8 - Foul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semerbak bau kopi yang khas merasuki hidung tepat ketika Jen dan Jun membuka pintu kafe kecil di daerah Pakualaman, Yogyakarta. Kafe ini menjadi salah satu favorit Jen karena letaknya yang tidak terlalu dekat dengan keramaian dan juga terasa sangat homey.

Persis di depan pintu masuk, meja barista dengan berbagai peralatannya menyambut hangat. Beberapa jenis biji kopi yang ditempatkan dalam stoples-stoples berbeda berjajar rapi di depan meja. Seorang barista tersenyum ramah dan mengucapkan selamat datang kepada siapa pun yang berkunjung. Untuk masuk lebih jauh, pengujung diarahkan ke sebelah kanan dari pintu masuk dan akan langsung disambut dengan enam meja kayu berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh dua hingga empat kursi dan tersebar di dalam ruangan. Selain itu, ada dua buah sofa panjang berwarna hijau dan sebuah meja panjang dengan dua kursi yang menghadap ke jendela, sejajar dengan pintu masuk.

Jen berjalan lebih dulu dan memilih sebuah meja yang hanya memiliki dua bangku bersebelahan menghadap ke jendela. Di sisi kiri meja terdapat sebuah rak buku setinggi dua meter yang berisi banyak buku-buku fiksi maupun nonfiksi. Agaknya kafe ini memang tempat yang nyaman untuk mengobrol, mengerjakan tugas, atau hanya sekedar mampir untuk membaca koleksi bukunya sembari menyeruput kopi favorit.

"Duduk sini dulu aja. Kamu biasanya minum apa, Dek?" tanya Jen yang masih tetap berdiri di belakang meja.

"Cappuccino, Mbak," Jun menjawab singkat tanpa memandang kakaknya karena matanya sibuk melihat sekeliling ruang kafe yang tidak terlalu besar itu. Ia pun tidak langsung duduk karena tertarik melihat koleksi buku yang terpajang di rak.

"Woh, kamu suka yang pait-pait, toh," Jen tersenyum dan bergegas menghampiri meja barista untuk memesan kopi.

Jun akhirnya duduk setelah tidak menemukan buku yang menarik hati untuk dibaca. Selain karena Jun bukanlah tipe orang yang suka membaca buku apa saja, entah mengapa jantungnya berdebar-debar dan tangannya basah karena keringat dingin. Ia pun membuka ponsel dan melihat perbaruan status teman-temannya di media sosial.

"Idih, senyum-senyum sendiri. Kenapa kamu, Dek?" Jen yang kembali setelah memesan kopi pun duduk di kursi sebelah Jun.

"Haha, enggak, Mbak. Ini ada temenku habis update konten fangirling, dia nulis status nasehat gitu. Duality emang ini orang. Hahaha."

Jen tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat adiknya tertawa seperti itu.

"Mana kopinya, Mbak?"

"Lagi dibikin. Ntar dianter sama mas-nya."

"Mbak pesen apa emang?"

"Caramel latte."

"Eh? Kopi macam apa manis-manis gitu? Kupikir Mbak mesen kopi yang kopi beneran gitu. Hahaha," Jun terkejut dan kembali tertawa, kali ini menertawakan kakaknya.

"Ya, biarin. Biar hidupnya ikutan manis jadi minum yang manis-manis aja."

"Cocokologi dari mane, tuh!"

Mereka akhirnya tertawa bersama sambil memandang langit sore lewat jendela di depan meja. Tak lama, barista kafe mengantar pesanan mereka sambil mengucap, "Selamat menikmati," dan disambut ucapan terima kasih dari keduanya.

Hening. Hanya ada suara sesapan kopi dari Jen dan Jun untuk beberapa menit.

"Jadi... Gimana, Mbak kabarnya? Kabar bapak?" Jun akhirnya memberanikan diri membuka obrolan.

"Kamu sendiri, apa kabar?" jawab Jen balik bertanya dan melirik adiknya itu.

"Ya, kok nanya balik sih, Mbak. Kan Mbak Jen yang waktu itu bilang mau cerita ada apa sama Bapak," Jun sedikit memutar badannya menghadap Jen.

Jen tersenyum, "Kamu masih sering mimpiin hal itu?" tanyanya tanpa melepas tatapan ke arah lain.

"Nggak begitu sering sih, Mbak. Aku juga nggak tau kenapa aku bisa mimpi itu."

"Mungkin memang kejadian itu jadi shock terbesar kamu karena melihat sisi lain bapak yang kasar ke ibu, Dek. Setahu aku, sejak kamu kecil, bapak selalu bersikap baik ke kamu. Apalagi ngajak kamu belajar basket kan?"

Jun mengangguk, "Tapi, aku nggak tahu juga, Mbak, kenapa sejak ibu meninggal aku... Aku... selalu takut lihat bapak," suaranya sedikit bergetar hingga membuat Jun menyesap cappuccino miliknya beberapa kali.

"Jun, kayaknya kita—Mbak perlu nyeritain semuanya. Kita nggak bisa terus menerus menduga-duga perasaan satu sama lain. Mbak tahu ada hal-hal yang belum kamu ceritakan ke Mbak dan Mbak pun begitu," nada bicara Jen berubah menjadi begitu serius, "Terutama... tentang apa yang kita rasakan sejak ibu nggak ada. Semakin lama kita pendam masing-masing, semakin penuh hati kita. Perasaan itu perlu dikeluarkan. Mbak perlu tahu apa yang kamu rasakan, kamu juga berhak tahu apa yang Mbak rasakan."

Jun terdiam. Ia teringat sebuah pembaruan status yang ditertawakannya di awal.

Mungkin kita berpikir jika kita memendam semuanya, kita dan orang lain akan baik-baik saja. Nyatanya? Bukankah itu semakin membebani diri sendiri? Kalau kita tidak bicara, orang lain tidak akan tahu. Mereka bukan Allah yang Maha Mengetahui isi hati.

"Jun?"

"Mbak..."

"Ya?"

"Kok aku ngerasa takut ya pas Mbak bilang gitu tadi...."

Jen memegang pundak Jun, "Apa yang kamu takutkan?"

"Jujur, aku takut kalo aku bilang ke Mbak apa yang aku rasain semuanya, Mbak jadi terbebani. Tapi, Mbak bener. Aku juga pengen tau apa yang Mbak rasakan. Aku pengen bisa bantuin Mbak Jen. Aku nggak bisa kan lari terus? Kita kudu ngadepinnya bareng-bareng. Jadi... ya... gitu...."

"Ya ampun, Arjuna Narendra! Kita lama nggak ketemu dan cuma ngobrol lewat chat atau telepon kadang-kadang. Aku nggak tau lho kamu bisa se-soft ini," Jen tertawa kecil sambil mengelus pundak adiknya dan kembali memutar posisi duduknya menghadap ke jendela.

"Kan, malah diledekin...," Jun mendengus kesal dan ikut memutar tubuhnya menghadap ke jendela.

"Iya, iya. Jadi, kita mulai dari mana nih?"

"Ladies first."

"Halah, bilang aja kamu malu mulai duluan."

Jun meringis dan menepuk-nepuk pundak kakaknya.

"So... sebenernya, bapak itu baik, Jun. Baik banget. Mbak jadi saksi gimana bapak dan ibu mulai ngebangun usaha kerajinan bola basket dari yang skala rumahan, sampai bisa sebesar sekarang ini. Bapak memang dari dulu suka banget sama basket. Sempet jadi atlet juga pas SMA sampai kuliah, katanya sih, hahaha. Kata ibu, mereka mulai merintis itu karena bapak nggak suka kerja kantoran. Inginnya punya waktu untuk keluarga di rumah dan terlibat dalam perkembangan anaknya dari kecil sampai dewasa. Ibu juga nggak menolak itu. Aku diceritain ini sama ibu waktu lagi ngebantuin ibu ngurusin hal-hal administratif terkait pesanan bola basket. Iya, sebelum kamu lahir. Padahal dulu bapak pengen banget aku jadi atlet basket aja. Tapi, aku lebih milih bantuin ibu. Kasian ibu kalo kerja sendiri. Apalagi asmanya suka kambuh kalo ibu kecapekan.

"Makanya pas kamu lahir, bapak seneng banget. Ada anak cowok yang bisa dihasut untuk jadi atlet basket. Sampai suatu hari, ada klien bapak yang nawarin untuk jadi investor dan ngasih modal untuk membesarkan usaha itu. Singkatnya, jadilah perusahaan produsen bola basket seperti sekarang ini. Aku nggak tau apa yang terjadi sama bapak di kantor, tapi tiba-tiba bapak dan ibu mulai pulang lebih malam. Bahkan kadang ibu pulang duluan karena asmanya kambuh-kambuhan. Bapak nggak percaya sama siapapun selain ibu untuk ngurus administrasi dan keuangan di kantor, apalagi saat itu pesanan klien banyak banget. Entahlah, pokoknya Bapak kayak dapet rezeki nomplok gitu...

"Bapak juga inginnya ibu selalu nemenin bapak yang harus kejar target pesanan. Kalau dari cerita Ibu, Bapak sebenernya cuma mikirin kebahagiaan keluarganya. Kerja larut malam, kejar target pesanan, nggak lain karena ingin semaksimal mungkin menafkahi keluarganya dengan baik dan bikin kita bahagia," Jen menarik napas panjang dan meminum minumannya yang sudah berkurang setengah. Ia terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan.

"Sampai hari itu. Waktu aku pulang habis daftar ulang S2, aku papasan sama Bapak yang udah naik mobil dan keluar garasi. Pas masuk rumah... Ibu...," Jen menghela napas lagi dan melanjutkan, "Ibu udah sesak di tangga. Asmanya kambuh. Nggak tahu habis ada apa, pokoknya aku langsung nelpon kamu dan taksi buat bawa ibu ke rumah sakit. Dan, ya... Kamu taulah selanjutnya gimana."

Jun terdiam.

"Jujur, saat di pemakaman, banyak hal yang aku pikirin. Ada rasa tanggung jawab sebagai seorang anak pertama yang rasa-rasanya sangat membebani. Waktu kamu memilih buat pergi ke Bogor, sebenernya aku takut. Takut kamu kenapa-napa, takut nggak bisa jagain bapak sendiri, takut kuliah terbengkalai, dan banyak hal lainnya," ujar Jen bergetar. "Dan rasa takut itu bertambah dengan rasa bersalah saat kemarin aku nemu obat antidepresan di kamar Bapak."

"Hah? Antidepresan? Bapak kenapa, Mbak?" Jun tersentak.

"Bapak belum mau cerita, Dek. Mungkin Bapak juga banyak pikiran, banyak tanggungan di kantor, dan aku juga sibuk sama kuliahku. Kami di rumah hampir nggak pernah ngobrol. Kadang-kadang ngobrol, tapi ya gitu... Sebatas mau kemana dan makan apa. Bapak nggak pernah cerita soal masalahnya. Tiap aku tanya kondisi kantor, selalu dijawab baik-baik aja. Mungkin, aku kurang bisa dipercaya... Makanya... Makanya aku juga sekarang sebenernya bingung harus gimana...."

"Maaf ya, Mbak," lirih Jun.

"Nggak apa, Dek. Kita sama-sama punya beban sendiri. Aku, kamu, dan Bapak. Dan kita juga nggak pernah terbuka satu sama lain. Makanya dulu aku sebel banget waktu kamu pergi gitu aja tanpa alasan yang jelas selain karena kamu butuh waktu sendiri untuk nerima semua kejadian itu," Jen tertawa kecil dan menepuk pundak Jun sambil melanjutkan, "Sebel karena ngerasa sendiri, tapi juga berusaha ngertiin kamu walaupun kamu nggak cerita apa-apa. Sampai akhirnya kamu cerita tentang mimpimu. Kayaknya ada yang aku nggak tau ya, Dek?"

Kini, Jen membiarkan Jun melepaskan semua bebannya. Meski hening yang menjawab pertanyaan Jen, ia tetap bertahan menunggu sampai adiknya mau bercerita. Ia mencoba memahami, mungkin ada beban lebih berat yang dirasakan adiknya. Ah, dan ia menyadari, tidak ada yang lebih berat. Mungkin adiknya memang butuh usaha lebih untuk menerima semua yang terjadi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Mbak," suara Jun membuyarkan lamunan Jen.

"Hmm?"

"Iya, ada yang nggak pernah bisa aku ceritain ke Mbak. Mimpi itu... aku nggak tahu ya, Mbak, kenapa selalu kejadian itu yang berulang. Mungkin karena itu pertama kalinya aku ngeliat sisi lain dari Bapak."

Jun kembali terdiam. Mencoba mengelola emosinya yang meluap-luap hingga menyesakkan dada. Jen bergeming, menunggu dengan sabar.

"Aku kaget... kaget banget. Bapak yang ceria dan selalu memuji aku. Bapak yang ramah dan senyumnya begitu menentramkan. Bapak yang sabar ngajarin aku basket. Bapak yang kurasa selalu baik sama kita, Mbak. Kenapa bisa... kenapa bisa setega itu... mukul ibu. Maksa ibu yang asmanya lagi kambuh untuk ke kantor... sampai narik-narik ibu...," bibir Jun bergetar, pundaknya bergetar, ia masih berusaha menahan tangisannya.

"Kupikir cuma saat itu aja. Tapi, sampai ibu meninggal, sebenernya aku berkali-kali denger mereka berantem di kamar. Ada suara benda jatuh dan entah suara-suara lain yang nggak mau aku bayangkan itu apa. Bapak selalu marah setiap asma ibu kumat. Setiap aku mau bantu ibu dan bapak liat, Bapak selalu bilang kalo Ibu melakukan foul, jadi harus dihukum. Kalo aku ikut bantu Ibu, aku juga kena foul. Saat itu aku takut banget... Dan... Entah kenapa, aku selalu nggak berani deketin ibu setiap semua hal itu terulang. Aku gatau, aku salah, Mbak... Harusnya aku nggak kayak gitu...," air mata mulai menetes di pipinya.

Jen tertegun. Ia tidak menyangka adiknya menyaksikan kondisi terburuk dari kedua orang tuanya. Ia pun pernah melihat kedua orang tuanya bertengkar. Namun, sebatas pertengkaran mulut dan sebisa mungkin ia menghampiri untuk mengobrol bersama ibunya seusai pertengkaran itu, hingga ibunya merasa tenang. Ia pun selalu ditenangkan oleh sang ibu.

"Aku... Mungkin selama ini aku selalu merasa bersalah atas kematian ibu. Aku nggak tau, Mbak. Meski Bapak menunjukkan sikap baiknya ke kita, sejak hari pemakaman ibu dan Bapak nggak pulang malam itu, aku selalu takut. Aku nggak tau... Setiap ada Bapak, sesak, Mbak... Aku takut... Takut sikap Bapak berubah dan aku jadi sasaran Bapak selanjutnya kayak Ibu..."

Jen merangkul adiknya yang sudah menahan isak tangis sedari tadi dan menepuk-nepuk punggungnya, "Kamu nggak salah, Dek... Kamu nggak salah... Makasih ya, udah mau cerita ke Mbak. Pasti berat banget untuk cerita... Dan lebih berat lagi memendamnya selama ini. Makasih ya, Dek, udah percaya dan cerita Mbak."

Jun tidak menjawab selain dengan tubuh yang bergetar semakin kencang dan menyembunyikan wajahnya di pundak kakaknya.

Hingga azan magrib berkumandang, pembicaraan mereka tidak berlanjut. Jen terus berusaha menenangkan adiknya yang tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia pun bisa merasakan betapa berat rasa bersalah yang ditanggung oleh adiknya, sama seperti besarnya rasa takut yang ia rasakan.

Setidaknya, semua mulai terungkapkan. Setidaknya, Jun sudah berani membagi emosinya. Setidaknya, kami sudah lebih terbuka dengan perasaan kami masing-masing. Semoga ini jadi langkah awal kami untuk bersama-sama memaafkan masa lalu dan membuka lembaran baru, batin Jen yang langsung menghapus air matanya karena ia belum ingin terlihat menangis di depan adiknya ini.

Langit senja semakin menggelap di luar jendela. Begitu gelap karena ditambah oleh mendung yang turut menghiasi senja kala itu. Rintik hujan mulai turun mengiringi air mata yang belum berhenti menghujani pipi.

***

Selepas percakapan yang lalu, Jen dan Jun mulai lebih terbuka dengan emosi mereka. Terlebih dengan Jun, yang mulai belajar untuk menerima rasa bersalahnya. Ia mulai belajar untuk memaafkan dirinya sendiri dan memaafkan sang ayah. Terlebih, ketika ia tahu ayahnya mengonsumsi obat antidepresan. Meski itu tidak mudah, ia yakin, semua menjadi lebih mudah menjalaninya bersama sang kakak dibandingkan beberapa waktu lalu, saat ia sibuk sendiri dengan perasaannya.

Jen pun tidak bosan menghibur dan mendengarkan cerita Jun. Tiga hari yang singkat menutup kebersamaan mereka di Yogyakarta dengan segala keterbukaan. Hingga hari di mana Jun harus kembali ke Bogor karena ujian sekolah dan ujian nasional semakin dekat. Jun semakin bertekad untuk kembali ke Yogyakarta setelah lulus SMA agar ia bisa menemani kakaknya dan belajar berdamai dengan sang ayah.

"Aku pamit ya, Mbak."

Bandara Adi Sucipto tidak begitu ramai di jam keberangkatan Jun. Ia memilih penerbangan siang agar ada cukup waktu untuk beristirahat sebelum masuk sekolah esok hari. Jen mengantarnya sendiri karena, seperti biasa, sang ayah sulit meluangkan waktu di hari kerja. Kantor sedang membutuhkannya, kata sang ayah pagi tadi.

"Hati-hati. Kalau sudah sampai, kabari ya, Dek."

"Kalo Bapak kenapa-napa dan Mbak mau cerita, cerita aja ya, Mbak."

Jen mengangguk dan tersenyum.

Mereka berpelukan sebelum akhirnya Jun masuk ke terminal keberangkatan. Jen melepas Jun dengan perasaan yang lebih tenang dan senyum haru mengembang.

***

"Yo! Bro! Gimana pulang kampungnya?"

Johan yang selalu siap sedia menjemput sahabatnya itu langsung merangkul Jun ketika Jun keluar dari terminal kedatangan.

"Alhamdulillah, bener kata lu, Han."

Johan mengangkat alis, "Lah, emang gua ngomong apa?"

Jun hanya tersenyum, "Inget saja sendiri, hahaha. Dah yok, kita caw!"

"Mampir makan siang dulu ya. Gua belum makan."

"Selow, gua ngikut yang punya mobil aja."

Jun mengikuti Johan yang berjalan ke tempat parkir mobil sambil menyalakan ponselnya. Sesaat setelah menyalakan paket data, pemberitahuan dua puluh panggilan tak terjawab muncul dan berpuluh pesan dari media sosialnya.

Oh iya, ngabarin Mbak Jen, batin Jun.

Jun segera melakukan panggilan ulang ke kakaknya untuk mengabari bahwa ia sudah sampai dengan selamat di Jakarta dan sedang dalam perjalanan kembali ke Bogor.

"Assalamu'alaykum, Mbak. Aku—"

"Jun... Bapak...." Suara Jen terdengar terisak-isak.

"Bapak kenapa, Mbak?" Jun menghentikan tangannya yang akan membuka pintu mobil. Johan ikut terdiam mendengar perkataan Jun.

"Bapak... Bapak masuk UGD... Overdosis..."

***

Catatan:

Foul : Istilah untuk menyebut pelanggaran dalam pertandingan basket

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro