Kehidupan 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum Arga bercerita, kami mengambil tempat yang lebih nyaman. Sebuah bangku semen di bawah kanopi pohon yang rindang menjadi pilihan kami. Suasana sekitar masih suram. Beberapa tim medis dan polisi masih bersiaga. Tinggal menunggu beberapa jurnalis mewawancarai kami yang selamat.

"Nah, sebaiknya aku mulai dari mana?" tanya Arga yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Dia mengusap-usap dagu sambil menutup mata seperti sedang berpikir keras.

"Lanjutkan saja informasi yang akan kamu sampaikan tadi," cetusku tak sabar.

"Yang mana?"

"Yang gempa."

"Oh, benar juga," kata Arga sambil menjentikkan jarinya. "Jadi, kenapa akhir-akhir ini terjadi gempa adalah karena ...." Arga tampak ragu untuk melanjutkan. Seperti biasa, dia selalu menggantung kata-katanya. Dia tertunduk lalu sesekali melirik ke arahku. Sementara aku hanya bisa memberikan tatapan bingung. "... ada hubungannya dengan kebangkitan Thiye." Arga melirikku dari sudut matanya, mungkin memastikan reaksiku.

Merasakan mendapat lampu hijau dariku, Arga melanjutkan. "Segel Thiye melemah, itulah yang menyebabkan berbagai bencana yang ada. Ketakutan, itulah yang menjadi sumber kekuatan Thiye untuk bangkit. Kalangkang yang menyerang kita hanyalah sebagian kecil bala tentaranya yang berhasil dibangkitkan menggunakan kekuatan dari segel yang melemah. Dan cara menghentikannya adalah dengan memperkuat segel yang telah dibuat sebelum bulan purnama datang, karena kalau terlambat semua akan tamat.

"Satu hal lagi yang harus kamu tahu, Re. Aku ... " Dia tampak gelisah dengan pengakuan yang akan dikatakan. "... sebenarnya aku takut mengatakan ini, karena mungkin setelahnya hubungan kita nggak akan seperti dulu."

"Kamu apa?" tanyaku tak sabar.

"Aku ini ... Reinc." Aku tidak menjawab. Arga sepertinya takut-takut dengan jawaban yang akan kuberikan. "Kamu percaya?"

Aku menutup wajah dengan tangan. "Entahlah. Sulit untuk memastikan dengan keadaan yang seperti ini, Ga. Semuanya tampak nggak masuk akal dan sulit ditolak dalam waktu yang bersamaan."

"Jadi, Re. Apa kamu mengakui—" Aku tahu kemana ini akan berakhir.

"Kumohon, Ga."

"Tapi, Re—"

"Aku bahkan nggak punya kekuatan sepertimu, Ga!" bentakku frustrasi. Aku mendengus. "Ga, tolong. Jangan libatkan aku dalam apa pun yang dapat membahayakan hidupku lagi." Aku berdiri, bersiap untuk pergi.

"Re!"

"Tolong, Ga. Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua. Jangan temui aku dulu," kataku sambil berjalan menjauhinya. Saat ini aku mungkin orang yang paling egois di dunia. Meninggalkan sahabatnya dalam keadaan terluka, secara fisik dan mental.

"Sampai kapan kamu mau seperti ini, Re?!" teriak Arga. Aku tidak menghiraukannya dan berjalan terus. Kulirik sekilas Arga yang masih terduduk di tempatnya sambil menumpu wajah dengan kedua tangannya. Aku merasa jadi orang yang jahat hari ini.

Jalanan hari ini sangat berbeda dari biasanya. Suasananya agak lengang. Tidak ada angkutan umum yang lewat, tidak ada kendaraan pribadi yang melintas banyak. Kendaraan yang lalu-lalang didominasi oleh mobil polisi dan ambulans. Aku jadi harus jalan kaki untuk sampai ke rumah.

Keadaan sekitar tidak berbeda dengan di dalam kampus. Asap-asap yang mengepul, bangunan-bangunan yang rusak, bahkan ada bangunan yang masih terbakar lengkap dengan mobil pemadamnya. Jeritan dan tangisan anak-anak terdengar jelas di antara suara sirene. Ratapan orangtua yang kehilangan anak mereka, anak-anak yang jadi yatim piatu. Aku jadi khawatir dengan keadaan Ayah dan Ibu. Mereka bagaimana? aku melangkah lebih cepat, tidak sabar melihat keadaan mereka. Kulihat puing-puing bangunan ketika aku sudah lebih dekat dengan rumah. Kuharap mereka baik-baik saja.

Bagian depan rumahku rusak, memang tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan tetangga sekitar. Dinding depannya berwarna hitam seperti telah terbakar, atap depannya sedikit ambruk, tanaman-tanaman sekitar seperti diinjak dan dibakar. Sementara tetangga sekitar ada yang dinding depannya ambruk sampai memperlihatkan bagian dalamnya. Aku berlari ke dalam untuk memeriksa keadaan.

Bagian dalam tidak terlalu parah, hanya perabotan yang berserakan dan agak rusak. Selebihnya tidak ada kerusakan yang berarti. Aku memanggil Ayah dan Ibu berulang kali, tetapi tidak ada jawaban. Tentu saja, mereka pasti ke rumah sakit. Nah, sekarang mereka ada di rumah sakit mana?

...

Aku berjalan di lorong rumah sakit mencari kamar orangtuaku berada. Aku tahu mereka di rumah sakit ini karena tetanggaku yang kebetulan paramedis memberitahuku saat aku keluar rumah. Orang-orang terlihat sibuk berlalu-lalang membuat keadaan terasa sesak. Para petugas tergesa menolong pasien terluka yang diangkut di atas kasur dan kursi dorong. Aku bahkan harus beberapa kali menghindar karena tidak sengaja hampir tertabrak mereka yang terburu-buru. Banyak dari kamar-kamar yang kulewati terisi sangat penuh.

Ruang Teratai 5. Ruang Teratai 5. Ruang Teratai 5.

Ah! Itu dia! Aku langsung masuk ke kamar yang ditunjuk berdasarkan arahan penerima tamu di lobi. Bau alkohol dan obat-obatan langsung menusuk hidungku. Kamar itu sangat sesak, tidak ada kasur yang terlihat. Ruangan itu disulap menjadi kamar pasien yang bisa menampung sampai sepuluh orang lebih. Aku mengedarkan pandangan, mencari dua sosok yang sangat aku kasihi. Aku memperhatikan semua orang satu per satu. Ada yang kakinya patah dan disangga dengan papan kayu, ada yang diperban sekepala, dan lain sebagainya. Petugas medis pun terlihat masih mengobati luka-luka yang ringan. Aku melihat lebih teliti. Aku menemukan mereka.

Ibu dan Ayahku hanya terluka ringan. Beberapa perban dan plester menempel di tubuh mereka. Syukurlah mereka baik-baik saja. Aku memeluk mereka saking senangnya. Aku tidak bisa membendung rasa senangku sampai tidak terasa air mataku menetes.

"Jangan cengeng, Re," tegur Ayah.

"Maaf," jawabku sambil mengusap air mata. "Kapan kita bisa pulang lagi?"

...

Kami pulang di malam hari. Beruntunglah kami karena kerabat dari luar kota datang menjenguk. Paman dan bibi dari pihak Ibu mengantar kami pulang dengan mobil. Jalanan sangat sepi, persis seperti kota mati yang selalu aku lihat di film-film bertema zombie atau film dokumenter tentang kota-kota yang ditinggalkan karena wabah atau suatu bencana alam.

Paman yang menyetir menanyakan bagaimana keadaanku pada saat tragedi itu terjadi. Aku hanya bisa menjawab kalau saat itu aku sedang akan makan di kantin kemudian bersembunyi di tempat yang aman. Aku tidak mungkin menceritakan bagian di mana Arga membunuh sebagian dari mereka. Euh, 'membunuh', kata yang kurang tepat untuk orang seperti Arga. Ah, aku jadi teringat sahabatku yang kadang menyebalkan itu. Aku terlalu egois. Aku akan minta maaf kalau aku sudah siap.

Keadaan rumah sangat gelap. Listrik tidak menyala, mungkin karena ada gardu yang rusak akibat serangan hari ini. Aku pergi ke dapur mengambil persediaan lilin. Menyalakan beberapa batang untuk masing-masing ruangan, kemudian kembali ke ruang keluarga di mana semua anggota keluarga berada. Aku membersihkan ruang tamu dari pecahan-pecahan kaca dan serpihan tembok serta membuang barang-barang yang sudah rusak. Untunglah hanya sebagian yang rusak, jadi rumah kami masih bisa ditinggali.

"Kami sangat terkejut ketika mendengar berita ada serangan teroris di kota ini," kata Bibi memulai pembicaraan.

"Untunglah kalian baik-baik saja, walaupun ...," Paman menggerak-gerakan tangannya seperti sedang meraba sesuatu, lebih tepatnya menunjuk ke arahku, Ayah dan Ibu.

"Terluka?" tanyaku memastikan.

"Diperban, ya."

Bibi menyikut tangan suaminya. "Tapi yang terpenting kalian baik-baik saja," timpal Bibi.

Sebelum Paman dan Bibi pulang tepat sebelum tengah malam, mereka mengajak kami tinggal bersama untuk sementara sampai keadaan aman. Ibu merasa enggan karena takut dengan penjarah yang mungkin saja berkeliaran memanfaatkan situasi yang sedang tidak kondusif. Aku, sih, setuju-setuju saja, sedangkan Ayah setuju dengan pendapat Ibu. Akhirnya aku berpikir ulang karena tidak enak juga jika tinggal menumpang di rumah orang lain meskipun mereka adalah saudara sendiri. Terlebih lagi aku agak khawatir dengan keselamatan mereka.

"Yah, sayang sekali," komentar Paman. "Kalau kalian berubah pikiran, datang saja langsung ke sana. Jangan sungkan."

...

Aku membersihkan sedikit lagi debu-debu yang berserakan. Keadaan rumah masih belum berubah. Listrik masih belum menyala. Pencahayaan hanya berasal dari lilin yang tidak seberapa. Paling tidak, aku masih dapat melihat dalam keadaan yang remang-remang. Dari jam di ponselku, waktu sudah menunjukkan larut malam. Kami memutuskan untuk tidur tanpa tahu pasti keadaan apa yang akan menanti kami dalam kekacauan ini.

Aku bangun dengan malas. Itu karena aku yakin tidak ada kuliah hari ini. Kekacauan kemarin membuat hampir sebagian kampus rusak. Para mahasiswa banyak yang terluka. Infrastruktur banyak yang lumpuh. Intinya perlu banyak waktu untuk memperbaiki itu semua. Untungnya pagi ini listrik sudah mengalir kembali.

Berita pagi dihiasi dengan insiden teror kemarin. Hampir semua televisi menayangkan hal serupa. Para polisi menyimpulkan bahwa itu adalah serangan teroris. Hal itu dikatakan agar terdengar lebih masuk akal di telinga masyarakat. Aku yakin itu. Akan tetapi, aku tidak sependapat karena tidak mungkin ada teroris yang menyerang dengan makhluk jadi-jadian seperti kemarin kecuali itu terorisme model baru.

Surat kabar tidak menyajikan hal yang aneh selain berita itu. Judul berita yang terpampang di muka menarik perhatianku. Tajuk itu berbunyi 'Penyerangan di Universitas Sang Raja Moksa, Model Baru Terorisme?'. Wah, kampusku masuk koran. Ada hal yang menarik perhatianku saat membaca beberapa paragraf. Di sana disebutkan bahwa ada orang-orang misterius yang membantu memberantas para teroris. Yah, itu cukup menarik. Aku membolak-balikan halaman selanjutnya. Berita pembunuhan, bencana alam, penculikan, korupsi. Masalah yang tidak pernah selesai.

Aku melanjutkan kegiatan bersih-bersih yang belum sempat selesai kemarin. Halaman depan tampak mengerikan. Jelaga hitam tampak di mana-mana. Ini pasti susah dibersihkan, rumput kering hitam meminta dicabuti, bunga-bunga mati menangis minta diganti, para semut meratapi sarang mereka yang hancur. Baik, itu tadi berlebihan. Kesimpulannya, banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan agar rumah ini dapat terlihat lebih layak huni lagi.

"Re! Sarapan dulu!" teriak Ibu dari dalam.

"Iya, sebentar!" Aku menghentikan pekerjaan menyapuku. Untunglah persediaan makanan masih ada. Aku tidak yakin warung terdekat sudah buka semenjak kejadian kemarin.

Aku ke kamar mandi dulu untuk membersihkan diri dari tanah, dilanjutkan dengan bergabung untuk makan bersama. Apa pun makanannya bila disantap bersama akan terasa lebih nikmat. Terlebih lagi bila dengan keluarga. Ya, aku sangat mensyukurinya. Masih dapat berkumpul bersama tidak seperti korban lainnya.

"Re, setelah makan nanti belikan Ayah paku, papan dan engsel, ya?" tanya Ayah di sela-sela makan. Aku mengangguk karena mulut sedang penuh sehingga tidak bisa menjawab.

Jalanan masih sepi. Angkutan umum masih belum banyak beroperasi. Setiap ada yang lewat pasti semuanya penuh. Sepertinya aku kurang beruntung. Tidak ada pilihan lain selain berjalan. Yah, tidak apalah, hitung-hitung memperhatikan perkembangan setelah insiden kemarin.

TUTUP

BUKA KEMBALI DALAM WAKTU YANG TIDAK DAPAT DITENTUKAN

PULANG KAMPUNG

Kakiku yang malang. Sudah tiga toko bangunan yang kudatangi dan semuanya tutup. Aku bahkan harus berputar-putar terlebih dahulu untuk menemukan satu buah toko saja, dan semuanya tutup. Sudah berapa lama aku berputar-putar? Dua jam? Ah, panas. Semoga toko terakhir buka.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya penjaga toko yang sedang beres-beres.

"Aku mau beli paku 5 bungkus, engsel 4 buah dan papan tripleks 1 meter persegi," sahutku.

Penjaga itu terlihat mengambil beberapa barang. "Ah, maaf, kami kehabisan tripleks. Paku tinggal tiga bungkus dan ini, engsel empat buah." Aku mendesah kecewa.

"Berapa semuanya?"

"Seratus ribu," jawabnya. Aku terbelalak.

"Eeeh! Kenapa harganya mahal sekali?!" protesku mendengar harga yang tak masuk akal untuk beberapa barang ukuran kecil.

"Ah, ya, maaf. Persediaan sedang terbatas, sementara permintaan terus meningkat. Jadi, keseimbangan pasar membuat harganya mahal." Penjaga itu menjelaskan tentang teori penawaran dan permintaan. Saat barang tersedia banyak sedangkan permintaan sedikit, maka harga turun. Saat barang tersedia sedikit, sedangkan permintaan naik, maka harga melonjak. Aku bahkan tidak menyangka akan menemuinya di sini. Itu tidak masuk akal.

Aku membawa semua pesanan Ayah pulang. Masih tidak ada angkutan umum yang membolehkanku naik karena semuanya penuh. Aku terpaksa membawa kaki ini berjalan lagi melewati panasnya siang hari. Ah, sialnya.

"Lama sekali, Re?" tanya Ibu yang terdengar lebih seperti pernyataan.

"Tokonya banyak yang tutup." Aku melewati Ibu yang sedang menyapu. Mencari Ayah untuk memberikan pesanan lalu berniat langsung istirahat.

"Ah, Re. Tadi Ayah lupa sesuatu," kata Ayah saat menerima pesanannya.

"Ayaaah ...." Aku ingin protes. Aku memasang tampang cemberut agar beliau mengerti.

"Iya, iya. Ayah bercanda." Aku mendengus. Bergegas ke kamar kemudian menjatuhkan diri di kasur.

-oOo-

Hai Pembaca! Sayangnya bagian ini tidak ada aksi-aksi mengejutkannya. Semoga tetap menghibur.

Salam literasi!

Diterbitkan: 10-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro