen.

"Ah, Mas Rayen kenal Mbak Rasti?"

"Kenal dong! Kan konco sejawat, mosok ra kenal," pamer Rayen dengan logat Jawa medhok yang agak dipaksakan. "Saya dulu bantuin Rasti buka bironya dia. Sempet ditawarin juga praktik di sana. Tapi, alhamdulilllah, saya dapet kerja di rumah sakit ini duluan. Jadi cuma bisa sesekali aja ke biro."

"Lho, kok aku nggak tau kalo Mas Rayen di biro juga? Aku jadi asisten di sana lho sejak kuliah profesi." Jen akhirnya berbicara dengan lebih akrab. Mengganti kata saya dengan aku karena merasa siapa pun yang dekat dengan Rasti, maka ia pun bisa menganggapnya sebagai kakak.

Rayen terkekeh pelan. "Iya. Saya tau. Ya, nggak tahu, ya. Saya ke sana bukan buat praktik. Kadang kalo Rasti butuh diskusi, kami kumpul bareng."

"Oh, gitu ...," Jen mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Jadi, kamu apa kabar, Jen?"

Jen tersenyum dan mendelikkan mata. "Pertanyaannya kok berasa menjebak ya? Alhamdulillah, aku baik, Mas. Ya, gini-gini aja. Nemenin Bapak."

"Ada hal-hal yang belum kamu maafkan dari Bapak kamu?"

Deg.

Jantung Jen seolah berhenti sesaat. Ah, dasar psikolog senior, batinnya dalam hati. "Bapak cerita apa, Mas?" Hanya kalimat itulah yang mampu keluar dari mulut Jen.

Sebenarnya, banyak yang ingin ia tanyakan pada Rayen. Seperti, kenapa ayahnya depresi, kenapa sampai minum antidepresan, apa yang dipikirkan ayahnya, bagaimana kondisi ayahnya setelah ini, dan banyak hal lain yang tak terucapkan. Semua hanya mampu ia rangkum dengan satu kalimat singkat itu.

"Hmm, Let's see ... Walaupun terbata-bata dan butuh waktu lama, Bapak kamu sepertinya masih bisa mengakui apa yang mengganggu pikirannya. Satu hal yang sulit saya gali adalah dari mana obat itu didapatkan. Setahu saya, agak sulit mendapatkan obat itu tanpa resep dokter."

Jen tidak merespons. Matanya fokus menatap Rayen dan menunggu kelanjutan pembicaraan ini.

"Setiap saya singgung masalah obat, Bapak langsung menyalahkan dirinya sendiri dan berkata bahwa ia hanya ingin tidur nyenyak. Kematian istrinya beberapa tahun lalu masih sering mengganggu pikirannya. Dia sangat merasa bersalah pada anak-anaknya, tetapi tidak tahu harus bagaimana," jelas Rayen panjang lebar. "Kamu ada tanggapan, Jen?"

Jen memundurkan punggungnya yang sedari tadi tegak. Ia merasa butuh sandaran dan sofa empuk itulah pilihannya. "Bapak ... kematian Ibu ... jujur, Mas, aku nggak tau apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Aku baru pulang, ketemu Bapak keluar rumah, dan tiba-tiba di dalam rumah Ibu udah ... asmanya kumat," tatapan Jen tertunduk.

"Lalu?"

"Ya, aku telpon ambulans, tapi Ibu ... di jalan, tidak tertolong. Bapak, hilang. Nggak pulang sampai 2 hari kemudian. Adik aku, Jun, yang sepertinya trauma banget, Mas."

"Kamu sendiri gimana?"

"Aku? Haha, susah ya kalo mau ngeles sama psikolog. Padahal aku juga psikolog."

"You know, people need each other. Dokter aja butuh dokter, apalagi psikolog. Dan sepertinya kamu pun jadi psikolog karena ada tuntutan tersendiri kan?"

Jen tertegun, matanya menyipit dan menatap Rayen dengan lekat, "Keliatan dari mana?" tanyanya singkat.

"Bener? Feeling saya aja. Udahlah, Jen. Kamu bebas ngomong di sini. Saya memang berencana buat bikin family therapy. Tapi baru rencana. Kita lihat perkembangannya nanti. Sekarang, saya butuh cerita dari sisi kamu. Kamu juga sering wawancara klien kan, jadi saya rasa kamu pasti paham maksud saya," Rayen mengambil cangkir di meja dan berdiri. "Cerita aja. Saya sambil ngambil minum lagi. Kayaknya bakal lama, jadi ... kamu ada kopi?"


Dua jam berlalu sejak perbincangan Jen dan Rayen di dalam kamar. Obrolan mereka sempat terputus saat Gatot kembali dari agenda fisioterapi. Gatot perlu istirahat, sehingga mereka pun harus pindah tempat. Kantin rumah sakit menjadi pilihan diri-diri yang sedang butuh asupan itu. Setidaknya, makanan kantin bisa menaikkan hormon endorfin yang bisa membuat perasaan lebih bahagia.

"I see ... Dasar anak pertama, selalu merasa bertanggung jawab atas semuanya. Capek lho, Jen, ngerasa kayak gitu," ujar Rayen sambil menyantap siomai yang dipesannya. Ia sudah mendengarkan cerita Jen yang masih bisa memandang ayahnya sebagai orang baik, tetapi banyak ketakutan yang timbul dari rasa tanggung jawabnya sebagai anak pertama. Terlebih, Jen sangat mengkhawatirkan kondisi adiknya, Jun, yang belum mampu berdamai sepenuhnya atas kejadian di masa lalu itu.

"Ya, gimana, Mas. Menurutku pribadi, wajar aku merasa gitu. Aku cuma ingin keluargaku bisa harmonis lagi. Sayangnya, adikku masih sulit menerima Bapak. Apalagi dia yang paling sering ngeliat perlakuan Bapak ke Ibu."

"Saya rasa, kalian bertiga memang harus dikonfrontasi."

"Aku juga sempat mikir gitu. Setidaknya, Jun dan Bapak dipertemukan. Jun nggak pernah bisa tenang kalo berhadapan sama Bapak, walaupun dia bilang baik-baik aja," ujar Jen yang kemudian menyesap milkshake cokelat di depannya.

"Walaupun kamu udah terbuka dengan adik kamu soal hal ini, kamu pun perlu bilang ke Bapak. Kunci pertama untuk mengembalikan hubungan adalah komunikasi. Jangan lagi kamu pendam sendiri. Kalian bertiga saling terkoneksi dalam hal ini."

"Iya, sih."

"Kapan adik kamu pulang ke Jogja?"

"Insyaa Allah habis ujian, Mas. Hari ini dia ujian nasional, tadi pagi dia telpon minta doa restu." Senyum Jen mengembang mengingat percakapan dengan adiknya pagi tadi.

"Udah ada rencana dia kuliah di mana?"

"Katanya sih, mau di Jogja aja. Dia nggak tega ninggalin aku sendiri lagi dalam kondisi kayak gini. Ya, walaupun aku tahu, perjuangan dia nggak mudah untuk hidup bareng Bapak lagi."

"Oke, we will see that coming." Rayen mengangguk-angguk dan melihat jam di pergelangan tangannya.

"Ah iya! Mas Rayen emang nggak ada konsul lagi? Bisa-bisanya dengerin celotehan aku selama ini." Jen yang menyadari pergerakan Rayen akhirnya menanyakan hal yang sedari tadi terlupakan olehnya.

"Santai, saya ada jadwal jam empat sore nanti. Sekarang masih jam tiga. Bisa sholat sama nyantai dululah," jawab Rayen dengan santai dan mulai menyantap siomainya lagi.

"Baiklah. Makasih ya, Mas. Ternyata gini toh rasanya jadi klien."

"Halah, cuma ngobrol biasa gini. Kamu nggak pesen makanan?"

"Gampang, Mas ... Eh, sebentar, ada telepon." Jen membuka ponselnya yang ternyata sudah bergetar beberapa kali.

"Ya, silakan, silakan."

Jen beranjak dari bangku kantin dan agak sedikit menjauh dari Rayen.

"Assalamu'alaykum, Mbak Rasti."

"Wa'alaykumsalam. Lagi di mana, Jen?" tanya Rasti di ujung sana.

"Di kantin, Mbak. Sama Mas Rayen. Mbak Rasti kenal kan ya?"

"Oalah, jadi juga si Rayen ngurusin kamu." tawa kecil terdengar dari sambungan telepon, hingga Jen mengangkat alisnya.

"Apa? Gimana, Mbak?"

"Nggak apa. Aku ke sana ya. Di depan rumah sakit nih."

"Oke."

Sambungan telepon terputus. Jen kembali ke mejanya.

"Mbak Rasti ikut gabung ya, Mas," ujar Jen sesaat setelah duduk kembali.

"Hah? Oh ... dia di sini?" tanya Rayen yang terlihat sedikit gelagapan. Tangannya mengusap wajah dan jarinya tidak berhenti mengetuk meja.

"Hmm, mencurigakan. Aku mencium sesuatu," sindir Jen dengan penuh selidik.

"Hah? Bau siomai? Kamu mau? Pesen sana, saya bayarin deh."

Jen tertawa melihat Rayen yang tiba-tiba salah tingkah. Ia hanya menggelengkan kepala sambil meminum milkshake cokelat yang tinggal separuh gelas itu.

Dasar, salah tingkahnya kelewat nyata, ejek Jen dalam hati.

Jen pun melambai ke arah pintu masuk kantin ketika melihat Rasti berjalan sambil menggerakkan kepala menyusuri isi kantin. Sesekali matanya melirik Rayen yang masih terlihat gelisah sambil tertawa kecil.

Oke, sekarang giliran aku yang bakal ngeledekin mereka.

***

Catatan:

Family therapy : terapi yang melibatkan keluarga sebagai suatu sistem interaksi sosial dengan tujuan untuk mengatasi masalah tertentu dan/atau untuk meningkatkan kualitas atau kondisi kehidupan anggota keluarga ke arah yang lebih baik.

Konfrontasi : Teknik yang digunakan oleh konselor untuk secara hati-hati menyadarkan klien tentang sesuatu yang mungkin mereka abaikan atau hindari dengan memberi pertentangan/menantang klien untuk berhadapan dengan permasalahan tersebut. Hal ini bertujuan agar klien menyadari perbedaan kondisi yang awalnya tidak disadari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro