/br

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak.

Nafasnya ia pacu. Kakinya mulai terasa terbakar ketika ia sampai untuk menaiki undakan tangga. Adrenalin terasa sebentar lagi mungkin keluar dari pori-pori tubuh. Kalut dibasuh sempurna oleh tegang. Peluh dingin dan hangat mengucur bergantian ketika Eliza tidak berhenti mengejar waktu.

Bukan, bukan waktu yang ia kejar. Yang ia kejar adalah nyawa. Nyawa yang mungkin bisa hilang bila ia terlambat.

Pintu besi berdebam sembrono menabrak dinding luar, ia tidak peduli apabila suara itu menggema ke lantai bawah, tidak ada orang di lantai bawah menurut kamera pengintai. Masa bodoh bila dirinya yang tengah kalap itu tertangkap kamera pengintai sedang panik.

Di ujung pandangan, Countess Kleine tengah membentangkan tangan, lagi, seperti saat ia berbicara dengan Eliza mengenai kekuatan dan kekuasaan. Angin menerpa lebih lembut dibandingkan pertemuan mereka saat malam masih berumur muda. Dahlia Kleine membentangkan tangan, seperti hendak memeluk dunia, kedua kakinya yang beralaskan hampa tampak seimbang, sejurus dengan tralis besi pagar. Seperti balerina tengah mempersiapkan diri untuk turun dan mengembangkan sayap, mengedarkan kakinya sebelum kembali menekuk ke tubuh, dan kemudian dengan bahasa tubuhnya, sang balerina akan berputar, mengalun sesuai poros bumi.

Tidak.

"Countess Kleine!"

Di tengah nafasnya yang memburu, ia memanggil. Dahlia Kleine menoleh, senyumnya merekah menikmati, seakan tidak ada apa-apa yang terjadi.

"Oh, Baroness!"

"Bukan 'oh', anda--" nafasnya beradu dengan pompa darah. "Anda bisa jatuh!"

"Tenang saja, lihat,"

Countess Kleine mengetuk udara di depannya, hologram merah dengan tekstur segi enam muncul menjalar di hadapannya, seperti pohon dengan batang-batangnya menjelma menjadi ranting. Seperti sebuah kembang api, tapi Eliza tidak suka melihat kembang api semacam itu. Tidak ada bedanya hologram itu dengan deretan kode, bukan suatu seni. Eliza menutup mulutnya, ia menarik diri dari menahan lututnya dan menarik nafas, mendekati Dahlia Kleine yang masih berdiri tanpa rasa takut di sana, hamparan kota membalas pribadinya.

Eliza menyentuh kaki itu, "Tapi tolong, turunlah," suaranya serak. "Tolong."

Dengan anggukan pelan, Countess Kleine mengabulkan permintaannya. Countess Kleine duduk di sampingnya, kakinya ia luruskan. Jarak di antara mereka adalah blazer yang ia lipat, dan sepatu yang ia biarkan di sana. Eliza menurunkan kepalanya, masih mengatur nafas.

Kapan terakhir kali ia berlari seperti itu? Kehidupannya yang dulu bahkan mendaki tangga demi tangga Slum seakan telah lama usai.

Padahal, baru dua bulan ia diangkat menjadi anggota keluarga Cardis. Memang, ia menjunjung tinggi untuk bisa santai di tempat persembunyian dan keluar dengan virtual avatar, tetapi bukan berarti ia tidak pernah keluar. Ia suka daerah luar, asal tidak menyesakkan. Hutan di Divisio Tessa bahkan terasa sangat romantis dan sepi, asal tidak ada para penebang kayu, tawa mereka yang kasar lagi membahana, dan gergaji mesin mereka yang berisik.

Dua bulan juga ia merasakan 'neraka' untuk bisa bersanding di antara bangsawan-bangsawan yang ia benci. Ada beberapa etika yang dijunjung tinggi bangsawan. Eliza tidak hafal etika-etika tersebut, tapi Madam Elise akan terus mengingatkan untuk menjaga kesopanan dan pandai-pandai untuk memilih kata sebelum bicara.

Sudah berapa kali ia melanggar etika itu? Ia tidak bisa menjaga emosi di sekitar Duchess Regelia. Ia tidak bisa bicara normal di depan Countess Kleine (dan kini dia sudah salah tingkah karena ia mau terjun? Ya). Ia menghindari kerumunan bangsawan. Ia tidak pantas ada di sana sebagai salah satu 'mereka'.

"Maafkan aku, Baroness."

Dahlia Kleine berucap lirih, ia memeluk lutut. Kental malam menuju pagi membuat bayangan lebih kentara, namun Eliza bisa melihat mata amber itu bersinar walau di dalam gelap. Mereka saling bertatapan, sunyi menggantung dengan nyaman. Eliza tidak marah, tidak kesal, tapi ia tidak bisa memaafkan Countess Kleine sekarang. Entah apa yang terlintas di pikiran Countess Kleine sekarang, Eliza tidak bisa menebaknya.

Mereka saling bertatapan. Senyum di wajah Countess Kleine terlihat pahit. Atau, itu senyum yang sama, dan Eliza kurang bisa melihatnya jelas karena malam dan bagaimana ia menyandarkan kepala ke lututnya. Bibirnya sejenak terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Mereka tetap terdiam. Eliza sudah lebih tenang, tapi ia bersikeras tutup mulut. Ia tidak tahu apa yang pantas dibicarakan: haruskah ia bertanya kenapa Countess Kleine mendaki pagar dan ingin melompat? Apakah adegan barusan hanya aksi yang setara dengan ia mengambil kendali piano dan berdendang sesuka hati? Apakah dia cuma main-main? Apakah Elizabeth Cardis sedang dipermainkan?

"Anda melihatku dari mana, Baroness?"

Ah.

Itu memang pertanyaan logis yang bisa ditanyakan. Atap itu menghadap ke arah luar Neo-Virtual Area, tidak mungkin Eliza akan melihatnya dari bawah sana. Eliza hanya punya satu jawaban, dan melihat arah mata Countess Kleine, ia pun telah mencapai konklusi.

Berbohong itu boleh. Akan tetapi, terlalu banyak berbohong hanya akan mencederai kepercayaan. Kepercayaan itu tidak mudah didapat, dan sukar untuk dipulihkan.

"Kamera pengintai."

"Ah, hacker. Aku lihat di daftar tamu, ada beberapa Familia hacker yang kukenal."

Ya, ada daftarnya di sini, serta hitungan berapa kali mereka mengakses beberapa kamera atau pengaturan beberapa tempat tanpa izin. "Anda sangat tanggap."

"Tidak, cuma kebiasaan," ia memutar bola matanya. "Selalu ingat tentang siapa saja yang ada di sekitarmu."

"Saran yang bagus." ungkap Eliza setengah hati. Ah, ternyata memang dia kesal. "Jadi, Countess, apakah saya boleh menanyakan kenapa anda ada di atas pagar? Pastinya bukan untuk memeriksa ketahanan hologram solid, 'kan?"

Senyumnya simpul. Mereka masih bertatapan. Untuk pertama kalinya, Eliza tidak ingin pergi dari sana. Ia tidak ingin Countess Kleine perlahan hilang seperti asap.

"Aku suka tempat tinggi."

"Oh, apa ini artinya anda mengaku bahwa anda suka berkuasa?" poin sarkastis, satu.

"Terserah kamu mau bilang apa, Baroness," ia terkekeh. "Kalau tidak salah, kamu tadi bilang kalau bangsawan tidak pernah mencari udara segar di atap. Aku ada di atap karena aku suka tempat tinggi untuk mencari udara segar."

"Berbelit tapi baiklah, saya terima."

"Ayolah, bukannya wanita akan tampak lebih menarik dengan satu atau dua rahasia?"

"Ada banyak rahasia di sekitar nama anda, Countess. Saya tidak pandai menghitung."

Countess Kleine mendengus, lagi ia terlihat menikmati pembicaraan ini. Tidak ada lagi senyum kecut atau pahit. Tapi senyumnya tidak manis. Sekedar pas.

Sayang, bulan dan bintang tengah absen sekarang, hanya mereka berdua dan kerlap-kerlip metropolis menyinari sangkar berisi empat puluh nyawa.

Countess Kleine berdiri terlebih dahulu, ia mengulurkan tangannya kepada Eliza. Tangan itu tidak bersarung, ia telah melepas sarung tangannya entah kapan. Mungkin agar tidak terpeleset ketika menaiki pagar yang licin. Eliza juga meninggalkan sarung tangannya di kamar, ia telah sibuk dengan tujuan penelitiannya untuk kembali mengenakan seluruh atributnya.

Dahlia Kleine tidak menyuruhnya untuk berdiri mengikutinya secara verbal, ajakan itu murni visual. Dan, entah kenapa, Eliza merasa tertarik.

Menggapai tangan yang lebih kecil itu sangat mudah. Sebagai seseorang yang lebih tinggi dari Countess Kleine, tangannya yang panjang menjangkau mudah. Pegangan tangan mereka berawal dingin, sebelum hangat perlahan menjalar di antara kedua kulit dan kedua ukuran jemari yang berbeda. Database bilang kalau jari-jari lentik akan mempermudah untuk memainkan piano, tetapi jari-jari Countess Kleine dapat dibilang imut.

Eliza berdiri tanpa menimpakan berat tubuhnya untuk Countess Kleine tarik. Mereka berdua berdiri, dan Countess Kleine membentangkan tangannya yang kosong. Lagi-lagi ajakan secara visual. Matanya menatap halus Eliza, menunggu.

"Dansa? Tapi disini tidak ada musik."

"Aku bisa jadi musiknya."

Eliza menghela nafas, sebelum ia mendekatkan diri, tangan kanan memeluk pinggang kecil itu dan tangan kiri menyambut kembali jeda di antara mereka.

Sampai sekarang, Eliza tidak mengerti mengapa pesta dansa bangsawan adalah keharusan. Zaman-zaman emas lagi penuh kegelapan dengan tahta gemerlap dan kasta yang menyesakkan telah lama usai. KINGDOM seperti memulihkan kejayaan masa lampau, mengkristalisasi pesta dansa dan musik klasik, ketika buku-buku dibiarkan tergantikan oleh media daring dan terlupakan, mengendap ditelan dunia. Madam Elise mengajarkannya cara berdansa dengan benar dan sabar, sehingga paling tidak ia bisa memimpin alur dansa yang sederhana.

Countess Kleine mulai bersenandung ketika mereka memulai box step, perlahan tapi pasti. Mata menghadap ke pasangan, bukan ke kaki yang ragu kemana akan melangkah.

"Apa ini?"

Countess Kleine tidak keberatan lagunya diinterupsi, mereka sudah tahu kemana tari impromptu ini akan dibawa. "Balasan karena aku sudah mengkhawatirkanmu."

"Sekedar dansa?"

"Tidakkah berdansa dengan salah satu dari Tiga Familia adalah kemewahan? Duchess Sarachenia dan Earl Gaillardia tidak menari dengan orang lain, lho."

"Mereka terlalu sibuk." henti langkah, putar.

"Dan kamu berkata kalau aku tidak sibuk? Aku sibuk menghibur para tamu."

"Ya, ya, anda berhasil." Eliza mengingat bagaimana Countess Kleine bermain piano. Lincah. Riang. Seperti sebuah sungai yang akan bertemu lautan, bukan sebuah danau yang tenang airnya.

"Hm, puji aku yang benar."

"Anda meminta terlalu banyak, Countess."

Mereka berdua pun bertukar tawa. Masih menari, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Seakan pagi tidak akan datang dan mereka akan selamanya diperbolehkan melupakan apa yang ada di depan mata.

"Baroness."

Setelah putaran kesekian, Eliza menarik Countess Kleine dekat. Tangannya sempurna menangkup pinggang ketika mereka berhenti dengan jarak satu nafas di antara. Countess Kleine memandangnya dengan mata bulat, dadanya sejenak turun dan naik cepat karena mereka berdansa. Ia mengulas senyum, tangan kecilnya itu meremas bahu Eliza.

"Baroness, aku tahu kamu bisa membedakan seseorang yang ingin mati atau tidak," ucapnya. "Jadi, aku harap aku tidak perlu mengulang lagi soal malam ini."

Eliza mengangguk pelan.

"Juga," matanya perlahan berkaca. "Aku harap kamu tidak berubah nanti."

Di pernyataan itu, Eliza tidak mengangguk, tidak menggeleng. "Countess?"

"Dahlia."

Saat itu, Dahlia Kleine menarik dirinya, ia berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya. Eliza, merasakan hangat yang perlahan pergi karena kembali tersentuh oleh malam, mengepalkan kedua tangan.

"Tapi saya bukan-"

"Tidak ada manusia yang lebih rendah di KINGDOM dibandingkan anak hasil hubungan haram seorang bangsawan, Baroness."

Eliza membuka mulut, dan menutupnya lagi. Dahlia Kleine dihadapannya tersenyum, bukan senyum yang Eliza bilang terus-menerus sama. Bukan juga senyum yang ia tampilkan kepada Duchess Regelia ketika mereka bertransaksi besi.

"Tidak adil kalau anda tidak memanggil saya Eliza."

"Oke," Dahlia mengangguk. "Jadi, kita impas."

Eliza merasakan sebuah déjà vu. Tetapi, di sosok Dahlia yang menunggu, Eliza menundukkan kepalanya sejenak, alih-alih berpikir. Sistema Cardis yang selama mereka berbicara tidak ia lihat mulai penuh dengan berita-berita tertentu mengenai Dahlia Kleine, dan notifikasi waktu yang menunjukkan pukul tiga lewat.

"Ya, kita impas," Eliza menarik nafas dalam-dalam. "Dahlia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro