Kehidupan 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf, aku terlambat!" kata seseorang sambil membuka pintu. Napasnya tidak stabil, ia membungkuk dan menumpu pada lututnya. Aku menatapnya lekat-lekat. Ia sangat berbeda dari terakhir aku melihatnya.

"Dok—"

"Kaliandra Prameswari," ujarnya sambil menyalamiku. "Panggil saja Lian. Senang bertemu denganmu dalam keadaan sehat, Reksa," lanjutnya. Aku terkesiap. Pantas saja kata-katanya waktu itu sangat mencurigakan, seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu. Rupanya ia ada hubungannya dengan ini.

"Woah, Teteh," sapa Arga dengan tangan terbuka. Dia melirik ke arahku. "Kelihatannya kalian sudah berkenalan," ujarnya sambil tersenyum. "Re, ini Teh Kaliandra. Ia seorang dokter. Aku yakin kamu sudah tahu bagian itu. Jangan terkesan dengan keahliannya, karena itu memang sudah tugasnya."

"O ... key," jawabku bingung dengan perkataan Arga itu.

Aku memperhatikan lagi dokter Lian. Ia memiliki rambut sepunggung yang lurus dengan warna hitam kecokelatan. Terakhir aku melihatnya di rumah sakit, rambutnya diikat ke belakang, berbeda dengan saat ini yang terlihat lebih kasual. Kulitnya putih dan terlihat segar. Kutaksir umurnya pasti masih kurang dari tiga puluh tahun.

"Ada yang salah, Re?" tanya dokter Lian membuyarkan lamunanku.

"A ... ah, nggak ada," jawabku gugup melihat senyum yang terpatri di wajahnya.

"Ah, Re!" seru Arga seperti orang yang mendapat ilham. "Jangan-jangan kamu suka Teh Lian, ya?" tudingnya.

"Apa?!"

"Berani-beraninya kamu main mata, Re. Aku cemburu, loh," katanya dengan wajah yang seolah tersakiti sambil memegang dada.

"Sudahlah kalian berdua," lerai dokter Lian sambil mencari tempat duduk.

Arga menatapku lekat. "Sebenarnya masih ada satu lagi, tapi dia belum datang. Kamu boleh melihat-lihat sekeliling kalau mau. Aku ada urusan yang harus diselesaikan," kata Arga sambil melirik Jati. Aku melihatnya menghampiri orang yang dimaksud. Sepertinya dia belum puas dengan apa yang sudah terjadi. 

Aku memperhatikan sekeliling. Orang-orang sedang sibuk dengan dunianya masing-masing. Kulihat dokter Lian sedang berbincang dengan Albasia yang memiliki kulit putih, kontras dengan rambutnya yang berwarna hitam bergelombang. Wajahnya cukup tegas untuk seorang wanita yang memiliki sikap anggun. Terlihat dari cara duduknya yang feminim.

Di lain pihak, Akasia sedang menyibukan diri dengan ponselnya. Sepertinya dia sedang bermain game yang memerlukan konsentrasi tinggi. Aku agak ragu untuk menyapanya karena tatapan tajamnya dan sikap yang pertama kali dia tunjukan saat pertama kali bertemu. Aku juga agak ragu dia akan menerimaku dengan mudah. Aku menggeleng. Memulai percakapan benar-benar bukan keahlianku apalagi dengan lingkungan yang sangat baru dan orang-orang yang harus diketahui namanya dalam waktu singkat.

"Re, aku ke belakang dulu, ya," kata Arga sambil pergi entah ke mana. Aku memberanikan diri mendekati Jati. Sekadar untuk berterima kasih karena telah menyelamatkanku.

Belum sempat aku mengucapkan satu patah kata, dia sudah mulai duluan. "Ada apa?" tanyanya memalingkan wajah dari buku yang sedang dibaca. Aku agak gugup melihat sikapnya yang agak dingin itu. Ditambah penampilannya yang terkesan rebel, dengan rambut panjang yang diikat dengan gaya man's bun, menyisakan rambut panjang di bagian tengkuk. Matanya yang melihatku; menungguku memberikan jawaban membuatku tambah gemetaran.

"A ... aku mau ... berterima kasih," kataku dengan suara gemetar. Jantungku berdegup dengan sangat kencang karena menunggu jawaban yang akan diberikannya. Jati menatapku lama sebelum tersenyum miring.

"Sama-sama," jawabnya singkat. Sepertinya dia tidak seperti yang kubayangkan. Jati menutup buku yang dibacanya. "Kau harus berhati-hati terhadap Arga, Re. Terkadang dia suka berbuat yang aneh-aneh," pesannya. Aku mematung. Sepertinya aku masih belum tahu banyak tentang sahabatku itu.

Orang yang dibicarakan pun datang. "Hei, kalian sedang membicarakanku, ya?" tuduh Arga. Aku memandang ke arah lain untuk menghindari tatapannya.

"Heh, jangan terlalu percaya diri, Arga. Tidak semua yang aku bicarakan adalah tentangmu," timpal Jati.

"Aku hanya curiga karena yang kau ajak bicara adalah Re-ku," sahut Arga. Aku terlonjak. Apa yang kudengar baru saja itu benar? "Dan biasanya kau itu tukang gosip. Terutama menyangkut aku yang tampan ini," kata Arga lagi sambil mengusap-usap dagunya dengan percaya diri.

"Terserah kau saja," timpal Jati kembali fokus pada bukunya.

Arga melirikku kemudian tersenyum. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil memegang bahuku.

"A ... ku baik." Dia melebarkan senyumannya sampai menampakkan deretan giginya. Apa yang akan dia rencanakan kali ini?

Suara pintu yang terbuka kembali terdengar. Kini, semua orang memutar kepala mereka ke arah sumber suara. Seorang pria tua. Kulihat Arga seperti mengaguminya. "Dia datang," katanya heboh.

"Siapa?" tanyaku setengah berbisik.

Arga tidak langsung menjawabku. Pria tua itu—yang lebih cocok disebut kakek, tapi masih terlihat segar bugar—memandang kami satu per satu. Kulihat semua orang memberi hormat padanya dengan agak membungkuk sedikit. Setiap langkah yang diberikannya seolah memperlihatkan wibawa yang dimilikinya. Matanya berhenti memindai saat dia menemukanku. "Selamat datang di tempatku, Reksa," katanya dengan suara yang bijaksana. Aku mengangguk canggung. Kenapa sepertinya orang-orang mendadak mengenalku? Apa aku tidak sengaja melakukan sesuatu sampai membuatku diketahui banyak orang?

Pria tua itu mengibaskan tangannya agar kami duduk. Dia sendiri duduk di sofa tengah yang khusus untuk satu orang. Aku duduk bersebelahan dengan Arga dan Jati di sebelah kiri pria itu, sementara dokter Lian, Albasia dan Akasia duduk di sofa seberang.

"Selamat datang, Reksa," sapanya dengan tangan terbuka. Semua orang tampak melihat ke arahku, bahkan Arga dan dokter Lian memberikan senyuman terbaik mereka, sementara yang lainnya hanya melirik dengan datar. Aku mengangguk dengan sangat canggung. Semua tatapan yang terarah kepadaku tampak mengintimidasi.

"Ha ... halo," ujarku gugup.

"Tidak perlu malu," kata pria tua itu ramah. "Mungkin aku sebaiknya memperkenalkan diriku dulu. Aku Ficus Benjamina—" Mataku membulat. Ternyata dia orangnya! "—Aku adalah ketua Ordo Reinc. Aku memiliki kemampuan memanipulasi tanah. Kau mungkin tidak akan mudah percaya pada semua ini, Re. Namun, cepat atau lambat kau akan—tidak—harus percaya pada ini semua."

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku di tengah rasa gugup dan segan.

"Apa itu?"

"Dari mana kalian tahu tentangku? Apa Arga yang memberi tahu?"

"Hanya sebagian. Namun, selebihnya kami sudah tahu." Aku melihat Arga yang hanya menaikkan bahunya dan memberikan ekspresi yang seolah berkata 'Apa?'. Aku mendesah pelan. "Kenapa?"

"Aku ... ini terlalu nggak masuk akal bagiku," jawabku dengan ragu.

"Banyak hal tidak masuk akal di dunia ini, Re." Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang. "Sebelum kau bertanya lebih lanjut lagi, aku akan menceritakan sesuatu yang akan menjadi titik tolakmu setelah ini," katanya serius.

Aku melihat orang-orang yang mengambil posisi duduk lebih nyaman. "Percayalah, kamu akan bosan mendengar ini. Jadi, sebaiknya kamu mengambil posisi seenak mungkin," bisik Arga.

"Orang-orang meyakini bahwa seseorang yang memiliki wajah yang mirip dengan seseorang di masa lalu, percaya bahwa orang tersebut telah bereinkaransi dari orang tersebut," katanya sambil memperhatikan wajahku. "Kau bingung?" tanya Pak Ficus yang pastinya melihat ekspresi tak karuanku. "Singkatnya begini, kau adalah reinkarnasi kakekmu jika wajahmu sangat mirip; itu yang dipercayai banyak orang. Namun, tubuh hanyalah wadah. Kesamaan wajah bisa terjadi karena genetika. Kalau kau cukup rajin untuk menelusuri silsilah keluargamu, aku yakin akan ada hubungan darah di sana.

"Reinkarnasi Reinc tidak bekerja seperti itu. Hal terpenting dalam fenomena ini adalah jiwa yang memiliki pengalaman. Saat jiwamu terlahir kembali dalam tubuh baru, pengalaman masa lalumu akan terbawa. Saat pertama mungkin kau tidak akan merasakannya, tapi perlahan ingatan akan pengalaman itu akan muncul. Entah dalam bentuk visi, ingatan acak, atau bahkan mimpi. Bukan begitu, Re?" Kalimat terakhir yang dia lontarkan lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan. Aku berpikir sejenak. Mimpi? Tidak mungkin.

"Kenapa?" tanyaku meminta penjelasan.

"Kenapa apa?"

"Kenapa harus aku? Tak bisakah orang lain?" tanyaku frustrasi.

"Takdir," jawab pria tua itu singkat. "Kau sudah ditakdirkan untuk ini. Kalau kau bertanya kenapa bukan orang lain saja, maka mereka juga akan bertanya kenapa bukan yang lain? Dan pertanyaan itu akan terus berulang. Yang harus kau lakukan sekarang adalah menerima dirimu apa adanya."

"Takdir? Aku akan mengubahnya—"

"Takdir atau pun nasib tidak bisa diubah, Re," potongnya cepat.

"Tapi, bukankah ada takdir yang dapat diubah? Seperti kau ditakdirkan sakit, tapi karena gaya hidupmu sehat, kau jadi tidak mengalaminya. Seperti itu. Lalu bagaimana dengan kehendak bebas?"

"Bebas? Apa yang bebas? Dari awal kita sudah terikat. Takdir kita sudah tertulis bahkan jauh sebelum dunia diciptakan. Mungkin, bebas yang kau maksud adalah kehendak untuk bebas memilih pilihan yang telah disediakan. Seperti gaya hidup sehat itu. Takdir untuk sehat dan untuk sakit, bergantung pada pilihan kita. Walaupun ada penyakit-penyakit turunan yang memang sudah dituliskan untuk kita dan kita tidak bisa apa-apa padanya, selain berusaha untuk tetap melawannya. Lagi-lagi, harus kutegaskan, kita hanya bisa memilih dan akhir dari pilihan itu telah dituliskan. Tidak ada yang namanya kebebasan sejati."

"Lalu, bagaimana dengan orang yang bunuh diri? Bukankah itu artinya dia menyalahi takdir yang ditetapkan padanya? Bukankah umur manusia sudah ditentukan?" tanyaku penuh tekanan.

"Ada banyak jalan untuk mati, selain faktor alami seperti sakit. Akhir yang beragam ditentukan oleh pilihan-pilihanmu sebelumnya. Kalau kau mati di usia 22 tahun, itu karena jatah umurmu memang demikian. Jika orang yang mencoba bunuh diri tapi gagal berarti takdir tidak menuliskannya demikian. Dia akan mati dengan jalan lain. Kalau dia berhasil artinya salah satu takdir yang dituliskan padanya memang seperti itu."

"Salah satu?" Aku bertanya dengan raut penuh kebingungan.

"Di umur 22 tahun, kau dituliskan akan mati tertabrak atau mati gantung diri. Salah satunya tercela. Kau tahu yang mana. Sebelum mati gantung diri, ada satu titik persimpangan di mana jalan itu akan menuntunmu ke salah satu akhir. Kau mungkin akan beruntung bila memilih jalan yang akan menuntunmu ke akhir mati tertabrak." Aku mendengarnya dengan saksama. Dipikir bagaimanapun, keduanya tidak ada yang bagus. "Aku harap penjelasan itu tidak membuatmu bingung."

"Begini saja," kata Akasaia menyela pembicaraan kami. "Kau tahu novel visual?" tanyanya sebelum melanjutkan. Aku mengangguk sebagai jawaban walaupun tidak tahu apa hubungannya dengan takdir. "Bayangkan hidup ini seperti permainan novel visual. Sebuah game utuh adalah hidupmu secara keseluruhan. Dalam novel visual, kita dihadapkan pada sebuah pilihan-pilihan, itulah kehendak bebas. Misalkan dalam sebuah novel visual bergenre horor, kau dihadapkan dengan pilihan lari atau diam. Lari akan membawamu ke sebuah situasi di mana kau akan mati ditikam sang antagonis, atau memilih diam sampai kau depresi dan memilih mati saja dengan loncat dari atas gedung tempat situasi berlangsung. Kurang lebih seperti itu," pungkas Akasia sambil melipat kedua tangannya.

Aku menghela napas berat. Semua hal tentang takdir ini membuatku pusing. Kurasakan bahu kananku yang agak berat karena kepala Arga yang agak menyender. Wajahnya tampak mengantuk, beberapa kali dia menguap. Sesekali aku menggeser kepalanya, tetapi dia menolak dan kembali ke posisi semula.

"Bagaimana?" tanya Pak Ficus. Aku bingung ingin menjawab apa. "Apa kau tahu siapa pendahulumu?"

"Siapa?"

"Seharusnya kau sudah tahu," jawabnya kecewa

"Aku nggak yakin ...."

"Semua reinkarnasi Reinc telah dituliskan ciri-cirinya dalam sebuah buku pedoman kami. Apa kau tahu siapa yang menuliskannya?" tanya Pak Ficus retoris. Aku menggeleng sebagai jawaban. Tentu saja aku tidak tahu. "Kau," katanya singkat. "Pendahulumu pada generasi ketujuh setelah terbentuknya Reinc, menuliskan berbagai prediksi yang akan datang termasuk ciri orang-orang yang diberi tanggung jawab besar ini. Yang unik di sini adalah, setiap pendahulumu memiliki kemampuan berbeda, tidak seperti kami yang memiliki ciri khas kekuatan masing-masing. Kau yang menuliskan buku ini memiliki kemampuan Clairvoyance, prekognisi, atau apa pun namanya yang intinya adalah dapat memprediksi masa depan."

Pak Ficus menatapku lekat sebelum akhirnya berbicara lagi. "Pendahulumu adalah Agni." Aku terlonjak sampai Arga yang bersender di bahuku terkaget.

"Nggak mungkin. Itu Cuma mimpi biasa," sangkalku. Mengingat mimpi-mimpi yang datang kebanyakan adalah mimpi buruk yang membuatku merinding.

"Itu ingatan masa lalumu, Re. Mereka datang lewat mimpi." Pak Ficus memperhatikan reaksiku yang sepertinya cukup berlebihan.

Kalau aku adalah reinkarnasi Agni, siapa reinkarnasi Rega? Memiliki kekuatan menarik dan mendorong benda, gravitasi. "Aku reinkarnasi Rega, kalau kamu ingin tahu." Aku menatap horor Arga yang seolah bisa membaca isi kepalaku. Dia mengangkat satu alisnya sambil tersenyum miring. Ekspresi yang menggoda untuk sebagian wanita, tapi jadi menyebalkan saat aku melihatnya. Apa ini alasannya kenapa dia bersikap posesif dan begitu perhatian padaku selama ini? "Tenang, kamu sahabatku. Aku nggak akan berbuat yang aneh-aneh. Masa lalu biarkan berlalu. Jadikan mereka pelajaran. Bukan begitu?" katanya santai. Aku ragu bisa bersikap biasa terhadapnya setelah mengetahui ini semua.

"Aku bahkan nggak punya kekuatan seperti yang kalian banggakan," ucapku lemah.

"Jangan bohong," sergah Albasia. Ia tampak kesal dengan tangan terlipat di dada dan kaki yang menyilang. Matanya yang hitam tampak mengintimidasi. Buru-buru aku melihat ke arah lain dan memutuskan kontak mata dengannya. "Belajarlah jujur walaupun itu menyakitkan," lanjutnya. Mendengarnya berkata seperti itu membuatku teringat Ayah yang pernah bicara hal serupa.

"A ... aku ...." Kurasakan tangan seseorang memegang bahuku. Arga menatapku dengan senyum menyemangati. Dia mengangguk sekali kemudian mengarahkan dagunya pada Pak Ficus. "Maksudku ... kalaupun aku punya kekuatan seperti kalian, hasilnya nggak seberapa." Suaraku mulai mengecil. "Aku sudah mencobanya."

"Itu karena salah satu syarat menggunakan kekuatan Reinc. Kau harus diakui terlebih dulu, baru kekuatanmu akan muncul. Walaupun hanya sebagian, tapi itu sudah membuktikan bahwa kau memang reinkarnasi seorang Reinc."

"Lalu?" tanyaku penasaran.

"Kau harus mengakui dan menerima dirimu sendiri sebagai Reinc, maka kekuatanmu akan muncul sepenuhnya." Ini hal yang aku sulit lakukan.

"Aku masih nggak tahu siapa diriku." Aku mendesah kecewa. Mungkin aku butuh waktu untuk mencerna ini semua.

"Aku harap kau cepat menyadari ini semua sebelum terlambat. Karena bagaimanapun, kami membutuhkanmu."

"Kenapa terburu-buru sekali?" tanyaku heran.

"Aku yakin Arga sudah memberi tahumu. Kebangkitan Thiye bertepatan dengan munculnya bulan purnama, dan itu tinggal menghitung hari. Kita harus segera memperkuat segelnya sebelum ia benar-benar bangkit."

"Lalu, bagaimana kalau kekuatanku belum muncul juga saat itu tiba?"

Seseoarang tiba-tiba menggebrak meja dengan keras. "Kau ingin membiarkan dunia hancur?! Kalau sampai seperti itu, artinya kau tidak mengakui dirimu!" teriak Akasia dengan nada yang meluap-luap. Aku jadi takut karenanya.

"Sebaiknya kau jangan sampai menyusahkan kami," timpal Albasia. Suasana semakin memanas. Aku seperti seorang terdakwa yang dilempari berbagai tuduhan.

"Lebih baik kau bekerja sama," tambah Jati.

"Tenanglah, semua. Terutama kau, Akasia," kata Pak Ficus. "Kami berharap banyak padamu, Reksa," katanya menenangkan suasana. Aku menunduk untuk menghindari pandangan semua orang.

Hening. Tidak ada seorang pun yang berbicara setelah itu.

"Sepertinya emosi kalian kurang stabil karena lapar. Lebih baik kita makan siang dulu," pungkas Pak Ficus.

-oOo-

Author's Note:

Jangan diambil pusing, anggap sebagai hiburan semata.

Sudahkah kalian memilih pilihan yang berujung pada hal yang baik?

Salam Literasi!

Diterbitkan: 24-5-2019 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro