22 - Pandora's Box

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


 Alana membolak-balik TOR Sayembara Museum Batik Nasional yang ia ikuti aanwijzing-nya kemarin. Sayembara ini sangat menarik, baik untuk portofolionya dan kantor. Apalagi Alana sedang mempertimbangkan untuk mendaftar beasiswa S2 dari Mountain Marbles. Dengan tambahan proyek ini, tentu kansnya untuk memenangkan beasiswa itu bertambah besar.

Sayangnya, waktu pengerjaannya terlalu singkat. Jika Alana, Ben, dan Pandu bekerja sama, tetap saja mereka harus lembur selama beberapa hari. Mereka sudah berbulan-bulan menjalani hidup normal tanpa lembur, sesekali lembur lagi tidak apa-apa, kan? Toh berdasarkan perhitungan Alana, keuntungan yang mereka dapatkan dari sayembara itu jika menang jauh lebih besar dibandingkan pengorbanan lembur beberapa hari yang akan mereka lakukan. Pandu dan Ben sudah sepakat untuk lembur selama beberapa hari dengan izin keluarga mereka. Mereka berdua juga sangat tertarik mengerjakan sayembara ini untuk menambah portofolio desain mereka. Alana sudah siap dengan beberapa opsi konsep yang bisa didiskusikan dengan Satria. Seharusnya rencana ini berjalan lancar.

"Al, dicariin Bos, tuh. Dia mau nanya soal sayembara," Ben yang baru saja keluar dari ruangan Satria memanggil Alana. Ia membawa setumpuk gambar yang sudah dicoret-coret pulpen merah, bersiap untuk revisi.

"Oh, oke. Makasih, Mas," Alana bangkit dari kursinya dan membawa berkas TOR sayembara ke ruangan Satria. Entah karena obrolan Alana dengan Pandu dan Ben kemarin, Alana merasakan ada beberapa pasang mata yang mengamatinya saat ia berjalan menuju ruangan Satria. Ia mengetuk pintu kaca ruangan Satria dua kali.

"Masuk, Al." Seperti biasa, Satria membukakan pintu ruangannya untuk Alana. Ia kemudian kembali bekerja di balik mejanya. "Duduk dulu, ya. Saya beresin ini sebentar."

Tidak seperti Melvin yang biasa menggelar gambar untuk asistensi di meja kerjanya, Satria lebih suka privasi dengan membiarkan meja kerjanya khusus untuk dirinya dan menyediakan sebuah meja bulat dengan dua kursi yang berfungsi sebagai meja tamu dan meja untuk diskusi. Alana meletakkan TOR sayembara di atas meja bulat itu dan mengeluarkan buku sketsanya, berusaha mengeluarkan ide-ide sayembara yang sejak tadi sudah berlarian di dalam otaknya. Sesekali ia memijat kepalanya yang mulai berdenyut. Jika ia mulai pusing tanpa alasan seperti ini, biasanya hanya ada dua sebabnya: kelelahan atau ia sebentar lagi datang bulan. Semoga saja diskusi hari ini tidak ada yang memicu emosinya, pikir Alana.

"OK, done. Jadi gimana?" Satria berpindah ke kursi di sisi lain meja bundar, mengambil TOR dan mulai membacanya.

"Sayembaranya oke. Bergengsi banget. Top 10 konsultan arsitek Jakarta ada semua," jelas Alana. "Tapi masalahnya ya itu, Proyek Sangkuriang."

Para arsitek memang sering menyebut proyek dengan tenggat waktu tak masuk akal dengan istilah "Proyek Sangkuriang". Satria membalik halaman TOR sambil mengerutkan dahinya. "Hah, minggu depan? Nggak salah?"

Alana nyengir. "Iya. Tapi saya yakin kita bisa handle ini. Kita ambil, kan? Conceptual design, kok. Nggak butuh waktu banyak."

"Gimana caranya? Bukannya kita banyak deadline?" Satria mengerutkan dahinya lagi, tampak jelas-jelas tak tertarik. "Lagipula, spesialisasi kita itu di high rise, Al. Kalau bangunan monumental kayak gini menurut saya mending tim Riza yang handle. Saya yakin tim lain juga ada yang bakal ikutan, biasanya kalau sayembara kantor bisa kirim sampai tiga tim, kan?"

"Justru itu, karena bisa sampai tiga tim, kenapa kita nggak? Lagipula ini bukan pertama kalinya kok, tim kita pegang sayembara bangunan monumental. Kita pernah masuk tiga besar Sayembara Galeri Nasional, lho."

"Terus gimana caranya kita bisa kerjain ini dalam waktu nggak sampai dua minggu?"

"Saya tadi sudah ngobrol sama Pandu dan Mas Ben, dan kita sepakat untuk mengerjakan ini bareng-bareng. Tapi memang kita perlu lembur sih minggu depan," Alana tersenyum lebar dengan wajah memohon saat mengatakan hal ini. "Nggak apa-apa kan? Cuma sampai minggu depan aja. Maksimal sampai jam sepuluh malam."

Satria membolak-balikkan kertas TOR yang dipegangnya tanpa ekspresi dan dalam diam. Alana menunggu, antisipatif.

"Nggak, deh, Al. Kamu tahu sendiri, kan, kenapa saya melarang kalian lembur." Satria meletakkan lembaran TOR di atas meja. "Saya nanti akan diskusi sama Pak Wisnu, biar beliau sendiri yang tunjuk timnya. Tapi yang jelas, bukan kita. Load kerja kita sudah cukup banyak."

Alana melongo, tidak menyangka idenya akan ditolak Satria mentah-mentah. Ia bahkan belum sempat mempresentasikan konsep yang sudah ia pikirkan sejak kemarin.

"Work-life balance, iya, saya paham banget. Tapi kita sudah menjalani hidup normal selama berbulan-bulan, kalau lembur seminggu aja kan nggak apa-apa?" Alana mengeluarkan argumentasinya. "Pandu sama Mas Ben juga sudah izin keluarganya dan boleh, kok."

"Iya, pertamanya lembur seminggu nggak apa-apa. Lama-lama kita jadi permisif untuk lembur dua minggu. Lama-lama jadi tiap hari," jawab Satria tegas. "Yang besar-besar itu dimulai dari yang kecil, kan?"

"Nggak gitu juga kali, Sat," tukas Alana kesal. "Cuma untuk sayembara ini! Ini kesempatan emas lho untuk menambah portofolio kita."

Satria menggeleng. Ia berdiri, bersiap kembali ke meja kerjanya. "Saya rasa diskusinya sampai di sini saja, ya, Al. Kamu jangan memaksakan diri, dong. Saya menolak untuk mengerjakan proyek ini untuk kebaikan kita semua."

"Kalau portofolio saya bertambah, itu bukan termasuk kebaikan, ya?" tukas Alana ketus, ikut berdiri mensejajari Satria. "Apa nggak bisa kamu pertimbangkan lagi? Mas Ben dan Pandu juga udah semangat banget, lho, mau ngerjain sayembara ini."

Satria mengurut dahinya. "Kamu kenapa, sih, lagi susah banget dikasih tahu? Biasanya kamu nggak maksa gini, deh."

"Saya nggak maksa, saya cuma kasih argumentasi logis," jawab Alana tenang. "Atau kamu meragukan kemampuan tim untuk mengerjakan sayembara ini?"

"Talisa, saya kan sudah bilang dari awal, kalau tujuan saya melarang kalian lembur bukan itu."

Alana tertegun dan menatap Satria dengan bingung selama beberapa saat. Nama yang disebut bukan namanya. Perasaan dingin merayapi dada Alana, jantungnya serasa jatuh ke perutnya. Perasaan seperti ini bukan yang pertama. Kenapa dia begitu sial? Radhika dulu meninggalkannya untuk wanita lain, dan sekarang, Satria malah menyebut namanya dengan nama wanita lain. Rasanya Alana ingin tertawa menghadapi semua kekonyolan ini.

Barulah Satria sadar apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Refleks, pria itu menutup mulutnya dan kembali terduduk di kursi. Ia menenggelamkan wajahnya di dalam tangannya yang lebar sambil mengumpat dengan suara pelan.

"Siapa Talisa?" tanya Alana dengan suara yang ia usahakan setenang mungkin.

Satria masih menutupi wajahnya dengan tangannya, sementara Alana berdiri mematung, menunggu jawaban dari mulut Satria. Kata maaf, mungkin? Tapi nama Talisa bagaikan kunci kotak pandora untuk Satria.

Hening lama, sampai akhirnya Satria angkat bicara. "Bisa kamu keluar ruangan dulu?"

Satria masih membenamkan wajahnya di tangannya. Ia bahkan tak mau mengangkat kepalanya. Setelah nama asing itu tersebut, entah kenapa Alana merasa ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka berdua. Amarah yang dulu berhasil ia padamkan dalam dadanya kembali menyala. Alana benci perasaan ini. Tenggorokannya terasa tercekat. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia keluar ruangan dan kembali ke kubikelnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro