Kehidupan 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ah, sial. Mimpi ini lagi. Lagi-lagi lucid dream. Sepertinya aku harus terbiasa dengan mimpi seperti ini untuk ke depannya. Bisa-bisa aku jadi tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ayolah, bagaimana caranya agar bisa langsung bangun?!

"Kau tidak apa-apa?" Suara seseorang di depanku membuyarkan rasa kesalku. Dia merangkulku dengan mesra. Kurasakan kepalaku bersender di bahunya. Ini tidak benar. Mengingat aku seorang pria dan orang yang kusenderi juga pria.

"Tidak apa-apa," jawabku. Aku merasakan bahwa aku saat ini seorang wanita dan orang di sampingku ini adalah kekasihku. Bangun! Aku harus segera bangun! Aku tidak bisa melihat ini terus. Jika ini terus dilanjutkan, aku takut saat bangun nanti aku sudah tidak normal. Ini harus dihentikan! Pelan-pelan aku merasakan apa yang dirasakan diriku versi perempuan: nyaman. Tidak! Siapa pun tolong aku!

Kurasakan dingin di wajahku. Ada butiran air yang mengalir. Samar-samar aku melihat sesosok wanita. Semakin jelas setelah aku mengerjap beberapa kali. Ternyata itu Ibu. Fiuh, syukurlah aku sudah bangun dari mimpi buruk itu meskipun dengan cara yang kasar.

"Kamu ini disuruh bangun susah sekali," kata Ibu sambil membawa gayung. Isinya pasti sudah tumpah semua kalau aku tidak bangun-bangun. "Sudah senja, bantu Ibu siapkan makan malam," titahnya.

Aku membaringkan diri di kasur setelah makan malam. Memikirkan banyak kejadian yang aneh akhir-akhir ini. Mimpi-mimpi aneh yang menyerangku beberapa malam terakhir. Penyerangan misterius yang terjadi. Kekuatan aneh ini. Semua seakan kebetulan terjadi setelah Arga mengatakan kalau aku ini ... Reinc.

Aku mencoba kembali memfokuskan pikiran. Membayangkan sesuatu yang malam itu mengejutkanku setengah hidup. Celah yang membelah ruang. Kurasakan satu titik berat di antara kedua alisku. Aku mencoba menggerakkan jari seolah membelah ruang dengan gerak lambat. Kurasakan panas di ujung jariku seperti sensasi terbakar karena tersengat listrik. Perlahan aku melihat sebuah garis hitam seperti celah, tetapi hal itu tidak berlahan lama. Sama seperti sebelumnya, robekan itu perlahan menghilang dan meninggalkan jejak asap putih.

Kepalaku terasa sangat pening. Butuh banyak energi untuk membuat yang seperti tadi. Itu bahkan belum sempurna, tapi rasa lelahnya sudah seperti lari maraton. Tunggu, itu tadi nyata. Bukan halusinasi yang aku kira sebelumnya. Aku merasa sangat bodoh. Aku telah berbohong pada Arga dan yang lebih parah, aku membohongi diriku sendiri. Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku punya kekuatan.

Entah asalnya dari mana, tapi aku benar-benar punya hal di luar dugaan. Kalau Ayah dan Ibu sampai tahu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka. Mungkin aku akan dibakar hidup-hidup seperti cerita-cerita orang dahulu bagaimana mereka memperlakukan wanita-wanita yang dianggap sebagai penyihir.

Setelah ini pasti akan ada orang yang mengatakan 'di mana ada kekuatan besar, di situ ada tanggung jawab yang besar', saat tahu aku punya hal seperti ini. Seperti Arga, dia juga pasti mengemban suatu hal yang besar dengan kemampuan seperti itu. Tunggu, aku baru ingat. Dia sudah mengatakannya. Dia seorang Reinc. Menjaga segel Thiye yang aku bahkan tidak tahu itu ada atau tidak.

Aku masih belum bisa menerima kenyataan kalau aku bisa melakukan itu. Semua terjadi sangat cepat. Beberapa hari lalu aku hanya seorang mahasiswa biasa yang terancam DO, kemudian tanpa disangka dua hari belakangan aku dapat membelah ruang walaupun masih dalam skala yang kecil. Hal-hal gaib berputar di sekelilingku. Padahal aku tidak memercayainya. Namun sekarang, aku dipaksa melakukan itu. Tidak masuk akal.

Aku penasaran, apa reaksi Arga saat mengetahui dia dapat melakukan itu? Apa dia langsung menerimanya? Mengingat sifatnya yang seperti itu, aku yakin dia malah kegirangan. Bukannya mengkhawatirkan soal keselamatannya, dia pasti langsung mencoba dengan antusias seperti anak kecil yang diberi mainan baru. Aku menggeleng sambil mengembuskan napas berat. Kenapa aku malah repot-repot memikirkan orang itu?

Aku harus tidur. Aku tidak mau punya insomnia.

Aku menguap beberapa kali. Sepertinya aku tidur nyenyak sekali. Ibu bahkan bilang aku tidur seperti orang mati. Aku baru bangun pukul sembilan lebih. Untung saja hari ini kuliah masih belum masuk. Aku jadi masih bisa malas-malasan.

"Re, tolong bersihkan halaman," pinta Ibu saat aku baru saja keluar dari kamar mandi.

"Okeeey," jawabku dengan sedikit malas sambil membuat gestur 'O' dengan jempol dan telunjuk.

Daun-daun berserakan sangat banyak. Ada beberapa daun yang berwarna hitam seperti terbakar. Rumah ini pasti terkena ledakan. Entah apa maksudnya.

Kurasakan ada sesuatu yang bergetar di pahaku. Oh, itu ponselku. Ada notifikasi yang masuk. Grup kelas sedang ribut dengan sesuatu. Membacanya saja sudah membuatku jengkel. Kenapa di saat seperti ini harus ada tugas yang menyelinap minta dikerjakan? Tugas pengganti karena beberapa hari tidak masuk, katanya. Aku tidak yakin perpustakaan pusat di kampus sudah dibuka lagi sejak insiden dua hari lalu. Terpaksa aku harus ke warnet sepertinya.

Aku memutuskan untuk pergi setelah makan siang. Sayangnya tidak ada warnet di dekat rumahku. Aku jadi harus pergi ke dekat kampus. Keadaan kota sudah mulai stabil. Jalanan sudah mulai hidup. Angkutan umum sudah mulai beroperasi lagi. Aku jadi tidak perlu merasakan lelah lagi karena harus berjalan kaki. Bangunan-bangunan terlihat sedang diperbaiki. Kerangka-kerangka bambu menghiasi renovasi bangunan.

Aku harus mencari warnet yang sudah buka. Beberapa yang kulewati masih tutup dan yang lainnya masih mengalami perbaikan. Salah satu tempat yang kusinggahi tinggal menyisakan satu tempat yang kosong. Beruntungnya aku. Kira-kira berapa paket yang harus aku ambil? Dua jam? Tiga jam? Ah, sepertinya pake empat jam cukup.

Aku baru ingat kenapa aku tidak suka ke warnet sejak terakhir kali mencobanya. Suara anak-anak yang terdengar keras membuatku sakit telinga. Aku sangat berharap headset yang disediakan berfungsi dengan baik, karena aku sangat tersiksa dengan suara-suara mereka. Pertama kalinya aku harap paket ini cepat habis.

Ironis memang. Aku bahkan menambah paket sampai dua jam. Jadi total keseluruhan waktu yang aku habiskan adalah enam jam. Hebat. Aku bahkan larut dalam duniaku sendiri tanpa memedulikan suara bising di sekitar.

Hari sudah semakin menggelap saat aku selesai dengan tugasku. Untungnya si tugas hanya perlu di kirim lewat e-mail saja. Jadi, aku tidak perlu repot-repot mencetak dan mengumpulkannya esok hari. Harusnya semua tugas seperti ini saja, mengurangi penggunaan kertas yang pada akhirnya hanya akan menumpuk menjadi sampah atau menjadi bungkus gorengan.

Aku menyusuri jalan mencari tempat yang aman untuk menunggu angkutan umum. Aku tidak mau kejadian dengan Akasia terulang lagi. Angkutan yang dari tadi lalu lalang melewatiku penuh semua. Sepertinya ini waktunya pulang kantor. Angin malam mulai menyapaku dengan tidak sopan.

Aku sudah sering merasakan seseorang mengawasiku dari jauh. Yah, setidaknya beberapa hari ke belakang sampai aku tahu kalau itu adalah Akasia yang meminta sesuatu padaku. Hal yang terjadi malam ini tidak jauh berbeda dengan saat itu. Kurasakan hawa seseorang mendekat.

"Permisi, Dek," sapa seseorang dengan suara bass. Aku menengok si pemilik suara. Orang itu memakai jaket hitam panjang dengan kerah turtle neck melindungi lehernya. rambutnya keriting panjang diikat ke belakang. Wajahnya tegas agak menyeramkan. "Apa Adek tahu alamat ini?" tanya orang itu. Seorang pria yang menyeramkan.

Aku melihat alamat yang tertera di secarik kertas yang dia tunjukkan. "Iya, tahu," jawabku ragu-ragu. Aku harus berhati-hati terhadap orang baru, apalagi seperti orang ini. Bukan maksudku untuk berburuk sangka pada seseorang, hanya saja banyak orang yang berpura-pura baik dan memanfaatkan seseorang untuk kepentingannya sendiri. Di zaman sekarang, sulit untuk membedakan mana yang benar-benar baik dan mana yang punya maksud terselubung.

"Bisa tunjukkan jalannya?" pintanya.

"Ma ... maaf, aku harus segera pulang," jawabku agak takut.

"Ah, sayang sekali. Padahal saudaraku sedang sakit. Dia jadi harus menunggu lebih lama karena aku harus berputar-putar dulu," ujarnya menyedihkan. "Kalau begitu, bisa Adek gambarkan saja arahnya?" pintanya lagi yang terdengar seperti paksaan bagiku.

Aku menjelaskan rutenya. Pria itu tampak menyimak dengan kening yang sesekali mengerut. Entah aku yang bicara terlalu cepat atau memang belokannya terlalu banyak. Mulutku yang hampir berbusa ini pun harus berhenti saat pria itu tampak lebih kebingungan.

"Baiklah, aku akan antar," kataku pada akhirnya. Sepertinya aku akan pulang telat malam ini.

"Benarkah?" tanyanya tak percaya. "Aku takut ini akan merepotkan."

Aku menggeleng. "Aku hanya kasihan pada adikmu." Entah apa yang merasukiku sehingga aku bersedia mengantarnya di tengah waktuku yang sempit ini.

Aku menuntunnya melewati beberapa rumah. Tidak ada percakapan yang berarti di antara kami. Suasana begitu hening untuk ukuran senja.

"Adek dengar sesuatu?" tanya pria itu di tengah kesunyian kami.

"Aku tidak mendengar apa pun," jawabku sambil mempertajam pendengaran. Tidak ada suara yang mencurigakan.

"Ayo, lebih cepat," pintanya. Kami melangkah dengan agak cepat. Berusaha menghindari apa pun yang katanya mengikuti kami. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki tambahan di belakang kami. Aku panik. Tanpa disadari aku berlari kecil.

"Lewat sini," perintah si pria.

"Memangnya Bapak tahu mau ke mana?" tanyaku di tengah kepanikan.

"Yang penting kita bisa terhindar dulu dari orang yang mengikuti itu," jawabnya meyakinkan. Kami melangkah dengan cepat. Si pria menuntun kami ke arah yang aku tidak tahu mau ke mana. Aku jadi curiga, jangan-jangan ini hanya akal-akalannya saja.

Kami berbelok melewati beberapa rumah, memasuki gang-gang yang sempit dan berakhir di sebuah lapangan kecil; mendapati suasana di sekitar kami sangat sepi. Kami akhirnya kehilangan si pengejar. Syukurlah. Aku penasaran dengan siapa kami berurusan. Mungkinkah itu Akasia? Tapi dia bilang tidak akan menggangguku lagi walaupun dia berkata tetap akan mengawasiku.

"Nah, sekarang bagaimana?" Aku bertanya setelah napasku mulai stabil. Si pria tidak menjawab. Dia hanya menatapku kosong. "Pak?" Aku mulai merasa takut. Ada yang tidak beres.

"Reinc, waktumu sudah habis," kata si pria dengan nada mengancam. Apa yang terjadi?! Ke mana pria asing yang mencari adiknya yang sedang sakit? Apa dia mengincarku sejak awal? Ini tidak bagus, sama sekali tidak! Harusnya aku mengikuti egoku sejak awal.

"A ... aku bukan Reinc!" Aku benar-benar takut sekarang. Setelah Arga dan Akasia, sekarang pria ini yang bilang seperti itu.

"Tidak perlu berbohong, aku sudah tahu siapa kau yang sebenarnya." Tubuh pria itu perlahan berubah menjadi hitam legam. Matanya menjadi berwarna merah. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin Kalangkang. Aku menggeleng keras, mencari alasan yang masuk akal untuk menjelaskan fenomena di depanku ini.

Lari, Bodoh! Suara di kepalaku tidak ingin menahanku lebih lama di tempat itu dengan mencari alasan yang tidak jelas. Aku berhasil lari dan menghindari bayangan-bayangan serupa tentakel yang tidak tahu dari mana datangnya. Bayangan itu menghancurkan tanah di tempat dia mendarat, membuat cekungan yang dalam dan mengerikan.

Aku benar-benar harus mulai latihan lari sekarang!

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Menghindari setiap bayangan yang diarahkan padaku. Aku berusaha memfokuskan pikiran. Berusaha membuat celah di jalan yang semoga saja bisa membuatnya jatuh. Akan tetapi, tidak ada yang berhasil. Semua yang aku buat hanya berupa robekan-robekan ruang yang kecil. Kutatap wajah pria itu sekilas. Untuk sesaat dia menyunggingkan senyum seakan dia telah memenangkan sesuatu. Mungkin dia tersenyum karena benar bahwa aku seorang Reinc? Tunggu, apa yang baru kupikirkan, aku memang bukan Reinc.

Aku terus berlari. Menuju area gedung-gedung tinggi yang mungkin saja masih ada orang banyak yang bisa dimintai tolong. Di antara gedung yang membentuk gang ini, sulit suaraku untuk terdengar. Saat aku melangkahkan kaki untuk kesekian kalinya, mereka berhenti mendengar komandoku. Kakiku tertahan, lalu sedetik kemudian tubuhku terangkat dengan kasar membuatku menggantung terbalik. Pria itu mengangkatku dengan bayangannya yang panjang. Kepalaku terasa pusing karena melihat sekeliling seperti kelelewar yang sedang tidur.

"Sebelum aku menghabisimu, ada satu pertanyaan yang ingin aku ajukan. Di mana Ficus Benjamina?"

"Mana kutahu!"

"Jawaban yang salah." Pria itu menyeringai, kemudian mengayun-ayunkan tubuhku sebelum melemparkannya dengan kasar.

Bruagh!!

"Akh!" Aku terjatuh sangat keras di atas tanah. Rasanya sangat sakit. Otot-ototku terasa seperti ada yang putus—atau mungkin hanya perasaanku saja. Tulang-tulangku terasa ngilu. Aku takut ada yang patah. Aku berusaha bangkit, tapi tubuhku menolak merespon. Suara geretak tulang terdengar saat aku berusaha menggerakannya. Pria itu tidak langsung menyerangku lagi, seolah dia sedang mencemooh tindakanku yang terkesan sia-sia. Aku melihat sebuah batang kayu yang tergeletak di sisi tembok yang mengapit kami. Kulemparkan batang kayu itu agar mengenainya, tapi seperti yang sudah kuperkirakan, si pria misterius dengan mudah menghancurkan batang itu. Tanpa aku sadari, sebuah tentakel hitam miliknya menghempaskanku dengan keras.

Perutku terasa sakit. Aku terbatuk beberapa kali dan mengeluarkan cairan yang sangat dibutuhkan tubuhku. Sepertinya serangan itu berhasil membuatku mengalami pendarahan di dalam. Tidak, aku salah. Perutku terasa perih, cairan itu terasa keluar dari kulitku.

Pria itu terdengar mendekat. Tentakel bayangannya kembali terulur mencengkram tubuhku. Aku sudah tidak bisa kabur. "Kau gagal membuatku terkesan dengan kemampuanmu. Aku jadi ragu, apa kau memang Reinc atau bukan," ujarnya dengan nada kecewa. Aku saja ragu dengan diriku sendiri. "Tapi auramu tidak mungkin berbohong," lanjutnya lagi.

"Kenapa ... kau ... mengincarku?" Kurasakan tetesan darah keluar dari mulutku.

"Kau masih bisa merespon rupanya. Sepertinya aku masih bisa mengorek informasi dan bermain denganmu." Dia melemparku lagi dengan sangat keras sampai membentur tembok. Dari ketiadaan, aku melihat kumpulan asap yang membentuk sebuah pedang. "Kuulangi pertanyaannya. Di mana pemimpinmu, Reinc. Di mana Ficus Benjamina?"

Kulihat awan di atasku mulai menggulung membentuk awan hujan, seakan ikut bersedih atas kematianku yang tidak lama lagi.

-oOo-

Author's Note

Akhirnya ada sedikit aksi. Semoga menghibur dan tetap menikmati.

Salam literasi!

Diterbitkan: 14-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro