Kehidupan 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mimpi tidak pernah terasa senyata ini. Apa ini yang dinamkan lucid dream? Aku bahkan tidak yakin apakah aku sedang bermimpi atau terlempar ke dunia lain. Semuanya tampak nyata. Baunya, sensasi sentuhannya, suaranya. Jika ini memang mimpi, ini terlalu nyata. Namun, saat aku ingin bertindak dalam mimpiku sendiri, aku tidak bisa. Seolah aku ini hanyalah penonton dalam cerita yang diperankan olehku sendiri. Apa ini wajar? Tidak, ini tidak wajar. Aku yakin tidak.

Aku memakai pakaian seperti pada zaman kuno. Baju berwarna putih berlengan panjang, celana berwarna cokelat dan memakai sepatu kulit selutut dengan warna yang senada. Sebuah golok tersarung di sabuk sebelah kiriku. Setumpuk kayu bakar bertengger di bahu dengan manisnya. Di samping kanan, seorang gadis yang tingginya hanya sebahuku menggenggam tanganku dengan erat. Ia memakai gaun sederhana selutut berwarna merah dengan renda di lengannya. Tangan kanannya membawa sekeranjang penuh bunga berwarna-warni. Ia terlihat sangat senang. Hal terpenting tentangnya adalah ... ia adikku.

Kami keluar dari hutan setelah keperluan mencari kayu bakar untuk dijual dan keperluan dapur selesai. Jalan yang kami lalui masih berupa jalan bertanah tanpa paving block, batu-batuan apalagi aspal. Pohon-pohon besar masih terlihat banyak menghiasi pinggiran jalan. Rumah-rumah yang kulalui masih terbuat dari kayu-kayu dan atap dari bagian tumbuhan berupa ijuk, jika aku tidak salah kira.

Saat itu masih pagi sekali. Orang-orang baru keluar dari rumahnya untuk beraktivitas. Ada yang membersihkan halaman, menimba air di sumur, pergi berbelanja dengan kantong yang besar, dan kegiatan lainnya. Beberapa orang ada yang menyapaku dengan ramah, membeli kayu bakar yang aku bawa dan memberikan makanan kecil untuk adikku. Semua orang seperti sudah mengenaliku dengan baik. Kemudian tujuan akhir kami, rumah kecil di pinggiran desa dengan seorang wanita paruh baya yang sedang menyapu halaman. Ia tersenyum melihat kedatangan kami. Mencium kening adikku dengan lembut lalu mengajak kami masuk untuk sarapan bersama.

Aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana aku bisa mengetahui itu semua. Semua hal itu mengalir begitu saja seolah informasi itu sudah menjadi bagian dari diriku.

Kemudian mimpiku berganti dengan cepat ke suatu waktu yang lain seperti kilas balik.

Suasana tempat ini sangat mengerikan. Desaku terbakar. Orang-orang berlarian panik. Para prajurit kerajaan berusaha mati-matian melindungi para penduduk. Makhluk-makhluk berwarna hitam datang dari segala arah. Mereka semua mencabik, mencakar, menerkam, menebas, menikam. Mereka semua membunuh tanpa ampun.

Aku berlari bersama ibu dan adikku. Kami semua berpegangan tangan, takut terpisah dan menjadi korban. Sesekali kami menabrak orang lain yang juga menyelamatkan diri. Api berkobar di sekitar kami. Teriakan pilu saling bersahutan. Raungan dan geraman menjadi latar suara yang mengerikan. Aku melihat seseorang jatuh tersungkur. Dia berusaha bangkit, tapi makhluk hitam besar seperti serigala dengan mata merah berhasil menerkamnya lebih dahulu. Aku menahan napas karena pemandangan di depanku. Bisa saja aku yang jadi korban selanjutnya bila adikku tidak menarik paksa tanganku.

Kami berlari tanpa tujuan pasti. Adikku jatuh terjerembab karena tertabrak orang lain. Aku dapat mendengar suara langkah kaki yang berat di belakang yang aku yakini bukan suara manusia. Kami dalam kondisi yang sangat berbahaya. Beberapa orang prajurit datang untuk menolong kami dan menghadang makhluk hitam di belakangku. Makhluk itu hitam legam dan menyerupai manusia. Kedua tangannya memegang senjata serupa pedang. Setiap langkah yang dia ambil seolah dapat mengguncangkan tanah di sekitar kami.

Prajurit yang menolong kami berjumlah dua orang. Mereka menyuruh kami untuk pergi, tetap kami tidak bisa. Kami semua terkepung. Mau tidak mau, aku pun ikut mengangkat senjata. Dengan golok kecil yang selalu kupakai untuk memotong kayu bakar di tanganku, aku memberanikan diri untuk melindungi keluargaku. Aku mengayunkan golok itu secara sembarangan tanpa teknik yang tepat. Makhluk-makhluk itu terluka dan dari bekas lukanya keluar berupa asap hitam yang pekat. Mereka semua tidak langsung tumbang. Aku tidak tahu bagaimana cara mengalahkan mereka. Mereka kebal.

Aku mengayunkan lagi senjataku dengan brutal sampai sebuah celah dapat terlihat untuk kami kabur. Para prajurit itu berteriak menyuruh kami untuk lari, sementara mereka berusaha untuk menahan para makhluk itu sekuat tenaga. Akan tetapi, saat kami akan melarikan diri, makhluk-makhluk itu berhasil menumbangkan prajurit yang berusaha menolong itu. Sebuah pedang terlihat menembus dadanya. Dengan satu gerakan cepat, makhluk hitam itu menebasnya menjadi dua. Darah terciprat ke mana-mana membasahi tanah dan pakaian kami. Adikku berteriak histeris, menangis melihat keadaan di sekitarnya.

Celah yang kubuat menjadi sia-sia. Tidak ada jalan keluar sama sekali. Kami terkepung lagi. Adikku berteriak karena salah satu makhluk hitam itu mulai mendekatinya. Aku buru-buru menghadang makhluk itu. Beberapa ekor berhasil aku tumbangkan, tapi mereka bangkit lagi. Kami dalam keadaan terdesak. Aku berusaha lagi melawan mereka, tapi saat aku akan mengayun senjata, salah satu dari mereka berhasil menangkis dan melemparkan senjataku. Ini tidak bagus, aku tidak bisa melawan mereka dengan tangan kosong. Tanpa jeda waktu untuk berpikir bagaimana cara melawan balik, satu cakaran tajam berhasil mengenai dadaku. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perih di dadaku semakin terasa. Darah merembes membasahi pakaianku. Belum sempat aku bangkit, sebuah kaki menginjak dadaku. Sebuah pedang teracung siap menghabisiku. Pedang itu melesat cepat menuju tubuhku yang mulai lemas. Lalu semuanya berwarna putih.

Aku tersentak sampai terbangun. Keringat dingin terasa mengalir deras di wajahku. Napasku tidak stabil. Tanganku gemetar. Aku meraba dadaku yang terasa agak sesak. Rasa sakit di dadaku itu tidak benar-benar ada. Apa itu tadi? Mimpi itu terasa sangat nyata. Setiap detailnya, setiap sensasinya. Itu membuatku merinding. Aku bisa saja benar-benar mati karena serangan jantung.

Di tengah remangnya cahaya kamar, aku mencoba untuk melihat jam di ponselku. Pukul 2:30 pagi, masih lama sampai sinar matahari datang. Aku menyalakan lampu kamar, mengambil alat tulis dan kertas lalu menulis apa pun yang aku ingat sebelum aku bangun dengan dramatis.

Orang-orang berwarna hitam.

Peperangan.

Darah yang terciprat.

Wajah panik.

Cahaya terang yang menyilaukan.

Tanganku gemetar setiap mengingatnya. Rasa pedih menusuk jantungku. Rasanya aku ingin menangis. Kupeluk kedua kakiku. Kubenamkan wajahku pada lutut. Kutenangkan pikiran yang bergejolak. Tapi tubuhku tidak mau berhenti bergetar. Aku takut.

Aku ingin kembali tidur, tapi aku terlalu takut. Takut jika mimpi itu datang lagi. Takut bila akan datang rasa sakit yang lebih banyak. Setiap aku mengingat mimpi itu, rasa sakit kehilangan datang menjalar. Rasa pedih datang menyerang. Padahal itu hanya mimpi, tapi perasaan akan tempat itu terasa sangat familier. Aku seperti sudah mengenal tempat itu sangat lama. Tempat itu seolah nyata dan aku menjadi bagian darinya.

Aku kembali menuliskan seluruh rangkaian peristiwa yang kuingat, karena biasanya mimpi akan cepat terlupakan ketika bangun. Aku sudah bisa menguasai diriku sendiri. Napasku mulai stabil. Tanganku sudah berhenti bergetar. Namun, perasaan sakit itu belum juga hilang.

Aku duduk bersandar pada tembok sambil memegang kertas dan pensil. Merenungkan apa yang aku alami. Apa mimpi itu ada artinya? Atau hanya sekadar bunga tidur biasa? Tidak pernah aku mengalami mimpi yang senyata itu sebelumnya. Jika mimpi itu ada artinya, lalu apa maksudnya?

Semua pikiran-pikiran itu membuatku pusing. Beberapa kali aku menguap karena kekurangan oksigen. Sepertinya aku butuh tidur lagi karena tidak terasa mata ini sangat lelah untuk diajak terus terbuka. Apa baik kalau aku kembali tidur?

Aku membaringkan tubuh. Menatap lampu neon yang terang berwarna putih. Mengingatkanku pada cahaya terang dalam mimpiku tepat sebelum aku terbangun. Seperti pada zaman kuno. Mungkin akan seru jika bisa kembali ke masa lalu dan melihat beberapa kejadian secara langsung. Melihat kebenaran sendiri daripada dari asal-usul yang belum jelas kebenarannya. Aku terkekeh sendiri memikirkannya.

Aku meraba-raba udara seolah sedang menulis. Membayangkan sebuah portal yang dapat membawaku ke suatu tempat dan waktu yang lain, jauh dari kehidupanku yang sekarang.

Saat aku sedang asyik membayangkan hayalanku, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip seperti terganggu sesuatu.

Aku ternganga. "Apa yang—" Aku terkejut bukan main sampai agak melompat. Bukan, bukan karena lampu atau pun karena ada hantu yang tiba-tiba muncul, tapi hal yang mengejutkan lainnya. Ada sebuah garis tak beraturan yang melayang di udara. Ukurannya kecil, kira-kira sepuluh sentimeter, tapi tetap saja tak masuk akal. Aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, tapi garis itu berbentuk seperti retakan di dinding dengan dalamnya yang berwarna hitam seperti ada lubang. Membentuk semacam celah. Anggap seperti itu, bedanya retakan ini membelah ruang. Membelah udara kosong. Dari ujung retakan itu, muncul asap tipis putih yang membuatnya perlahan mengecil kemudian menghilang.

"Ini tidak masuk akal." Aku menggeleng sambil menumpu wajah. Ini adalah pertama kalinya bagiku.

Aku mencoba kembali membuat hal serupa, tapi hasilnya nihil. Pasti cuma kebetulan atau hanya halusinasiku karena kurang tidur. Aku mencoba melihat jam lagi. Pukul 03:30 pagi. Mungkin aku sebaiknya tidur sebentar, tidak peduli dengan mimpi apa yang akan menyerang.

Aku terbangun karena suara alarm yang terus menerus berbunyi. Tidak ada mimpi yang menyerang. Untunglah. Namun, tetap saja ini pagi yang melelahkan. Aku melenggang dengan malas. Rasanya hari ini ingin bolos saja, tapi itu sama saja dengan menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan.

"Re, kamu kenapa tadi malam?" tanya Ibu yang sedang menyiapkan sarapan.

Langkahku ke kamar mandi terhenti seketika. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik bertanya karena bingung.

"Ibu mendengar kamu teriak," jawab Ibu agak khawatir.

Teriakan? Memangnya aku teriak, ya? Apa aku tidak sadar berteriak saat bangun dari mimpi buruk itu?

"A ... aku mimpi buruk," jawabku ragu. Aku tidak yakin itu jawaban yang memuaskan Ibu mau pun aku.

"Lain kali berdoa dulu sebelum tidur," komentar Ibu. "Mau sarapan dulu atau mandi dulu?" tanyanya lagi.

"Mandi," jawabku singkat.

"Ya sudah, cepat, nanti Arga keburu datang." Aku mengangguk, lalu kembali ke tujuan awal.

Arga termenung di atas motornya dengan tangan menumpu dagu. Pandangannya lurus ke depan. Raut wajahnya terlihat serius memikirkan sesuatu. Bukan tipenya yang tidak biasa berpikir keras.

"Ehem." Aku berdeham membuyarkan lamunannya.

"Oh, Re." Arga terlihat canggung tidak seperti biasanya yang banyak tingkah. Aku menatapnya meminta penjelasan dengan sikapnya yang tidak biasa itu. "Aku ... mau minta maaf," katanya seraya tertunduk.

"Oh," tanggapku singkat. Aku mengambil helm yang dari tadi disodorkannya lalu mengambil posisi duduk. "Tunggu apa lagi?" tanyaku telah siap berangkat. Arga memakai helmnya kemudian meluncur menuju kampus.

Keheningan menemani perjalanan kami. Aku tidak berniat memulai percakapan terlebih dulu dan Arga juga sepertinya masih ragu berbicara karena sikapku tadi. Akan tetapi, aku jadi penasaran dengan apa yang dipikirkannya tadi.

"Hei," panggilku yang akhirnya mengalah pada keadaan.

"Hm?" jawab Arga seperti biasa.

"Aku memaafkanmu." Arga terlihat tersenyum samar.

"Terima kasih," jawab Arga pelan.

Jalanan hari ini bisa dikatakan sangat lancar. Kami tiba di kampus bahkan kurang dari sepuluh menit perjalanan. Suasana begitu sepi seperti tidak ada kehidupan.

"Ga—" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, keadaan sudah memotongnya. Tanah di sekitar kami bergetar. Bangunan-bangunan seakan condong. Aku dan Arga berlari ke area yang lebih luas menghindari pohon-pohon yang bisa saja tumbang kapan pun. Berjongkok agar lebih stabil. Menunggu sampai keadaan cukup normal kembali.

Getaran itu tidak bertahan lama. Hanya berlangsung selama beberapa detik. Mungkin kurang dari sepuluh detik. Aku kembali berdiri. Melihat keadaan yang sudah kembali normal.

"Aku heran kenapa akhir-akhir ini banyak sekali gempa yang terjadi," gumamku yang lebih ditujukan pada diri sendiri. Aku melihat Arga yang masih tertunduk sambil memegang kepala. Wajahnya masih terlihat panik. "Ga, kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil menyentuh pundaknya.

"Ia ... akan segera bangkit," katanya lirih, napasnya tidak stabil. Bangkit? Apa maksudnya? "Aku bisa merasakannya ...." Arga mulai meracau. Apa dia sakit?

"Ga!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Arga!" Dia mendongak. Aku menatap iris matanya yang berwarna cokelat. "Ayo ke kelas."

Arga tampak tidak baik-baik saja. Sesekali dia memegang kepala kemudian meringis. "Kamu kelihatan pucat. Yakin tetap mau masuk?" tanyaku khawatir. Dia mengangguk pelan sambil memperlihatkan senyuman yang dipaksakan.

Arga memelankan langkahnya. Aku tidak sadar dia di belakang sampai suara jatuh yang sangat keras terdengar. "Arga!" pekikku melihatnya sudah mencium tanah.

-oOo-

Author's Note

Saya berencana akan membuat beberapa ilustrasi sederahana dari beberapa tokoh yang sekiranya punya peran penting. Ada yang penasaran?

Semoga bagian ini dapat menghibur.

Salam Literasi!

Diterbitkan: 3-5-2019

-Bermainlah sejauh mungkin di duniamu, tetapi jangan lupa dari mana kau berasal-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro