23 - Ghost from The Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Al, dipanggil Pak Wisnu," Pandu yang baru saja selesai mencetak gambar muncul di samping meja Alana dan mencolek Ben yang sedang khusyuk di depan komputernya. "Lo juga, Mas."

Alana mengalihkan pandangannya dari layar komputernya dengan malas, memaksakan diri untuk tersenyum. "Thanks. Kita bertiga ini yang dipanggil?"

"Yup. Kenapa, ya?" Pandu sendiri tampak heran.

Alana mengangkat bahunya. Mereka bertiga berjalan beriringan ke kantor Pak Wisnu.

Sudah dua hari berlalu sejak pembicaraan di kantor Satria, dan sejak siang itu Satria benar-benar menghilang. Ia tidak muncul untuk makan siang, bahkan batang hidungnya pun tak terlihat di kantor keesokan harinya. Sofi hanya bilang kalau Satria cuti mendadak, dan sempat-sempatnya dia menggoda Alana dengan berkata, "Bukannya harusnya kamu lebih tahu?"

Kalau Alana tahu, buat apa juga dia repot-repot bertanya? Alana berusaha menghubungi Satria melalui Whatsapp, namun tanda yang terlihat di ponselnya hanya tanda centang satu. Tinggal harga dirinya yang membuatnya menahan diri untuk tidak menelepon ke ponsel Satria. Satria bahkan tidak muncul di gym, membuat Alana menghajar samsaknya berkali-kali lebih keras karena kesal. Alana bertanya-tanya, apa mau Satria sebenarnya? Rasanya baru kemarin ia menyatakan perasaannya kepada Alana, membuatnya salah tingkah luar biasa, dan kemudian pria menendangnya begitu saja dari ruangan kantornya. Rasanya Alana nyaris gila.

Pintu kantor Pak Wisnu tidak dikunci. Selama ia bekerja di sini, ia hanya pernah masuk ke kantor Pak Wisnu saat interview terakhir. Alasan mereka dipanggil ke sana pastilah penting. Pak Wisnu duduk di mejanya, tersenyum bijaksana sambil mempersilakan Alana, Ben, dan Pandu duduk di kursi di hadapannya.

"Bapak memanggil kami?" tanya Ben, retoris.

Pak Wisnu mengangguk pelan sambil membalikkan beberapa lembar kertas. "Kemarin Satria sudah laporan ke saya soal sayembara itu."

Alana mengangkat alisnya.

"Berdasarkan observasi saya terhadap potensi dan kinerja tim, saya sudah memutuskan untuk menunjuk dua tim untuk ikut sayembara. Tim Satria dan Tim Riza. Tapi," Pak Wisnu tersenyum sejenak melihat wajah terkejut Alana. "Satria tidak akan mensupervisi kalian secara langsung. Kebetulan dia ambil cuti sampai minggu depan, jadi supervisi tim kalian seminggu ini akan saya tangani langsung."

Alana tertegun. Seminggu?

"Mas Satria cuti apa ya? Dia nggak ada komunikasi apa-apa ke kita sebelumya," Pandu menyuarakan kebingungan yang sama dengan Alana.

"Oh, ada urusan pribadi mendadak. Nggak masalah. Lagipula saya tahu, dia lebih nyaman kalau dia tidak menangani proyek yang mengharuskan timnya lembur. Saya sudah meyakinkan dia kalau saya akan bertanggung jawab kepada anggota timnya sebaik-baiknya." Senyum Pak Wisnu malah terlihat membingungkan bagi Alana. "Jadi, kita sekarang bahas sayembara, bisa? Kalian nggak keberatan lembur sedikit kan untuk mengerjakan sayembara ini?"

Alana, Ben, dan Pandu saling tatap, tapi akhirnya mengangguk mantap.

* * *

Proses desain sayembara yang mereka bertiga kerjakan tidak memakan waktu selama yang Alana duga. Pak Wisnu dengan cepat bersepakat dengan konsep yang diajukan oleh Alana, dan dengan polesan dan saran dari Pak Wisnu, mereka berhasil menyelesaikannya dengan cepat. Alana kini paham mengapa kantor mereka menjadi salah satu konsultan arsitektur terbaik di Jakarta. Kaliber direktur utama perusahaan memang jauh di atas para team leader. Bahkan Pak Wisnu masih sempat memberikan trik-trik kepada mereka agar mereka bisa mengerjakan desain mereka dengan cepat. Pria yang sudah bercucu itu ternyata masih sangat melek dengan perkembangan teknologi. Pada akhirnya, mereka berhasil memasukkan sayembara mereka satu hari sebelum tenggat pengumpulan.

"Guys, gimana kalau kita makan-makan buat merayakan kesuksesan kita pengumpulan sayembara?" Pandu tiba-tiba muncul di antara meja Alana dan Ben. Alana sedang menutup belasan tab file touch-up desainnya di Photoshop, dan bersiap untuk merapikan mejanya. Hari sudah sore menjelang pukul enam, dan mereka tidak berpikir untuk menambah hari lembur mereka lagi.

"Boleh, tuh. Udah lama nggak makan bareng. Yuk, Al?" Ben menjawab antusias. "Gue traktir, deh."

Alana mengangkat alisnya. "Makan-makan sekarang banget? Belum tentu juga menang."

"Ya nggak apa-apa, self appreciation aja, Al. Kita kan udah kerja keras seminggu terakhir ini."

"Nggak ah, dari kemarin kan kita lembur terus. Nggak enak gue sama keluarga kalian," jawab Alana ogah-ogahan.

Pandu dan Ben saling lirik. Jelas-jelas ada yang tidak beres pada Alana, dan mereka merasa perlu untuk melakukan intervensi.

"Udah, nggak apa-apa. Udah izin kok! Ayo!" Ben setengah memaksa. "Pandu, lo bawain tasnya, tuh."

Alana terlihat panik saat Pandu mulai memasukkan notes dan alat tulis Alana ke dalam tasnya. Tidak ada pilihan, ia terpaksa ikut kemanapun dua teman satu timnya ini mengajaknya.

* * *

Ben memilih sebuah restoran dengan teras outdoor yang berada di mal di bawah kantor mereka. Restoran itu tidak terlalu ramai, dan mereka bisa memandangi gedung-gedung pencakar langit Jakarta dari sana. Alana baru tahu ada restoran sebagus itu di dekat kantor mereka. Ben dan Pandu banyak berdiskusi tentang beberapa proyek di kantor dan sesekali membahas tentang pertandingan sepakbola, tetapi Alana sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Ia lebih banyak diam sambil menatap lampu-lampu jalanan dan siluet gedung-gedung di seberang. Lagi-lagi, Ben dan Pandu saling tatap.

"Hei, Neng, kok diem aja sih dari tadi? Kita ini lagi party, lho. Kok murung gitu?" Pandu menyikut Alana yang dari tadi irit bicara.

Alana memaksakan senyum. "Lagi males ngomong aja, capek kali gara-gara lembur kemarin."

Ben menghela napas. "Al, lo tahu kan, kalau lo perlu teman cerita, lo bisa cerita sama kita?"

"Hmm," Alana menanggapinya setengah hati. Apa perlu semua ini diceritakan? Tapi Ben sepertinya tahu sesuatu. "Gimana kalau lo aja yang cerita, Mas?"

"Cerita apa?" tanya Ben heran.

"Apa ya? Soal Talisa, mungkin?" Alana menyandarkan dagunya di telapak tangannya. "Lo kenal, kan, Mas?"

Wajah Ben mengeras. "Lo sudah tahu?"

"Tahu apa?"

"Bos sudah cerita soal Talisa?"

"Gimana caranya gue bisa tahu, orangnya aja hilang seminggu nggak tahu ke mana," jawab Alana kesal. Kemarin Satria yang bilang jangan menghindar, sekarang sendirinya menghindar.

"Terus lo tahu dia dari mana?"

Alana menghela napas. Akhirnya ia menceritakan insiden salah sebut nama saat mereka berdebat soal sayembara di kantor Satria. "Jadi, kalau lo tahu sesuatu soal itu, lebih baik lo cerita sekarang. Gue inget lho, waktu pertama kenalan sama Bos, dia bilang lo temennya Talisa," Alana menodong Ben tanpa ampun.

Ben meringis. "Soal itu kan gue udah pernah bilang, lebih baik lo tahu dari orangnya langsung."

Tanpa Ben dan Pandu duga, Alana menggebrak meja dengan tinjunya. Beberapa pasang mata melirik ke arah mereka, tapi Alana tidak peduli. "Ya sudah. Kalau memang lo nggak mau bantu gue, nggak usah pura-pura peduli sama masalah gue. Lagian ini masalah gue sama Satria, kok. Gue juga nggak butuh kalian ikut campur sama masalah gue."

Pandu ternganga, terkejut dengan reaksi si anak bawang di tim mereka itu. Ia menepuk-nepuk bahu Alana dan berusaha menenangkannya. Hampir setahun mengenal Alana, baru kali ini mereka melihatnya meledak seperti ini. Ben menghela napas, bimbang. Di satu sisi, ia merasa ini adalah hal penting yang seharusnya Alana tahu dari Satria langsung. Tapi sayangnya nama itu sudah terlanjur tersebut, dan Satria malah menghilang. Di sisi lain, ia merasa kasihan dengan kondisi Alana sekarang. Ben dan Pandu bukan bermaksud untuk ikut campur, tapi mereka sangat paham kondisi Alana sejak Alana bergabung dengan tim mereka, dan mereka berdua bertekad tidak akan membiarkan Alana merasa sendirian.

Sudah terlanjur basah, sekalian saja menyelam, pikir Ben.

"Gue sama Pandu sama sekali nggak bermaksud kayak gitu." Ben minta maaf, tulus. "Oke, gue cerita. Talisa itu temen seangkatan gue di kampus."

Alana menyimak, wajahnya serius.

"Dulu, gue, Talisa, dan Bos pernah sekantor. Tapi gue nggak di tim yang sama. Reputasi Bos dulu beda banget sama sekarang. Percaya atau nggak, dia sama parahnya kayak Melvin. Super ambisius. Timnya itu paling elit di kantor. Saat itu, dia masih jadi tangan kanan project leader timnya. Tapi gosip kalau dia bakal naik pangkat sudah santer di kantor. Project leader-nya kadang suka ngelepas beberapa proyek ke dia untuk dia pimpin. Salah satunya adalah proyek sayembara gedung Patra Jaya," Ben menyebut nama sebuah kantor BUMN bergengsi yang baru saja mendirikan gedung baru beberapa tahun yang lalu. "Kebetulan, saat sayembara itu, project leader-nya sedang cuti, jadi Satria yang in charge. Dulu Satria itu orangnya perfeksionis banget. Dia nggak akan approve kerjaan kalau dia nggak puas sama hasilnya. Makanya timnya sering banget kerja sampai larut malam. Tapi berhubung isinya semua anak muda, masih pada single, nggak ada yang ngeluh. Mereka semua malah bangga.

Talisa adalah satu dari sedikit orang yang satu frekuensi sama Satria. Orang-orang yang sangat suka ngulik demi mengejar kesempurnaan. Dulu semua orang di tim Satria itu kayak elo, Al. Makan suka-suka, sesempetnya. Kopi bergelas-gelas. Tidur sehari cuma satu-dua jam. Mentang-mentang masih muda."

"Apa ada sesuatu antara mereka berdua?" potong Alana dengan nada penasaran yang sulit ia kendalikan.

Tatapan Ben menerawang. "Gue nggak tahu. Tapi banyak orang yang bilang mereka berdua itu cocok sih..."

Alana menghela napas panjang, berusaha mengeluarkan sensasi panas dan sesak di dadanya bersama udara yang keluar dari paru-parunya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah ini alasan orang-orang merokok? Agar bisa mengeluarkan sesak di dada bersama kepulan asap tembakau?

Ben melanjutkan ceritanya. "Menjelang pengumpulan sayembara, Bos ada meeting lain, sehingga ditinggallah anggota timnya untuk kerja. Bos baru balik ke kantor malamnya, dan ternyata, Talisa sudah nggak ada."

"Nggak ada gimana?" Alana mengerutkan keningnya.

"Tiba-tiba dia pingsan. Orang-orang di kantor semua panik, langsung dibawa ke Rumah Sakit. Bos nyusul ke sana, tapi dia udah nggak ada."

"Maksud lo meninggal?" tanya Pandu, shock.

Ben mengangguk. "Setelah ditelusuri, seminggu terakhir itu Talisa setiap hari pulang jam tiga pagi dan sudah kembali kerja jam delapan tepat. Makanan dan minuman terakhir di mejanya adalah mi cup dan minuman energi. Orang-orang bilang dia meninggal karena kelelahan kerja, tapi ya..." Ben membiarkan penjelasannya menggantung. Ia tidak mau menghakimi Satria, tapi ia tidak bisa mengendalikan prasangka orang-orang atas kejadian itu.

"... makanya sekarang Satria jadi baik kayak gitu... " Alana bergumam sendiri. Bayangan kejadian-kejadian beberapa bulan yang lalu berkelebat di pikiran Alana.

Satria yang mengambil persediaan mi instan dan minuman energinya.

Satria yang marah saat ia membantu Riza lembur.

Satria yang memaksanya untuk makan dengan benar.

Perhatian-perhatian Satria yang sangat detail kepadanya.

Satria yang menolak mentah-mentah usulannya untuk sayembara.

Semuanya tiba-tiba menjadi masuk akal.

"Talisa ini gimana sih orangnya? Punya Instagram, nggak?" Alana cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan nama "Talisa" di fitur search. Nama yang tidak biasa, tidak sulit mencarinya. Deskripsi profilnya jelas: architect & coffee lover.

Alana menatap foto terakhir di feed instagram Talisa dan membaca captionnya: 3 days already, still working strong. Foto itu berisi gambar Talisa yang sedang berada di kantor beserta beberapa orang temannya. Alana bisa melihat sosok Satria versi 2 tahun lebih muda di sana, wajahnya terlihat kaget dengan adegan selfie mendadak itu. Di atas meja kerja mereka, Alana bisa melihat botol-botol minuman energi dan gelas kopi bertebaran. Di bawah foto tertulis: 105 comments. Alana mengusap layar ponselnya, membaca komentar-komentar yang ada di sana.

Turut berduka cita :( Talisa orang baik, gone too soon...

Parah banget sih ini kantornya, emangnya nggak dilihat ya karyawannya cukup makan dan istirahat atau nggak?

Bosnya aja nggak berani ketemu orang tuanya. Parah banget, sih...

Kasihan banget orangtuanya.... Capek-capek membesarkan anak, meninggal gara-gara kerja rodi kayak gini :(

Ini bukan musibah, ini namanya pembunuhan!

Alana tertegun membaca komentar-komentar yang begitu gamblang di feed Instagram Talisa. Apakah Satria membaca semua ini? Bagaimana perasaannya?

"Mas Ben datang ke pemakamannya? Ketemu sama orangtuanya?"

Ben mengangguk. "Iya, ketemu."

"Satria?"

Ben terlihat ragu, namun akhirnya menggelengkan kepalanya. "Dia bahkan nggak muncul di pemakaman. Seminggu setelah kejadian itu, yang gue tahu, dia resign dan pindah ke Singapur."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro