3 - The New Guy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kosong.

Alana menatap nanar ke arah keranjang penyimpanan makanannya yang ia letakkan di rak pantry yang seharusnya penuh berisi mi instan edisi khusus itu. Kini, yang ia lihat di dalam kotak itu hanya beberapa bungkus teh celup dan gula sachet . Kurang ajar! Pikir Alana. Siapa yang berani-beraninya mengambil persediaan mi instannya? Satu, ia bisa tolerir. Tapi sepuluh? Tidak masuk akal! Walaupun ia letakkan di rak terbuka, keranjang itu jelas-jelas bertuliskan namanya. Dan selama ini, tidak ada seorangpun yang berani mencuri di pantry kantor.

Alana mendengus kesal, memeriksa persediaan minuman energinya yang sudah ia namai di kulkas. Namun alangkah terkejutnya ia saat ia melihat kulkas itu sudah setengah kosong. Yang tersisa hanya susu dan jus milik anggota tim lainnya, dan botol jamu setengah kosong yang Alana duga milik Sofi si resepionis kantor.

"ARIIIIF!" Alana mati-matian menahan dirinya untuk tidak berteriak. Perut laparnya sudah meronta-ronta.

Yang dipanggil langsung tergopoh-gopoh datang ke pantry. Arif, si OB, tampak heran melihat Alana yang terlihat kesal. "Ya, kenapa Mbak Alana?"

"Mi instan gue mana?"

Arif melongok ke arah keranjang makanan Alana yang kini kosong. "Lho, kok nggak ada? Tadi pagi saya lihat rasanya masih ada..."

Alana menghela napasnya. "Lo nggak tahu ini siapa yang ambil?"

"Saya nggak tau, Mbak, beneran," Arif mengkeret di sudut ketakutan. Alana orang baik, tapi jangan coba-coba menyulut emosinya saat ia lapar atau PMS.

Alana mendengus, kesal. Arif tidak mungkin mencuri persediaan makanannya. Semua orang di kantor ini sudah tahu kepemilikan persediaan makanan masing-masing. Jelas-jelas keranjang makanan Alana ada tulisan namanya. Orang kurang ajar mana yang berani mengambil persediaan makanannya? Biasanya anak baru yang belum tahu aturan, pikirnya. Tapi memangnya di kantor ada anak baru?

"Hhh... Ya udah, Rif. Gue makan yang lain aja."

"Mbak mau saya belikan sesuatu dari kantin?"

"Nggak usah," jawab Alana singkat, ngambek. Apa pula kerjanya si Arif ini kalau dia nggak bisa mengawasi siapa yang maling persediaan makanannya di pantry? Ia lalu mengaduk-aduk tasnya dan menemukan sebungkus wafer.

Ah, cukuplah. Makannya sekalian makan malam aja. Orang puasa aja nggak mati, kok.

Alana melempar tasnya ke atas meja dan langsung menyalakan komputernya dengan muka terlipat. Pandu, yang kaget mendengar suara barang-barang jatuh, langsung membuka headset-nya.

"Oi, udah balik, Al? Kenapa, lo?"

"Gue kesel! Masa stok makanan gue di pantry ilang. Siapa sih yang ngambil? Lo ya?" tuduh Alana, setengah asal bicara. Sambil menyalakan tombol CPU dengan jempol kakinya, ia membuka bungkus wafernya.

Tanpa diduga, wajah Pandu terlihat bersalah. Mata sipitnya tinggal segaris saat ia cengengesan tak jelas saat menerima tuduhan Alana. Alana mengerutkan keningnya. "Lo yang ngambil?"

"Bukan," jawabnya, masih nyengir lebar.

"Terus siapa, dong? Nyengir mulu lagi lo, bikin gue tambah kesel aja."

"Bos Baru."

Dahi Alana makin berkerut. "Bohong."

"Serius."

Pandu memang senang bercanda dan mengganggu Alana, tapi dia bukan pembohong. "Gimana bisa?"

"Jadi, tadi pagi abis gue kirim WA itu, Pak Wisnu dateng sama Bos Baru. Gara-gara Pak Wisnu ada telepon penting, gue lah yang disuruh nganter Bos Baru keliling kantor."

"Terus?"

"Gue kenalan deh. Terus keliling. Ke ruang meeting, kubikel, ngenalin dia sama anak-anak yang lagi di kantor... Terus terakhir gue anter dia ke pantry. Gue kasih lihat aja. Gue bilang, 'Ini stok makanan anak-anak, kalau nanti Bapak mau simpen makanan di sini juga bisa...' Terus begitu lihat keranjang makanan lo, mukanya langsung berubah."

"Berubah gimana? Berubah girang?" Alana gemas membayangkan wajah girang sang pencuri. Apa dia juga kolektor mi instan rare edition?

Pandu menggeleng, wajahnya berubah serius. "Nggak. Mukanya jadi agak serem gitu. Terus dia nanya, ini punya anak tim kita? Gue jawab iya. Terus mukanya jadi tambah horor, kayak lo sekarang gitu. Terus tanpa basa-basi dia minta kantong plastik - terpaksa dong gue ambilin. Terus dia masukin deh semua koleksi mi instan lo ke kantong plastik. Terus dia inspeksi kulkas juga, kena juga tuh koleksi minuman energi roso-roso lo."

"Kok lo nggak cegah sih?" bisik Alana gemas, menahan keinginan mencubit Pandu sekuat mungkin.

"Haduh, Al, lo nggak liat mukanya sih. Serem, tau."

Alana mendengus. Seram mana dengan marahnya ia sekarang? "Terus dia bilang apa habis ngerampok makanan gue?"

"Katanya, 'Ini nggak sehat. Saya simpen dulu ya, kamu bilangin orangnya.'"

"Terus?"

"Ya udah, dia pergi balik ke ruangan Pak Wisnu."

Alana menoleh ke arah ruangan Pak Wisnu. Lampunya tidak menyala, tanda tidak ada orang di sana. "Sekarang di mana orangnya?"

"Pergi sama Pak Wisnu."

Alana meringis kesal. "Kayak apa sih orangnya?"

Pandu menggaruk pelipisnya, seolah sedang mengorek deskripsi yang tepat untuk orang itu dari dalam otaknya. "Susah jelasinnya, ah. Nanti juga lo lihat sendiri orangnya. Ngomong-ngomong, malem ini Pak Wisnu ngajak makan malam bareng buat nyambut Bos Baru kita."

"Okay," jawab Alana, merengut.

"Kalau sama Pak Wisnu pasti ditraktir makan enak, jadi lo jangan sedih-sedih amat lah makanan lo diambil."

"Tapi kan itu rare edition, susah tau dapetnya!" Alana masih emosi.

Pandu tertawa. "Udahlah, Al. Lagian bener kok kata Bos Baru, nggak sehat tau makan itu terus."

Alana pura-pura tidak mendengar dan langsung kembali menghadap layar komputernya sambil manyun.

* * *

Kata-kata Pandu tentang murah hatinya Pak Wisnu dalam mentraktir karyawannya memang bukan bualan. Pukul tujuh malam, karyawan yang biasanya masih berkutat di depan komputernya di kantor kini "terpaksa" duduk manis di dalam restoran salah satu hotel mewah di Jakarta yang terkenal dengan menu all you can eat-nya yang luar biasa mewah dan beragam. Ben, Pandu, dan Alana duduk bertiga di meja yang sama, gelisah menunggu kehadiran si Bos Baru. Berkali-kali Pandu melirik konter steak, samar-samar Alana bisa mendengar suara perut Pandu yang bergejolak.

"Jadi, siapa nama si Bos Baru?" tanya Ben sambil membalas pesan di ponselnya.

"Duh... Siapa sih tadi, namanya tuh kayak pasaran, tapi kok gue lupa ya?" Pandu mengetuk dahinya, berusaha mengingat. Pandu memang selalu kesulitan mengingat nama orang.

"Ya elah Ndu, kebiasaan deh," komentar Alana sambil menyandarkan kepalanya di atas meja dan menjadikan tasnya bantal. Tubuhnya lemas dan kepalanya mulai pusing karena hanya makan siang dengan wafer. Seharusnya ia membawa antasida yang selalu disimpannya di meja kerjanya. Rasanya ia ingin muntah.

Ben tampak berpikir. "Orangnya kayak gimana? Dulu kerjanya di mana?"

"Rubik Singapura," jawab Pandu. Alana dan Ben mengangkat alis mereka. Kantor mereka bisa dibilang multinational company. Kantor pusat mereka berada di Singapura, dan memiliki cabang di Jakarta dan Hong Kong. "Orangnya tinggi banget, nggak gemuk, nggak kurus juga, rambutnya gondrong diiket ke belakang. Matanya sipit, judes gitu mukanya, rada serem sih."

Ben memajukan posisi duduknya, tertarik dengan informasi dari Pandu. "Dulu pernah kerja di XDC Architects Jakarta bukan? Namanya Satria?"

Pandu menjentikkan jarinya. "Nah, iya! Itu namanya! Satria!"

Wajah Ben tampak membatu sesaat. "Oh. Mantap dong."

"Lo kenal, Mas?" tanya Alana yang curiga dengan reaksi Ben.

"Tau doang," jawab Ben singkat. "Pernah sekantor."

"Gimana orangnya?"

"Wah... Parah sih setau gue. Serem orangnya," jawab Ben sambil mengurut pelipisnya. "Galak, high demanding banget. Kayak Pak Melvin lebih dikit, lah."

"Pak Melvin nggak pernah ngerampok stok makanan gue," gumam Alana, masih kesal karena kejadian tadi siang. Kali ini ia menumpukan dagunya di atas tasnya sambil melihat-lihat ponselnya.

"Lo satu tim sama dia?" tanya Pandu.

"Temen gue yang pernah. Gue sih enggak," jawab Ben singkat, terlihat tidak nyaman.

"Kayak Pak Melvin, berarti rajin dong orangnya?" tanya Alana. Di antara seisi kantor yang sengsara dengan tuntutan kerja dari Melvin, hanya Alana yang klop dengannya.

"Ah, lo mah senengnya disiksa pake kerjaan," keluh Pandu. "Sekali-sekali gue pengen dapet bos yang teng-go, gitu. Jam enam udah cabut dari kantor. Beeuuh... Mantap banget."

"Wah, jangan harap, deh, kalau sama dia." Ben tertawa pelan, setengah putus asa.

Alana bangkit dari tidur-tidur ayamnya, menyikut Pandu yang bersandar sampai nyaris melorot di kursinya seperti agar-agar. "Pak Wisnu dateng."

Dengung obrolan para karyawan di dalam restoran mendadak meredup. Pandu, Ben, dan Alana menegakkan posisi duduk mereka saat sosok pria tinggi berkemeja batik memasuki restoran diikuti seorang pria tinggi di belakangnya. Pak Wisnu, pemilik sekaligus direktur Rubik Architecture Consultant itu mengambil kursi di meja khusus yang sudah disediakan untuknya.

"Yang itu?" bisik Alana sambil mengamati pria tinggi yang kini duduk di sebelah Pak Wisnu.

"Yep," jawab Pandu.

Alana mengamati calon bosnya dari jauh. Sesuai deskripsi Pandu, tubuhnya tinggi – mungkin sekitar 185 cm. Rambutnya yang gondrong sebahu diikat ke belakang. Wajahnya tegas dengan mata sipit tajam yang membuat gentar orang yang melihatnya. Ekspresinya datar, cenderung tidak bersahabat. Wajahnya terlihat jauh lebih muda dari Pak Melvin. Usianya kemungkinan hanya terpaut 2-3 tahun dari Ben yang berusia 29 tahun. Hari itu ia mengenakan kemeja slim fit warna abu-abu yang digulung sampai ke siku. Di luar kemeja yang ia pakai, bagi Alana, wujud orang ini mengingatkan Alana akan Kaede Rukawa, ace player SMA Shohoku di komik Slam Dunk.

Lumayan rapi, tapi nggak ada akhlak, pikir Alana. Orang dengan level pendidikan sepertinya seharusnya tahu batas dengan tidak mengusik barang milik orang lain.

"Mukanya licik kayak rubah," gumam Alana. Ben dan Pandu mendengus menahan tawa.

Pak Wisnu mengetuk mikrofonnya, memeriksa apakah benda itu sudah menyala. "Selamat malam."

Seantero ruangan bergumam menjawab salamnya.

"Singkat saja, ya. Saya tahu kalian semua sudah lapar." Terdengar suara tawa dari beberapa meja. "Hari ini, kita berkumpul untuk menyambut anggota baru di tim kita."

"Dia adalah orang yang istimewa. Ehem, keponakan saya, sebenarnya." suara tawa kembali terdengar.

"Idih, nepotisme," desis Alana dari sudut bibirnya dengan nada benci. Pandu ngakak tanpa suara sambil menyikut Alana. Sementara Ben tak bersuara, terlihat tegang.

"Susah payah saya membujuknya untuk pulang dari Singapura," Pak Wisnu tersenyum sambil melirik Satria. "Saya harap, kehadirannya bisa membawa perubahan baik bagi kantor kita, dimulai dari timnya."

Alana, Ben, dan Pandu saling lirik, harap-harap cemas.

Setelah beberapa kalimat dari Pak Wisnu, pria tua itu menyerahkan mikrofonnya kepada Satria. Satria berdiri, berdehem, lalu terdiam sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan kata sambutan yang tepat.

"Selamat malam. Saya Satria Pandega. Panggil aja Satria." Suaranya jelas, tegas, dan penuh percaya diri. Tipe suara yang akan terpilih jadi pemimpin upacara di sekolah. Ia tersenyum lebar sambil melayangkan pandangannya ke sekeliling restoran.

Ternyata si rubah ini tidak sejudes penampilannya? Ngapain dia senyum-senyum? pikir Alana. Matanya menyipit, memperhatikan calon bos barunya.

"Terima kasih telah menerima saya di kantor ini. Saya harap kita semua bisa bekerjasama dengan baik. Saya rasa hanya ada satu hal yang perlu saya sampaikan," ia berdehem lagi, lalu tersenyum lebar. "Tim saya dilarang lembur."

Seluruh karyawan yang hadir, terutama para team leader, melihat ke arah Satria dengan tatapan yang seolah berkata "What the hell?" Budaya lembur di kantor mereka memang sudah terlalu mendarah daging, sampai-sampai sulit sekali dihentikan. Bagaimana bisa orang baru ini berani memberi harapan palsu? Ben ternganga, wajahnya seolah tak percaya. Namun Pandu nyengir lebar sekali, jelas termakan janji manis bos baru mereka. Jika tidak ingat tempat, bisa jadi Pandu sudah loncat dari kursinya dan menari kegirangan.

Alana membelalak. Kata-kata Satria soal ketiadaan kerja lembur nyaris sama horornya dengan saat ia dicampakkan oleh Radhika dan batal nikah.

Nggak ada lembur? Yang benar saja!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro