2 - Hustle Culture

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kok bisa sih lo udah di sini lagi aja? Lo nggak pulang?" Ben terkejut saat mendapati Alana sudah kembali berada di mejanya pukul setengah sembilan pagi, dengan monitor yang menyala. Di atas meja Alana sudah ada secangkir kopi dan semangkuk mi instan yang mengepulkan asap. "Woi, gila. Makan itu lagi?"

"Kemarin rasa kari ayam, sekarang rasa bakso," jawabnya cuek. "Sehat kok nih, liat ada sayurnya."

Ben menatap sehelai sawi layu di atas mi bakso itu dengan nanar. "Kenapa sih nggak minta beli bubur ayam aja sama OB?"

"Praktis. Cepet."

Ben menghela napas panjang, malas berdebat. "Semalam balik jam berapa lo?"

"Jam dua. Bos tuh yang nggak balik kayaknya, pas gue cabut dia masih anteng aja depan komputer," jawab Alana sambil menyeruput mi instannya.

Ben melirik pintu ruangan Melvin yang lampunya masih menyala. Sama seperti semalam. "Lo pagi ini meeting jam berapa?"

"Sepuluh. Habis gue makan harusnya kita jalan ke klien. Tapi dari tadi gue datang, dia belum keluar-keluar sih. Jangan-jangan Bos ketiduran."

Ben mengerutkan dahinya. Rasanya seperti ada yang salah. "Habis lo makan ketok aja ruangannya. Kok feeling gue nggak enak, ya?"

"Hmm." Alana melanjutkan sarapannya dengan khusyuk. Setelah ia menghabiskan makanan dan kopinya, ia mencuci peralatan makannya di pantry, lalu segera kembali ke mejanya. Ia sudah menyiapkan seluruh dokumen yang harus disiapkan untuk meeting pagi ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima pagi. Jika mereka tidak ingin terlambat, mereka harus segera berangkat.

Alana mengetuk pintu ruangan Melvin. Sekali, dua kali, tiga kali. Tidak ada jawaban. Dahinya berkerut. Jangan-jangan Bos benar-benar ketiduran?

"Buka aja. Kalau nggak dibangunin, lo nanti telat, lagi," ujar Ben sambil menarik gagang pintu ke bawah. Pintu terbuka perlahan.

Namun, alih-alih menemukan Melvin di balik mejanya, pria berusia empat puluhan itu terkapar di lantai ruangannya, tak bergerak. Ben langsung mengguncang-guncang badannya, tetapi tak ada reaksi apapun. Tangan Ben meraba leher Melvin, mencari denyut nadi. Ada. Namun Melvin tidak sadar. Ben perhatikan, sebagian wajahnya terlihat kaku. Kondisi ini tidak baik sama sekali.

"Stroke?" gumam Ben tidak yakin. "Al, panggil supir kantor. Kita harus segera bawa Bos ke rumah sakit!"

* * *

Untungnya, Rizal, supir kantor, datang lebih cepat ke kantor hari itu. Rizal dan Ben yang dibantu beberapa OB langsung menggotong Melvin ke mobil kantor, dan langsung meluncur ke rumah sakit terdekat. Setelah Melvin mendapatkan pertolongan pertama, barulah Ben dan Alana bisa istirahat sejenak di kursi tunggu di depan UGD. Alana sudah menelepon kantor dan menjelaskan situasinya. Seharusnya, Sofi, si admin kantor, sudah menghubungi klien untuk membatalkan pertemuan mereka dengan klien pagi itu. Dan menghubungi keluarga Melvin.

Keluarga...

"Ben, Bos tuh udah nikah kan ya? Ada anak istri?" tanya Alana. Lututnya bergerak-gerak gelisah menunggu kabar dari dokter di dalam, tetapi yang bisa mereka lakukan hanya menunggu.

"Ada," jawab Ben muram.

Alana tidak bertanya lagi. Menghadapi kepala keluarga yang sakit tidak akan mudah bagi keluarga manapun. Ia hanya berharap bosnya itu pingsan, dan kemudian semua akan baik-baik saja.

TIba-tiba, pintu UGD terbuka dari dalam. Seorang perawat dan seorang dokter muncul dari balik pintu.

"Keluarga Bapak Melvin?" tanya si perawat.

"Kami rekan kerjanya di kantor. Keluarga masih dalam perjalanan ke sini." Ben berdiri menghampiri si perawat. "Kondisi Pak Melvin bagaimana?"

Kali ini, si dokter yang gantian angkat bicara. "Pasien sampai rumah sakit saat sudah melewati golden time penanganan stroke. Kita sudah melakukan yang kita bisa. Sementara ini pasien masih belum sadar, tapi nantinya saat bangun, kemungkinan besar dia akan mengalami kelumpuhan sebelah tubuh. Perlu rencana terapi jangka panjang supaya pasien bisa kembali beraktifitas fisik dengan normal."

Alana melirik Ben dengan cemas.

"Apa ada resiko penurunan kognitif, Dok?" tanya Ben. "Keluarga saya dulu ada yang kena stroke juga, dan kalau bicara jadi nggak nyambung."

"Oh, istilahnya afasia. Itu disebabkan kerusakan di area otak, jadi pasien bisa jadi kesulitan memahami kata-kata orang lain, atau bermasalah dalam komunikasi." ujar si dokter. "Saya ada kekhawatiran ke arah sana kalau melihat hasil CT Scan-nya, tapi kita tunggu hasil observasi setelah pasien sadar, ya."

Ben mengangguk, wajahnya terlihat lemas.

Tiba-tiba di drop off UGD sebuah taksi datang dengan kecepatan tinggi, kemudian mengerem mendadak. Seorang perempuan menghambur keluar dari dalam taksi, lalu menghampiri mereka berempat

"Ada pasien atas nama Melvin Hartanto?" tanyanya dengan wajah panik.

Alana melirik Ben yang bersikap tenang dan menghampiri perempuan itu. "Ibu istrinya Pak Melvin, ya? Saya Ben, rekan kerjanya di kantor."

"Keluarga pasien sudah datang, ya? Ibu boleh masuk ke dalam, ikut saya," ujar si dokter sambil membukakan pintu ruang UGD supaya istri Melvin bisa ikut masuk ke dalam. Istri Melvin mengekori si dokter sambil bercucuran air mata. Ben memberi isyarat Alana untuk ikut masuk ke dalam. Alana mengerutkan dahinya. Ngapain?

"Mental support. Menerima kabar buruk itu nggak enak kalau sendirian. Ayo masuk."

Akhirnya mereka berdua ikut masuk ke UGD. Di bangsal paling ujung, si dokter sedang memberi penjelasan kepada istri Melvin dengan suara pelan. Wajahnya terlihat panik dan putus asa. Sesekali ia mengelus lengan suaminya yang masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit.

"Anaknya masih TK. Seumuran anak gue," kata Ben pelan. "Walaupun Bos nggak sampai meninggal, setelah ini, kayaknya hidup mereka nggak bisa sama lagi... Gue nggak yakin Pak Melvin masih bisa kerja dengan kondisinya yang kayak sekarang."

Alana tidak berkata apa-apa. Ia sedang membayangkan beratnya kehidupan keluarga Melvin ke depannya setelah pencari nafkah utamanya tidak bisa bekerja lagi. Hatinya sedikit nyeri, merasa kasihan kepada keluarga Melvin.

"Jadi, apa gunanya kita kerja keras kalau akhirnya badan kita hancur dan nggak hidup sehat cukup lama untuk menikmati hasil kerja kita dengan orang-orang yang kita sayang?" gumam Ben yang melipat tangannya sambil menonton pemandangan menyedihkan di hadapannya. "Lo tuh, jaga diri, Al. Sayang-sayang badan lo."

Alana memaksakan diri untuk tersenyum. Ia yang bekerja keras justru untuk melupakan orang yang pernah disayangi, lagi-lagi hanya bisa pura-pura paham. Masalahnya, bagaimana ia bisa paham urgensi menjaga diri untuk orang yang disayangi, kalau orang yang disayanginya mencampakannya dan menghilang begitu saja?

* * *

Kantor berduka. Melvin benar-benar berhenti bekerja setelah kejadian itu. Setelah kejadian yang menimpa Melvin, Ben diangkat menjadi pemimpin tim sementara. Tidak permanen, karena kualifikasi seorang team leader di Rubik adalah lulusan S2, sementara tak ada seorangpun di antara Ben, Pandu, dan Alana yang sudah mengenyam studi magister. Maka dipilihlah Ben yang paling senior untuk mengisi kekosongan posisi sementara sampai ada team leader yang menggantikan Melvin. Kebiasaan lembur di kantor mendadak meredup, semua orang takut akan mengalami kejadian yang sama dengan Melvin. Mendadak semua orang jadi sadar tentang pentingnya hidup sehat. Bahkan Alana insyaf sesaat - selama beberapa minggu, ia akhirnya makan dengan benar, walaupun ia tetap bekerja hingga larut malam.

Seiring berjalannya waktu, Pak Wisnu, direktur utama Rubik, memutuskan untuk membersihkan dan merenovasi ruangan Melvin, dengan harapan ruangan itu akan siap dipakai oleh penggantinya kelak. Dan seiring berjalannya waktu, orang-orang di kantor pun lupa bahwa sakitnya Melvin akibat gaya hidup tidak sehat itu benar-benar terjadi. Tak sampai dua bulan, suasana kantor di malam hari mulai hidup kembali, dipenuhi orang-orang yang benar-benar bekerja maupun yang menumpang main game atau online di sana. Alana perlahan kembali ke kebiasaan makan lamanya, Pandu belum berhasil menghamili istrinya, dan Ben terlihat makin layu karena tanggung jawab ekstra yang diembannya.

Sampai akhirnya hari itu datang – kabar akan datangnya pengganti Melvin di kantor.

Pandu : Gaes!

Pandu : Ada info terbaru.

Pandu : Pak Wisnu udah dapet pengganti Melvin!

Alana : Siapa?

Pandu : Nggak tau, wkwkwk.

Alana : Nggak usah ngomong kalo nggak tau, buang-buang waktu aja lo.

Pandu : Ya Allah galaknya Al... Lagi sensi, ya?

Pandu : Ini orangnya dateng, gue disuruh Pak Wisnu buat nganter dia keliling kantor dulu.

Ben : Alhamdulillah...

Ben : Akhirnya...

Pandu : :))

Ben : Orangnya first day hari ini?

Pandu : Resminya sih kayaknya besok atau lusa.

Pandu : Buruan balik lo berdua. Males gue berdua doang sama bos baru. Mukanya serem soalnya. Hiiiiiy.

Alana mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku roknya dan tersenyum. Pesan yang dikirim Pandu tadi pagi, baru bisa ia baca lagi sekarang. Seburuk apa, sih, bos baru ini? Bagi seluruh karyawan Rubik, Melvin adalah yang terburuk, dan Alana terbukti berhasil, bahkan lihai beradaptasi dengan yang terburuk. Lagipula, dengan kehadiran bos baru, setidaknya beban kerja Ben akan menjadi lebih ringan.

Mungkin Pandu hanya lebay, pikirnya.

"Revisinya bisa besok, ya, Mbak Alana?" tanya Teddy, in-house architect Frontier Hotel, proyek yang sedang ia kerjakan.

"Saya usahakan, ya, Pak." Alana melempar jawaban pamungkasnya sambil tersenyum. Revisi lagi, untuk kesekian kalinya, membuat progres proyek ini tak kunjung maju. Satu lagi meeting tak berguna yang ia lalui hari ini. Dengan absennya Melvin dalam meeting, Sang owner yang plin-plan merasa semakin di atas angin dalam menindas Alana untuk memberikan aneka opsi desain yang berbeda setiap minggunya, sesuai keinginan hatinya. Bodohnya, tak ada seorangpun yang berani mengingatkan Dion, owner Frontier yang juga anak seorang konglomerat. Tidak seperti bapaknya yang taktis dalam mengerjakan proyek, Dion terkesan bermain-main saat mengerjakan proyek ini, bahkan tak segan menggoda Alana dan beberapa anggota tim perempuan saat rapat. Menyebalkan.

"Mbak," Teddy mendekatkan wajahnya ke arah Alana, setengah berbisik. "Aku mau kasih saran supaya desainnya cepat di-acc."

Alana mengerutkan dahinya dan menatap Teddy heran. "Apa?"

Teddy menoleh ke arah Dion yang tampak sedang sibuk dengan ponselnya, lalu menoleh lagi ke arah Alana. "Akhir-akhir ini, Pak Dion lagi senang sama perempuan yang pakai high heels dan lipstik merah. Meeting berikutnya Mbak Alana dandan seperti itu, ya? Kalau Pak Dion happy, proyek juga lancar."

Alana tak bisa menyembunyikan ekspresi geli di wajahnya. Dandan? Demi proyek? Tapi ini bukan hal yang baru, dan juga menjadi resikonya sebagai perempuan yang terjun di dunia yang didominasi laki-laki ini. Jika Melvin masih ada, saran apa yang akan ia berikan pada Alana?

"Klien adalah raja. Pokoknya kita harus deliver semua permintaan mereka."

Kata-kata yang pernah Melvin sampaikan ke Alana tiba-tiba terlintas di kepalanya. Ia bimbang. Haruskah? Benar-benar menyebalkan.

"Terima kasih sarannya, Pak Teddy. Saya pamit dulu," jawab Alana diplomatis sambil mengangkat barang-barangnya.

Alana melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga, dan ia tadi melewatkan makan siangnya. Perutnya mulai berbunyi, namun jajan di luar bukan pilihan. Terlalu banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Setelah Melvin tak ada, rasanya semua semakin kacau. Alana tahu satu hal yang dapat menyegarkan pikirannya: mi instan rasa laksa Singapura edisi khusus yang baru ia beli beberapa hari yang lalu. Ia sengaja membeli banyak dan menyimpannya di pantry kantor. Cacing di perutnya mulai bernyanyi, Alana pun mencegat taksi dengan air liur yang mengambang di mulutnya, berharap segera sampai ke kantor untuk menyantap makanan favoritnya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro