Kehidupan 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal yang paling aku suka saat hujan adalah berbaring di depan tv dengan dibalut selimut tebal sambil makan mie kuah dengan telur. Ya, setidaknya itu yang kupikirkan saat ini. Bukan berhadapan dengan orang gila yang sedari tadi mengacungkan senjata tajamnya padaku.

Cairan merah berbau amis merembes melewati kaus dan jaket hitamku. Luka di perutku sepertinya parah, darahnya tidak mau berhenti walaupun aku sudah menahannya mati-matian. Perutku mual, sesekali cairan merah kental itu keluar dari mulutku bersamaan dengan batuk yang menyiksa. Apa ini akhir dariku?

Senjata itu teracung. Siap merobek leherku kapan saja. Dengan suara berat dan agak serak, pria itu terus menerus menanyakan hal yang sama padaku. "Dimana Ficus Benjamina?" Lagi pula siapa orang yang dimaksud pria ini?! Pria? Wanita? Anak-anak? Orang penting? Ya, mungkin dia penting untuk orang ini, tapi apa hubungannya denganku?! Bahkan nama itu mengingatkanku pada sebuah spesies pohon.

"Bicaralah, setidaknya kau bermanfaat karena memberikan informasi sebelum kematian mendatangimu."

"Untuk ... yang terakhir ... kalinya, aku tidak ... mengerti maksudmu. Aku ... tidak kenal ... orang yang bernama ... aneh itu." Jawaban itu membuat napasku tersengal. Sesekali darah keluar saat aku mengatakannya.

Tangannya kini siap mengakhiri hidupku. Sayangnya kali ini tidak ada Arga yang akan menyelamatkanku seperti dulu.

Mati aku ....

Aku refleks menutup mata. Namun tidak ada rasa sakit yang datang menderaku. Hanya ada suara sesuatu beradu. Mungkin prosesnya cepat sampai aku tidak merasakan sakit apa-apa.

Aku pikir saat aku membuka mata ada sesosok makhluk rupawan yang akan menyambutku—atau yang sejenisnya—tetapi, ternyata tidak. Pria tadi yang mengancamku kini sedang menahan seseorang lain dengan pedangnya. Seseorang itu memakai jaket panjang hitam dengan tudung di kepalanya. Aku bergidik saat seseorang itu melirik padaku. Matanya terlihat mengintimidasi. Mulut dan hidungnya tertutup kain penutup hitam. Sepertinya seseorang itu pria juga, terlihat dari postur tubuhnya yang terlihat kekar dengan tinggi yang menjulang. Keadaan ini mengingatkanku saat aku dikejar Akasia dan ditolong Arga. Seperti deja vu.

"Bertahanlah!" kata si pria bertudung. Aku berusaha bangkit, tetapi tubuhku tidak mau dengar. Rasanya sangat sakit dan setiap aku berusaha menggerakkan kakiku, darah lagi-lagi menyembur dari luka menganga yang berusaha aku tutupi. Napasku tersengal, sesekali batuk berdarah keluar lagi. Aku tidak mampu bergerak lagi.

Pria bertudung mendorong lawannya dengan pedang sampai terhempas. Pria itu mengayunkan pedang ke samping lalu api muncul menyelubungi pedangnya. Cahaya dari api menerangi kami di gang yang gelap ini. Dengan satu gerakan kilat, pria itu menebas si pria misterius, tetapi serangannya berhasil ditangkis.

Tentakel-tentakel bayangan menyelubungi tubuh si pria berpedang api sampai mengurungnya seperti dalam bola. Kegelapan menyerang kami tanpa penerangan dari pedang apinya. Apa dia akan baik-baik saja? Apa dia kalah semudah itu? Tidak mungkin.

Hening.

Tidak mungkin pria itu kalah begitu saja. Aku yakin itu.

Secercah cahaya keluar dari sela-sela bayangan yang menyelubungi pria itu. Perlahan cahaya itu membesar, menyebar dan akhirnya memusnahkan bola bayangan yang menyelubunginya. Si pria bayangan perlahan mundur sebelum menyerang lagi. Bayangan tentakel yang terpotong itu tumbuh kembali. Kali ini serangannya lebih agresif. Si pria berpedang api dengan sigap menghindari itu semua. Dia melompat saat bayangan itu hampir mengenai kakinya. Si pria api mengayunkan pedangnya membuat satu kobaran api yang menghanguskan tentakel-tentakel bayangan itu sampai sulit beregenerasi lagi. Pria bayangan terdengar panik saat api di tentakel bayangannya tak kunjung padam.

"Argh!!" Aku mengerang kesakitan karena luka di tubuhku semakin lama semakin perih. Aku takut kalau luka-luka ini terinfeksi karena tidak segera ditangani.

Pria berpedang api menoleh sekilas padaku. "Bertahanlah sebentar lagi," katanya dengan nada datar.

Pria itu tidak mau membuatku menunggu lebih lama lagi. Hal itu terlihat dengan tindakannya yang langsung menerjang si pria bayangan yang masih panik. Dia mengayunkan pedang apinya berkali-kali sampai lawannya terbakar. Kudengar jeritan dan kata-kata terakhirnya sebelum semua suaranya menghilang. "Ibu kami akan segera bangkit dan kalian tidak akan bisa menghentikannya!!!" Kemudian hanya ada asap dari tempatnya berasal.

Suara langkah berat mendekatiku. Aku berjengit ngeri ketika tatapan pembunuhnya menemukan mataku. Jantungku seakan berhenti berdetak. Tangannya terulur padaku seperti ingin mencekik.

"Akhirnya aku menemukanmu." Apa maksudnya? Menemukan? Jangan-jangan orang yang mengejarku dan si pria bayangan adalah dia? Orang ini dari awal tahu kalau aku bersama orang yang tidak benar. "Bagaiman luka-lukamu?" tanyanya sambil mencengkram bahuku. Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas lukaku mengatakan kalau keadaannya parah dan harus segera ditangani. Pria itu memperhatikan keadaanku. "Kau butuh pertolongan segera." Dasar tidak peka!

Lukaku berdenyut lagi. Sesekali aku merintih karena perih yang semakin menjadi. Kepalaku pusing, pasti karena kehilangan banyak darah. Mataku perlahan kehilangan kemampuannya. Kesadaran seakan meninggalkanku. Dalam keadaan seperti itu, kurasakan tubuhku diangkat olehnya dengan lembut.

...

Hanya kami berdua di ruangan yang dipenuhi senjata ini. Sarang laba-laba menghiasi ujung ruangan. Lampu minyak yang remang-remang hanya sedikit menerangi tempat ini.

"Aku takut, Rega," kataku sambil mencengkram tangan kiri lawan bicaraku ini.

"Jangan takut. Aku akan melindungimu. Aku bahkan rela mati untukmu," kata Rega sambil mengusap rambut panjangku.

"Gombal," cibirku.

Rega menyodorkan jari kelingkingnya. "Aku janji. Tidak akan kubiarkan kamu terluka atau mati lebih dahulu."

"Jangan menjanjikan apa yang tidak bisa kamu tepati," sahutku sambil menjauhkan jarinya. Rega tidak menanggapi penolakanku, tapi di malah menautkan jarinya paksa.

"Aku janji," ulangnya dengan senyuman yang menawan. Dia tidak hanya menautkan jarinya, tetapi juga tatapan matanya yang penuh arti. Keningnya perlahan mendekati wajahku sampai kening kami beradu. Dapat kurasakan napasnya yang seharum daun mint berembus di wajahku. "Aku mencintaimu."

"Aku tahu. Kamu sudah sering mengatakannya," balasku dengan hati yang berbunga.

Aku akan menikmati mimpi ini saja daripada mengeluh tanpa henti. Walaupun aku agak jijik menatap lawan bicaraku yang memperlakukanku seperti tadi—setidaknya bagiku. Yah, sepertinya aku versi perempuan menikmatinya. Ah, aku harap aku tidak akan terbiasa saat bangun nanti. Aku akan menontonnya lebih jauh lagi.

Rega menyentuh pipiku. Satu tangannya yang lain memegang pinggangku. Matanya terpejam. Aku tahu apa yang dia inginkan. Aku memejamkan mata juga. Kurasakan hangat napasnya.

Brak!

Suara pintu terbanting keras. Kami refleks memutar kepala ke arah datangnya suara. Rega memundurkan tubuhnya lalu memasang wajah kesal. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Rega sambil berkacak pinggang.

"Harusnya kami yang bertanya seperti itu. Apa yang kalian lakukan?!" pekik seorang pria yang mendobrak pintu.

"Tenanglah, Alfon. Harusnya kau tidak mengganggu mereka," timpal seorang gadis di belakangnya. "Padahal aku ingin melihat kelanjutannya," sambungnya dengan nada kecewa.

"Mesum," komentar Alfon.

"Kau juga sama," balas gadis di sebelah Alfon.

"Kalian mengintip?!" teriak Rega tidak terima.

"Itu ide Arisa. Aku hanya ingin memastikan kalian bekerja dengan benar."

"Hey," protes Arisa. "Kau juga tidak langsung bertindak, tetapi malah ikut mengintip," bela Arisa.

"Jadi kalian tetap mengaku mengintip, kan?" tanya Rega penuh selidik.

"Yah ... begitulah," aku Arisa, sementara Alfon hanya memasang wajah jengkel.

"Ayo, Agni. Kita selesaikan pekerjaan kita di sini," kata Rega menggamit lenganku. "Kita lanjut kapan-kapan," lanjutnya dengan senyum mesum.

Kemudian mimpiku beralih ke adegan yang lain.

Perang. Hanya satu kata itu yang dapat aku katakan di tengah suasana yang kacau ini. Suara tembakan meriam menjadi latar suara yang memekakkan telinga di samping suara teriakan dan rintihan orang-orang yang menjadi korban. Aku berrsama teman-temanku berusaha melawan makhluk-makhluk hitam dan orang-orang berpakaian menyeramkan; berjubah serba hitam dengan topi tinggi berbentuk kerucut yang menutupi seluruh wajah dan hanya menyisakan lubang di bagian mata.

Orang-orang itu memakai meriam tangan sebagai senjata. Senjata yang dapat dianggap paling maju pada masa itu. Sementara kami masih memakai panah dan pedang sebagai senjata utama. Bubuk mesiu sebagai amunisi senjata api masih terbatas dan belum banyak digunakan. Karena hal ini, kami jadi terpukul mundur.

Ada beberapa orang dengan kemampuan khusus memanipulasi elemen alam termasuk aku yang menjadi kunci peperangan ini. Mereka—seperti yang telah aku kenal—adalah Reinc. Beberapa bongkahan batu terlihat melayang ke arah para makhluk itu. Sulur-sulur pohon terlihat mengikat mereka sampai mati. Bola-bola api membakar tanpa pandang bulu.

Rega melemparkan pisau-pisau ke segala arah. Dengan satu gerakan, dia membuat gravitasi berkali-kali lipat dalam radius beberapa meter di sekitar senjata yang telah dilemparkan, membuat musuh tidak bisa bergerak karena beban yang tiba-tiba. Aku yang tidak terpengaruh gravitasi seperti Reinc lainnya berlari secepat kilat menyerang mereka dengan pedangku. Darah terciprat ke mana-mana. Potongan tubuh terlempar ke segala arah. Asap dari para Kalangkang membubung. Aku terlalu senang menyerang sampai tak sadar datang bahaya menghadangku.

Satu Kalangkang besar yang bisa keluar dari pengaruh gravitasi Rega berhasil memukulku sampai terhempas. Aku membentur batu dengan sangat keras. Teriakan Rega membuatku tersadar dengan keadaan. Namun, Rega kehilangan kendali kekuatannya sehingga para musuh yang tersisa dapat bergerak dengan bebas lagi. Aku melihat satu bilah kuku yang terlepas dari makhluk yang menyerangku meluncur bebas ke arah Rega. Dengan refleks aku menangkis serangan itu, tapi tidak dengan yang selanjutnya.

"Agni!!!" Teriakan Rega seolah dapat membuat telingaku tuli. Kulihat Rega langsung menyerang makhluk itu tanpa belas kasih. Aku terbaring lemas tanpa bisa menggerakan tubuh. Rasa sakit di dadaku baru terasa beberapa saat kemudian. Untungnya kuku itu tidak sampai menembus jantungku. Rega mengampiriku dengan tangisan di wajahnya. Rekanku yang lain berusaha melindunginya saat dia akan memindahkanku ke tempat yang aman. Aku menggeleng, lagipula waktuku tidak lama lagi.

Aku selalu percaya pada kata-kata Rega. Walaupun tidak semua janjinya selalu dia tepati.

"Jangan ... cengeng. Kamu jelek ... kalau menangis." Aku mengusap pipi Rega untuk yang terakhir kalinya dengan tangan yang penuh darah. "Kita ... akan bertemu ... di kehidupan ... selanjutnya." Napasku sesak. Indra pendengaranku sudah tidak bisa berfungsi untuk mendengar teriakan Rega. Yang kurasakan hanya dingin di tengah genggaman tangan kekasihku yang hangat ini. Rega memelukku sangat erat. Pelukan terakhir yang dapat kurasakan. Kupaksakan sebisa mungkin senyumanku yang terakhir. Wajahnya kian memudar, lalu semuanya gelap.

...

Tanpa kusadari air mataku mengalir. Mimpi itu ... begitu menyedihkan. Rega pasti sangat terpukul dengan kematian Agni. Rasa sakit gadis itu juga seperti menular kepadaku. Tidak hanya fisik tapi juga batin. Rasanya sesak mengingat wajah Rega yang amat sangat kehilangan.

Aku terbangun di sebuah kamar. Cat sekelilingnya berwarna putih. Ada ranjang-ranjang lain di sisi kananku. Bau obat-obatan menguar di sekelilingku. Suara dengkuran seseorang membuatku penasaran pada si sumber suara.

Seseorang terlihat sedang tidur di atas sofa berwarna merah. Satu tangannya di kepala menumpu sebagai bantal dan tangan lainnya berada di atas perutnya. Satu kakinya menekuk sementara yang lainnya lurus sampai melewati pinggiran sofa. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup majalah otomotif yang terbuka bergambar motor sport. Sepertinya aku bisa menebak orangnya.

Orang itu bergumam sambil menggaruk-garuk perutnya sampai kausnya tersingkap, memperlihatkan otot yang terpahat kotak-kotak. Otot yang selalu membuatku iri karena milikku sendiri lurus tidak terbentuk seperti itu. Dia berguling ke samping sampai terjatuh. "Aww," rintihnya. Orang itu mengusap-usap kepalanya sebelum melirik ke arahku. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya.

"Re!" seru Arga sambil membuka kedua tangannya. Sebelum dia mencapaiku, dia berhenti. "A ... ah, maaf. Aku nggak bermaksud ...." Kulihat wajah bersalahnya. Aku membuka kedua tanganku. Wajah Arga menjadi terlihat sumringah. Kami berpelukan dengan sangat erat sampai membuatku sesak napas.

"Ga, sakit." Arga mencoba melepaskan pelukannya, tetapi aku menolak. Aku hanya ingin dia melonggarkan sedikit pelukannya. Kuhirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Aku baru menyadari kalau Arga memakai parfum beraroma mint. Apa dia selalu memakai ini?

Arga mengusap-usap punggungku. "Re—"

"Aku minta maaf," potongku sebelum Arga dapat berkata-kata. "Aku menyakiti perasaanmu," sesalku. "Aku selalu merepotkanmu, aku—"

"Kamu nggak perlu minta maaf lagi, Re. Semua orang berbuat salah." Arga memaksa untuk melepaskan pelukan kami. "Aku akan memanggil perawat," katanya sembari memegang bahuku.

Sebelum dia melangkah lebih jauh, aku menarik tangannya. "Jangan—maksudku jangan dulu. Temani aku dulu." Aku memohon. Aku menepuk-nepuk pinggiran kasur isyarat agar Arga duduk di sana. Dia tersenyum pasrah kemudian menuruti permintaanku. Kami tidak langsung saling bicara. Aku hanya tertunduk melihat selimut rumah sakit berwarna putih yang kupakai. Sementara Arga hanya memain-mainkan jarinya tanpa bersuara.

"Sudah berapa lama aku di sini?" tanyaku memecah keheningan.

Arga berhenti memainkan jarinya lalu menatap ke arahku. Dengan senyum simpul dia berkata, "Tiga hari."

"Waw, sudah selama itu ternyata." Aku menatapnya lekat-lekat. "Mana orangtuaku?"

"Mereka di rumah. Kasihan mereka menjagamu dari kemarin. Jadi aku menggantikan mereka." Dadaku rasanya sesak. Aku sudah banyak menyusahkan orang. Ingin sekali rasanya aku menumpahkan semua emosiku.

-oOo-

Author's Note

Maafkan kalau adegan aksinya terasa agak hambar. Saran dan kritik yang membangun sangat saya nantikan.

Salam literasi!

Diterbitkan: 17-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro