Kehidupan 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kegelapan menyertaiku. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Yang kurasakan hanyalah sesuatu yang keras di bawahku sebagai pijakan. Napasku terasa sesak dalam kegelapan ini. Di tempat sunyi dan hitam ini, hanya aku sendiri.

Perlahan suasana di sekitarku menjadi terang. Aku harus mengerjap beberapa kali karena mataku berusaha menyesuaikan dengan keadaan. Saat mataku fokus pada tempat ini, aku hampir saja memekik. Tempat ini ....

Ini rumahku beberapa tahun lalu. Terlihat dari warna cat temboknya yang berbeda. Di tengah kebingunganku, aku melihat diriku sendiri saat kira-kira berumur enam tahun saat aku pertama akan berangkat sekolah. Saat itu aku merengek tidak ingin ditinggal, memaksa Ibu untuk masuk ke kelas dan belajar bersama. Aku selalu malu sekaligus ingin tertawa kalau mengingat hal tersebut.

Kemudian visi lain berganti.

Aku saat berumur delapan tahun yang menangis karena kucing peliharaanku mati. Saat itu Ibu mengatakan untuk mengikhlaskan dan melepaskan apa yang memang bukan milik kita. Kucing berwarna kuning itu kini beristirahat dengan tenang di bawah pohon mangga depan rumah.

Lalu berganti lagi pada visi yang lain. Saat aku kelulusan SMP, saat aku pertama masuk SMA diantar oleh Ibu, saat ulang tahun ketujuhbelasku. Semua visi itu bertumpu pada kenanganku dengan orangtuaku.

Lalu semua redup.

Visi terakhir yang aku lihat adalah saat aku menangis di depan nisan mereka dan sedang dipeluk oleh Arga. Aku sangat jelek ternyata saat menangis. Pemandangan yang menyedihkan. Semua visi yang kulihat adalah kenangan-kenanganku bersama mereka.

Aku merasakan seseorang berdiri di belakangku. Saat aku berbalik, ternyata tidak hanya satu tetapi dua. Mereka berdua terlihat sedih dan kecewa. Apa mereka kecewa padaku yang putus asa ini? Ibu dan Ayah saling bergandengan. Tangan mereka menggenggam erat satu sama lain. Ibu terlihat menggumamkan sesuatu, tetapi tidak terdengar olehku. Dengan wajah kecewa, mereka berdua menggeleng lemah kemudian berbalik. Menjauhiku. Aku berusaha mengejar mereka, tetapi sekuat apa pun aku berlari, aku tidak bisa menyusul mereka. Langkah mereka yang terlihat pelan tidak bisa aku susul. Semakin aku ingin mengejar, semakin mereka jauh ditelan kegelapan. Aku jatuh berlutut. Bahkan di alam mimpi sekalipun, aku belum bisa membahagiakan mereka. Aku belum bisa membuat mereka bangga.

"Aku sangat kecewa padamu." Suara seseorang tiba-tiba terdengar mengagetkanku. Suaranya seperti seseorang yang kukenal. Aku seperti pernah mendengarnya, tetapi entah di mana.

Aku berbalik. Melihat seorang perempuan dengan pakaian serupa gaun berwarna putih sedang melipat tangannya di depan dada. Rambut pirang sebahu itu, mata biru itu. "Kau ... Agni."

"Siapa lagi?" tanyanya retoris.

"Bagaimana mungkin?" Aku terkejut dengan orang yang tidak disangka akan muncul dalam mimpiku.

"Apa pun mungkin," jawabnya dengan senyuman. "Tidak ada yang mustahil kalau memang mungkin," lanjutnya. "Sungguh lucu, bukan? Melihat kita berbicara seperti ini. Seolah kita adalah dua entitas yang berbeda."

"Apa maksudmu?"

"Kita ini satu, Reksa, hanya saja berbeda waktu. Pengalamanku adalah pengalamanmu. Masa laluku adalah masa lalumu. Namun, kita terpisah oleh gerbang reinkarnasi. Kita satu tetapi berbeda zaman. Kita satu tetapi berbeda pengalaman. Jiwa kita satu, tetapi banyak hal yang membuat kita menjadi dua pribadi yang berbeda."

"Kita memang orang yang berbeda."

"Tidakkah kau mengerti? Kita berasal dari satu jiwa yang sama. Terlahir berkali-kali. Di setiap zaman di mana kita dilahirkan, pengalaman membentuk pribadi kita. Pengetahuanku adalah pengetahuanmu. Tahukah kau? Berbicara seperti ini seperti sedang menatap cermin, kita seolah berbicara dengan orang lain padahal yang kita ajak bicara adalah diri sendiri. Makanya aku menganggap ini lucu."

"Aku nggak mengerti," balasku seraya menggeleng. Agni terlihat menepuk jidatnya.

"Kita ini seperti jiwa yang—secara kasarnya—didaur ulang. Berasal dari satu sumber yang sama hanya berbeda wadahnya saja. Kemudian diberi tambahan berupa kepribadian yang berbeda-beda."

"Terserahlah. Kembali ke pernyataan pertama. Kenapa kau kecewa padaku? Dilihat dari sudut pandangmu, bukannya itu sama saja dengan kau kecewa pada dirimu sendiri?"

"Secara teknis aku kecewa pada diriku di masa depan." Aku menunduk. Melihat pijakan yang tak kasat mata. "Reksa," panggil Agni.

"Apa?"

"Kenapa kau tidak menerima dirimu sebagai Reinc?" tanya Agni sedih.

"Karena semua itu nggak masuk akal."

"Bahkan setelah banyak bukti yang menunjukkan hal itu padamu?" Aku bergeming, tidak langsung menjawab pertanyaannya. "Re?"

Aku mengepalkan tangan. "Karena ... itu adalah tanggung jawab yang besar. Aku nggak yakin bisa melaksanakannya," jawabku dengan nada gemetar.

"Tidakkah kau sadar? Dengan kekuatanmu, kau bisa menyelamatkan banyak orang. Gunakan kelebihan itu agar menjadi manfaat bagi orang lain. Bukankah orangtuamu pernah bilang kalau orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain?" Aku tersentak. Mendengar orangtuaku disebut membuatku menjadi sedih kembali.

"Tidakkah kau tahu, kalau Reinc-lah yang menjadi alasan kedua orangtuaku meninggal?! Para kalangkang itu mencoba membunuhku, tetapi akhirnya orangtuaku juga harus menjadi korban! Kenapa mereka juga tidak menyelamatkan Ayah dan Ibuku?!" Aku mencoba menahan amarahku agar tidak meluap-luap.

"Kalau kau dapat membangkitkan kekuatanmu sesegera mungkin, kau bisa saja menolong mereka!" teriak Agni mengimbangi emosiku. Aku tersentak. Merasa tertohok dengan kata-katanya. "Makanya tadi aku bilang kalau aku kecewa padamu," lanjutnya dengan nada yang kembali tenang. Mataku terasa panas. Ada genangan air yang siap tumpah di sana. Aku berusaha agar tidak menangis lagi.

"Sangat wajar bila kita bersedih karena kehilangan sesuatu. Apalagi kehilangan anggota keluarga yang sangat dikasihi. Namun, bersedih terus menerus sampai kehilangan semangat hidup, itu adalah hal yang sangat salah. Hadapi, Re."

Aku terdiam. Ternyata selama ini aku hanyalah seorang pengecut, pecundang, dan orang yang suka lari dari tanggung jawab.

"Suatu waktu, aku juga pernah di posisimu sekarang. Hari sebelumnya aku hanya seorang gadis biasa yang sedang tergila-gila pada seseorang. Hari berikutnya, orang yang kusuka bilang kalau aku ini seorang reinkarnasi pahlawan kuno. Bukankah itu terlalu mendadak? Aku hanya ingin mendapatkan cinta, tetapi yang kudapat malah sebuah tanggung jawab besar. Sama sepertimu, kan?" Aku melihat sekilas Agni, kemudian membuang muka. Sedikit banyak kami memang mengalami hal serupa. Aku yang ingin membantu ekonomi keluarga dan Agni dengan obsesi cintanya. Tanggung jawab mendatangi kami, lalu hal yang kami ingin lakukan harus tertunda.

"Tidak hanya Thiye yang akan bangkit kalau kalian tidak segera bertindak, tetapi kau juga harus bangkit. Jangan biarkan kesedihan menghantuimu. Apa kau tidak melihat bagaimana raut orangtuamu tadi? Mereka kecewa, sama sepertiku. Melihat anaknya bergelung dalam keputusasaan. Apa kau mau membuat mereka semakin sedih?"

"Aku ... aku hanya ingin mereka bahagia." Aku kembali terisak. Menyesali semua tindakan bodoh yang selama ini aku buat.

"Kalau begitu, jadilah pahlawan."

Agni mendekatiku. Ia memberikan sesuatu seperti gantungan kunci berbentuk pedang yang ramping. Berwarna perak dan terasa dingin di kulit. "Pakai dengan bijak," katanya sambil menutup telapak tanganku yang ragu-ragu menerimanya.

"Ba ... bagaimana aku menggunakannya?" tanyaku. "Lagipula aku nggak bisa bertarung."

"Kau akan tahu dengan sendirinya nanti," balas Agni santai. Ia kemudian mendekatiku, mengarahkan tangan kanannya pada dahiku, lalu berkata, "Sekarang bangun dan selamatkan dunia." Satu sentilan tepat di antara kedua alisku yang diberikan Agni membuatku kaget.

Brug!

Aku terjatuh dengan posisi telentang di atas lantai. Kedua kakiku masih berada di atas kasur dengan dibalut selimut. Mimpi? Mimpinya berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Aku melihat langit-langit kamar yang tidak terlalu jelas karena lampu kamar yang tidak kunyalakan. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku berusaha bangun, tetapi ternyata kepalaku agak sakit karena terbentur saat jatuh. "Aww." Aku meringis sambil mengusap bagian yang sakit.

Suara langkah terdengar dari balik pintu. "Re? Kamu kenapa? Bibi dengar ada suara sesuatu yang jatuh," kata Bibi dari balik pintu.

"Aku nggak kenapa-kenapa, Bi," timpalku yang masih meringis kesakitan.

"Ya, sudah. Ayo, makan. Paman sudah menunggu."

"Iya, nanti aku menyusul." Ternyata aku tertidur hanya beberapa menit.

Ada sesuatu yang janggal saat aku berusaha bangkit. Tangan kiriku dari tadi ternyata mengepal. Dingin dan keras. Benda yang kupegang memiliki sesuatu yang tajam. Gantungan kunci berbentuk pedang. Benda sama yang diberikan oleh Agni? Bagaimana mungkin benda alam mimpi dapat menjadi nyata? Ah, kepalaku. Melewati waktu, melewati dimensi. Hal tak terduga lainnya telah kualami.

Sebaiknya dipakai sebagai apa, ya? Kalung atau bandul gelang? Atau benar-benar gantungan kunci? Tapi aku tidak punya kunci untuk digantungi. Gantungan resleting tas? Sepertinya tidak. Hah, aku akan memikirkannya saja nanti. Ada pertemuan yang harus aku hadiri.

Sudah separuh piring yang Bibi dan Paman habiskan ketika aku bergabung untuk makan malam. Mereka sangat senang saat tahu aku akhirnya bergabung dengan mereka.

"Bibi kira kamu nggak akan datang," kata Bibi sambil menyiapkan nasi dan lauknya.

"Maaf sudah membuat khawatir." Aku menerima alas yang diberikan Bibi. "Terima kasih, Bi. Aku janji nggak akan membuat khawatir siapa-siapa lagi." Mereka berdua tersenyum sebagai respon. Kemudian kami makan dalam hening.

...

Sambil berbaring di kasur dengan malas, kuamati baik-baik gantungan kunci yang Agni berikan. Panjangnya kira-kira sepanjang jari telunjukku. Ya, sejujurnya aku tidak tahu pasti berapa panjangnya. Kira-kira saja. Dan juga aku tidak punya penggaris untuk mengukur pastinya. Terdapat ukiran-ukiran aneh di sepanjang gagangnya. Di sepanjang bilahnya, kuperhatikan ada lengkungan-lengkungan seperti gelombang yang menghiasinya. Secara keseluruhan, bentuk pedang itu ramping dan tampak elegan.

Bagaimana cara menggunakan ini? Aku bahkan tidak menemukan semacam tombol atau sejenisnya. Bagaimana Arga melakukannya? Apa memang penggunaannya sama?

Aku bangkit berdiri. Dalam remang cahaya, kucoba beberapa gerakan seperti seorang ahli pedang yang selalu kutonton di film-film aksi. Dengan hanya memegang gantungan itu di antara jempol dan jari telunjuk, kuayunkan pedang mini itu seperti gerakan memotong, menebas dan menangkis. Keren.

Apa benda ini benar-benar bisa digunakan? Aku ingat Jati pernah memunculkan pedang besar dari ketiadaan—atau mungkin dari pedang yang juga kecil seperti ini. Bagaimana aku tahu? Itu karena seingatku—saat Jati mengejarku—dia tidak membawa sesuatu seperti pedang atau sejenisnya.

Aku mencoba mengayunkan gantungan itu beberapa kali berharap sesuatu terjadi. Tapi, setelah lama mencoba tidak ada sesuatu yang menakjubkan. Hanya ada aku yang merasa kelelahan. Kau akan tahu dengan sendirinya nanti. Kata-kata Agni terngiang lagi. 'Akan tahu' itu ... kapan?

Kata-kata Agni yang lain menggangguku. Membangkitkan kekuatan. Aku mencoba memfokuskan kekuatanku pada gantungan kunci di tangan kananku. Membuat gerakan merobek dengan pedang mini itu. Satu garis hitam berhasil terpatri di tengah ruangan yang remang. Kali ini, robekan itu tidak langsung menutup, tetapi bertahan lebih lama dari yang kuingat sebelum benar-benar menghilang. Rasa sakit dan pusing juga tidak terlalu kentara.

Aku mencoba kembali hal serupa. Tetapi hal di luar dugaan datang.

Prang!

Gantungan kunci itu jatuh karena aku yang kaget pada perubahannya. Aku jatuh terduduk. Gantungan kunci itu benar-benar berubah menjadi besar tanpa aku duga. "Bagaimana mungkin ...." Aku menatap heran pada pedang yang sekarang teronggok di lantai. Bagaimana aku melakukannya? Aku harap suara bising itu tidak terdengar Paman atau Bibi.

Suara langkah terdengar mendekat. Ternyata aku salah. Aku langsung panik dan mencoba menyembunyikan pedang itu di bawah kasur.

"Re, belum tidur?" tanya Bibi yang hanya terlihat kepalanya dari balik pintu.

"Be ... belum, Bi," jawabku dengan agak gugup.

"Bibi dengar ada suara sesuatu yang jatuh lagi. Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik, Bi. Jangan khawatir."

"Jangan terlalu malam tidurnya."

"Baik, Bi."

Untuk sekarang aku bisa bernapas lega. Aku memeriksa bawah kasur. Pedang itu sudah tidak terlihat lagi. Mungkinkah ukurannya sudah kembali seperti semula? Aku menyalakan lampu senter dari ponsel agar pencarianku lebih mudah. Posisi pedang mini itu sepertinya agak ke tengah. Kelihatannya aku harus berusaha ekstra untuk mendapatkannya.

Dug!

"Aw." Kepalaku yang malang. Aku harus lebih berhati-hati. Sedikit lagi ... dapat! Ah, akhirnya. Saat berdiri, tubuhku rasanya agak oleng. Seperti ada getaran. Apa ini perasaanku saja karena terbentur atau memang sungguhan?

Kulihat langit gelap di luar jendela sana. Sudah malam. Ada sesuatu yang berpendar di luar sana. Purnama. Bulan yang indah. Mataku mulai berat. Mungkin rasa kantuk juga yang membuatku berhalusinasi tentang getaran itu. Aku harus segera tidur.

-oOo-

Sudah seminggu tidak update karena libur lebaran (atau lebih?) (padahal lagi nabung bab). Semoga tetap menghibur.

Salam literasi!

Diterbitkan: 11-6-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro