13 - Shoot!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan deras mengguyur Yogyakarta sejak dini hari. Jen terbangun tepat saat jam menunjukkan pukul tiga pagi. Pikirannya masih berusaha mencerna antara mimpi dan realita yang baru saja menjadi bunga tidurnya.

Ah, mimpi itu lagi. Masih belum selesai ya ternyata, batin Jen sambil menegakkan tubuhnya dan duduk di samping kasur. Ingatan tentang ibunya kembali menyapa. Ia menghela napas panjang dan memalingkan kepalanya menatap pembaringan pasien di samping kiri kasur yang sudah lebih dari seminggu ini menjadi tempat pelepas lelahnya.

Dua bola mata cokelat itu menatap sosok paruh baya yang semakin jelas guratan tua di wajahnya. Kulit yang semakin keriput, terlebih di bagian dahi dan di antara kedua alis. Sosok itu tertidur pulas dengan selang oksigen yang masih membantu pernapasannya melalui hidung dan mulut yang sedikit terbuka. Tangan kirinya berada di atas dada dan tangan kanannya terkulai lurus di samping badan.

"Bapak," bisik Jen hampir tak terdengar, "Pasti capek ya, Pak, memikirkan dan memendam semuanya sendiri," tambahnya berbicara lebih kepada dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat menatap sang ayah, Jen baru menyadari tubuhnya yang sedikit gemetar. Ia mengusap-usap lengannya dan sesekali meniup telapak tangan yang mulai memutih. Dingin. Ruangan ber-AC, ditambah hawa dingin akibat hujan yang belum juga usai, membuat Jen ingin menghangatkan diri, namun tidak dalam selimut. Ia pun beranjak dari kasur, mematikan pendingin ruangan, mengambil handuk, dan melangkah masuk ke kamar mandi.

Menghangatkan diri dengan mandi air hangat, sekaligus salat tahajud agaknya menjadi pilihan tepat malam itu.


Lima belas menit berlalu dan Jen sudah selesai dengan agenda pilihannya untuk menghangatkan diri. Kini, ia berjalan mendekati dapur kecil di kamar rawat VVIP itu dan merebus air untuk membuat minuman favoritnya. Segelas kopi rasanya tak patut ditinggalkan untuk agenda malam bersama Alquran setelah salat sambil menunggu azan Subuh berkumandang.

"Jen ...."

Sebuah suara mengagetkan Jen yang sedang menyeruput kopi instan di meja makan. Tak ayal, kepalanya yang masih tertutupi dengan mukena berpaling ke sumber suara. Gatot, ayahnya, kini terjaga dan menatap Jen dari jauh.

"Iya, Pak?" jawab Jen sambil menghampiri ayahnya, meninggalkan secangkir kopi panas yang belum sampai separuh hilang isinya.

"Kamu nggak tidur?" tanya Gatot dengan suara parau. Tangan kanannya bergerak pelan, seolah ingin menggapai wajah anak gadis satu-satunya itu.

Jen yang menyadari gerakan tangan Gatot segera meraihnya dan menggenggam tangan itu erat di atas kasur, "Tadi kebangun, Pak. Dingin. Bapak kedinginan? Atau mau Jen buatkan air hangat?"

"Boleh, Nak. Bapak haus."

Dengan sigap, Jen berjalan sambil menjinjing bawahan mukena yang masih dikenakannya. Ia mengambil cangkir, mengisinya dengan air, lalu memberikannya pada sang ayah.

"Bapak bisa bangun? Jen naikin kasurnya, ya?" Sebuah tanya yang tak butuh jawaban karena Jen berinisiatif menekan tombol di samping kasur. Tombol itu membuat bagian atas kasur naik perlahan sehingga Gatot dapat duduk tegak tanpa harus terbangun.

Jen mendekatkan cangkir berisi air itu pada bibir Gatot, membantunya untuk minum. Tangan kanan Gatot ikut memegang cangkir dan meminumnya pelan. "Makasih, Nak," ujar Gatot setelah puas meneguk air yang menyegarkan tenggorokannya itu.

"Tidur lagi, Pak. AC-nya Jen matiin, ya. Takut Bapak kedinginan." Tangan Jen merapikan selimut yang dikenakan Gatot, namun tertahan.

"Maafin Bapak, ya, Jen ...," bisik Gatot. Tangannya yang lemah itu kini memegang lengan Jen.

Jen tertegun. Hatinya berdesir pelan. Ia teringat mimpinya semalam yang hampir tidak pernah datang sejak ayahnya masuk rumah sakit. Ada sesak yang kembali merasuki, tetapi sebuah kelegaan pun meminta tempat dalam hati. Jen bingung dengan perasaan ini.

Perempuan dengan mukena biru itu menghentikan aktivitasnya dan mengambil kursi untuk duduk di sebelah kasur sang ayah. Entah mengapa, Jen merasa duduk adalah pilihan terbaik jika ia ingin baik-baik saja menghadapi percakapan setelah ini. "Maaf kenapa, Pak?" desisnya dengan hati berdebar.

"Maaf soal ... depresi dan ... ibu kamu." Begitu serak suara Gatot meski baru saja meneguk air. Kepala Gatot tertunduk. Matanya berkaca-kaca. Seolah ada beban begitu berat dalam kalimatnya barusan yang membuat suaranya sedikit tercekat.

"Pak," sahut Jen sehalus mungkin, "Boleh Jen tanya sesuatu ke Bapak?"

Tangan Gatot tidak lagi memegang lengan anaknya. Kini kedua tangannya menyatu di atas perut, saling menggenggam erat. "Tanyalah, Nak. Bapak ... sepertinya Bapak sudah siap menerima semua pertanyaanmu." Kini matanya menatap Jen dengan penuh arti. Mata itu, menyimpan banyak rasa yang sulit diungkapkan dalam kata.

Jen beradu pandang dengan sang ayah, untuk beberapa saat. Dingin kembali terasa di tubuh Jen. Lampu kamar yang remang—karena memang dimatikan dan hanya menyisakan lampu meja di sebelah kasur pasien—menambah dinginnya suasana dini hari itu. Ia menghela napas panjang, untuk yang kesekian kali. Kepalanya kini tertunduk, menyiapkan banyak pertanyaan yang sedari dulu berkeliaran dalam benaknya, tetapi ia abaikan.

Beragam tanya, beragam rasa, sudah lama Jen abaikan karena ia berharap waktu mampu menyembuhkan segala luka. Namun, mimpi-mimpi itu, yang terus berulang tanpa izinnya, membuat ia terus teringat akan masa lalu. Benar kata Rayen, dirinya harus berani menyelesaikan semua ini dan tidak mengabaikan segala perasaan hanya demi menjaga hati sang ayah.

Jen sudah memantapkan hati. Setelah keheningan menyelimuti ayah dan anak ini, suara kembali mengambil alih. "Boleh nggak Jen minta Bapak menceritakan semuanya? Tentang waktu itu ... tentang Ibu. Sebenarnya ada apa?"

Gatot sudah menduganya. Ia pun sudah menyiapkan diri untuk menghadapi situasi ini sejak lama. Ya, sejak lama hingga ketakutan akan kehilangan anak-anaknya menjadi mimpi buruk di setiap malam. Mimpi buruk yang sangat dihindarinya dan membuat ia memilih untuk larut dalam pekerjaan.

"Semua salah Bapak, Nak. Maafkan Bapak ...."

***

3 tahun yang lalu ....

Gatot mematut diri di depan cermin. Cermin itu menyatu dengan lemari tiga pintu miliknya dan sang istri yang ada di ruang ganti sebelah kamar. Ya, mereka memiliki sebuah ruang ganti yang terpisah dengan kamar tidur. Dipisahkan oleh sebuah pintu kayu berwarna cokelat dengan ukiran abstrak sebagai hiasan.

Kini, tangannya mengeratkan ikatan dasi hijau polos di kerah kemeja cokelat yang dikenakannya untuk rapat bersama investor siang itu. Senyum terus mengembang di wajahnya, meregangkan sisa-sisa cukuran bersih kumis yang kini terlihat samar. Usai berkutat dengan dasi, ia pun segera meraih jas hitam yang menggantung di pegangan lemari baju sebelah kanan dengan tangan kanannya.

"Ningrum, ayo! Kita berangkat sekarang supaya nggak telat!" teriaknya kepada sang istri yang masih ada di ruang sebelah—kamar tidur mereka.

Tidak ada jawaban.

"NING!" Suara Gatot meninggi. Ia pun berjalan ke arah kamar dan mendapati Ningrum, istrinya, sedang terengah-engah. Tangan kanannya memegang inhaler dan tangan kirinya memegang dada.

"Aduh, kok kamu kumat lagi, sih?" bentak Gatot.

Ningrum melepas inhalernya, "Maaf, Mas. Kalo aku di rumah aja gimana? Dadaku sakit banget," rintih Ningrum disela-sela tarikan napas yang semakin memendek.

"NGGAK BISA!" Gatot berjalan mondar-mandir di kamar. Senyum yang merekah sejak pagi mulai memudar. Kini kedua alisnya menyatu, guratan di dahinya bertambah, dan matanya terlihat nanar menatap Ningrum sesekali.

"Tapi, Mas ...."

"Ningrum!" Kini Gatot menghentikan langkahnya. "Kamu kan tahu, rapat ini sangat penting untuk menambah modal usaha kita. Pesanan klien semakin banyak, kita butuh dana untuk memperluas pabrik dan mungkin menambah cabang. Dan kamu," telunjuknya kini mengarah tepat di depan hidung istrinya, "Kamu HARUS hadir!" cecar Gatot menahan amarah.

"Mas, ada Bapak aku di sana. Bapak pasti ngerti dengan kondisi aku," lirih Ningrum. Dadanya naik turun berusaha untuk memberi ruang bagi udara yang mulai sulit masuk ke dalam saluran pernapasannya.

"JUSTRU ITU! Kamu harus hadir karena ada Bapak! Bapak bakal lebih bisa meyakinkan teman-teman investornya kalo kamu, anaknya yang membanggakan ini, yang menjadi kepala administrasi dengan catatan luar biasa, bisa presentasi di depan investor!" Tak henti Gatot membentak istrinya. Pikirannya mulai kalut.

"Mas ...."

"Ayo!" Tangan Gatot mulai meraih lengan Ningrum yang masih terduduk di sisi ranjang.

Ningrum pasrah. Ia tahu, rapat investor ini akan sangat membawa pengaruh bagi kelangsungan perusahaannya yang baru saja menjadi besar. Namun, ia pun tak kuasa menahan sakit di dadanya karena penyakit asma yang semakin parah.

Tarikan tangan Gatot sama kerasnya dengan genggaman di lengan Ningrum. Langkah kaki Ningrum yang tak bisa menyamai kecepatan langkah Gatot membuatnya terjatuh tepat di tangga teras yang mengarah ke garasi luar mobil.

"Mas ... aku ... aku nggak kuat, Mas," desis Ningrum sambil memegang dada dan berusaha menggunakan inhaler yang masih digenggamnya.

"Argh! Udahlah!" Gatot melangkah pergi memasuki mobil yang terparkir di garasi.

"Mas ... rumah sakit ... MAS!"

Teriakan terakhir Ningrum tidak dihiraukan oleh Gatot. Suara berdebam dari pintu mobil yang tertutup penuh amarah menenggelamkan suara Ningrum yang semakin hilang ditelan napasnya yang semakin terputus-putus.

***

Azan Subuh menyambut akhir kejujuran Gatot akan kejadian menyakitkan itu. Jen tak mampu menahan air mata yang terus mengalir di pipinya. Tubuhnya kini tegak di sandaran kursi. Jemarinya menolak digenggam oleh sang ayah.

"Nak ... maafkan Bapak." Masih dengan suara parau, Gatot memohon pada anaknya. Sudah lama ia menyadari kesalahannya, tetapi hatinya menolak untuk disalahkan atas kejadian yang merenggut nyawa istrinya itu.

Jemari Jen bergerak menghapus basah di pipi. "Jen sholat dulu, Pak. Udah Subuh," lontar Jen singkat sambil beranjak dari kursi, melepas mukena, dan mengambil air wudu.

Gatot menahan suaranya. Ia tahu, anaknya butuh waktu untuk mencerna semua kisah menyakitkan itu. Ia pun tahu, pengakuan itu terlalu menyakitkan bagi anaknya. Hatinya yang sudah disiapkan sejak lama untuk menerima penolakan ini ternyata masih tak kuasa menghadapi realita. Ia tak dapat membayangkan jika Jun, bungsunya, juga mengetahui kebenaran ini. Kebencian dan rasa takut Jun terhadap dirinya pun sudah ia rasakan sejak lama, terlebih ketika Jun memutuskan untuk merantau jauh dari Yogyakarta.

"Ya Gusti Allah ... aku ayah yang gagal," gumamnya sambil kembali menutup mata sebelum akhirnya bertayamum dan melaksanakan sholat Subuh di pembaringan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro