Kehidupan 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ga! Arga! Bangun!" Aku mengguncang-guncang tubuh Arga yang masih tergeletak di tempat parkir. Wajahnya pucat dan suhu tubuhnya hangat. Sepertinya dia memang sakit, tapi anehnya beberapa saat yang lalu dia kelihatan sehat. Memang, sih, tingkahnya sedikit aneh sejak pagi.

Aku berusaha mengangkat tubuhnya. Ya, Tuhan, dia berat sekali. Aku tidak bisa mengangkat apalagi menggendongnya ke unit kesehatan. Seandainya aku juga punya tubuh atletis penuh otot sempurna seperti dirinya. Aku menamparnya beberapa kali agar dia segera sadar. Arga mengerang kesakitan, lalu menunjukkan raut wajahnya yang agak pucat.

"Aw ... sakit, Re," katanya sambil memegang pipi yang sedikit kemerahan.

"Kamu bisa jalan?" tanyaku sambil berusaha mengangkat tubuhnya. Arga mencoba bangkit walaupun harus menumpu pada tubuhku.

Kukalungkan sebelah tangan Arga pada leherku. Berniat memapahnya sampai ruang kesehatan. Langkah kami cukup pelan karena aku tidak terlalu kuat mengiringinya. Aku bahkan kewalahan saat harus menaiki tangga dari tempat parkir.

Beberapa orang mahasiswa sudah ada yang berdatangan. "Teo!" panggilku pada seorang laki-laki berkacamata yang baru turun dari motor matic-nya. "Tolong, dong," pintaku sambil mengarahkan wajah pada Arga.

"Loh, Re. Arga kenapa?" tanya Teo seraya membantu memapah Arga.

"Nggak tahu. Dia tiba-tiba jadi begini setelah gempa," jawabku khawatir. Teo tidak bertanya lebih jauh. Dia membantuku sampai ruang kesehatan lalu pergi karena kelas paginya akan segera dimulai.

Ruang kesehatan baru saja dibuka. Seorang penjaga terlihat telah membuka gemboknya dan seorang perawat baru masuk ke ruangan. Aku memapah Arga sampai ke dalam. Membaringkannya di tempat tidur lalu meminta perawat itu memeriksa sahabatku ini. Aku menunggu Arga dicek keadaannya. Harap-harap cemas dengan apa yang akan disampaikan.

"Dia cuma kelelahan. Istirahat sebentar pasti akan segera sembuh," jelas perawat itu. Aku belum bisa bernapas lega. Kutatap Arga yang sudah tertidur dengan lelap. "Kamu memangnya tidak ada kelas hari ini?" tanya perawat itu memecah lamunanku.

"A ... ada," jawabku yang ragu meninggalkan Arga sendirian. Aku pergi ke kelas dengan perasaan cemas. Dia akan baik-baik saja.

Di kelas, penjelasan dosen yang mulutnya sudah seperti akan berbusa-busa hanya bagai angin lalu bagiku. Aku sulit fokus. Beberapa kali aku melamun dan ditegur oleh teman sebelah. Katanya aku seperti orang yang baru putus cinta atau ditinggal selingkuh. Bagaimana aku bisa merasakan itu semua. Aku saja tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta.

"Aku ... cuma khawatir pada Arga," bisikku agar tidak terdengar oleh dosen.

"Jadi, kalian benar pacaran?" tanya temanku yang seketika membuatku tersentak.

"Nggaklah!" balasku setengah berteriak. Tanpa sadar aku menutup mulutku dengan tangan. Semua tatapan tertuju padaku. Sial.

"Yang di belakang kalau tidak bisa diam silakan keluar," ancam dosen di depan kami.

"Ma ... maaf, Pak." Aku melirik pada temanku ini, Arin, dengan tatapan yang mengisyaratkan 'ini semua salahmu'. Aku menanggapinya lagi dengan berbisik. "Dapat gosip dari mana?" tuduhku tidak senang digosipkan yang tidak-tidak.

"Kalian terlihat sangat dekat, jadi 'gak heran kalau banyak cerita tentang kalian. Dan lagi, kamu suka diantar jemput oleh Arga—"

"Aku nggak pernah meminta Arga untuk mengantar jemputku." Aku memberikan klarifikasi. "Dia yang selalu menempel padaku. Satu hal lagi yang penting: Arga sahabatku dan kami nggak pacaran."

"Padahal kalian kelihatan cocok," kata Arin dengan raut wajah kecewa yang pastinya dibuat-buat. Aku mendengus sebagai respon. "Kalian sama-sama tampan," godanya sambil menaik-naikan kedua alisnya. Aku berjengit. What The Heaven?!

Aku buru-buru menelpon Arga setelah kelas usai. Untunglah dia cepat merespon. Sahabatku ini bilang dia masih di ruang kesehatan. Demamnya sudah mereda dan pusingnya sudah hilang. Akan tetapi, dia masih ingin malas-malasan katanya. Menikmati waktu tanpa pusing memikirkan ini-itu. Dasar, orang lain ingin sehat dia malah menikmati waktu sakitnya.

"Arga!" panggilku dari ambang pintu ruang kesehatan.

"Ssst," kata perawat di meja kerjanya.

"Maaf, Sus." Aku mengedarkan pandangan. Di salah satu kasur dekat jendela, terlihat Arga sedang asyik berselimut ria sambil memainkan ponselnya.

Arga tersenyum jail saat melihatku menghampirinya. "Hai, Re ...," sapanya sembari melambaikan tangan. Sungguh, aku ingin menamparnya saat ini juga. Aku mengangkat tangan sambil memperlihatkan tatapan membunuh—setidaknya itu yang kupikrkan. Arga menunjukkan ekspresi ketakutan. Niatku sebenarnya ingin menamparnya dengan keras, tapi kemudian dengan refleks aku mengalungkan kedua tangan di lehernya.

Arga menepuk-nepuk punggungku. "Kamu ternyata sangat khawatir padaku, ya?" Sialan. Kepalang tanggung, aku pun memeluknya lebih erat. "Akh! Re, sakit! Aku ... nggak bisa ... napas." Ha ha, rasakan. Aku melepaskan 'cekikan'ku. "Re, kamu kejam," komentarnya sambil mengusap-usap leher.

"Kamu masih betah di sini?" tanyaku sinis sambil memicingkan mata.

"Aku inginnya masih lama-lama di sini, sih. Tapi, kamunya sudah jemput, ya sudah," kata Arga sambil melipat selimut yang telah dia pakai. Aku menghela napas berat. Dia seperti yang ogah-ogahan untuk keluar dari sini. Bagaimana tidak, dia melipat selimutnya seperti aku sedang menonton slow motion.

Kesabaranku mulai habis. "Ayo!" Aku menyeret Arga dengan paksa.

"Eh, eh, Re, tunggu," ujarnya yang berusaha mengambil tas di samping ranjang yang baru dia pakai. Aku menyeretnya lagi. "Terima kasih perawatannya, Sus!" ucap Arga di ambang pintu.

"Kenapa kamu tiba-tiba sakit? Padahal sebelumnya kelihatan sehat-sehat saja," tanyaku penasaran dengan kondisi tubuh Arga yang bisa tiba-tiba drop.

"Ah, ya, itu ...." Arga menggaruk-garuk sebelah pipinya, matanya melihat ke arah lain. Terlihat sekali mencari-cari alasan.

"Dan kamu juga meracau," tambahku.

"Meracau?" tanyanya heran sampai keningnya mengkerut.

"Kamu bilang 'ia akan bangkit' atau sesuatu seperti itu." Kulihat ekspresinya berubah menjadi serius.

"Kamu nggak akan percaya kalau aku ceritakan juga," katanya dengan nada sedih.

"Memangnya kenapa?"

"Thiye," jawab Arga singkat.

"Oh." Kemudian hening. Perjalanan ke kantin diwarnai dengan kami yang bergelut dengan pikiran masing-masing.

Arga menghentikan langkahnya. Tangannya memegang bahuku, memaksaku berhenti melangkah juga. "Kenapa, Ga?" tanyaku seraya menoleh.

"Tolong, untuk kali ini saja kamu percaya padaku," mohonnya.

Aku mengerling. "Jika ini menyangkut prinsipku, maaf aku nggak bisa."

"Re, kamu tahu kenapa akhir-akhir ini sering terjadi gempa?"

Aku mengangkat bahu. "Kenapa?"

"Itu karena—"

Sebuah ledakan di kejauhan terdengar sampai ke tempat kami, memotong informasi penting yang akan Arga sampaikan. Tak lama kemudian disusul sebuah getaran yang cukup besar seperti gempa yang berlangsung beberapa detik. Asap hitam terlihat mengepul sampai ke atas. Teriakan terdengar dari arah ledakan berasal.

"Apa yang terjadi?!" Aku berteriak panik. Kami berlari ke tempat yang lebih aman, menghindari bangunan yang takut akan runtuh setelah guncangan sebelumnya.

Arga terlihat memandang ke atas, ke arah asap yang mengepul. Matanya menyipit kemudian membulat seketika. "Lari!!!" pekiknya seraya menarik tanganku paksa. Aku ikut berlari meskipun tidak yakin apa yang terjadi. Beberapa orang juga refleks menyelamatkan diri dari sesuatu. Apa itu teroris? Di antara mereka ada yang berteriak—

"Monster!!" Seperti itu. Tunggu, apa?! Aku melirik ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi. Sekumpulan makhluk hitam seperti bayangan mengejar kami. Aku menahan napas. Mataku membulat. Mereka persis seperti dalam mimpiku.

"Apa itu?!"

"Itu Kalangkang!" jawab Arga. Tidak mungkin makhluk yang sering Arga ceritakan itu nyata. Ini tidak masuk akal. Mereka hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak. Tapi ini lebih tidak masuk akal kalau itu pekerjaan teroris. Maksudku, teroris mana yang menyerang menggunakan binatang-binatang buas?! Sebuah ledakan mungkin bisa menjadi sebuah peringatan. Binatang buas yang lepas? Itu beda cerita.

Beberapa tembakan meletus di udara. Akhirnya aparat kepolisian diturunkan untuk mengamankan keadaan, tapi tidak dengan keadaan kami. Beberapa monster atau yang Arga sebut sebagai Kalangkang masih mengejar kami. Aku dan Arga berlari ke daerah yang banyak pepohonan di area pinggiran kampus, meninggalkan orang-orang terluka karena cakaran dan cabikan.

"Kita mau ke mana?" tanyaku dengan napas tersengal-sengal.

"Tenang saja, kita akan menghadapinya," jawab Arga diiringi senyum tanpa memedulikan pertanyaanku.

"Kamu gila ya?"

"Mungkin."

Lariku mulai melambat. Sial. Aku kelelahan terus berlari. Akhir-akhir ini aku sering melakukan ini. Kalau begini terus, aku mungkin bisa jadi atlet lari profesional. Ah, kakiku sudah mencapai batas.

Buagh!

"Re!" teriak Arga melihat keadaanku. Seseorang atau mungkin sesuatu memukul punggungku sampai aku jatuh terjerembab. Kurasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Belum sempat aku sadar dengan keadaan, sesuatu dengan bayangan besar berhasil menutupi jalannya sinar matahari dariku. Sesuatu itu berbentuk seperti anjing yang sangat besar, dengan taring yang mencuat dan air liur yang menetes-netes. Matanya merah menyala, dan kukunya setajam taringnya. Keseluruhan tubuhnya berwarna hitam legam. Makhluk itu mengangkat kaki depannya, siap untuk mencabikku seperti makan malam. Aku menutup mata.

Tidak ada yang terjadi. Aku tidak merasakan apa-apa. "Re, cepat bangun!" perintah Arga. Ketika aku membuka mata, Arga sudah ada di depanku menahan serangan makhluk itu. Dia menahan si kalangkang dengan dua buah belati yang bilahnya agak melengkung. Dari mana dia mendapatkan senjata itu? Dan sejak kapan Arga bisa bertarung?

"Re!" Teriakan Arga seketika membuyarkan lamunanku. Aku berdiri dengan tertatih. Mencari tempat persembunyian. Kulihat sahabatku itu mendorong kalangkang dengan belatinya kemudian menendang dengan sekuat tenaga sampai terjengkang. Satu tebasan menyilang dari senjatanya dan makhluk itu pun berubah menjadi asap.

Satu kalangkang yang lenyap tidak bisa membuatku bernapas lega. Aku bahkan tidak bisa terus berdiam diri karena seekor makhluk itu datang menghampiri. Dia bergerak cepat dengan keempat kakinya. Kaki depannya terulur ke depan. Aku refleks menghindar ke samping membiarkan kukunya menancap pada batang pohon. Aku harus cari senjata! Aku melihat sekeliling. Sial! Tidak ada yang terpikirkan untuk menjadi senjata.

Si kalangkang yang aku hadapi berhasil menghancurkan pohon yang tak sengaja diserangnya. Aku bergidik, bagaimana kalau kuku itu berhasil mengoyak tubuhku? Jangan sampai terjadi. Makhluk itu menggeram marah. Mata merahnya menyala, taring-taringnya mengilap. Aku mundur perlahan. Kalangkang itu menerjang, aku berguling ke samping menghindari serangan kukunya yang serupa pedang. Terlambat satu detik aku bisa jadi makan malamnya.

Aku bersembunyi untuk sementara di balik sebuah pohon beringin yang cukup besar. Tanpa sengaja aku menginjak sesuatu yang keras dan berbentuk silinder. Batang kayu! Cukup sebagai pertahanan. Benda itu lumayan besar dan cukup berat. Belum sempat aku kegirangan, sebuah desiran angin aneh mengusap tengkukku. Suara geraman menyertainya.

Makhluk itu belum puas mengejarku. Satu serangan darinya dan aku bisa bertahan. Namun, tenagaku tidak cukup kuat untuk menahan serangan itu terlalu lama. Batang kayu itu mulai bersuara dan akhirnya patah. Aku terjengkang. Makhluk itu menghempaskanku sampai menabrak seseorang.

"Aww." Aku meringis. Rasanya sangat sakit. Sepertinya aku mendarat di punggung seseorang.

"Re. Tolong menyingkir dariku," kata orang yang kutindih dengan suara tertahan. Oh, itu Arga. Sepertinya dia jatuh dengan wajah mencium tanah. Aku bangkit dan menolongnya bangun. Keadaan Arga tidak lebih baik dariku. Kulihat wajahnya penuh luka disertai tanah yang menghiasi. Ada darah yang mengalir dari pelipisnya. Bibir bawahnya sedikit robek. Tangannya memiliki beberapa luka sayat yang kecil.

Keadaan pasti bisa lebih buruk dari ini, tapi aku tidak mengharapkan itu. Aku dan Arga saling memunggungi. Kami terkepung. Empat ekor kalangkang siap membunuh kami.

"Bersiap, Re," kata Arga tenang. Siap apa? Siap mati? aku tidak mau mati dulu. Aku memasang kuda-kuda yang kutahu, meskipun tidak jago bela diri. Aku mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya sedada, bersiap memukul walaupun tidak yakin dengan efeknya.

Kurasakan Arga bergerak membuka tangannya, lalu sesuatu terjadi. Aku terjatuh dengan menumpu pada lutut. Tubuhku terasa lebih berat seperti sesuatu menarikku secara paksa. Gravitasi seolah bertambah berkali-kali lipat. Kalangkang di sekitar kami pun seperti merasakan hal yang sama denganku. Akan tetapi, saat kulihat Arga, dia seperti tidak merasakan apa yang kurasakan.

"Apa ini?!" pekikku meminta penjelasan. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin anomali seperti ini hanya terjadi dalam radius tertentu? Terlalu banyak hal tak masuk akal terjadi bersamaan.

"Bertahan, Re."

Arga melompat kemudian menyerang kalangkang-kalangkang itu dengan cepat. Langkahnya seolah lebih ringan, berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan. Makhluk-makhluk itu berusaha memberontak, tetapi gaya tarik yang kuat membuat mereka tak bisa bergerak. Aku hanya bisa menjadi penonton yang mengagumi setiap gerakan Arga.

Satu tebasan di tubuh, kalangkang itu tumbang. Dua tebasan di leher, dia lenyap. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya mereka semua habis dan hanya menyisakan jejak serupa asap hitam yang perlahan menipis di udara. Keadaan di sekitarku mulai kembali normal. Aku sudah tidak merasakan tarikan gravitasi yang berlebihan seperti tadi, tapi tubuhku masih lemas.

Arga mendekatiku. Belati yang dipakainya mengecil dan berubah menjadi hiasan gelang yang selalu dipakainya. Ternyata itu ada gunanya. "Re, bertahanlah," ujar Arga sambil membantuku berdiri.

Kami keluar dari area yang banyak pepohonan rimbunnya. Area di sekitar tampak hancur. Kaca jendela banyak yang pecah, bangunan-bangunan retak, asap membumbung. Para polisi dan tim medis terlihat di sana-sini. Mereka membantu orang-orang yang terluka. Garis polisi membentang di beberapa tempat.

Kami mendekati salah satu paramedis untuk meminta pengobatan. Arga sesekali merintih saat alkohol dan obat merah disapukan di atas lukanya. Perban melilit tangan dan kepalanya. Tidak ada bedanya dengan Arga, aku juga dililit perban, hanya saja tidak sebanyak dia.

"Kamu berutang banyak penjelasan padaku," kataku sambil melihat ke depan, ke arah orang-orang yang sedang ditolong.

"Mungkin," jawab Arga.

"Memang," ralatku.

"Sebaiknya kamu bicara sekarang."

-oOo-

Author's Note

Semoga aksi yang disuguhkan menghibur sebagai aksi-aksi pembuka lainnya.

Salam literasi!

Diterbitkan: 7-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro