Kehidupan 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekujur tubuhku rasanya sangat sakit. Aku terbangun di sebuah kamar yang agak luas. Dengan tanpa pakaian atas, kulihat bahu kananku sudah diperban dengan kencang. Aku sendiri agak sulit menggerakannya. Aku berusaha bangkit dengan menumpu pada kedua tangan, tetapi rasa ngilu datang mendera saat tanganku agak ditekan. Sontak aku meringis kembali.

Beberapa saat aku termenung dalam gulungan selimut sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu. Apa yang terjadi di luar sana? Aku berusaha bangkit kembali, tanpa peduli rasa sakit dan ngilu di bagian bahu. Aku memakai jaket yang tergeletak di atas kursi dekat ranjangku berada tanpa memakai kaus dalam terlebih dahulu. Belum sempat aku membuka pintu, gagang itu sudah bergerak dan membuka dengan sendirinya. Aku mematung saat dokter Lian datang membawakan makanan di atas nampan.

"Akhirnya kamu sadar," ujarnya sambil menutup pintu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?!" tanyaku panik. Aku meringis lagi karena bahuku terlalu banyak digerakan.

"Tenanglah. Ayo makan dulu," kata dokter Lian sambil menggiringku. Aku tidak yakin bisa makan dalam kondisi seperti ini. Di luar sana sedang ada hal buruk yang terjadi, dan aku malah enak-enakan makan di sini.

Aku melihat makanan yang dibawa dokter Lian dengan enggan. Aku heran, bagaimana ia bisa setenang itu. "Jangan ditatap seperti itu. Ayo, makan, atau harus aku suapi?" Aku refleks menggeleng. Akan tetapi, tanganku berkata lain. Dia meringis lagi setiap kugerakan. Dan setengah jam kemudian, akhirnya makananku habis dengan bantuan dokter Lian.

"Sekarang bisakah dokter menceritakan apa yang terjadi di luar sana?" tanyaku dengan amarah tertahan. Dokter Lian seakan menimbang apa yang akan ia bicarakan. Kepalanya tertunduk, wajahnya terlihat lesu.

"Re," panggilnya lirih. "Situasinya sedang pelik di luar sana ...." kata dokter Lian dengan nada menggantung.

"Katakan saja," sahutku tak sabar.

"Pasukan Thiye sepertinya ingin mempercepat kebangkitan majikan mereka. Bencana alam dan kerusuhan yang terjadi semakin marak. Mereka sudah mulai bergerak dan membuat kekacauan ... sampai kemari." Tanganku mengepal karena mendengar apa yang dokter Lian utarakan. Bencana? Kerusuhan? Kekacauan?

"Lalu apa yang terjadi di sana? Kenapa hanya aku yang dibawa ke sini?" tanyaku penuh tuntutan.

"Karena kamu prioritas utama kami," jawabnya.

"Maksudnya?"

"Mereka berusaha membunuhmu." Aku sudah tahu bagian itu. "Kamu adalah kuncinya, Re. Mereka berusaha membunuhmu karena tahu kamu adalah incaran yang mudah. Kekuatanmu belum sepenuhnya keluar. Jika kamu lenyap, mereka dengan mudah membangkitkan Thiye." Membunuhku. Melenyapkanku. Makhluk-makhluk besar yang berusaha mengejarku sesaat aku pergi. Tunggu! Mataku membulat menyadari sesuatu.

"Bagaimana dengan orangtuaku?!" tanyaku panik. Aku mencoba membaca raut wajah dokter Lian. Ia terlihat sedih. Ada rasa bersalah di sana. "Dokter, tolong jawab," kataku memelas. Berharap akan ada kata-kata yang dapat membuatku setidaknya lega. Namun, mata itu berkata lain.

Aku berlari melewati dokter Lian yang hanya diam mematung. Aku ingin keluar. Mencari tahu sendiri apa yang terjadi. Gagang pintu itu terasa berat saat kugerakan. Rasa ngilu di bahu lagi-lagi datang mendera.

"Jatuhya korban sudah tidak bisa dihindari, Re," kata dokter Lian pada akhirnya. Aku berhenti memutar gagang itu. Kakiku rasanya lemas, tidak bisa lagi menumpu beban tubuhku. Akhirnya aku jatuh terduduk dengan perasaan yang sangat perih ... melebihi luka di bahuku atau pun luka fisik yang pernah aku terima.

...

Dua hari berikutnya, orang-orang yang menjadi korban telah selesai dimakamkan. Jumlah mereka sangat banyak. Hari itu saat aku diungsikan, kota benar-benar diserang oleh banyak kalangkang dan teroris aneh berbaju hitam. Hal serupa juga terjadi di berbagai tempat lainnya. Rumah Pak Ficus tidak mengalami dampak karena dijaga dengan ketat.

Aku tidak bisa berhenti menangis saat melihat nisan bertuliskan nama kedua orangtuaku. Menangis seperti anak kecil yang tersesat di tengah keramaian orang-orang tanpa balon untuk menghibur. Aku memang ditinggalkan, dan mereka tidak akan datang lagi untuk mencariku. Di tengah ramainya kehidupan, aku akan berjalan sendirian. Orang-orang sudah pergi meninggalkan pemakaman satu per satu. Meninggalkan aku mematung seorang diri.

Seseorang memegang pundakku. "Ayo, pulang, Re," ajak Paman. Aku bergeming, tidak ingin dulu beranjak dari tempatku berdiri.

"Paman bisa pulang duluan," jawabku setelah jeda cukup lama. Paman sepertinya cukup mengerti dengan keadaanku. Dia langsung pergi bersama Bibi ke arah parkiran di mana mobilnya berada.

Aku mendengar beberapa langkah kaki mendekat. Para Reinc datang melihat keadaanku. Di tengah isakan tangis yang masih berlanjut, kudengar dia memanggilku dengan lirih. "Re." Aku melirik Arga yang sudah ada di samping kananku. Tangannya menyentuh bahuku yang bergetar dengan ragu-ragu.

"Apa ini hukuman bagiku? Apa aku kurang baik? Apa aku melakukan hal yang salah sampai menerima semua ini?" tanyaku pada siapa pun yang mendengar.

"Re, berhenti menyalahkan dirimu sendiri," bujuk Arga.

"Mungkin sebaiknya kamu membiarkanku mati saja saat itu daripada menyelamatkanku! Apa artinya kalau aku harus hidup dalam kehampaan—"

Buagh!

Satu pukulan telak mengenai wajahku membuatku terpental dan mengeluarkan darah dari sudut bibirku yang robek.

Arga buru-buru mendekatiku. "Akasia, apa yang kau lakukan?!"

"Akasia, itu keterlaluan!" bentak Pak Ficus.

"Berhentilah jadi cengeng dan syukuri apa yang tersisa! Apa orangtuamu tidak pernah mengajarimu?! Mereka tewas karena memang sudah takdir! Tak bisakah kau menerimanya?!" Akasia mencecarku tanpa main-main. Kurasakan lagi air mata yang menetes. Bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga luka batin.

Aku bangkit, kemudian memeluk tubuhku sendiri. Arga mencoba menenangkanku, tetapi aku terlalu tidak stabil untuk melakukannya. "Pergi, Ga!" bentakku saat dia mulai menyentuhku. Namun, dia tidak mendengarku. Arga mendekapku dalam rengkuhannya. Aku berusaha berontak, tetapi semuanya sia-sia.

"Untuk apa lahir berkali-kali kalau hanya akan merasakan sakit yang sama berulang-ulang?!" Arga mengusap rambutku, kemudian membisikkan sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

"Re, mungkin ini akan terdengar jahat, tapi tetap harus kukatakan. Tidak hanya kamu yang kehilangan. Di luar sana banyak orang yang lebih menderita. Kalau kamu berpikir, kamulah yang paling menderita dan patut dikasihani, aku harus mengatakan: kamu egois."

Pada akhirnya, aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Arga. Hal yang tidak pernah aku lakukan dengan siapa pun.

...

Aku seperti orang tanpa tujuan. Tidak memiliki lagi asa dan cita-cita. Hanya seonggok daging tak berguna yang kebetulan bernyawa. Kuhabisakan hampir sepanjang hari hanya untuk melamun di kamar. Cita-citaku telah terkubur bersama orangtuaku. Tidak ada lagi orang-orang yang menjadi tujuanku membuat mereka bahagia.

"Re, jangan lupa makan," kata Bibi yang datang ke kamar membawakan makan siang. Ditaruhnya piring di atas nakas samping tempat tidur yang masih terdapat sisa sarapanku yang masih utuh kemudian pergi lagi.

Rumah Bibi dan Paman terdapat di pinggiran kota yang lumayan terpencil sehingga tidak terlalu mengalami dampak serangan. Sebelum aku dibawa ke sini, aku meminta mereka untuk ke rumah agar aku bisa melihatnya untuk yang terakhir kali dan mengucapkan selamat tinggal. Akan tetapi, saat aku tiba di tempat itu, kakiku rasanya lemah. Aku jatuh berlutut dan akhirnya tangisku pun pecah lagi. Satu kata yang dapat menggambarkan rumah itu adalah: hancur. Dan kenangan yang berada di dalamnya juga.

Tidak punya tujuan, tidak punya impian. Kubenamkan wajahku di antara lutut yang kupeluk. Aku ... memang tidak berguna.

Bibi kembali mengetuk pintu kamarku. Ia mengatakan kalau ada seseorang yang ingin menemuiku. Aku menyahut dengan malas agar Bibi segera keluar dari kamar. Dengan langkah gontai, kuturuni tangga satu per satu menuju ruang tamu. Kulihat siapa yang bertandang. Aku melangkah enggan, karena sebenarnya aku ingin sendiri dulu.

Orang itu memakai celana jeans hitam, kaus merah dan jaket hoodie hitam. Kepalanya tertunduk saat aku mendekat; melihat tangannya yang tertaut. Jam tangan, gelang-gelang karet dan gelang rantai dengan bandul pedang melengkung menjadi satu di pergelangan tangannya.

Aku duduk di sofa untuk satu orang di sampingnya. Wajahnya mengangkat melihat tindakanku. "Re, kamu baik-baik saja?" tanya Arga memperhatikan keadaanku.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" tanyaku balik dengan nada yang ketus. Arga membungkam mulutnya seperti orang yang sudah salah memberikan pertanyaan.

"Re, nggak baik berlarut dalam kesedihan," kata Arga mencoba meredakan emosiku. Aku melihatnya dengan tatapan kosong. Aku yang baru kehilangan keluarga wajar saja masih sedih walaupun sudah beberapa hari. Apa dia tidak pernah merasa empati?

"Jangan bertingkah seolah kamu tahu segalanya, Ga."

"Re." Arga mencoba mendekatiku. Perlahan dia menggeser tubuhnya agar jarak kami semakin dekat. Tangannya perlahan menyentuh lututku.

"Jangan sentuh," sentakku sambil menyingkirkan tangan Arga. Dia terkejut lalu menunduk.

"Maaf," sesalnya.

"Sebaiknya kamu pergi. Aku sedang ingin sendiri saat ini." Aku baru saja akan pergi meninggalkannya saat dia menarik paksa tanganku. Kulihat sekilas wajahnya yang memelas. Aku memasang wajah geram, kesal dengan tingkah kekanakannya.

"Apa kamu menyayangi orangtuamu, Re?"

"Tentu saja!" Pertanyaan yang konyol. "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Mereka akan sedih kalau melihatmu seperti ini."

"Tahu apa kamu tentang mereka?! Aku yang paling tahu tentang mereka, bukan orang lain."

"Aku memang nggak tahu apa-apa tentang mereka, tapi yang aku tahu, anak mereka sekarang sedang putus asa, dan mereka tidak ingin anaknya seperti itu. Bukan begitu, Re?" Dadaku rasanya sesak lagi. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Aku mencoba melepas genggamannya di pergelangan tanganku, tetapi dia malah mengeratkannya lebih kuat.

"Re, kamu nggak bisa seperti ini terus. Kamu punya harapan dan tujuan, kan?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Lama aku berpikir sebelum akhirnya menjawab.

"Bukan urusanmu." Aku berpaling untuk menyembunyikan wajah putus asaku. Tujuanku sudah terkubur. Arga melonggarkan genggamannya.

"Apa perlu kuingatkan kalau kamu itu seorang Reinc, Re? Kamu punya tanggung jawab yang harus kamu penuhi."

"Kamu terlalu banyak bicara, Ga!" bentakku tidak sabar.

"Re, ingatlah kamu masih punya keluarga di sini. Paman dan Bibimu akan ada saat kamu membutuhkan mereka. Aku juga akan selalu berusaha ada untukmu. Jangan lupakan kalau Reinc juga adalah keluargamu kini, Re." Arga kemudian berdiri, bersiap meninggalkanku seorang diri. "Ketahuilah, Re. Aku selalu menyayangimu. Hubungi aku kalau suasana hatimu sudah membaik." Tanpa berbalik, aku mendengar Arga keluar lalu menutup pintu.

Aku terdiam mematung. Dadaku rasanya sesak. Aku mengepalkan tangan untuk menahan luapan emosi. Rasa sedih, marah, kecewa, semuanya menyatu. Aku berlari melewati Bibi yang sedari tadi berdiri bersandar di pinggir pintu menuju kamar; memperhatikan aku dan Arga berdebat dalam diam. Berharap kesunyian dapat menenangkanku. Aku menangis tanpa suara agar Bibi tidak mendengarku.

"Re ...," panggil Bibi dengan lirih. Di tengah remangnya cahaya kamar, ia mendekatiku yang sedang duduk termenung dengan selimut bergelung. Dengan lembut, Bibi menyentuh bahuku. Aku bergeming, tidak memberikan respon yang berarti. Kudengar desahan Bibi yang terdengar lelah menghadapi sikapku.

"Kamu kuat, Re," katanya menyemangatiku. Aku menggeleng lemah sebagai jawaban. "Mereka sudah ada di tempat yang lebih baik. Jangan biarkan kesedihan berlarut-larut dan merusak tubuhmu, Re." Aku terisak lagi. Bibi berusaha menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku. Aku menghela napas berat, berusaha mengontrol emosi yang sedang tidak stabil.

"Temanmu yang tadi, siapa namanya?" tanya Bibi mengalihkan topik.

"Arga," jawabku lirih.

"Temanmu itu ... tampan, ya," kata Bibi mencoba menghiburku.

"Iya."

"Bukan berarti kamu nggak tampan, loh," timpal Bibi dengan tawa garing.

"Iya," jawabku singkat.

"Sayang, Bibi belum sempat berkenalan lebih jauh dengannya," ujarnya agak terkekeh. Aku tidak merespon pernyataan Bibi tersebut. "Kalau saja Bibi punya anak seperti kamu atau Arga, rumah ini pasti lebih hidup. Sayangnya, Bibi sudah nggak bisa punya anak lagi. Tapi, itu nggak membuat insting keibuan Bibi luntur." Aku termenung mendengar cerita Bibi. Anak pertama dan terakhir Bibi meninggal saat berumur satu tahun karena penyakit yang dideritanya. Sementara Bibi sendiri telah diangkat rahimnya karena suatu hal.

"Ah, Bibi bicara apa, ya. Tentu saja kamu sudah Bibi anggap anak sendiri," kata Bibi yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. "Bibi pergi dulu, kamu pasti butuh waktu lebih lama sendiri, tapi jangan lupa makan. Kami akan tunggu kamu di meja makan." Bibi mengusap rambutku kemudian pergi.

Air mataku sudah kering. Aku sudah tidak bisa mengeluarkannya lagi. Aku takut tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Di tengah lamunanku, satu pemberitahuan muncul di ponselku. Aku mengeceknya dengan malas. Saat aku melihat nama pengirimnya, mood-ku langsung jatuh dibuatnya. Aku melemparkan ponselku ke sembarang tempat di atas kasur. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Mungkin lebih baik kalau aku mati membusuk saja di sini. Tanpa tujuan. Tanpa cita-cita.

-oOo-

Author's Note

Semoga menghibur.

Salam literasi!

Diterbitkan: 31-5-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro