9 - Time Out

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunyi pantulan bola basket menggema di lapangan yang telah kosong dan temaram. Hanya menyisakan Jun seorang diri bersama lemparan-lemparan bola yang tidak pernah masuk ke dalam ring. Ia terus memutari setengah lapangan basket indoor milik sekolahnya itu dan melancarkan tembakan-tembakan tidak tepat sasaran. Keringatnya menetes, kakinya menegang, tetapi tak urung dirinya kembali pulang. Lampu-lampu lapangan sudah dimatikan dan hanya menyisakan tiga lampu sorot yang menyoroti setengah lapangan tempat Jun bermain dengan bola basketnya.

"Jun."

Sebuah suara yang lembut memanggilnya. Sangat jelas dan menggema di dalam ruangan. Ia yang dipanggil memalingkan kepala ke arah sumber suara sambil memicingkan mata. Kegelapan di setengah lapangan dekat pintu masuk membuat Jun tidak dapat melihat dengan begitu jelas. Terlebih, ia berada di sisi lain lapangan dengan sorot lampu yang lebih terang.

Dee, yang sudah menggunakan pakaian santai dengan jaket ungu rapat diritsleting dan punggungnya menggendong tas ransel berisi baju latihan. Johan—yang berdiri sedikit di belakang Dee—menggunakan kaos hitam dengan celana basket nomor tiga belas. Keduanya menatap ke arah Jun, tapi hanya dibalas acuh tak acuh oleh Jun.

"Kapten macam apa, dari tadi shooting nggak ada yang masuk!" Dee berjalan masuk ke tengah lapangan setelah melempar tasnya ke bangku pemain yang ada di pinggir.

Hening.

Jun masih sibuk dengan kegiatannya menembak dan menangkap bola yang memantul balik, enggan mengikuti keinginan Jun untuk masuk mencetak poin.

Hap!

Dee memotong dan menangkap bola mendahului Jun. Ia mendekap bola di pinggang kirinya dengan satu tangan.

"Ayo, kalo mau men to men, tapi bertiga. Sama Johan. Emang enak main sendiri nggak ada lawan? Yang kalah traktir makan malem. Deal?"

"Halah, bocah bisa apa." Akhirnya Jun mengeluarkan suara.

"Hilih, sombong. Kalo gitu dua lawan satu. Aku, Johan. Kamu sendiri. Gimana?"

"Sok! Suka-suka bocah aja," tantang Jun dengan nada bergurau.

"Oke, Bro! Gua siap terima makan gratis malam ini!" Johan tiba-tiba sudah ada di samping Dee dan menatap tajam ke arah Jun.

Jun tersenyum kecil.

"Oke, ayo mulai!"

Permainan dua lawan satu yang tiba-tiba dilancarkan oleh Dee berlangsung begitu ketat. Wajar, ketiganya bukanlah pemain sembarangan. Dee yang baru sembuh dari cedera cukup parah hanya sesekali bergeser tempat dan menerima umpan dari Johan untuk langsung ditembakkan ke ring. Kemampuannya yang hampir selalu tepat sasaran dalam melakukan medium shoot membuatnya lebih mudah mendapatkan poin jika Johan memberi operan kepadanya, terlebih Jun sedang dalam kondisi yang kurang fokus. Meskipun begitu, ia membiarkan Johan yang banyak berlari dan melawan Jun dengan intens karena dirinya belum boleh banyak melakukan gerakan berat, seperti banyak berlari misalnya.

Johan pun memiliki kemampuan bertahan dan menyerang dari jarak dekat. Berbeda dengan Jun yang senang melakukan tembakan jarak jauh seperti three point shoot, meski ia sebenarnya ahli dalam menggocek lawan untuk mendekat ke arah ring dan melakukan lay up atau slam dunk. Hanya saja, emosi Jun yang saat ini tidak begitu stabil membuatnya kurang fokus dan tembakannya jarang menghasilkan poin.

"Point! Yak, sebelas bola untuk Dee-Johan, tiga bola untuk Jun!" teriak Dee saat Johan yang menembakkan bola ke ring dengan jump shoot dan sedikit menabrak Jun yang saat ini membiarkan tubuhnya tergeletak lemas di lapangan dengan napas terengah.

"Udeh, lu kalah telak, Bro. Mau lanjut lagi?" Johan yang juga berusaha mengatur napasnya berjongkok menjajari Jun dengan bertumpu pada bola yang diletakkan di samping kanannya.

"Hah! HAAAAH! Hahahaha!" Tiba-tiba Jun berteriak lalu tertawa, membuat Dee dan Johan saling berpandangan bingung.

"Gile! Dah gila ya, lu?"

"Hahaha, kagak. Iya, gua kalah. Ayo, mau makan apa? Tapi gua males makan di luar. Makan di apartemen gua aja gimana?" jawab Jun sambil menyilangkan tangan kanannya ke atas dahi yang penuh keringat.

"Ih terus aku kudu ke apartemen cowo gitu?" Dee sedikit mendengkus kesal sambil meluruskan kakinya.

"Selo, ada rooftopnya. Asik buat makan di sana sambil ngadem."

"Ya, nggak gitu. Kalian kan cowo, bahaya...."

Johan dan Jun saling berpandangan, lalu tertawa.

"BOCAH! Kamu kira kita bakal ngapain kamu, hah?" Jun bangun dari posisi rebahannya.

"Ye, wajar dong aku takut." Dee lalu bangkit dan berjalan mengambil tasnya.

"Lu mau pergi, Dee?" tanya Johan.

Dee berjalan menghampiri Jun dan Johan sambil mengeluarkan ponselnya, "Nih, telpon ayahku. Minta izin. Harus diizinin ya. Nggak a rela aku ninggalin makan gratis," ujar Dee dengan nada sedikit mengancam, tetapi merajuk seperti anak-anak.

"Lah kok gua?" Johan bingung.

"Ya kalo bukan kamu, Jun yang telepon. Kan ke apartemen dia."

"Dasar bocah!" Jun tertawa kecil dan mengambil ponsel Dee yang sudah terpampang nomor ayah Dee. Tinggal memencet tombol hijau saja untuk menelepon.

Hening beberapa detik.

"Wa'alaykumussalam, Om, punten ini Jun pakai hpnya Dee. Oh, Dee nggak apa-apa, Om. Ini Dee mau diajakin makan bareng habis latihan... Di apartemen saya sama Johan, Om. Boleh?" suara Jun mendadak ramah dan sopan saat menerima telepon itu.

Dee dan Johan hanya bisa memandangi Jun, terutama Dee dengan wajah penuh harap.

"Hmm... iya, Om. Nanti diantar sampai rumah... Iya, Om... Insyaa Allah... Oh, ini, sebentar, Om," Jun lalu menyerahkan ponsel itu ke Dee.

"Assalamu'alaykum, Yah. Hehehe... Soalnya kan Jun yang mau ngajak," ujar Dee menjawab ayahnya di seberang telepon dan mengundang tatapan melotot Jun, "Oke, Yah. Siap. Ih emang aku apaan, tinggal aku tendang aja kalo kenapa-kenapa, haha... Oke, Yah. Wa'alaykumussalam warrahmatullah."

"Boleh kan?" tanya Johan seusai Dee menutup teleponnya.

"Boleh, asal aku bisa ngehajar kalian kalo kalian bandel."

"Wokey, yuk cus! Makan apa kita?" Johan berlari mengambil tasnya dan segera keluar lapangan dengan semangat.

"Dee mau apa?" Jun mengoper pertanyaan ke Dee yang berjalan di sebelahnya.

"KEPRABON!"

"Ahelah, budak keprabon lu, Dee. Nggak ada yang lain apa?" Johan yang sudah sering makan ayam keprabon dengan Jun bosan dengan menu yang sama.

"Apa ya? Pasta-pastaan yuk. Mumpung dibayarin orang kaya!"

"Hah, dasar, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ayahmu masih jualan batagor ga sih, Dee?" tanya Jun.

"Enggak."

"Loh kok engga?"

"Lah, kan sekarang udah malem. Ayah jualannya sampai jam 5 sore aja biasanya biar magrib udah di rumah," Dee menjawab polos.

"Ye bocah!" Johan ikut-ikutan memanggil Dee dengan sebutan bocah, "Ya ga salah, sih. Lu juga ambigu pertanyaannya, Jun."

"Tau ah!" Jun mendengkus.

Johan dan Dee tertawa. Mereka hampir tiba di tempat parkir yang hanya tersisa satu mobil saja. Mobil Johan.

"Emang kenapa? Mau makan batagor ayah aku?"

"Ya, kapan-kapan makan sanalah. Jadi panglaris usaha temen." Jun sudah siap membuka pintu depan kursi penumpang sesampainya di tempat parkir.

"Sepakat!" Johan menimpali.

"Oke. Tapi sekarang kita makan pasta ya, ya, ya?" tanggap Dee dengan wajah (sok) imut merajuk.

"Iya, iya! Bro, ke Pizza Hut dulu aja nanti. Takutnya ini bocah nangis kalo nggak diturutin."

"SIAP LAKSANAKAN!"

Johan menyalakan mesin dan mereka bertolak dari sekolah yang sudah gelap. Menyisakan satpam penjaga sekolah yang masih harus berjaga hingga jam sepuluh malam.

***

H

ujan mengguyur deras sesaat setelah Johan memasukkan mobilnya ke tempat parkir basement apartemen. Tampaknya, keinginan untuk menghabiskan malam dengan makanan gratis yang sudah mereka beli di rooftop apartemen harus ditunda terlebih dulu. Kesepakatan pun diambil, beranda kamar Jun lebih baik saat ini untuk menyantap hidangan.

Lampu kamar menyala sesaat setelah Jun membuka pintu kamarnya. Johan dan Dee mengikuti di belakang sambil menjinjing makanan yang mereka beli di perjalanan tadi. Johan, yang sudah terbiasa dengan kamar Jun, langsung berjalan menuju beranda dan mengeluarkan belanjaan mereka. Dee, untuk pertama kalinya berkunjung ke kamar laki-laki di sebuah apartemen—mewah, baginya—berdiri terpaku menghadap wastafel yang berada tepat di samping kanan pintu kamar, menyatu dengan kompor listrik di samping kiri wastafel. Ia membuka-buka lemari bawah wastafel dan menemukan beberapa peralatan makan.

"Woh! Jadi bentukan kamar di apartemen gini toh. Ini kenapa, deh, wastafel di deket pintu gini? Ada kompor nggak, Jun? Biasanya yang deket sama wastafel itu kan peralatan masak," ujar Dee panjang lebar tanpa berhenti menelusuri setiap inci isi lemari bawah wastafel.

"Itu sebelahnya kompor, Dee. Kamu mau masak? Makanan udah banyak gini." Jun menanggapi sambil menyambungkan ponselnya dengan pengisi daya di samping kasurnya.

"Hah? Mana? Ini kaca item doang,"

"Ebuset, dah. Kompor listrik ini, Dee." Johan yang sudah selesai membongkar makanan langsung menghampiri dan menepuk-nepuk kaca hitam yang membuat Dee bingung. Ia tertawa mengejek.

"Oh, ini ... oh, jadi kompor listrik bentukannya kayak gini ya? Keren-keren."

Jun ikut tertawa dan kembali menyibukkan matanya menatap layar ponsel.

"Lu masih mau inspeksi kamar Jun atau mau makan?" tanya Johan sambil mengikuti Dee yang berjalan pelan-pelan melihat sekeliling kamar Jun.

"Eh, ini TV-nya nyambung ke channel TV kabel nggak? Sambil nonton drama atau film gitu kalo ada." Dee tak menghiraukan pertanyaan Johan dan masih sibuk melihat LED TV 60 inch yang menempel cantik di dinding kamar, persis di depan kasur. Di bawahnya terdapat lemari panjang yang menyatu dengan meja belajar Jun di sisi kiri televisi. Beberapa foto Jun dengan keluarganya terpajang di meja itu.

"Hm? Kok aku kayak kenal sama bapak ini, ya?" Dee menggumam pelan.

"Apaan, Dee?" tanya Johan yang mendengar gumaman Dee.

"Hah? Enggak. Eh ayo! Kapan ini mau makan? Laper, ini!"

"Dari tadi gua tanya nggak ada yang nanggepin." Johan mendengkus kesal dan berbalik menghadap Jun. "Lu juga. Mau main hp terus apa mau makan? Laper, Bro!"

"Ah, iya, ayo. Kalian masih asyik liat-liat, ya, gua ngecek hp dulu sambil nge-charge. Bentar, gua ganti kaos dulu." Jun akhirnya beranjak dan berjalan menuju lemari untuk mengambil kaos, lalu berganti pakaian di toilet.

Mereka duduk lesehan sambil menikmati derasnya hujan di Bogor yang mengguyur malam itu. Angin yang bertiup agaknya kurang mau bersahabat dengan tubuh-tubuh kelelahan di pinggir beranda itu. Johan merapatkan jaket jumper yang dipakainya di sela-sela menyantap tuna aglio olio spaghetti.

Sedangkan Dee, melepas jaket ungunya untuk menutupi kaki yang mulai mendingin karena hanya memakai celana tiga perempat. Untungnya, beef lasagna yang dipesan masih sedikit hangat dan membantu menghangatkan tubuhnya sedikit.

Jun yang sudah lengkap dengan pakaian hangat santai saja menyantap cheese beef fusilli sambil memandang hujan.

"Hujannya cantik, ya?" Dee membuka obrolan.

"Emang hujan bisa cantik? Dari mananya?" Johan mengangkat alis tidak mengerti.

"Bisalah! Aduh, kamu ini nggak punya jiwa-jiwa puitis gitu ya, Han," protes Dee sambil memukul lengan Johan. "Liat deh! Jatuh terus berkali-kali, tapi hujan nggak bosen buat jatuh. Tau nggak kenapa?"

"Kenapa?" Jun ikut menimpali.

"Soalnya, dia punya temen. Bareng-bareng jatuh bangun nggak akan kerasa sendirian. Memang pernah hujan jatuh sendiri?"

"Yaelah, namanya hujan pasti ramelah. Deres gitu. Ya kali hujan cuma satu tetes doang."

"Nah, itu. Makanya aku bilang hujan itu cantik. Soalnya nggak pernah sendiri."

"Berarti lu cantik kalo lagi sama kita ya, Dee? Kan nggak sendiri?" Johan menyipitkan matanya menggoda Dee.

Dee melotot, "Heh! Awas aja, aku kenapa-napa, kamu bisa kulempar dari sini. Nggak bisa main basket lagi kamu kalo udah jatoh!"

"Santai dong!" Johan tertawa bersama Dee, "Bro, diem aje lu. Kenapa?" matanya berpaling ke arah Jun.

Jun tersenyum dan menelan makanannya, "Nggak apa, berarti gua juga bisa ganteng gara-gara bareng sama kalian. Ya nggak?"

Seketika Dee dan Johan terbatuk-batuk—entah sengaja atau benar-benar karena tersedak. Jun tertawa lepas melihat kedua sahabatnya itu.

"Santai dong. Makasih ya, udah nemenin gua hari ini," lirih Jun pelan dengan senyum yang belum lepas dari wajahnya.

"Semangat ya, Jun! Aku sama Johan tadi memang sengaja balik lagi ke lapangan. Habis Johan cerita apa yang terjadi, aku pikir kamu sebenernya butuh pelampiasan aja buat ngeluarin semua emosi. Aku pernah baca di buku pengembangan diri gitu. Katanya, kalo lagi sedih atau marah biasanya orang melampiaskan ke hal-hal yang nggak baik. Namanya apa, teh, lupa ...." Dee meletakkan makanannya dan membuka ponsel untuk mencari istilah yang dimaksud.

"Displacement?" Jun menjawab santai.

"Nah itu! Pokoknya melampiaskan ke hal-hal negatif gitu deh. Kamu tau ya?"

"Kakaknya Jun psikolog, Dee," timpal Johan.

"Ah, I see. Kamu nggak pernah cerita soal keluargamu sih, Jun. Ceritanya ke Johan doang jadi aku nggak tau." Dee pura-pura cemberut, tetapi justru menimbulkan tawa bagi Jun dan Johan. Sepertinya tawa memang menular karena Dee pun akhirnya tidak bisa menahan tawanya.

"Iya, iya. Maaf ya, Dee. Tapi hari ini judulnya bukan displacement. Apa yang kalian lakuin ke aku itu bikin aku jadi melakukan sublimation. Melampiaskan ke hal-hal positif. Main basket kan nggak nyakitin siapapun."

"Apaan! Sakit, Bro, disikut sama lu!" protes Johan.

"Ah, elu protes aja!" Jun menyikut lengan Johan dan tertawa. "Dan ... Em, kayaknya udah waktunya juga kamu tau, Dee." Jun menelan saliva, membuat jakunnya bergerak naik dan turun.

"Hah? Apa emangnya?" Dee mengangkat alis dan mencondongkan tubuhnya.

Johan terdiam, memberi kesempatan untuk Jun menyampaikan hal yang memang perlu untuk disampaikan.

"Sebelumnya, aku minta maaf, ya, Dee, dan mau berterima kasih atas banyak hal. Mungkin tanpa kamu tau, kata-katamu punya efek besar buatku."

"Contohnya?"

"Soal rebound. Apakah kita akan membiarkan bola jatuh dan mati begitu saja, atau menangkapnya dan melemparkannya lagi untuk mencetak poin."

Dee hanya diam mendengarkan.

"Juga barusan, soal hujan. Nggak akan sakit lama-lama kalau menjalaninya bersama, nggak sendirian." Mata Jun beralih menatap hujan yang masih mengguyur deras.

"And? Aku masih nggak ngerti, Jun. Maaf ya ...," sahut Dee menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Oke, langsung aja. Aku mau minta maaf sama kamu karena ternyata bapak aku adalah atasan ayah kamu yang membuat ayah kamu kehilangan pekerjaan sampai harus jadi penjual batagor keliling."

Dee memundurkan tubuhnya dan duduk tegak, terdiam.

"Kamu udah di ceritain Johan, 'kan, kondisi bapak aku saat ini. Bapak overdosis karena kebanyakan minum antidepresan. Aku belum tau alasannya, kakakku pun begitu. Saat ini kakak aku lagi ngerasa bersalah banget karena bisa-bisanya dia nggak tau kalo Bapak ternyata lagi depresi. Entahlah, jujur aku juga masih mencerna semua ini. Tapi, ya, aku mau minta maaf ke kamu atas kesalahan bapak aku. Mungkin saat mecat ayah kamu, bapak aku sedang dalam kondisi yang nggak stabil juga. Maaf ya, Dee ...."

Dee berdiri, memakai jaketnya, dan bersandar di pagar beranda menghadap luar sambil menatap hujan. Johan ikut berdiri dan bersisian dengan Dee di sebelah kirinya.

Hening.

"Dee?" Jun akhirnya berdiri dan mengambil tempat di sebelah kanan Dee. Ia menghadapkan badannya ke arah Dee yang masih sibuk memandangi hujan.

"Nggak apa-apa, Jun," lirih Dee yang tidak melepaskan pandangannya dari hujan yang sudah mulai reda. Ia tersenyum. "Nggak apa-apa, bukan salah kamu."

"Beneran?"

"Iya! Ih, tau nggak? Pantes aja aku kayak kenal sama orang di foto keluargamu itu. Ternyata itu bosnya ayah dulu. Tau nggak? Ayah juga majang foto beliau sama bosnya pas Ayah naik jabatan jadi manajer wilayah." Suara Dee terdengar ceria.

"Kamu nggak marah?"

"Jun, kukasih tau ya." Dee menghela napas dan memutar badannya menghadap kamar. Punggungnya kini bersandar di pagar beranda. "Ayah selalu cerita ke aku kalau bosnya itu baik. Waktu ayah dipecat tanpa alasan pun, beliau bilang kalo mungkin bosnya lagi ada masalah dan nggak bisa berpikir jernih. Ayah aku sedih, sih. Tapi bukan cuma sedih karena dipecat. Beliau sedih karena nggak bisa lagi bantu bosnya—iya, bapak kamu. Jadi kupikir, ayah juga nggak marah."

Jun tersenyum.

"Nah, lega kan, Bro?" Johan akhirnya angkat suara.

"Justru aku bingung, kenapa sih kamu suka nyimpen masalah sendiri. Ya, nggak sendiri juga sih. Pasti kamu cerita ke Johan kan ...."

"Udah gua bilangin dari dulu biar dia cerita juga ke lu, Dee," sambar Johan sebelum Dee menyelesaikan kalimatnya. "Tapi, dia takut gitu. Takut lu marah."

"Ah elu!" Jun memukul punggung Johan.

"Hahaha, udah ya. Aku nggak apa-apa Jun. Mau kubilangin ke ayah atau kamu mau bilang sendiri?"

"Besok aja aku bilang, sekalian makan batagor ayah kamu. Han, ikut ya, lu!"

"Gua, sih, siap antar jemput asal gratis," ujar Johan sambil mengerlingkan matanya.

"Kamu, ih, punya mobil tapi minta gratisan terus. Traktir napa dah sekali-kali." Giliran Dee yang memukul punggung Johan.

"Haduuuh!" Johan mengelus-elus punggungnya dan menggelengkan kepala. "Ini makanan kalo nggak dimakan gua habisin nih!"

Dee dan Jun tertawa. Mereka pun duduk kembali dan melanjutkan santap malam yang belum sepenuhnya selesai. Masih ada beberapa camilan penutup dan minuman yang meminta untuk segera dihabiskan.

Hujan mereda. Begitu pula gundah di hati Jun. Mengungkapkan beban yang terpendam memang begitu melegakan, terlebih jika mendapat tanggapan yang baik. Permohonan maaf yang diterima dengan baik, juga sahabat yang mau menerima dirinya, adalah sebuah anugerah berarti dari Tuhan. Siapa sangka, kata-kata ringan yang diucapkan mereka mampu membuat hati Jun tergugah untuk bangkit dan menyelesaikan masalahnya.

Ah, setelah ini ia harus menelepon kakaknya. Ia tidak akan membiarkan kakaknya bertarung sendiri di sana. Kehangatan yang ia rasakan malam ini harus dirasakan kakaknya juga. Senyum lebar menghiasi wajahnya hingga malam berakhir.

***

Catatan :

Medium shoot : tembakan yang dilakukan dari posisi sekitar garis tembakan.

Three point shoot: tembakan yang dilakukan dari luar atau tepat di garis lengkung setengah lingkaran untuk mendapatkan 3 poin skor.

Slam dunk: membuat poin dengan cara bergelantungan di ring untuk memasukkan bola ke dalam ring.

Jump shoot: tembakan yang dilakukan dengan melompat.

Displacement : Bentuk pertahanan diri dengan melampiaskan emosi (biasanya agresi) ke target pengganti yang tidak berdaya, menghasilkan perilaku merusak. Misalnya memukul orang yang lebih lemah, atau memukul benda yang tidak bisa melawan.

Sublimation : Mirip dengan displacement, tetapi mengalihkan emosi ke hal-hal yang lebih bermanfaat dan diterima secara sosial. Misalnya, berolahraga, melukis, dan kegiatan bermanfaat lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro