Kehidupan 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memeluk lutut. "Maaf, Ga. Aku ... memang nggak berguna." Kubenamkan wajahku di antara selimut. "Aku ... hanya bisa menyusahkan."

"Jangan bicara seperti itu!" sahutnya dengan nada agak tinggi. Aku tersentak. "Maaf, aku nggak bermaksud membentak." Arga tertunduk, menangkup wajah dengan kedua tangannya. Kami terdiam. Berkutat dengan pikiran masing-masing. "Aku akan memanggil perawat," katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Hanya ada aku dan pikiranku saat ini. Memikirkan hal-hal yang terjadi belakangan ini. Mimpi-mimpi itu. Kenapa mereka datang dengan sangat tiba-tiba dan terus menerus? Apa ini pertanda? Namun, apa hubungannya denganku?

Suara pintu terdengar terbuka bersamaan dengan datangnya Arga dan seorang perawat—bukan, tapi dokter. "Halo, Reksa. Sepertinya kamu sudah sehat," kata dokter yang memperhatikan keadaanku. Ia kemudian memeriksaku. Aku tidak tahu apa saja yang dilakukannya. Waktu terasa begitu cepat ketika aku sadar kalau hal itu sudah selesai.

"Dokter Prameswari, Anda dibutuhkan di ruang Teratai 1," kata seorang perawat dari ambang pintu.

"Iya, saya akan segera ke sana," sahut dokter itu. Dokter Prameswari kemudian melihat ke arahku. "Kamu tahu? Seharusnya orang biasa akan bangun lebih lama darimu," jelasnya dengan senyum penuh arti. Aku agak janggal mendengar kalimatnya. "Kamu bisa pulang sore ini," lanjutnya.

"Terima kasih, Teh," ucap Arga.

"Panggil aku dokter, Arga," kata dokter Prameswari sambil memukul kepala Arga pelan dengan papan dada yang dibawanya.

"Siap, Teteh," sahut Arga sambil hormat ala tentara, menggoda sang dokter. Aku memperhatikan kelakuan mereka yang terlihat cukup akrab. Apa mereka bersaudara? Hubungan mereka menarik. Dokter Prameswari kemudian pamit pergi setelah berdebat singkat dengan Arga.

"Oh, iya. Setelah kamu sembuh total, aku ingin kamu ikut denganku ke suatu tempat," kata Arga sembari mendekati ranjangku.

"Ke mana?" tanyaku penuh selidik. "Ke tempat seharusnya kamu menculikku?" sindirku.

"Apa maksudmu, Re? 'Kan sudah kubilang kalau itu nggak seperti yang kamu pikirkan," balas Arga dengan agak tersinggung. "Memangnya kamu nggak penasaran pada siapa yang menolongmu?" tanya Arga menggoda. Aku terdiam. Benar juga, aku tidak tahu siapa yang sudah menolongku. "Ya, Re?"

Aku mendengus. "Ya, terserah kamu saja," jawabku pada akhirnya.

Orangtuaku datang beberapa puluh menit setelah dihubungi oleh Arga. Mereka terlihat panik dan senang di saat bersamaan, terutama Ibu. Ia langsung memelukku dengan erat bahkan lebih erat dari pelukan Arga yang selalu membuatku sesak napas. Di tengah bukti sayangnya padaku itu, Ibu menangis. Aku jadi tidak tega melihatnya seperti ini.

"Maafkan aku," kataku penuh penyesalan.

Masih memelukku, Ibu mengusap-usap rambutku dengan lembut. "Yang terpenting kamu selamat sekarang," ujarnya sesenggukan. Ayah memegang bahu Ibu agar ia melepas pelukannya.

"Syukurlah kamu sudah sehat kembali," ujar Ayah. Aku mengangguk menanggapi perkataannya.

Seperti yang dokter Prameswari katakan, aku sudah boleh pulang sore harinya. Suasana rumah sudah kembali seperti sedia kala. Hangat, seperti yang terakhir aku ingat. Aku langsung merebahkan diri di kasur. Walaupun kasur rumah sakit lebih empuk, tapi kasurku sendiri lebih nyaman. Tidak ada yang lebih nyaman dibanding milik sendiri.

Suara pintu kamar terdengar diketuk. Aku yang sedang bermalas-malasan terlonjak mendengar Ibu yang datang dengan semangkuk makanan. "Sayur sop agar kamu cepat sehat," kata Ibu yang memperhatikanku melihat makanan itu datang.

Aku menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Bu. Padahal aku bisa mengambilnya sendiri."

"Nggak apa-apa. Kamu 'kan baru sembuh, harus banyak istirahat," timpal Ibu dengan sennyuman. Kemudian Ibu melenggang pergi dari kamar meninggalkan kami berdua—aku dan sayur sop.

Sup dengan sayur kol, wortel, kacang panjang, potongan tomat dan tambahan lainnya. Aku menyantapnya dengan lahap bersama nasi di piring terpisah. Sesekali aku panik sendiri karena satu suapan yang panas membakar rongga mulutku.

Butuh dua hari untukku sembuh total dan bisa beraktivitas seperti semula. Rencananya hari ini aku ingin masuk kuliah, tetapi Ibu menyarankanku untuk istirahat sehari lagi. Untuk memastikan kalau aku benar-benar sembuh katanya. Yah, mau bagaimana lagi, perkataan Ibu adalah doa. Jika aku mau sembuh, aku harus menuruti keinginannya. Lagi pula ini untuk kebaikanku.

Suara ketukan pintu terdengar. Aku tidak memedulikan hal itu sampai sang tamu sudah berdiri di depan pintu kamar. Dia tersenyum sambil membawa bingkisan. "Kulihat kamu sudah seperti orang yang kurang kerjaan, Re," kata Arga sambil berkacak pinggang.

Aku mengubah posisiku dari berbaring menjadi duduk, lalu menyimpan buku yang sedari tadi aku baca di dekat bantal. "Hai, Ga. Wah, apa itu?" tanyaku girang melihat benda yang dibawanya.

"Ini sogokan agar kamu mau ikut denganku," jawab Arga menyindir.

"Huh, ide yang bagus. Aku mungkin akan lebih tertarik kalau bingkisannya lebih besar," balasku sambil melebarkan tangan. Kami saling bertatapan sebelum akhirnya tertawa dengan puas.

Arga duduk di sebelahku sambil membuka bingkisannya. Ada beberapa jenis buah-buahan yang cukup banyak yang biasa di bawa saat menjenguk dan makanan ringan lainnya. Ada apel, pir, jambu batu, jambu air dan mangga. "Aku nggak tahu buah apa yang paling kamu suka, jadi aku beli saja yang ada," katanya sambil menimang beberapa buah.

Beberapa saat kemudian, Ibu datang membawakan piring kosong dan pisau. Dua benda itu langsung diberikan kepada Arga. "Terima kasih, Tante," kata Arga. Ibu hanya tersenyum dan membiarkan kami bertiga kembali; Aku, Arga dan buah-buahan.

Arga mulai mengupas beberapa buah apel. "Kamu nggak perlu repot-repot melakukan itu untukku," kataku sembari akan mengambil beberapa potongan yang telah ada.

Arga menjauhkan piringnya. "Heh, maaf saja, tapi ini untukku. Kalau mau kamu bisa mengupasnya sendiri," sindir Arga. Aku cemberut. Sejak kapan dia jadi seperti ini. Lalu dia tertawa. "Iya, iya, aku bercanda," sesalnya. "Ini," katanya sambil menyodorkan satu potong buah apel. " 'Aaa'. " Kemudian buah itu masuk ke mulutnya sendiri. Aku melemparkan bantal tepat ke arah wajahnya. Aku mendengus, sementara dia tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku. Lain kali akan kubalas dia.

"Re," panggil Arga. "Setelah ini kamu siap-siap. Kita akan pergi," katanya tiba-tiba.

"Ke mana?"

"Kamu ingat, kemarin-kemarin aku akan mengajakmu ke suatu tempat?" kata Arga sambil berdiri.

"Oh, tapi ini terlalu mendadak."

"Ya, makanya siap-siap."

"Ibu nggak akan membolehkanku."

"Aku sudah bilang. Katanya kamu boleh pergi asalkan jangan malam-malam pulangnya," ucap Arga meyakinkanku.

"Hah, baiklah."

Aku tidak tahu bagaimana caranya sahabatku ini bisa membujuk Ibu agar membolehkanku pergi. Aku yang minta pergi kuliah saja tidak boleh, sedangkan Arga dengan mudahnya melakukan itu. Dia benar-benar hebat dalam membujuk, atau Ibu hanya terpesona dengan ketampanannya.

Aku memakai jaket yang agak tebal agar tidak masuk angin. 'Bulu-bulu' di bagian tudungnya cukup membuatku hangat yang akan bepergian dengan motor milik Arga. Aku mencium tangan Ibu sebagai tanda akan pergi.

"Jangan terlalu malam pulangnya," pesan Ibu sebelum mencium keningku.

"Baik, Bu."

Arga sudah berada di atas motornya. Memakai jaket dan helmnya juga sudah terpasang. Dia sudah siap berangkat, agak terburu-buru menurutku. Mesin motornya sudah menyala dari tadi, tinggal menungguku naik dan kami bisa langsung pergi.

"Sudah?" tanya Arga.

"Sudah."

Setelah mendengar jawaban dariku, Arga membunyikan klakson satu kali dan langsung tancap gas. Aku tidak tahu Arga akan membawaku ke mana. Setiap aku bertanya demikian, dia akan berkata, "Lihat saja nanti." Menyebalkan.

Kami berkendara sampai ke perbatasan kota. Entah ketinggian tempatnya yang bertambah atau memang suhunya yang menurun, aku merasa kedinginan. Aku belum pernah berkendara sampai ke daerah sini. Aku menunduk sambil memeluk tubuh. Sesekali kugosok telapak tangan agar lebih hangat.

"Kamu boleh memelukku kalau merasa dingin," kata Arga. Kulihat senyum samarnya dari kaca spion.

"Nggak, terima kasih."

Kami masuk ke area perumahan elit. Butuh waktu kira-kira 45 menit untuk sampai di kawasan ini. Rumah-rumah di kiri-kanan jalan tampak sangat megah. Beberapa di antaranya ada yang mencapai lantai tiga. Pilar-pilar putih besar menopang rumah-rumah itu. Apa mungkin salah satu dari deretan rumah mewah itu adalah tujuan kami?

"Kita sampai," kata Arga tiba-tiba. Aku melihat ke arah gerbang berwarna hitam besar yang perlahan terbuka. Dua orang satpam terlihat membukakan gerbang itu. Seketika itu juga aku ternganga dengan bagian dalamnya. "Nggak perlu terkejut seperti itu," ujar Arga terkekeh.

Bagaimana aku tidak terpesona dengan rumah itu. Satu buah air mancur yang sangat indah menyambut kami dalam jarak sepuluh meter. Di tengahnya ada sebuah patung berbentuk seperti wanita bersayap sedang duduk memegengi kendi yang mengeluarkan air. Pohon-pohon besar menambah suasana sejuk di sana. Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai berpilar besar menjadi tujuan akhir kami. Arga memarkirkan motornya di sebelah kanan rumah bersama kendaraan yang lain.

Rumah itu bagai istana saat aku melangkah ke pintu depannya. Pintu ganda bercat cokelat dengan ukiran rumit di sekelilingnya. Arga menekan bel di sisi kanan pintu. Suara lonceng nyaring terdengar sampai ke luar. Tidak lama kemudian seseorang datang membuka pintu.

"Hai, Misa!" sapa Arga pada seorang pria yang kutaksir berumur 25 tahunan memakai pakaian pelayan atau butler, mungkin. Dengan kemeja putih berblazer hitam, dasi kupu-kupu dan celana hitam.

"Tuan Arga, Anda sudah ditunggu oleh yang lain," kata Misa sambil mempersilakan kami masuk. Arga dipanggil Tuan? Dia pasti berkedudukan tinggi di sini. Sesekali Misa memperhatikanku. "Dan dia adalah sang orang ketujuh?" tanya Misa penuh selidik.

Arga mendekat kemudian merangkulku. "Iya, namannya Reksa. Dia adalah sahabat terbaikku." Wajahku pasti mulai merah karena perkataan itu.

Aku tersenyum canggung. "Ha-halo," sapaku.

"Nggak perlu malu seperti itu. Ayo, kita sudah ditunggu," sahut Arga seraya menarikku.

Sekali lagi aku tertegun dengan rumah ini. Setiap barang-barang di sini seakan dipoles sedemikian rupa sampai berkilau. Warnanya didominasi warna emas dan merah. Aku mungkin akan menangis jika lama-lama melihat arsitektur bangunan ini yang sangat indah.

"Re! Ayo!" panggil Arga membuyarkan lamunanku. Dia membawaku ke sebuah ruangan seperti perpustakaan. Banyak rak-rak buku yang isinya penuh. Berjajar di sisi kiri dan kanan dari pintu masuk. Di tengah ruangan terdapat meja kecil berbentuk bundar dengan kaca sebagai atasnya, dan ada mangkuk berisi kacang-kacangan yang siap disantap menghiasinya. Sofa berwarna merah hati mengelilingi meja itu. Dua sofa panjang saling berhadapan dan satu yang berukuran kecil di antara mereka. Ruangan itu terang dan hangat. Cahaya matahari mudah masuk karena jendela-jendela besar panjang yang berada di belakang sofa-sofa itu. Balkon dengan bunga-bunga dalam pot dapat diakses dari pintu di antara jendela-jendela itu. Kesan pertama aku melihat ruangan ini adalah: antik.

"Halo, semua!" sapa Arga dengan girang.

"Akhirnya datang juga," balas seorang pria yang tengah duduk selonjoran membaca buku di salah satu sofa panjang.

"Tentu saja aku datang!" sahut Arga.

"Heh, sepertinya kau berhasil membujuknya," ucap seseorang yang sedang memilah-milah buku di sisi kiri. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi rasanya aku pernah tahu suaranya.

"Tentu saja—" Aku memukul rusuk kanan Arga dengan siku. Sepertinya terkaanku selama ini memang benar. Menculikku secara halus. Dia hanya memberikan senyum garing padaku. Aku mendengus. Yah, sudah terlanjur. Lagi pula aku tidak tahu jalan pulang. Aku harus bersama Arga selama di sini. "Aku nggak akan membiarkan mereka mengusilimu," katanya berusaha menenangkanku. Dia lebih memilih kata usil daripada yang lain.

"Ayo kita mulai perkenalannya," kata Arga sambil menarikku. Semua orang sudah berkumpul di tengah ruangan. Di tempat sofa-sofa berada lebih tepatnya. Aku memperhatikan satu per satu orang yang ada. Ada tiga orang yang sudah duduk dengan caranya masing-masing. Dua pria dan satu wanita.

"Kita mulai dengan orang pertama yang sudah kamu temui," kata Arga memulai perkenalannya. Dia menunjuk orang yang memakai jaket hitam. "Dia adalah orang yang mengejar-ngejarmu di malam hari sampai aku harus menyelamatkanmu," sindir Arga. "Namanya Akasia Pilaria. Kau mau memberitahu kekuatanmu atau aku yang harus melakukannya?" tanya Arga pada Akasia. Kekuatan? Apa mungkin ini markas mereka?

"Aku ingin kau mencoba mendeskripsikannya," tantang Akasia.

"Baiklah," kata Arga tenang. "Jadi, singkatnya Akasia ini tukang kayu—" Satu buah biji kacang tanah meluncur tepat di keningnya, membuat Arga terjengkang karena kaget. "Hei! Apa yang kau lakukan?!" protes Arga sambil mengusap-usap keningnya.

"Deskripsikan yang benar," kata Akasia sambil memasukkan beberapa kacang ke mulutnya.

Arga berdecak. "Bawel. Jadi, Akasia ini memiliki kekuatan memanipulasi kayu. Dia bisa membuat berbagai macam barang dari kayu. Bahkan dia bisa membuat sebuah rumah kayu dengan kekuatannya," kata Arga sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Puas?" kata Arga yang menatap Akasia tajam. Sementara Akasia hanya mengangguk-angguk sambil menikmati camilan. Arga berbisik padaku. "Aku benar 'kan, dia tukang kayu?" tanyanya sambil tertawa kecil. Aku terkekeh dibuatnya.

"Nah, sekarang satu-satunya wanita di ruangan ini. Namanya adalah Albasia. Ia seorang psikolog." Arga mengecilkan suaranya. "Hati-hati ia bisa membaca pikiranmu," kata Arga sambil mendekatkan bibirnya di telingaku.

"Itu adalah pandangan yang keliru, Arga. Psikolog tidak bisa membaca pikiran. Mereka mempelajari tingkah laku manusia dan aspek psikis lainnya," kata Albasia meralat.

"Benar, kan?" kata Arga tidak mau kalah. "Oh, iya, ia juga seorang pandai besi," kekeh Arga pelan.

"Manipulasi logam lebih tepatnya," ralat Albasia lagi.

"Nah, yang terakhir untuk sekarang. Sang penyelamatmu, Re." Aku menatap orang terakhir yang akan dikenalkan Arga dalam-dalam. "Dia adalah Jati Dirinagara. Dia seorang—"

"Manipulator api," potong Jati.

"Hey, jangan memotong," protes Arga.

"Dari tadi kau tidak memperkenalkan kami dengan benar."

Arga melanjutkan, "Dia ini seperti tiang listrik. Kamu bisa melihatnya kalau dia berdiri. Walaupun dia menyebalkan, tapi dia baik kok—"

"Siapa yang kau sebut menyebalkan?" tanya Jati.

"Tentu saja kau!" tunjuk Arga pada Jati. Kemudian mereka terlibat adu mulut. Seperti kata Arga, Jati sangat tinggi. Arga yang tingginya 187 sentimeter saja masih kalah tinggi dengannya. Dia masih harus agak menengadah saat berhadapan dengannya. Aku hanya bisa melihat mereka bertengkar tanpa bisa apa-apa.

Suara pintu terdengar terbuka, memperlihatkan sosok yang sepertinya aku pernah melihatnya.

-oOo-

Author's Note

Setelah bagian ini mungkin ada beberapa pemikiran yang mungkin saja bertentangan dengan pemikiran kalian. Jadi, bersiaplah. 

Salam literasi!

Diterbitkan: 21-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro